• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dr. Samuele Bacchiocchi "Dari Hari Sabat (Sabtu, Hari VII) ke Hari Minggu" Part 2/3

tyven

IndoForum Newbie D
No. Urut
59878
Sejak
24 Des 2008
Pesan
101
Nilai reaksi
0
Poin
16
Gereja Jerusalem setelah tahun 70.

Situasi sangat berubah setelah penghancuran kaabah oleh Romawi pada tahun 70. Sejarawan Eusebius (kira kira tahun 260 – 340) dan Epiphanius (kira kira tahun 315 – 403) menginformasikan bahwa sejak pengepungan Hadrian (thn 135) Gereja Jerusalem beranggotakan orang Yahudi yang telah bertobat, yang digambarkan sebagai orang yang ‘ingin mempertahankan penurutan kepada hukum’. Kenyataannya, sekte Kristen Yahudi Palestina Orthodox dari kaum Nazaret, yang umumnya diakui sebagai ‘turunan langsung dari komunitas asal’ Jerusalem, menurut Epiphanius, pada abad keempat, masih memelihara praktek praktek PL seperti ‘sunat, hari Sabat, dan lain lain’.
Jelaslah sudah implikasinya. Kebiasaan tradisi pemeliharaan hari Sabat dipertahankan oleh orang Kristen Palestina lama setelah penghancuran Kaabah. Kesimpulan ini sejalan dengan ‘kutuk orang Kristen’ (Birkath-ha-Minim), doa yang diperkenalkan oleh otoritas kerabian Palestina (kira kira thn 80-90) untuk membasmi partisipasi Kristen Yahudi dalam pelayanan sinagog Yahudi. Partisipasi orang Kristen Palestina dalam pelayanan di sinagog tidak cukup beralasan bila dianggap mereka memperkenalkan hari kebaktian baru. Data historis ini melemahkan semua teori yang mengatakan bahwa Jerusalem adalah perintis kebaktian hari Minggu. Dari semua gereja gereja Kristen, Gereja Jerusalem adalah yang paling dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Yahudi.

Peraturan Hadrian.

Perubahan yang radikal terjadi dalam dunia Yahudi setelah tahun 135, dimana penguasa Romawi Hadrian menumpas pemberontakan Yahudi kedua yang gagal, yang dipimpin oleh Barkokeba (132-135). Jerusalem menjadi jajahan Romawi, tidak termasuk orang orang Yahudi dan Kristen Yahudi. Pada saat itu Hadrian melarang praktek agama Yahudi di seluruh kerajaan, terutama pemeliharaan hari Sabat. Kebijakan anti Yahudi yang represif ini menyebabkan pembuatan literatur ‘Kristen’ melawan Yahudi, Adversus Judaeos, yang menganjurkan pemisahan dari dan penghinaan terhadap orang Yahudi. Kebiasaan unik Yahudi seperti sunat dan pemeliharaan hari Sabat sangat dilarang. Mempertimbangkan hal seperti ini, wajar jika kita mengindikasikan bahwa pemeliharaan hari Minggu diperkenalkan pada saat ini dalam hubungannya dengan Paskah hari Minggu, sebagai usaha untuk menjelaskan kepada otoritas Roma perbedaan Kristen dan Judaisme. Kepada indikasi seperti inilah kita perlu memusatkan perhatian.

