• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dharma Wacana / Renungan

^^ Makna Saput Poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur.

Menurut tradisi ada tiga jenis Saput Pleng yaitu :

1. Saput Poleng Rwabhineda = Saput Poleng berwarna putih dan hitam. Warna terang dan gelap sebagai cermin baik dan buruk.

2. Saput Poleng Sudhamala = Saput Poleng berwarna putih, hitam dan abu. Abu sebagai peralihan hitam dan putih, yang berada diantara keduanya. Artinya menyelaraskan yang baik dan buruk.

3. Saput Poleng Tridatu = Saput Poleng Tridatu berwarna putih, hitam dan merah. Merah simbol rajas (keenergikan), hitam adalah tamas (kemalasan), dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).


Dan bukunya literaturnya "Saput Poleng" oleh Nyoman Manda.
 
Puputan Margarana

KATA puputan sudah jadi kosakata bahasa Indonesia. Kalau ada pertandingan sepak bola dan sebuah tim harus memenangkan pertandingan dan tidak boleh seri, mereka sering menyebutkan bertarung secara puputan. Masyarakat Indonesia sudah tahu arti kata puputan ini, yakni berjuang secara maksimal. Padahal, arti yang sesungguhnya adalah habis-habisan. Berjuang maksimal tidak sama dengan berjuang habis-habisan. Lebih-lebih jika perjuangan itu adalah perang. Perang puputan berarti perang habis-habisan, kalau pejuang belum habis mereka tak akan menyerah meskipun tahu bakal kalah.

Beberapa peperangan heroik di Bali tergolong perang puputan. Misalnya, Puputan Badung, Puputan Klungkung, dan perang modern yang bersemangat puputan adalah Perang Marga. Orang Bali menyebutnya Margarana, karena rana artinya perang.

Seberapa banyak anak muda Bali yang tahu kisah Puputan Margarana?
Tidak banyak, bahkan dalam pelajaran sejarah pun hal itu hanya disinggung selintas. Orang tahu bahwa I Gusti Ngurah Rai adalah pahlawan nasional. Bandara di Bali dinamai Ngurah Rai, stadion sepak bola di Denpasar dinamai Ngurah Rai. Namun, semangat apa yang diwariskan oleh Ngurah Rai kepada bangsa ini tak banyak remaja Bali yang tahu. Cobalah tanya para peserta napak tilas perjalanan Ngurah Rai yang dimulai dari Kabupaten Jembrana.
Para remaja yang mengarak panji-panji simbol perjuangan Ngurah Rai itu tak tahu harus menangkap semangat apa.
Semangat kepahlawanan?
Itu terlalu abstrak.
Pantang menyerah?
Itu sudah lazim di kalangan militer.
Membela tanah Bali?
Itu terlalu kecil buat sekaliber Pak Rai.

I Gusti Ngurah Rai meninggalkan warisan yang berharga, yakni bagaimana seorang prajurit profesional memimpin pasukan di lapangan. Tugasnya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan di Jakarta. Ia harus melawan setiap tindakan yang ingin menggagalkan kemerdekaan itu. Ia menolak melakukan diplomasi, karena tugasnya hanya berperang melawan siapa pun yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Ucapannya tegas, urusan diplomasi adalah urusan pemimpin di Jakarta, sedangkan urusan di medan perang adalah bagaimana penjajah hengkang dari bumi Indonesia. Ketika perundingan yang akan dirancang Belanda itu buntu, perang pun terus berkobar dan Ngurah Rai memerintahkan perang puputan, perang habis-habisan. Semangat heroik ini saling mengisi dengan pejuang-pejuang di daerah lain. Yang dibela Ngurah Rai tak sekadar Bali, tetapi Indonesia yang baru setahun merdeka.

Kepahlawanan Ngurah Rai dalam memutuskan Puputan Margarana diakui secara nasional dan itu sebabnya hampir di setiap kota besar ada jalan bernama Ngurah Rai. Namun, di Bali sendiri, Taman Makam Pahlawan Pancaka Tirta di Desa Marga, tempat para pejuang itu dulu gugur sebagai kusuma bangsa tak banyak dikunjungi orang.

Inilah kegamangan orang Bali dalam menyikapi adanya taman makam pahlawan.

Orang Bali tak tahu apa yang harus dilakukan di tempat itu.
Sekadar mengheningkan cipta atau ikut menaburkan bunga di setiap makam?
Tak heran kalau dulu Taman Makam Pahlawan di Tabanan lebih populer disebut Taman Bahagia.

Kegamangan membuat orang Bali enggan ke Taman Makam Pahlawan, karena serba salah. Di Taman Makam Pahlawan tidak ada makam para pahlawan Bali, lebih-lebih yang beragama Hindu. Kalau di situ ada makam, status tempat itu tentulah tergolong setra (kuburan) dan berlaku ketentuan cuntaka (sebel).

Lagi pula, kalaupun nisan-nisan itu digolongkan makam, bagaimana mungkin orang Bali terus-menerus memuja leluhurnya di kuburan?

Karena leluhur yang sudah diaben, berarti sudah menyatu dengan Hyang Widhi, amor ring acintya, dikenal dengan berbagai sebutan misalnya Hyang Pitara, Dewata-Dewati dan sebagainya.

Sejak upacara Pitra Yadnya tak ada lagi pemujaan di kuburan.
Hyang Pitara distanakan di kemulan, kawitan, rong tiga, tergantung dresta setempat.

Status Makam Pahlawan di Bali harus diperjelas agar umat tidak menjadi gamang.

Tempat itu bukan kuburan, dan nisan-nisan yang bertuliskan nama pahlawan itu bukan makam tempat menanam jenazah, tetapi hanya sebuah simbol.

Namanya saja monumen, jadi nisan itu pun sebuah monumen sebagai simbol bahwa di sana, pada masa lalu, ada pahlawan yang gugur.

Tidak masalah kalau ada orang berdoa di sana, karena konsep Hindu kita bisa berdoa di mana saja, termasuk berdoa dengan menggunakan simbol.

Cuma rasanya kurang etis kalau kita ke makam pahlawan membawa banten persembahan seperti sodan atau punjung. Ini bisa menimbulkan banyak tafsiran, seolah-olah sodan itu diperuntukkan bagi sang pahlawan yang sudah amor ring acintya.

Kalau sesajen itu ditafsirkan sebagai persembahan kepada Hyang Widhi berkenaan dengan hari peringatan gugurnya sang pahlawan, masih bolehlah diterima.

Tetapi, sebaiknya tidak usah membawa sodan ke makam pahlawan, canang sari sudah cukup dan itu pun sarana persembahyangan kita ke hadapan Hyang Widhi dan bukan untuk pemujaan leluhur.

Mari kita merayakan Puputan Margarana dengan mewarisi kepahlawan Ngurah Rai, namun menempatkan beliau sebagai Hyang Pitara.

* Putu Setia
 
Namaste,
'Lam kenal rekan goesdun...

Kumpulan artikel Dharma Wacana ini sangat membantu para Dharma Dutta, sebagai inspirasi materi Dharma Wacana. Saran, mungkin perlu dibuatkan web khusus untuk 'menampung' semua artikel yang berisi dharma wacana tentang ajaran Hindu...

AHIMSA
menolak semua kekerasan riil dan virtual
 
Namaste,
'Lam kenal rekan goesdun...

Kumpulan artikel Dharma Wacana ini sangat membantu para Dharma Dutta, sebagai inspirasi materi Dharma Wacana. Saran, mungkin perlu dibuatkan web khusus untuk 'menampung' semua artikel yang berisi dharma wacana tentang ajaran Hindu...