Roma dan Asal Usul Pemeliharaan Hari Minggu

Festival-festival keagamaan baru seperti pemeliharaan hari Minggu lebih mungkin diperkenalkan dan diikuti oleh sebuah gereja yang memutuskan hubungannya dengan Yudaisme pada saat awal. Gereja itu diakui secara luas. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini tidak termasuk Gereja Jerusalem sebelum tahun 135, karena setelah waktu ini gereja Jerusalem kehilangan kebanggaan keagamaannya dan nyaris tidak berarti apa apa lagi, sehingga sulit dikatakan gereja Jerusalem ini telah merintis perubahan yang tersebut diatas. Kelihatannya, lebih mungkin gereja itu merujuk kepada gereja yang berada di ibukota Roma, karena kondisi sosial, keagamaan, dan politik yang ada disekitar gereja Roma yang mengizinkan dan mendorong ditinggalkannya hari Sabat dan sebagai gantinya mengikuti kebaktian hari Minggu.
Karakteristik Gereja Roma. Berbeda dengan gereja gereja timur pada umumnya, anggota anggota gereja Roma didominasi oleh orang-orang non Yahudi yang telah bertobat. Dalam suratnya kepada gereja Roma, Paulus dengan jelas mengatakan: “Saya berbicara kepadamu, hai orang orang non Yahudi ,” (Roma 11:13). Sehingga pada jaman itu di Roma, seperti yang dinyatakan oleh Leonard Goppelt, “perbedaan antara gereja dan sinagog ditemukan dimana-mana, sesuatu yang tidak ada pada gereja gereja timur.”
Anggota anggota non Yahudi mayoritas inilah yang mendukung pembedaan dengan orang Yahudi di Roma. Contohnya pada tahun 64 Kaisar Nero dengan jelas membedakan orang Yahudi dengan orang Kristen ketika dia menuduh orang Yahudi bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi pada saat itu. Kenyataan bahwa proses pembedaan Kristen dengan Yahudi terjadi di Roma lebih awal daripada di Palestina menyiratkan kemungkinan bahwa hari kebaktian baru mungkin saja diperkenalkan pertama kali di Roma sebagai bagian dari proses pembedaan dengan Yudaisme. Untuk mengerti sebab sebab yang mungkin dari proses pembedaan ini, perlu untuk mengetahui dengan singkat hubungan antara kerajaan Roma dan orang Yahudi pada saat itu.

Dimulai dengan pemberontakan pertama Yahudi melawan Roma (thn 66 sampai 70), berbagai cara digunakan untuk menekan orang Yahudi: militer, politik, dan pajak. Pemberontakan orang Yahudi meletus diberbagai daerah: Mesopotamia, Cyrenaica, Palestina, Mesir dan Siprus. Selama perang besar Yahudi (thn 70 dan 135) lebih dari sejuta orang Yahudi dibantai dalam perang di Palestina saja.. Secara politik, Vespasian (69-79) membubarkan majelis Sanhedrin dan lembaga imam besar. Berikutnya Hadrian (sekitar thn 135) melarang praktek praktek Yudaisme, terutama pemeliharaan hari Sabat. Secara pajak, orang Yahudi dikenakan pajak yang diskriminatif (fiscus judaicus) yang disahkan oleh Vespasian dan dinaikkan pertama kali oleh Domitian (81-96) dan kemudian oleh Hadrian (117-138).
Indikasi dari berbagai tekanan intensif yang terjadi di Roma adalah ditemukannya tulisan tulisan yang menghina Yahudi oleh penulis penulis seperti Seneca, Persius (34-62) Petronius (sekitar thn 66), Quintillian (35-100), Martial (40-104), Plutarch (46-119), Juvenal (sekitar 125) dan Tacitus (sekitar 55-120). Para penulis ini tinggal di Roma selama umur produktif mereka. Penulis-penulis ini menyiksa orang-orang Yahudi, secara rasial dan budaya, melawan pemeliharaan hari Sabat dan sunat, sebagai contoh dari kebiasaan Yahudi yang mereka katakan ‘tidak jelas gunanya’. Ketidaksenangan orang Roma terhadap orang Yahudi memaksa Titus untuk menyuruh Jewess Berenice, saudara perempuan raja Herodes, untuk meninggalkan Roma. Padahal Titus berencana akan menikahi wanita itu. Masalah Yahudi, seperti yang sudah kita lihat, menjadi lebih parah pada jaman Hadrian karena penindasan yang radikal terhadap agama Yahudi. Keadaan keadaan ini, juga dengan adanya konflik antara Yahudi dan orang Kristen, mendorong timbulnya literatur/ buku buku anti Yahudi yang mengembangkan sebuah ‘teologi’ Kristen yang terpisah dari dan merendahkan Yahudi. Contoh yang jelas dari keadaan ini adalah penggantian festival festival unik Yahudi seperti Passover dan hari Sabat dengan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu.
Roma dan hari Sabat. Pusat dari berkembangnya keadaan ini kelihatannya adalah Gereja Roma dimana cara cara teologis, sosial, dan liturgis telah dilakukan untuk mengajak orang orang Kristen meninggalkan kebaktian hari Sabat dan mendorong kebaktian hari Minggu. Secara teologis, hari Sabat telah diturunkan derajatnya dari ketentuan yang berlaku universal kepada ketentuan buatan manusia yang sementara. Secara sosial, hari Sabat telah dirubah dari hari tradisi untuk berpesta dan bergembira (feasting and gladness) kepada hari untuk berpuasa dan gelap (fasting and gloom). Peranan Gereja Roma dalam mempromosikan dan merintis puasa hari Sabat jelas dicatat dalam rujukan sejarah dari Bishop Callistus (217-222), Hippolytus (170-236), Bishop Sylvester (314-335). Paus Innocent I (401-417), Augustine (354-430) dan John Cassian (360-435).

Puasa hari Sabat tidak hanya untuk melambangkan kesedihan untuk kematian Kristus, tetapi, seperti dinyatakan dengan empati oleh Bishop Sylvester, untuk menunjukkan penghinaan kepada orang Yahudi – exsecratione Judaeorum. Kesedihan dan rasa lapar sebagai akibat dari berpuasa akan menyebabkan orang orang Kristen untuk menghindar dari pemeliharaan hari Sabat bersama dengan orang Yahudi, dan mendorong mereka dengan penuh keinginan dan kegembiraan memelihara hari Minggu. Secara liturgis, hari Sabat dibuat sebagai hari non keagamaan karena tidak ada upacara yang boleh dijalankan selama hari Sabat, karena upacara upacara ini dianggap membatalkan puasa.
Kemungkinan besar hari Sabat mingguan berkembang dengan pesat sebagai perluasan atau pasangan dari Sabat suci tahunan pada musim Paskah pada saat orang Kristen berpuasa. Kedua hal ini dirancang bukan hanya untuk mengekspresikan kesedihan karena kematian Kristus tetapi juga penghinaan untuk orang Yahudi. Lagipula, karena puasa mingguan dan tahunan Sabat sebagaimana hari Minggu mingguan dan Paskah hari Minggu sering ditunjukkan oleh para bapa sebagai hal yang saling berhubungan dalam arti dan fungsinya, sangatlah mungkin bahwa praktek praktek ini berasal bersama sama sebagai bagian dari perayaan paskah hari Minggu. Karena itu adalah penting untuk memastikan waktu, tempat, dan penyebab penyebab dari asal usul paskah hari Minggu, karena hal ini dapat menuntun kepada asal usul pemeliharaan hari Minggu.
Roma dan Paskah hari Minggu. Langkanya dokumen yang tersedia dan sifat yang kontroversial dari masalah ini menyulitkan untuk menentukan dengan pasti dimana, kapan, dan oleh siapa paskah hari minggu pertama kali dilakukan. Sejarawan Eusebius (260-340) menyediakan informasi tentang kontroversi yang meledak pada abad kedua diantara gereja Roma, yang meresmikan tanggal paskah hari Minggu, dan orang orang Kristen Asia yang mempertahankan perayaaan Passover pada bulan Nisan 14 (dikenal sebagai tradisi Quartodeciman). Sebagai pendukung kuat dari perayaan paskah hari Minggu yang diresmikan oleh Konsili Nicaea (325) Eusebius tidak segan segan memberi hari ini suatu asal usul kerasulan. Kenyataannya, dalam laporannya, Eusebius dengan jelas memastikan bahwa paskah hari Minggu “berasal dari tradisi kerasulan dari dahulu hingga kini”. Juga dalam kesimpulannya, Eusebius menyebutkan bahwa synode Palestina (yang diadakan sekitar tahun 198 atas permintaan Bishop Victor dari Roma) memandang paskah hari Minggu sebagai ‘telah turun dari para rasul’.