AHIMSA
menolak semua kekerasan riil dan virtual

Namaste, Salam kenal juga rekan AHIMSA..
Sepertinya beberapa web Hindu sudah menyediakan bagian khusus/kategori yang 'menampung' artikel Dharma Wacanan, seperti halnya thread ini.
Semoga mulai dari usaha yang sederhana ini nantinya dapat dilakukan seperti yang diharapkna. Suksma.
 
Nyepi, Moratorium Kerakusan

Pada 16 Maret 2010 ini, umat Hindu kembali merayakan Nyepi, pergantian tahun Saka 1931 ke 1932. Perayaan ini diawali dengan Melasti, penyucian diri ke pantai dan Tawur Agung Kasanga pada bulan mati (Tilem), 15 Maret 2010. Pada hari Nyepi, umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian (empat pengendalian diri pada hari Nyepi), yaitu amati gni (tidak menyalakan api), amati lalungaan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak mengadakan hiburan), dan amati karya (tidak bekerja).

Pelaksanaan Catur Brata Penyepian ini membuat suasana Pulau Dewata sepi, seperti kota mati. Suasana sepi ini berlangsung pada titik Matahari dan Bulan lurus dengan Bumi. Matahari, ketika Nyepi berlangsung, tepat berada di garis khatulistiwa (tengah Bumi). Posisi Matahari ketika itu sedang berjalan ke utara. Orang Bali menyebutnya ngutarayana. Hal ini melambangkan bahwa sinar sang pencerah sedang berada di Bumi. Bulan jatuhnya Nyepi disebut dengan Vaisakha, yang berarti lengan kasih.

Jadi, pada saat itu, Tuhan memang sedang menjulurkan kasihnya ke Bumi dengan sinar Matahari yang merata ke seluruh belahan Bumi. Purnama pada Vaisakha ini (14 hari setelah Nyepi) merupakan purnama yang paling terang sehingga umat di Bali melaksanakan upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih. Umat percaya bahwa pada purnama yang paling terang tersebut para dewa turun ke dunia untuk memberikan anugerahnya. Terlebih pada saat itu, alam Bali sedang menyediakan bunga-bunga yang semringah. Hujan sudah mulai berhenti turun sehingga tanaman sedang menyimpan harapan untuk panen.

Pada saat pencerahan merata di seluruh Bumi seperti inilah, Raja Kaniskha dari Suku Saka memerintahkan mulainya perhitungan tahun pada 78 Masehi. Tahun ini bernama tahun Saka, sesuai dengan nama sukunya. Saat itu (78 Masehi), Raja Kaniskha telah berhasil mempersatukan seluruh masyarakatnya untuk membangun perdamaian dunia. Sebagai tanda keberhasilannya, Sang Raja juga mengirimkan banyak utusan ke seluruh dunia untuk mewartakan perdamaian. Salah satu utusannya datang ke Indonesia, membangun peradaban aksara di Pulau Jawa dan Bali sebagai pembuka masa pencerahan di Indonesia.

Masa-masa pencerahan ini memang diawali dengan masa-masa usaha penaklukan. Kerajaan Mataram Kuno tidak terlepas dari usaha-usaha penaklukan pada sekitar abad ke-7 Masehi. Mpu Sendok di Jawa Timur dengan Kerajaan Medang Kemulannya juga mengemban misi penaklukan terhadap Bali dan daerah sekitarnya. Kerajaan ini dilanjutkan Kerajaan Kahuripan (Airlangga) yang juga sarat dengan misi penaklukan. Kerajaan Kediri yang lahir dari kerajaan ini menyisakan cerita perang saudara. Demikian juga, raja-raja sesudahnya senantiasa mengemban misi penaklukan untuk mencapai perdamaian.

Apakah perdamaian hanya didapatkan dengan penaklukan? Tidakkah ada jalan lain? Setelah mengamati penaklukan yang tiada henti tersebut, orang-orang Saka memutar Dharmacakra (roda darma) untuk perdamaian masyarakatnya. Roda darma ini berlawanan dengan Cakrawerti (roda kekuasaan). Kalau Cakrawerti menaklukan dunia dengan kekerasan, tetapi Dharmacakra menaklukan dunia dengan kasih sayang. Salah satu usahanya adalah pelatihan untuk menaklukan nafsu yang berada di dalam diri. Sejarah mencatat penaklukan dengan perang terhadap sesama hanya akan memunculkan dendam dan kekerasan yang tidak berkesudahan. Oleh karena itu, penaklukan terhadap dunia di luar diri mestilah dihentikan.

Manusia mesti mulai bisa menaklukan dirinya sendiri. Sepanjang manusia tidak dapat menaklukan nafsunya yang tidak terkendali, tidak akan pernah ada perdamaian di dunia. Mahatma Gandhi berkata bahwa dunia cukup untuk semua makhluk, tetapi tidak cukup untuk satu manusia yang rakus. Perenungan Nyepi pada tahun 2010 (1932 Saka) ini berlangsung di tengah keadaan yang seperti itu. Pada saat ini, perilaku manusia hampir tidak terkendali. Keinginan untuk menambah kekayaan telah mengubah muka Bumi. Kerja keras manusia bertahun-tahun telah membuat muka bumi menjadi semakin angker. Ancaman bencana terjadi di mana-mana. Gempa, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana lainnya telah menjadi berita keseharian. Setiap hari Bumi telah menjadi semakin panas karena ulah manusia.

Suatu mitologi Hindu dalam cerita Barongswari yang sering dipentaskan di Bali menggambarkan keadaan ini. Cerita ini berawal dari keadaan Dewi Uma, Sakti (kekuatan) Shiwa di surga yang diminta oleh Shiwa untuk mencari susu ke dunia. Beliau kemudian turun ke dunia. Di dunia, beliau sangat aktif bekerja untuk menemukan susu bagi kehidupan. Karena Sang Dewi sangat aktif, wajahnya perlahan berubah angker. Dunia pun menjadi ketakutan sehingga Shiwa pun turun ke dunia untuk mengajaknya merenung, bersemadi, memikirkan kembali segala aktivitasnya.

Cerita Kuntiseraya, atau yang lebih dikenal dengan Sudamala, juga mengisahkan bahwa Bhatara Shiwa memasuki raga Sahadewa untuk menyadarkan Dewi Durga bahwa proses kerja yang telah dilaluinya telah menyebabkan keangkeran wajahnya. Oleh karena itu, Shiwa perlu datang untuk melakukan sudamala (pembersihan) sehingga dunia kembali menunjukkan wajahnya yang cantik.

Penyucian Bumi

Kedua mitologi ini mengajarkan umat untuk senantiasa melakukan penyucian terhadap Bumi di tengah seluruh proses kerja yang berlangsung. Manusia tidak bisa terlepas dari hukum kerja. Semua manusia, bahkan makhluk, harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses kerja ini hendaknya berlangsung untuk mengangkat derajat kemanusiaan, bukan sebaliknya. Namun, yang terjadi sering kali sebaliknya. Dalam proses kerja, derajat manusia sering kali menurun. Manusia kerap menjadi rakus terhadap hasil kerja sehingga eksploitasi terjadi demikian besar terhadap Bumi. Hal ini jelas-jelas akan merusak Bumi, tempat hidup manusia. Dengan demikian, proses kerja yang seperti itu tidak akan membangun manusia, tetapi akan menghancurkan manusia.

Tanpa disadari, proses kerja seperti inilah yang terjadi di Bali. Dalam proses kerja yang disebut ”pembangunan”, betapa wajah Bali telah berubah begitu menakutkan. Hutan bakau di Pulau Dewata mulai menipis karena digunakan untuk berbagai fasilitas industri. Hutan lindung juga terus tergerus, sampai tinggal 15-20 persen dari luas Pulau Bali.