Dengan informasi informasi seperti diatas, Eusebius telah sungguh berhasil mengacaukan beberapa ahli yang tidak sengaja menerima asal usul kerasulan paskah hari Minggu. Tetapi kalau kita membaca karya Eusebius dengan hati-hati, pasti kita dapat melihat bias dari pernyataan-pernyataannya yang tidak tepat. Seperti yang dicatat oleh Marcel Richard, “sejak awal bukunya , kita mengamati bahwa Eusebius mengartikan Paskah Quartodeciman sebagai ‘tradisi lama’ sementara dia mengatakan paskah hari Minggu berasal dari ‘tradisi kerasulan’ dan disebut dengan jelas sebagai ‘hari kebangkitan Tuhan’, kentara sekali pembelaan Eusebius”. Referensi referensi yang tersedia paling awal mengenai paskah hari Minggu dan tradisi Quartodeciman menyebutkan dasar Passover sebagai perayaan kesedihan Kristus, dan bukan KebangkitanNya. Tertullian (160-225) sebagai contoh, merujuk kepada “passover Tuhan, yaitu kesedihan Kristus”. Fakta ini juga didukung oleh usaha Origen untuk menyangkal interpretasi Passover sebagai ‘kesedihan’ dengan menunjuk arti etimologis dari kata bahasa Ibrani pesah, yang berarti ‘untuk melewati / pass over’.
Kesalahan Eusebius lebih nampak pada saat dia menjelaskan asal usul Passover Quartodeciman. Dalam memperkenalkan dua surat penting dari Polycarp dan Irenaeus, Eusebius selalu menyebutkan tradisi Quartodeciman sebagai ‘kebiasaan lama’ dan ‘kebiasaan kuno’ bukan sebagai ‘tradisi kerasulan’. Eusebius menyediakan tradisi kerasulan ini khusus untuk Paskah Hari Minggu. Padahal, dokumen yang dikutip dua kali oleh Eusebius dengan jelas menyebutkan asal usul tradisi kerasulan untuk Passover Quartodeciman, dan tidak menyebutkan apa apa tentang adanya asal usul kerasulan untuk Paskah hari Minggu.

Dalam kepentingan Eusebius untuk mempertahankan asal usul kerasulan bagi Paskah hari Minggu, Eusebius sebetulnya mempunyai kesempatan untuk menjelaskan bukti bukti tertulis, bila memang ada (tetapi kelihatannya tidak ada dokumen yang dapat dijadikan dasar). Sebagian dari surat Iraneous yang dikutip oleh Eusebius malah lebih menyiratkan bahwa Paskah hari Minggu ada sejak awal abad kedua. Hal ini kelihatan dari himbauan Irenaeus kepada bishop Victor dari Roma (sekitar thn 189-199) untuk mencontoh pendahulunya, yaitu Anicetus dan Pius dan Hyginus dan Telephorus dan Sixtus, yang merayakan Paskah pada hari Minggu, tetapi tidak pernah ribut dengan orang yang merayakan Paskah pada bulan Nisan 14.

Sinyalemen Irenaeus tentang bishop Sixtus (116-126) yang pertama kali tidak memelihara Paskah Quartodeciman menyediakan satu kemungkinan bahwa Paskah hari Minggu mulai dipelihara di Roma pada hari Minggu sejak jaman itu.

Kesimpulan ini telah diambil oleh beberapa cendekiawan. Henri Leclerg, contohnya, dengan dasar pesan Irenaeus, menempatkan asal usul Paskah hari Minggu pada awal abad kedua, dibawah masa bishop Sixtus I di Roma, sekitar tahun 120. Karl Baus menulis hal yang sama: “Tidaklah mungkin lagi untuk menentukan kapan dan oleh siapa Paskah hari Minggu ini diperkenalkan di Roma, tetapi pasti hal ini ditetapkan di Roma pada awal abad kedua, karena Irenaeus dengan jelas berasumsi bahwa hari ini telah ada pada jaman Bishop Roma Xystus”. J.