Padahal, Bali mestinya memiliki 30 persen kawasan lindung. Kawasan suci juga mulai terjamah dengan berbagai aktivitas industri, seperti vila dan hotel. Pada sisi yang berbeda, mulai tumbuh jalan-jalan by pass yang lebar untuk urat nadi perekonomian. Orang Bali semakin merintih karena keterbatasan lahan sehingga pertanian mulai ditinggalkan, padahal sektor lain belum menyediakan lapangan pekerjaan memadai.

Udara Bali juga mulai menyerap polusi. Sisa-sisa pembakaran membekas di udara sehingga keadaan semakin panas. Udara yang panas menyulut situasi sosial yang semakin panas. Konflik-konflik lahan, ruang ekonomi dan adat, seakan menjadi berita keseharian di Bali. Keadaan Bali yang tenang, seperti yang digambarkan Rabindranath Tagore, hampir tidak tampak lagi. Bali telah penuh hiruk-pikuk peradaban modern. The Morning Island benar-benar telah berubah menjadi pasar pagi yang gegap gempita.

Di tengah kondisi seperti itu, inspirasi perenungan dari mitologi Barongswari dan Kuntisraya pantas mendapatkan perhatian. Di dalam kekerasan aktivitas dunia orang Bali sekarang ini, manusia Bali perlu memikirkan usaha perenungan, bahkan sudamala, untuk menjaga keberlangsungan dunia. Bumi yang telah menjadi begitu angker karena ulah manusia mesti dibersihkan agar menunjukkan keindahannya kembali. Bali, Pulau Pewata, Pulau Surga, harus didapatkan kembali dengan perencanaan pembangunan yang bijak. Pertumbuhan ekonomi mestilah dibatasi dalam posisi tertentu untuk memungkinkan adanya usaha pelestarian alam.

Momen Nyepi seperti saat ini sangat tepat digunakan untuk usaha perenungan seperti itu. Bahkan, dalam keheningan Nyepi, umat hendaknya mulai melakukan langkah-langkah moratorium, untuk menghentikan segala bentuk kerakusan. Manusia, pada titik ini, hendaknya mulai memikirkan usaha-usaha penyelamatan. Meminjam mitologi Sudamala, umat Hindu hendaknya mesti mulai memberikan raganya bagi Shiwa sehingga usaha pembersihan dunia atau sudamala dapat terjadi. Dengan usaha seperti ini, Ibu Bumi (Durga) diharapkan kembali ke wajah aslinya yang cantik. Hal itu adalah misi ketuhanan yang mesti dilaksanakan umat manusia. Oleh karena itu, manusia hendaknya menyediakan raganya untuk misi ketuhanan ini.

I Gede Sutarya Pemerhati Masalah Sosial-Budaya, Pengajar pada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
 
Kata-Kata Emas Bhagawadgita

1.Tiada waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga engkau, juga mereka-mereka ini, dan juga semuanya, dan kita semua akan selalu terus hadir.

Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai dengan masa pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa terkontaminasi sedikitpun. Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang "nyata" dengan yang "tidak nyata."

2. Sang Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati masa kanak-kanaknya, masa remaja dan masa tuanya. Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh ilusi ini.

Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa dan Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus seakan-akan tidak ada akhirnya.

3. Setiap hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna, menimbulkan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini datang dan pergi, dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta).

Atman sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga yang ditumpangi Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan, dan sebagainya. Semua ini harus kita maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya. *BP
 
Anugerah Kuningan Saat ''Satvika Kala''

Oleh I Ketut Wiana

Datavyam iti yad danam
diyate'nupakarine
desa ala ca patre ca
tad danam sattvikam smrtam
. (Bhagadgita XVII.20)

Maksudnya: Dana punya yang diberikan dengan tulus ikhlas yang diyakini sebagai swadharma atau kewajiban suci dan dilakukan sesuai dengan desa, kala dan patra. Dana punya itu disebut Sattvika Dana.

MENDAPATKAN anugerah dari Tuhan salah satu dari tujuan melakukan sraddha dan bhakti pada Tuhan. Meskipun bhakti yang demikian masih tergolong apara bhakti. Bhakti dan Tuhan yang lebih tinggi adalah para bhakti yaitu bhakti pada Tuhan hanya untuk bhakti tanpa pamrih apa-apa. Bagi umat pada umumnya sraddha bhakti itu masih dalam tahapan apara bhakti dengan adanya suatu permohonan mulia kepada Tuhan.

Perayaan Galungan adalah melambangkan perjuangan umat untuk menegakan kehidupan di bumi ini berdasarkan dharma dan jnyana. Anugerah dari hasil perjuangan itu dilambangkan akan diturunkan oleh Tuhan saat Kuningan. Anugerah itu diterima berdasarkan konsep desa, kala dan patra sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawadgita XVII.20.

Artinya suatu pemberian Tuhan yang disebut anugerah atau karunia atas perjuangan umat menegakan dharma dengan jnyana disimbolkan saat hari raya Kuningan. Menurut ketentuan Bhagawadgita tersebut anugerah itu diberikan dengan dasar desa, kala dan patra. Desa artinya ketentuan rohani setempat. Kala artinya waktu yang baik yaitu saat satvika kala seperti saat sebelum mata hari tegak di atas kepala. Diberikan pada mereka yang patra.

Kata patra dalam desa, kala, patra ini bukan berarti keadaan. Pengertian patra dalam Sarasmuscaya 271 dinyatakan: Patra ngaranya sang yogia wehana dana. Artinya: patra namanya adalah orang yang sepatutnya diberikan dana. Orang yang tepat menerima dana punya itulah yang disebut patra. Sedangkan dasar pertimbangan untuk menyukseskan tujuan menerapkan dharma atau agama dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10 sebanyak lima dasar pertimbangan yaitu iksha, sakti, desa, kala dan tattwa.

Nampaknya ajaran desa, kala, patra hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa dalam Lontar Sunarigama dinyatakan agar menyelenggarakan persembahan hari raya Kuningan saat pagi sebelum tajeg surya. Pagi sebelum tajeg surya itu tergolong satvika kala atau hari baik untuk menerima anugerah.

Upakara atau banten yang dipersembahkan saat Kuningan sebelum tajeg surya yang utama adalah banten tebog atau selanggi. Banten tebog ini bentuknya seperti topi terbalik yang di dasarnya muncul bertahap. Banten selanggi fungsinya sama dengan tebog cuma bentuknya lebih kecil. Bentuk banten tebog yang muncul pada bagian dasarnya itu melambangkan tahap-tahap perjuangan. Menuju keadaan hidup yang semakin baik.

Dalam diri manusia terdapat unsur kekuatan yang disebut aiswarya, artinya suatu kekuatan spiritual dalam citta atau alam pikiran yang mendorong manusia secara instinktif untuk terus-menerus memperbaiki diri menuju keadaan hidup yang makin dekat dengan Tuhan. Barang siapa yang terus-menerus berjuang untuk meningkatkan diri secara rohani menata hidup jasmani atau duniawi adalah yang akan mendapat karunia atau kasih sayang Tuhan.

Karunia Tuhan pada saat hari raya Kuningan disimbolkan dalam sampian Kuningan yaitu: sampian tamiang, ter, kolem dan endongan. Sampian Kuningan inilah sebagai banten utama selain tebog dan selanggi saat hari raya Kuningan. Upakara ini nampaknya sangat lokal Bali. Tetapi di balik simbol lokal tersebut terdapat nilai filosofis yang universal dan mengandung pengertian yang dalam.

Manawa Dharmasastra I.89 ada dinyatakan tentang kebutuhan pokok masyarakat sbb: Prajanam raksanam danam. Artinya yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah adanya rasa aman (raksanam) dan sejahtera (danam). Anugerah tersebutlah yang disimbolkan dalam sampian Kuningan. Tamiang yang berbentuk bundar seperti perisai dalam tentara kerajaan tradisional. Ini lambang perlindungan diri dengan perisai dalam bentuk bulat sampian tamiang ini adalah simbol sakral untuk membangun daya tahan mental dalam menghadapi berbagai hambatan, tantangan dan godaan hidup yang dapat membuat kita merasakan rasa aman dalam menapaki hidup ini.

Bentuk bulat itu sesungguhnya lambang Bhuwana Agung stana Sang Hyang Dewata Nawa Sanga. Anugerah perlindungan Tuhan yang ada dimana-mana inilah sesungguhnya pelindung kita yang sejati. Mendapatkan rasa aman juga harus aktif menghilangkan sesuatu yang tidak benar yang menghambat hidup kita di bumi yang indah ini. Aktif menghilangkan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan dilambangkan dengan ter sebagai alat melepaskan panah.

Demikian juga halnya dengan sampian kolem yang berbentuk seperti kantong tempat anak panah sebagai lambang logistik yang dibutuhkan dalam suatu pertempuran. Ini melambangkan dalam perjuangan itu kita butuh bekal lahiriah dan batiniah dalam menghadapi hidup ini. Di samping itu ada juga sampian endongan sebagai lambang kesejahteraan sebagai karunia Tuhan pada mereka yang benar-benar berjuang dalam hidupnya mensinergikan ilmu pengetahuan substansi dari pada perayaan Galungan.

Demikianlah simbol sampian Kuningan sebagai hari penutup perayaan Galungan dalam wujud anugerah bagi mereka yang sukses mencapai hidup yang galang apadang, sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Sunarigama. Seyogianya perayaan Galungan dan Kuningan ini dijadikan suatu momentum membangkitkan kesadaran diri umat untuk mengevaluasi upaya kita mewujudkan rasa aman damai dan sejahtera agar dalam hari-hari selanjutnya ada peningkatan yang nyata dirasakan oleh umat.

Sudahkah rasa aman dan sejahtera itu kita rasakan secara adil. Kalau belum apa usaha-usaha kita selanjutnya agar rasa aman damai dan sejahtra itu benar-benar dirasakan oleh kita semua secara adil dan berkelanjutan. Hal inilah yang perlu dievaluasi setiap perayaan Galungan dan Kuningan, agar jangan perayaan itu mentok di tingkat ritual semata.
 
Cari Ilmu dengan Tiga Cara

Oleh : I Ketut Wiana


Tad viddhipranipatena
Pariprasnenasevaya. Upadeksyanti tejnyanam jnyaninastattvadarsiah.(Bhagavad Gita,IV.34)

Maksudnya:Carilah ilmu kebijaksanaan itu dengan sujud bhakti, dengan bertanya-tanya dan dengan pelayanan. Orang bijaksana dapat melihat kebenaran, hal itu akan menyebabkan ilmu pengetahuan memberimu petunjuk. Jumlah ilmuwan di dunia kian bertambah banyak. Ada ilmuwan bidang eksakta, ada ilmuwan sosial, ada ilmuwan humaniora dan ada juga ilmuwan bidang agama dan spiritual.

Namun keadaan hidup manusia di berbagai belahan dunia ini masih saja dirundung berbagai masyalah yang pelik sulit diselesaikan. Seyogianya para ilmuwan itu dapat bersinergi memberikan pemikiran yang cerdas dan bijak dan aktual dalam menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Ilmuwan seyogyanya dapat memberikan solusi dengan memakai daya nalar, dengan hati nurani dan dengan kepekaan emosi yang terkendali. Ilmuwan seperti itu belum banyak yang muncul. Hampir tidak ada masalah di dunia ini kalau tidak dipecahkan tanpa ilmuwan dengan cara bersinergi. Agar ilmuwan itu dapat berbuat bijaksana carilah ilmu dengan tiga cara sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sloka Bhagavad Gita di atas yaitu:

1. Pranipatena:Mencari ilmu dengan sujudbhakti pada Tuhan dan dengan rendah hati. Untuk mendapatkan kebijaksanaan mengelola hidup di bumi ini carilah ilmu pengetahuan dengan rasa bhakti.Ilmu pengetahuan yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan disebut viddhi dalam Bhagawad Gita yang dikutif di atas. Viddhi juga berarti yang mentakdirkan. Menurut Nitisastra ada tujuh penyebab mabuk (gelap hati) yang disebut Sapta Timira.

Salah satu dari tujuh penyebab mabuk itu adalah ilmu pengetahuan. Tetapi Nitisastra menyatakan barang siapa yang tidak mabuk oleh tujuh hal itu termasuk bagi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan dialah diberi gelar Sang Mahardika. Ini artinya mencari ilmu itu amat utama, yang penting jangan mabuk seperti sombong dengan bersikap eksklusif.

Mencari ilmu dengan konsep prani patena bermaksud untuk mengikis sifat-sifat egois sebagai tujuan ilmu pengetahuan.Karena itu Swami Satya Narayana menyatakan bahwa tujuan mendalami Weda ada lima yaitu: vidya artinya mencari ilmu pengetahuan rokhani dan duniawi (para dan apara vidya), mencari viveka yaitu kemampuan untuk berpikir analitis. Karma siksana artinya memperbaiki tingkah laku, satsila artinya membangun kharakter yang mulia. Desa abhimana untuk memotivasi diri mengabdi pada tanah kelahiran.

Sebelum menjadi orang ahli dalam satu bidang ilmu terlebih dahulu bangunlah tiga kecintaan yang dalam yaitu dewa abhimana artinya kuatkan rasa bhakti pada Tuhan. Dharma abhimana yaitu kecintaan dan keteguhan berpegang pada kebenaran Veda atau dharma. Selanjutnya desa abhimana selalu bersemangat untuk mengabdi pada tanah kelahiran atas dasar kecintaan pada ibu pertiwi. Dalam tradisi Hindu di Bali ada tradisi Mawinten Saraswati saat akan memasuki jenjang pendidikan. Tujuan pemujaan Dewi Saraswati itu untuk memohon hyang-hyangning pangeweruh. Artinya mohon untuk mendapatkan ilmu pengetahuan suci.

2. Pariprasnena: Carilah ilmu dengan bertanya-tanya. Dengan bertanya pada guru dalam menyerap ilmu, perhatian untuk menyerap ilmu itu lebih fokus. Kalau peserta didik belum mampu merumuskan berbagai pertanyaan, guru harus berusaha membingbing agar peserta didik memiliki kemampuan untuk merumuskan pertanyaan.

Ilmu yang diserap lewat bertanya jauh akan lebih berkesan dan lebih mendalam kalau dibandingkan dengan hanya mendengarkan ceramah. Namun demikian metoda ceramah tetap dibutuhkan untuk melatih peserta didik untuk bertanya. Bahkan ada baiknya peserta didik setelah ditugaskan membaca dan mendengarkan ceramah untuk menyusun pertanyaan dari apa yang dibaca dan di dengar. Demikian juga peserta didik diajak untuk mengamati sesuatu objek ilmu. Selanjutnya peserta didik ditugaskan membuat berbagai pertanyaan dari hasil pengamatannya itu. Mencari ilmu dengan bertanya-tanya itu lebih dapat mendorong peserta didik lebih kritis dan lebih berpeluang mengembangkan daya analisanya.

3. Sevanam:Carilah ilmu dengan melakukan pengabdian atas dasar bhakti. Kata seva dalam bahasa Sansekerta artinya melayani diBali disebut ngayah. Dalam Subha Sitha Weda dinyatakan: Para upakara puniaya para pidana papaya. Maksudnya: siapa yang senantiasa dalam hidupnya melayan (upakara) orang lain akan dapat punia, siapa yang menyakiti orang akan hidupnya menderita (papa). Melayani sesama dengan tulus ikhlas sesungguhnya juga sebagai wujud bhakti pada Tuhan yang disebut juga sevanam dalam pustaka Bhagavata Purana.