Jeremiah juga mengungkapkan “Irenaeus melacak kembali Paskah hari Minggu Roma ini kepada Xystus, walaupun Irenaeus tidak menyebutkan waktu yang tepat. Hipotesa yang menyatakan asal usul Roma untuk Paskah hari Minggu pada jaman Xystus secara tidak langsung didukung oleh pernyataan Epiphanius bahwa kontroversi mengenai Paskah timbul setelah eksodus bishop yang pro kepada ajaran sunat dari Jerusalem. Eksodus ini diperintahkan oleh Kaisar Hadrian pada tahun 135 setelah menumpas pemberontakan Yahudi yang kedua. Kaisar ini, seperti telah dicatat di depan, menganut kebijakan garis keras terhadap kebiasaan dan upacara upacara Yahudi. Untuk mencegah tekanan dari pemerintah bishop Sixtus boleh jadi telah mengganti festival festival khas Yahudi seperti hari Sabat mingguan dan Paskah tahunan, dengan hari Minggu dan Paskah hari Minggu.

Penerapan Paskah hari Minggu beberapa tahun kemudian di Jerusalem oleh bishop bishop Yunani yang baru yang menggantikan pemimpin kristen Yahudi pasti ditolak oleh orang orang yang tidak siap menerima perubahan itu. Sementara asal usul yang pasti dari Paskah hari Minggu masih saja menjadi perdebatan, kelihatannya ada konsensus yang luas dari pendapat para cendekiawan untuk menganggap Roma sebagai ‘tempat kelahiran’ hari ini. Beberapa cendekiawan, kenyataannya, menamai Paskah hari Minggu itu sebagai Paskah Roma. Hal ini menyiratkan bahwa bukan hanya gereja Roma yang menekankan kebiasaan baru ini tetapi juga sumber sumber sejarah yang ada di kemudian hari. Dua dokumen yang saling berhubungan, yaitu surat konsili dari Kounsel Nicaea (325) dan surat pribadi Constantine kepada semua bishop, gereja Roma disebutkan sebagai contoh pertama untuk Paskah hari Minggu, hal ini pasti karena posisi historis dan peranan gereja ini dalam mendukung pemeliharaan Paskah hari Minggu.

Penyebarluasan Paskah Hari Minggu

Apa yang menyebabkan banyak orang Kristen beralih dari Paskah Quartodeciman kepada Paskah hari Minggu? Apakah karena ada sebab khusus, seperti pada kasus ditinggalkannya pemeliharaan hari Sabat untuk memisahkan diri dari orang Yahudi dan kebiasaan kebiasaan keagamaannya? Banyak cendekiawan mengakui anti Yudaisme sebagai faktor yang penting. J. Jeremias, sebagai contoh, melihat “kecenderungan untuk memisahkan diri dari Yudaisme” sebagai alasan utama yang menyebabkan Roma dan gereja gereja lain mengganti tanggal Paskah dari tanggal Paskah Yahudi (quartodeciman) ke hari Minggu berikutnya. Juga J.B. Lightfoot yang berpendapat bahwa Roma dan Alexandria bahkan memelihara Paskah hari Minggu supaya tidak kelihatan seperti orang Yahudi.
Kenneth A. Strand menolak penjelasan ini dengan berpendapat bahwa “sentimen anti Yahudi sudah jelas untuk periode awal abad kedua yang menunjuk kepada hari Sabat mingguan dan hari Minggu, tetapi dalam hal Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu…sesungguhnya, dinyatakan dalam surat Irenaeus bahwa bishop bishop Roma, dari Sixtus sampai kepada Anicetus mempunyai hubungan yang dekat dengan Quartodeciman”

Argumen Strand ini gagal melihat fakta yang penting. Pertama, hubungan yang dekat diantara Quartodeciman dengan pemelihara Paskah hari Minggu tidak meniadakan keberadaan sentimen anti Yahudi. Justin Martyr, sebagai contoh, berbicara tentang orang Kristen pemelihara hari Sabat yang tidak memaksa orang lain untuk memelihara hari Sabat, dengan jelas menyatakan “Saya pikir kita harus bergabung dengan mereka (para pemelihara Sabat itu) dan bersama sama seperti orang yang bersaudara” Tetapi kita mencatat pada awalnya bahwa Justin melihat hari Sabat sebagai merek dagang dari imoralitas Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa “hubungan yang baik” dan “perasaan anti Yahudi” tidak selalu berdiri sendiri. Kedua, pernyataan Strand bahwa “perasaan anti Yahudi” ada dalam kontroversi Sabbath/Minggu tetapi tidak ada dalam kontroversi Paskah Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, tidaklah akurat. Ayat pertama dari lagu “Paschal Homily” yang ditulis oleh Melito dari Sardis sekitar tahun 170, mengartikan Passover dalam terang “pembunuhan besar” Kristus oleh orang Yahudi:
Kamu membunuh orang ini pada saat pesta besar Allah telah dibunuh Raja orang Israel telah dihancurkan, oleh tangan kanan Israel Pembunuhan yang sangat menakutkan, sangat tidak adil!

A.T. Kraabel dengan tepat menyatakan keterkejutannya dan mengatakan bahwa kalau saja para pengajar ini telah membaca dokumen Quartodeciman ini, maka mereka tidak akan mengaitkan hal ini dengan serangan yang panjang dan pahit terhadap Israel. Perasaan anti Yahudi yang sama terdapat dalam Pengajaran dua belas rasul yang populer (awal paruh pertama abad ke tiga) dimana orang Kristen diajak untuk berpuasa pada hari Jumat Paskah dan hari Sabat, untuk “ ketidakpatuhan saudara saudara kita (orang Yahudi)” karena saudara saudara ini telah membunuh diri mereka sendiri dengan menyalibkan Juruselamat kita.
Dokumen ini dan dokumen dokumen lain dengan jelas menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi ada dalam pemeliharaan Quartodeciman dan juga Paskah hari Minggu. Kenyataannya, tidak ada perbedaan teologis yang penting yang dapat dideteksi diantara dua tradisi ini. Dalam kedua tradisi ini, perayaannya terdiri dari pesta yang diikuti dengan perayaan menghormati pengorbanan Kristus. Letak kontroversinya bukan pada arti teologis dari Paskah tetapi pada panjangnya pesta dan tanggal penghormatan.

Dalam dua tradisi ini sentimen anti Yahudi ada dan kenyataan ini membantu menjelaskan adanya hubungan yang baik diantara praktek yang berbeda. Jelaslah bahwa orang Kristen yang memelihara Paskah pada hari Minggu yang terjadi setelah Paskah Yahudi dapat membedakan dirinya lebih jelas dengan orang Yahudi dari pada orang Kristen yang memelihara Quartodeciman pada tanggal yang sama dengan Yahudi. Faktor ini, yang sekarang dapat kita lihat, menyumbang banyak pada tersebar luasnya praktek Paskah hari Minggu. Perkembangan yang dapat diperkirakan yang terjadi pada paruh kedua abad yang kedua mengakhiri hubungan yang baik diantara dua tradisi ini.
Orang yang memelihara Quartodeciman dengan mempertahankan tanggal Yahudi dengan mudah akan menerima cara Yahudi dalam memelihara Paskah. Hal inilah yang terjadi pada tahun seratus enam puluhan, ketika beberapa pemelihara Quartodeciman, seperti dilaporkan oleh Apollinaris, bishop dari Hierapolis (sekitar thn 170) “tidak peduli menciptakan perlawanan…” mengklaim bahwa Tuhan memakan domba paskah bersama murid2Nya pada tanggal Nisan 14 dan Dia menderita pada hari raya roti tidak beragi (nisan 15)”. Para pemelihara Quartodeciman yang radikal ini menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan Paskah perjanjian lama pada saat yang sama dan dengan cara yang sama dengan orang Yahudi, makan domba paskah dalam pesta yang khidmat pada tanggal Nisan 14. Pemelihara Quartodeciman lainnya, malahan, menyatakan bahwa orang Kristen harus merayakan kematian Kristus bukannya pesta paskah Yahudi.