Dalam melakukan pelayanan berbagai masalah yang praktis kita akan jumpai. Saat itu kita bisa merasakan, melihat dan juga kembali memikirkan apakah suatu ilmu yang kita dapatkan dalam teori mampu atau tidak kita jadikan pegangan. Dalam pelayanan ilmu yang telah kita miliki akan terus berkembang. Kalau kita melakukan pelayanan dengan cerdas banyak ilmu lagi kita akan peroleh. Di samping ilmu yang tela kita miliki akan semakin teruji dalam praktek. Dalam Wrehaspati Tattwa 33, belajar terus sepanjang hidup disebut vidyayana.

Menerapkan ilmu dalam praktek kehidupa itu sebagai bentuk pengabdian disebut adalah tarka janyana. Puncaknya adalah dana artinya dapat memberikan manfaat. Dhana berbeda dengan dana. Dhana artinya harta benda/kekayaan. Sedangkan dana artinya memberikan. DalamWrehaspati Tattwa 25 dinyatakan dana ngaran paweweh. Artinya dana artinya pemerian. Ini berarti widyayana, tarka jnyana harus dapat memberikan kontribusi pada kehidupan indiidual dan sosial. Belajar terus mencari ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut dalam praktek harus sampai memberikan kontribusi atau dana. Canakya Niti IV. 15menyatakan ilmu yang tidak diterapkan dalam praktek kehidupan akan menjadi racun (anabhyasevisamsastram).Ilmu itu bisa membuat orang mabuk kalau tidak bijak memilikinya. *BP
 
Karma Phala Tetap Melek

BERBAGAI peristiwa meresahkan yang terjadi belakangan di Bali, oleh sementara orang ditengarai sebagai upaya sistematis dan terencana untuk menggerogoti khazanah budaya, adat dan agama di pulau ini. Dari peredaran narkoba, hijrah pelacuran luar daerah dan asing, kriminalitas, premanisme, kekerasan hingga pelecehan terhadap simbol-simbol agama Hindu terus berlanjut. Gerakan "Ajeg Bali" yang pernah bergaung santer beberapa tahun lalu, yang bertujuan melestarikan warisan leluhur, rupanya kehilangan semangat dan tenaga menghadapi serbuan yang tak putus-putus ini.

''Eskapisme ke Bali dari Jawa yang dilakukan ribuan orang pascaruntuhnya Kerajaan Majapahit di abad ke-15, di samping membawa semangat pelestarian Hindu, juga talenta budaya serta seni terkait agama yang diyakininya. Setiba di Bali, selain berasimilasi secara fisik, mental dan spiritual dengan masyarakat lokal, akulturasi budaya juga dilakukan secara intensif. Merekalah leluhur orang Bali yang mewarisi artefak-artefak fisik dan nonfisik, yang membuat masyarakat pulau ini paling unik di antara penghuni ribuan pulau yang tersebar di Nusantara. Ribuan tempat suci yang dilengkapi prasasti dan benda-benda sakral mereka bangun dan ciptakan, agar para keturunan dan pewaris mereka kelak memiliki dokumen ikhwal asal-usul agama dan kebudayaannya, juga untuk mempertebal keyakinan atas segala hal yang mereka warisi,'' papar Rubag

''Wah, mungkin itu sebabnya orang Bali pernah menyebut agama mereka Hindu Bali sebelum diubah jadi Hindu Dharma seperti sekarang. Kalau boleh kutafsir, mungkin maksudnya meresistensi hegemoni budaya asing yang dibawa agama ke Bali. Artinya, meski diakui agama Hindu berasal dan lahir di India, namun kebudayaan dan pandangan hidup bangsa India tidak seharusnya ikut diimpor buat menghegemoni dan mendominasi Bali dan masyarakatnya. Kalau intepretasiku benar, alangkah hebatnya para leluhur kita. Para pendahulu kita tahu, bahwa mereka punya local genious serta warisan nenek moyang, yang tidak harus dilecehkan apalagi dijatuhkan martabatnya terhadap pengaruh asing, kendati produk asing itu dipuji banyak orang kehebatan dan keindahannya. Ternyata, apa yang dimiliki Bali dikagumi masyarakat internasional sehingga pulau dan masyarakatnya dijuluki berbagai sebutan. Salah satunya, The Last Paradise atau Surga Terakhir, bahkan karena banyak memuja dewa-dewi juga disebut The Island of Gods and Godesses! Namun aku tidak terpukau dan silau dengan segala pujian itu, meski aku bangga para wisatawan bisa membedakan Hindu di Bali dan India,'' argumen Kudil.

''Benar, biarkan Bali tetap di Bali! Biarkan lumbung tetap untuk menyimpan padi! Biarkan banjar dan subak tetap mengikat kekerabatan orang Bali! Meski kisah Mahabharata dan Ramayana datang dari India, ketika memasuki dunia wayang biarkan Malen, Merdah, Sangut dan Delem yang asli Bali tetap mengarahkan cerita agar bercita rasa Bali! Bali adalah Bali, jangan mencarinya di tempat lain,'' celetuk Antaguna seperti bersajak.

''Lucu, tahun 1986 aku sempat berbincang dengan seorang pramuniaga di kawasan perbelanjaan Tanuki Koji, Sapporo, Jepang. Dia mengira Bali terletak di India. Alasannya, dari televisi pria muda itu sering nonton promosi tentang Bali, yang menginformasikan bahwa mayoritas penduduk pulau ini beragama Hindu. Khususnya tari-tarian, gerakan mata penari Bali katanya mirip penari India, yang disaksikannya di film-film Bollywood. Malah dia mengaku sama sekali tidak pernah mendengar nama "Indonesia". Sampai aku menginformasikannya, dia tetap mengira Bali ada di India dan ngebet ingin berkunjung setelah tabungannya cukup. Sebab, kawan-kawannya yang telah berkunjung ke Bali berpesan, sebelum mati dia harus sempat melihat Bali. Alasannya, Bali adalah saigo no rakuen yang maknanya sama dengan Last Paradise,'' sela Sutama.

''Mudah-mudahan Surga Terakhir itu tidak segera berubah jadi Neraka Masa Depan! Sebab, Bali selama ini dianggap sebagai museum hidup, di mana penduduknya diharapkan berperilaku seperti artefak kuno. Sedangkan yang datang membanjiri Bali, ada yang berusaha mengubah perilaku masyarakat lokal bahkan tidak sedikit yang memengaruhi agar mereka ikut merongrong semua warisan leluhur, termasuk tradisi, adat dan agama. Coba amati kondisi fisik pulau ini dan simak perilaku masyarakat yang mewarisi kebudayaan yang kau kesankan adiluhung berdasar local genious itu! Hampir semua tanah berlokasi strategis, dari pantai, perkotaan, bukit hingga sepadan sungai sudah pindah tangan ke orang-orang yang leluhurnya bukan orang Bali. Sebentar lagi dua lapangan terbang di Buleleng dan Karangasem akan dibangun, berarti ribuan hektar tanah Bali akan dikuasai pihak yang Batara Kawitannya tidak di Bali. Sebab kudengar, yang mengelola proyek itu investor asing. Belum lagi sektor-sektor lain yang akan mengikuti pencaplokan tanah dengan alasan melengkapi fasilitas agar cocok disebut bandara internasional. Di telingaku tembang Yopie Lathul semakin keras terdengar, eee..oooaaaeeoo kembalikan Baliku padaku,'' lantun Putra Antara.