Pertentangan yang terjadi meluas diluar benua Asia dan bertambah lama. Pada awal abad ketiga, tulisan tulisan Clement di Alexandria dan Hippolytus di Roma menentang penganut Quartodeciman yang radikal ini yang didukung oleh komunitas mereka. Di Roma, masalahnya semakin menjadi-jadi ketika Blastus, seorang pemimpin gereja, pada tahun 180 menjadi pemimpin dari sebuah gereja yang mandiri. Tertullian melaporkan bahwa Blastus ingin menerapkan Yudaisme secara sembunyi, dengan mengatakan bahwa hari Paskah hanya boleh dirayakan pada tanggal 14 sesuai dengan hukum Musa.

Seorang bishop Roma bernama Victor ( 189-198) menyadari bahwa satu satunya cara menumpas kaum Yahudi Quartodeciman di Roma ini adalah dengan menyerang langsung semua tradisi Quartodeciman, yang berakar kuat diantara gereja gereja di Asia. Victor melaksanakan caranya dengan memerintahkan bishop bishop di Asia, juga di sejumlah propinsi propinsi lain untuk menyeragamkan pelaksanaan Paskah hari Minggu di daerah bishop masing masing, yang disebut sebagai sinode. Perintah Victor ini dipatuhi dan sejumlah sinode dilaksanakan yang hampir semuanya mendukung Paskah Romawi. Selain perintah Victor ini, paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya penerimaan yang luas terhadap Paskah Romawi pada saat ini.

Pertama, ada kelompok Quartodeciman radikal yang memaksa untuk memperingati Paskah, bukan hanya pada tanggal Yahudi tetapi juga sesuai dengan cara cara Yahudi, seperti memakan domba Paskah. Kelompok ini kelihatannya menyebabkan pertentangan yang besar di gereja gereja di Asia, Alexandria, dan di Roma sendiri. Perubahan perayaan Paskah dari tanggal Nisan 14 (yang merupakan tanggal Yahudi) ke hari Minggu berikutnya dipandang oleh banyak bishop sebagai cara efektif untuk menahan kecenderungan kebiasaan Yahudi dalam gereja gereja mereka.

Kedua, nilai teologis yang sedang trend pada saat itu mengenai kebangkitan Yesus, sangat mungkin didorong oleh praktek Paskah hari Minggu, karena praktek ini memungkinkan seseorang untuk merayakan kematian Yesus dan kebangkitanNya sekaligus pada hari dimana kedua peristiwa itu terjadi.

Ketiga, perpecahan yang meluas diantara gereja dan sinagog – yang terbukti dari banyaknya buku buku yang bertema melawan Yahudi yang dibuat pada saat itu – mendorong banyak orang Kristen untuk memisahkan diri mereka dari orang Yahudi dan festival festival tradisional Yahudi seperti hari Sabat dan Paskah.
Mengenai hari Sabat, kami telah kemukakan pada bagian terdahulu adanya taktik taktik yang dilaksanakan oleh gereja Roma untuk menjauhkan orang Kristen dari pemeliharaan hari Sabat dan menggantikannya dengan pemeliharaan hari Minggu. Mengenai Paskah, gereja Roma menerapkan perhitungan kalender independen yang didesain untuk meyakinkan bahwa hari bulan penuh selalu jatuh setelah equinox musim semi (sebuah peristiwa yang tidak dianggap oleh orang Yahudi) dan menjamin bahwa Paskah hari Minggu tidak akan pernah dirayakan pada saat yang sama dengan Paskah Yahudi.

Motif anti Yahudi dari perhitungan yang baru itu jelas kelihatan dalam disertasi Perhitungan Paskah, yang diarahkan kepada Cyprian dan dibuat pada tahun 243, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat pada tablet Easter Roma yang dibuat oleh Hippolytus (+/- 222). Pada bagian pendahuluannya, penulisnya menyatakan “Kami ingin menunjukkan kepada mereka yang mengasihi dan menginginkan studi mengenai kekekalan bahwa orang Kristen tidak perlu menjauh dari jalan kebenaran atau berjalan dalam kebutaan dan kebodohan yang orang Yahudi pikir mereka tahu pada hari apakah Paskah itu”.
Motif anti Yahudi yang sama dalam penolakan Paskah Quartodeciman jelas nampak hampir seabad kemudian dalam surat Nicene yang dibuat oleh Constantine, yang menghimbau orang Kristen untuk secara penuh mengadopsi praktek Paskah hari Minggu yang diterapkan oleh gereja Roma, supaya “tidak mempunyai kesamaan dengan kumpulan Yahudi yang dibenci… semua orang harus bersatu … menghindar dari berpartisipasi dalam kelakuan orang Yahudi”. Penjelasan yang singkat ini diharapkan dapat cukup menunjukkan bahwa sentimen anti Yahudi sesungguhnya ada dalam interpretasi teologis mengenai Quartodeciman dan Paskah hari Minggu, dan bahwa sentimen ini besar peranannya pada penerapan Paskah hari Minggu secara luas. Kedekatan Paskah hari Minggu dan pemeliharaan hari Minggu menyiratkan adanya motif anti Yahudi yang sama yang berperan pada kepopuleran pemeliharaan hari Minggu sebagai ganti pemeliharaan hari Sabat. Kami telah menemukan pendukung untuk kesimpulan ini dalam kesamaan motif dan cara yang dilakukan oleh gereja Roma untuk mendukung pemeliharaan hari Minggu dan Paskah hari Minggu, sebagai ganti dari apa yang dipandang sebagai hari Sabat dan Paskahnya “Yahudi”.

Dominasi Gereja Roma. Apakah gereja Roma, pada abad kedua, menikmati kekuasaan yang cukup untuk memperkenalkan dan mendukung pemeliharaan hari hari raya baru seperti hari Minggu dan Paskah hari Minggu, diantara gereja gereja Kristen? Dokumen dokumen yang tersedia dengan mantap menunjukkan adanya kekuasaan yang besar dan pengaruh yang besar dari gereja Roma pada saat itu. Beberapa contoh akan dikutip sebagai illustrasi. Ignatius, menulis dalam pendahuluan untuk Surat kepada orang Roma, memberi selamat kepada gereja Roma dengan kata kata penghormatan yang jauh lebih tinggi dari kata katanya pada surat ke gereja gereja lain. Gereja Roma, seperti ditulis oleh Ignatius, “bertahta pada tempat terhormat dalam daerah kekuasaan Roma; sebuah gereja milik Allah, yang memiliki kehormatan, memiliki penyucian, dan bertahta dalam kasih, memiliki kasih Yesus, dan membawa nama Bapa”. Ungkapan “bertahta dalam kasih” telah menjadi bahan diskusi para terpelajar. Istilah “kasih” - agape – berulang ulang digunakan oleh Ignatius sebagai personifikasi kumpulan orang Kristen dimana kasih seperti itu diwujudkan.
Untuk orang Trallians, contohnya, Ignatius menulis “Kasih orang Smirna dan Epesus mengirim kepadamu ucapan selamat” . Hal ini adalah tanda bahwa Ignatius melekatkan gereja Roma pada Tahta Kasih (bukan hukum), yaitu, perhatian yang utama untuk kesejahteraan gereja gereja lain. Sayang sekali bahwa yang pada mulanya adalah bertahta dalam kasih lambat laun menjadi dominasi hukum, yang berdasarkan pada tuntutan juridis. Bahwa Ignatius mengetahui kebertahtaan Roma pada kasih ditandai oleh himbauannya kepada gereja yang sama untuk gereja gereja yang tersebar di tempat lain: “Ingatlah dalam doa doamu gereja Syria, yang telah memiliki seorang Pendeta menggantikan saya. Yesus Kristus sendiri yang akan mengawasi gereja ini, bersama sama dengan kasih mu” (9:1).

(....BERSAMBUNG.....)
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.