''Cerita Sutama dari Sapporo kini sudah berusia 24 tahun! Jangan-jangan pramuniaga yang dituturkannya itu sudah sempat ke Bali dan mengalami hal-hal yang mengubah kesan saigo rakuen-nya menjadi jigoku no shima alias Pulau Neraka. Rentang waktu 24 tahun mengandung seabrek kisah sedih buat Bali. Perang Dingin yang mencekam dunia sudah berganti McWorld versus Jihad, yang bomnya mengguncang Bali dua kali, menimbulkan korban harta-benda dan ratusan nyawa. Keran demokrasi yang dibuka selebar-lebarnya dan cenderung liberal membuat orang-orang yang datang ke Bali merasa boleh berbuat apa saja atas nama kebebasan. Bukan hanya pemodal, bahkan kelompok kriminal juga berduyun-duyun datang ke Bali. Makanya, penjambretan, penodongan dan perampokan nyaris mewarnai berita koran setiap hari, termasuk menggerayangi vila-vila yang dihuni orang asing. Meski Kapolda Bali Irjen Pol. Hadiatmoko menginstruksikan para anak buahnya untuk mengamankan Bali secara khusus, dengan wanti-wanti jangan sampai turis asing lecet sekalipun, ironis Selasa (7/9) lalu, terjadi pembunuhan teramat sadis menimpa mahasiswi di kamar kosnya di Denpasar. Wah, tidak hanya di jalan, di dalam kamar pun orang bisa disatroni maut,'' komentar Nuarta.

''Apa bukan lantaran pratima dan benda-benda sakral milik ratusan pura di seantero Bali dicuri orang kondisi sosial di Bali seperti dalam neraka? Sebab, orang Bali meyakini benda-benda warisan leluhur tersebut memiliki kekuatan magis religius, yang menjaga keutuhan sistem dan bangunan sosial masyarakat selama ini. Keyakinan terhadap simbol-simbol agama itulah yang dihilangkan lewat pencurian, sehingga ada sekelompok masyarakat yang notabene orang Bali, meragukan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi. Kalau benar benda-benda sakral itu punya kekuatan magis, tentu pencuri tidak bisa mengambilnya, demikian pikir mereka. Syukur, Hyang Widhi menunjukkan kebesaran-Nya lewat tergulungnya komplotan pencuri pratima bersama penadahnya, seorang warga negara Italia. Ternyata Tuhan tetap menggunakan tangan-tangan yang tidak kelihatan bernama Karma Phala yang tetap melek mengawasi semua ciptaan-Nya. Stephen Hawking yang atheis pun setengah ragu mengakui, bahwa mungkin semua hukum di dunia diciptakan Tuhan, namun dia tidak mengintervensi hukum ciptaan-Nya. Jadi, jangan mengharap Hyang Widhi langsung menjotos manusia seperti aparat hukum menginterogasi tersangka, nggaklah yaw,'' kata Rubag.

*aridus (BP)
 
BERBAGAI peristiwa meresahkan yang terjadi belakangan di Bali, oleh sementara orang ditengarai sebagai upaya sistematis dan terencana untuk menggerogoti khazanah budaya, adat dan agama di pulau ini. Dari peredaran narkoba, hijrah pelacuran luar daerah dan asing, kriminalitas, premanisme, kekerasan hingga pelecehan terhadap simbol-simbol agama Hindu terus berlanjut. Gerakan "Ajeg Bali" yang pernah bergaung santer beberapa tahun lalu, yang bertujuan melestarikan warisan leluhur, rupanya kehilangan semangat dan tenaga menghadapi serbuan yang tak putus-putus ini.

''Eskapisme ke Bali dari Jawa yang dilakukan ribuan orang pascaruntuhnya Kerajaan Majapahit di abad ke-15, di samping membawa semangat pelestarian Hindu, juga talenta budaya serta seni terkait agama yang diyakininya. Setiba di Bali, selain berasimilasi secara fisik, mental dan spiritual dengan masyarakat lokal, akulturasi budaya juga dilakukan secara intensif. Merekalah leluhur orang Bali yang mewarisi artefak-artefak fisik dan nonfisik, yang membuat masyarakat pulau ini paling unik di antara penghuni ribuan pulau yang tersebar di Nusantara. Ribuan tempat suci yang dilengkapi prasasti dan benda-benda sakral mereka bangun dan ciptakan, agar para keturunan dan pewaris mereka kelak memiliki dokumen ikhwal asal-usul agama dan kebudayaannya, juga untuk mempertebal keyakinan atas segala hal yang mereka warisi,'' papar Rubag

''Wah, mungkin itu sebabnya orang Bali pernah menyebut agama mereka Hindu Bali sebelum diubah jadi Hindu Dharma seperti sekarang. Kalau boleh kutafsir, mungkin maksudnya meresistensi hegemoni budaya asing yang dibawa agama ke Bali. Artinya, meski diakui agama Hindu berasal dan lahir di India, namun kebudayaan dan pandangan hidup bangsa India tidak seharusnya ikut diimpor buat menghegemoni dan mendominasi Bali dan masyarakatnya. Kalau intepretasiku benar, alangkah hebatnya para leluhur kita. Para pendahulu kita tahu, bahwa mereka punya local genious serta warisan nenek moyang, yang tidak harus dilecehkan apalagi dijatuhkan martabatnya terhadap pengaruh asing, kendati produk asing itu dipuji banyak orang kehebatan dan keindahannya. Ternyata, apa yang dimiliki Bali dikagumi masyarakat internasional sehingga pulau dan masyarakatnya dijuluki berbagai sebutan. Salah satunya, The Last Paradise atau Surga Terakhir, bahkan karena banyak memuja dewa-dewi juga disebut The Island of Gods and Godesses! Namun aku tidak terpukau dan silau dengan segala pujian itu, meski aku bangga para wisatawan bisa membedakan Hindu di Bali dan India,'' argumen Kudil.

''Benar, biarkan Bali tetap di Bali! Biarkan lumbung tetap untuk menyimpan padi! Biarkan banjar dan subak tetap mengikat kekerabatan orang Bali! Meski kisah Mahabharata dan Ramayana datang dari India, ketika memasuki dunia wayang biarkan Malen, Merdah, Sangut dan Delem yang asli Bali tetap mengarahkan cerita agar bercita rasa Bali! Bali adalah Bali, jangan mencarinya di tempat lain,'' celetuk Antaguna seperti bersajak.

''Lucu, tahun 1986 aku sempat berbincang dengan seorang pramuniaga di kawasan perbelanjaan Tanuki Koji, Sapporo, Jepang. Dia mengira Bali terletak di India. Alasannya, dari televisi pria muda itu sering nonton promosi tentang Bali, yang menginformasikan bahwa mayoritas penduduk pulau ini beragama Hindu. Khususnya tari-tarian, gerakan mata penari Bali katanya mirip penari India, yang disaksikannya di film-film Bollywood. Malah dia mengaku sama sekali tidak pernah mendengar nama "Indonesia". Sampai aku menginformasikannya, dia tetap mengira Bali ada di India dan ngebet ingin berkunjung setelah tabungannya cukup. Sebab, kawan-kawannya yang telah berkunjung ke Bali berpesan, sebelum mati dia harus sempat melihat Bali. Alasannya, Bali adalah saigo no rakuen yang maknanya sama dengan Last Paradise,'' sela Sutama.

''Mudah-mudahan Surga Terakhir itu tidak segera berubah jadi Neraka Masa Depan! Sebab, Bali selama ini dianggap sebagai museum hidup, di mana penduduknya diharapkan berperilaku seperti artefak kuno. Sedangkan yang datang membanjiri Bali, ada yang berusaha mengubah perilaku masyarakat lokal bahkan tidak sedikit yang memengaruhi agar mereka ikut merongrong semua warisan leluhur, termasuk tradisi, adat dan agama. Coba amati kondisi fisik pulau ini dan simak perilaku masyarakat yang mewarisi kebudayaan yang kau kesankan adiluhung berdasar local genious itu! Hampir semua tanah berlokasi strategis, dari pantai, perkotaan, bukit hingga sepadan sungai sudah pindah tangan ke orang-orang yang leluhurnya bukan orang Bali. Sebentar lagi dua lapangan terbang di Buleleng dan Karangasem akan dibangun, berarti ribuan hektar tanah Bali akan dikuasai pihak yang Batara Kawitannya tidak di Bali. Sebab kudengar, yang mengelola proyek itu investor asing. Belum lagi sektor-sektor lain yang akan mengikuti pencaplokan tanah dengan alasan melengkapi fasilitas agar cocok disebut bandara internasional. Di telingaku tembang Yopie Lathul semakin keras terdengar, eee..oooaaaeeoo kembalikan Baliku padaku,'' lantun Putra Antara.

''Cerita Sutama dari Sapporo kini sudah berusia 24 tahun! Jangan-jangan pramuniaga yang dituturkannya itu sudah sempat ke Bali dan mengalami hal-hal yang mengubah kesan saigo rakuen-nya menjadi jigoku no shima alias Pulau Neraka. Rentang waktu 24 tahun mengandung seabrek kisah sedih buat Bali. Perang Dingin yang mencekam dunia sudah berganti McWorld versus Jihad, yang bomnya mengguncang Bali dua kali, menimbulkan korban harta-benda dan ratusan nyawa. Keran demokrasi yang dibuka selebar-lebarnya dan cenderung liberal membuat orang-orang yang datang ke Bali merasa boleh berbuat apa saja atas nama kebebasan. Bukan hanya pemodal, bahkan kelompok kriminal juga berduyun-duyun datang ke Bali. Makanya, penjambretan, penodongan dan perampokan nyaris mewarnai berita koran setiap hari, termasuk menggerayangi vila-vila yang dihuni orang asing. Meski Kapolda Bali Irjen Pol. Hadiatmoko menginstruksikan para anak buahnya untuk mengamankan Bali secara khusus, dengan wanti-wanti jangan sampai turis asing lecet sekalipun, ironis Selasa (7/9) lalu, terjadi pembunuhan teramat sadis menimpa mahasiswi di kamar kosnya di Denpasar. Wah, tidak hanya di jalan, di dalam kamar pun orang bisa disatroni maut,'' komentar Nuarta.

''Apa bukan lantaran pratima dan benda-benda sakral milik ratusan pura di seantero Bali dicuri orang kondisi sosial di Bali seperti dalam neraka? Sebab, orang Bali meyakini benda-benda warisan leluhur tersebut memiliki kekuatan magis religius, yang menjaga keutuhan sistem dan bangunan sosial masyarakat selama ini. Keyakinan terhadap simbol-simbol agama itulah yang dihilangkan lewat pencurian, sehingga ada sekelompok masyarakat yang notabene orang Bali, meragukan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi. Kalau benar benda-benda sakral itu punya kekuatan magis, tentu pencuri tidak bisa mengambilnya, demikian pikir mereka. Syukur, Hyang Widhi menunjukkan kebesaran-Nya lewat tergulungnya komplotan pencuri pratima bersama penadahnya, seorang warga negara Italia. Ternyata Tuhan tetap menggunakan tangan-tangan yang tidak kelihatan bernama Karma Phala yang tetap melek mengawasi semua ciptaan-Nya. Stephen Hawking yang atheis pun setengah ragu mengakui, bahwa mungkin semua hukum di dunia diciptakan Tuhan, namun dia tidak mengintervensi hukum ciptaan-Nya. Jadi, jangan mengharap Hyang Widhi langsung menjotos manusia seperti aparat hukum menginterogasi tersangka, nggaklah yaw,'' kata Rubag.

*aridus (BP)

Pilih pemimpin yang benar2 peduli dengan agama Hindu dan budaya Bali!mulai dari tingkat desa hingga provinsi,..mulai sekarang perhatikan calon2 pemimpin kita,jgn hanya ketika PILKADA saja kita sibuk mecoblos/mencontreng padahal kita gak pernah tahu karakter orang yg kita pilih sbg pemimpin,jangan2 mereka preman atau yakuza!
 
Penyebab Kalutnya Dunia

Anyata vedapandityam.
Sastramacaram anyatha.
Anyatha vadanacchantam
Lokah kisyami canayatha. (Canakya Niti, V.10).

Maksudnya: Meremehkan kebijaksanaan ajaran Veda (Veda Pandita), menghina tradisi yang sesuai dengan ajaran suci (sastra acara), menghina orang yang selalu berkata-kata lembut (vadana chantam). Tiada lain hal itulah yang menyebabkan kalutnya dunia.

AJARAN suci seyogianya dijadikan dasar untuk mengembangkan upaya memperbaiki prilaku dan membenahi kebiasaan hidup yang kurang baik menjadi semakin baik semakin sesuai dengan konsep ajaran suci. Sarasamuscaya 177 menyatakan: Phalaning Sang Hyang Weda inaji kawruhaning ayuning sila muang acara: Pahala mempelajari Weda agar memiliki pengetahuan dan pemahaman akan cara memperbaiki prilaku dan kebiasaan hidup baik yang menyangkut kebiasaan hidup individual maupun kebiasaan hidup bersama dalam masyarakat. Hendaknya janganlah ajaran kitab suci hanya dibangga-banggakan semata, tetapi dalam prilaku dibalik dijadikan dasar untuk membenci pihak yang dianggap orang lain. Prilaku yang demikian itu sesungguhnya meremehkan ajaran suci sabda Tuhan. Faktanya masih banyak orang memusuhi pihak lain dengan alasan Agama. Ajaran suci itu seyogianya dijadikan kekuatan untuk memperbaiki tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan hidup. Ajaran suci yang dianut sebagai Agama masih saja ada yang dijadikan ajaran untuk menonjolkan ego tradisi keagamaan dengan menampilkan atribut agar dipandang sebagai penganut agama yang paling taat.

Orang lain yang tidak tampil menggunakan atribut keagamaan seperti itu diremehkan. Tampil dengan atribut keagamaan tapi ngejar mereka yang dianggap orang lain dengan pentung dan pedang main hakim sendiri. Ada yang menyalah gunakan adat melakukan kekerasan pada sesama dengan cara yang tidak berdasarkan keadilan. Adat seyogianya media untuk melakukan proses perbaikan tingkah laku dengan cara-cara yang persuasif dan edukatif. Adat bukan untuk melakukan balas dendam dan meminggirkan mereka yang tidak ada kekuasaan dan tidak punya pengaruh. Masih ada adat dijadikan media untuk menghukum pihak yang dianggap bersalah dengan cara-cara yang tidak adil. Padahal hukuman itu bertujuan untuk menegakkan keadilan.

Sesungguhnya fungsi adat adalah sebagai media untuk mentradisikan ajaran suci. Dalam Sarasamuscaya 260 dinyatakan ''Veda Abyasa'': artinya mentradisikan ajaran Weda. Ritual sering berhenti tanpa penguatan spiritual untuk mendukung kecerdasan intelektual mengendalikan kepekaan emosional yang tepat. Hal itu seyogianya dijadikan motivator mengembangkan kepedulian hidup seperti: Swastya Wahini yaitu peduli akan pengembangan hidup sehat. Peduli akan mengembangkan pendidikan (Widya Wahini) dan peduli akan nasib sesama (Praja Wahini). Ritual sesungguhnya adalah media untuk menguatkan daya spiritual untuk melakukan aksi sosial yang aktual dan kontektual memperhatikan nasib dalam lingkungan dan nasib sesama yang masih belum bernasib baik. Masih banyak sesama yang hidup dibawah kemiskinan yang semestinya menjadi perhatian sebagai wujud pengamalan ajaran suci. Keberagaman seperti itu memang sepertinya belum bisa dikatakan meremehkan ajaran suci karena didorong oleh semangat beragama yang tinggi tetapi tanpa pemahaman akan pemaknaannya. Kenyataan yang ditimbulkan sepertinya mengabaikan ajaran suci. Canakya Niti V.11 menyatakan sbb: Daaridraya naasanam daanam: Artinya kedermawanan menghilangkan kemiskinan. Ritual maupun perayaan hari-hari keagamaan sesungguhnya media untuk memotivasi umat untuk mampu untuk melakukan dana punia untuk memajukan pendidikan dan juga mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan.

Ada juga sikap yang meremehkan atau bersikap sinis terhadap tradisi yang berdasarkan petunjuk ajaran suci atau disebut dalam Canakya Niti V.10 itu sebagai ''sastra acara''. Seperti orang melakukan ritual sakral ''Agni Hotra'' atau Homa Yadnya''. Ritual tersebut adalah ritual sakral berdasarkan ajaran suci Weda yang disebut sebagai ''Spatika Yadnya''. Yang artinya permatanya yadnya. Upacara yadnya Agni Hotra tersebut sangat ditekankan oleh kitab suci Weda, seperti Rg Weda X.66.8. Demikian juga dalam mantra Atharwa Weda XXVVIII.6 disebutkan bahwa yadnya Agni Hotra tersebut dilakukan oleh mereka yang hatinya mulia. Agni Hotra dapat menimbulkan kedamaian hati, dapat menggugah hati para pemimpin, untuk bekerja dengan baik membina masyarakat dan tidak menyakiti hatinya serta memelihara binatang ternaknya dengan baik. Tidak seperti di Bali dewasa ini anjing dibiarkan hidup liar sampai menjadi penyebar penyakit rabies yang telah membunuh hampir seratus orang Bali mati sia-sia dan pemerintah sampai menghabiskan uang 26 miliar rupiah membeli vaksin anti rabies.

Padahal Sarasamuscaya 135 mengajarkan matangnyan prihen tikang bhutrahita, ayuwa tan masih ring sarwa prani. Oleh karenanya usahakan kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan pada semua makhluk hidup. Upacara Bhuta Yadnya sudah sangat semarak dilakukan. Sesungguhnya ritual itu suatu pemulaan yang sudah baik. Tetapi menjadi mubazir karena tidak dilanjutkan dengan pemaknaannya dalam prilaku nyata. Tentang upacara Agni Hotra juga ada dalam Wrehaspati Tattwa Sloka 25 dinyatakan ada tujuh pengamalan dharma yaitu, Sila, Yadnya, Tapa, Dana Prawrayja, Bhiksu, dan Yoga. Dalam penjelasan bahasa Jawa kunonya yadnya dijelaskan sbb: yadnya ngaraning manghadakaken homa. Artinya yadnya adalah menyelenggarakan homa. Namun masih ada dari berbagai pihak yang meremehkan ritual sakral tersebut.

Berbagai pihak maupun kelompok masih mereka percaya diri kalau menyampaikan kritik, saran, usul dengan kata-kata pedas, menghujat dengan cara-cara yang anarkis. Ini artinya mereka meremehkan penyampaikan dengan kata-kata lembut memikat yang dapat mengetuk hati dan menyadarkan pihak-pihak yang dikritik. Prilaku meremehkan ajaran suci, meremehkan tradisi sastra suci dan meremehkan kata-kata lembut sopan dan memikat, ketiga hal itulah yang menyebabkan kalutnya dunia. Demikian Canakya Niti menyatakan. *I Ketut Wiana
 
Penguasa harus Melindungi Catur Asrama dan Catur Varna

Oleh I Ketut Wiana

Svesve dharma nivistaanaam
sarvesaamapuurvacah
warnaanaanmasramanam ca
Raja srsto bhiraksita (Manawa Dharmasastra VII.35).

Maksudnya: Penguasa (raja) diciptakan untuk melindungi tegaknya dharma dari Catur Asrama dan Catur Varna agar mereka dapat melakukan swadharmanya masing-masing dengan baik dan benar.

NORMA dinamika sosial masyarakat menruut ajaran Hindu adalah dinamika yang vertikal dan horizontal. Dinamika sosial yang vertikal berdasarkan ajaran Catur Asrama. Artinya ada tahapan hidup yang vertikal dari bawah ke atas. Dari tahapan hidup Brahmacari mendaki menuju Grhastha, Wanaprastha dan terakhir tahapan hidup untuk meninggalkan dunia sekala ini menuju dunia niskala yang disebut Sanyasi.

Sedangkan dinamika sosial yang pararel horizontal berdasarkan ajaran Catur Varna. Menurut Yajurveda XXX.5 Tuhan menciptakan Brahmana untuk memelihara ilmu pengetahuan. Ksatriya untuk perlindungan. Waisya untuk kesejahtraan ekonomi dan Sudara untuk menggerakan tenaga jasmani. Keempat golongan profesi ini menurut Manawa Dharmasastra I.31 untuk menjamin kebahagiaan dunia. Setiap orang yang mendambakan hidup bahagia membutuhkan peran keempat golongan profesi yang disebut Catur Varna. Keempat golongan itu berperan secara paralel horizontal dan sinergis.

Pendakian tahapan hidup yang vertikal seyogianya mengikuti normanya masing-masing. Ada norma untuk Brahmacari sebagai tahapan hidup pertama. Kalau ini berhasil maka tahapan hidup selanjutnya akan lebih sukses. Tentunya kalau saat Grhastha tetap konsisten hidup berdasarkan norma hidup seorang Grhastha, demikian juga selanjutnya. Dinamika sosial yang paralel horizontal adalah dinamika berdasarkan ajaran Catur Varna. Brahmana, Ksatriya, Waisya dan Sudra pada hakekatnya setara, bersaudara dan masing-masing merdeka mengembangkan diri sesuai Swadharmanya masing-masing.

Varna seseorang menurut Bhagawad Gita IV.13 ditentukan oleh Guna dan Karma. Guna artinya bakat dan minat sedangkan Karma artinya pekerjaan. Setiap orang seyogianya berusaha menemukan Guna dan Karma-nya. Ini artinya orang akan mendapatkan kehidupan yang bergairah dan bahagia apabila dapat bekerja sesuai dengan bakat dan minatnya. Varna seseorang bukan ditentukan oleh keturunannya.

Dinamika sosial berdasarkan Varna Asrama Dharma ini berjalan sesuai dengan normanya membangun kehidupan sosial yang dinamis harmonis dan produktif menumbuhkan nilai-nilai fisik material dan mental spiritual secara seimbang dan berkelanjutan.

Ajaran Varna Asrama Dharma ini adalah konsep membangun dinamika kehidupan masyarakat aman dan sejahtra atau Jagat Hita. Hal itu akan berhasil amat tergantung pada kemauan, tekad dan kemampuan setiap orang untuk melakukan swadharmanya sesuai dengan ajaran Catur Asrama dan Catur Varna.

Keberhasilan itu juga amat ditentukan oleh kondisi alam lingkungan hidup dan kondisi sosial. Dalam hal inilah Tuhan menciptakan manusia yang berbakat pemimpin menjadi penguasa. Tujuan terciptanya penguasa itu untuk mengabdi pada yang dikuasai dalam menjalankan dharma sesuai dengan asrama dan varna-nya masing-masing. Penguasa wajib memimpin masyarakat agar kondisi alam lingkungan dan kondisi sosial senantiasa kondusif. Alam harus dijaga agar selalu bersih (clean) dan hijau (green).

Demikian juga kondisi sosial harus kondusif mendorong setiap orang hidup berdasarkan Asrama dan Varnanya masing-masing. Terpadunya kondisi lingkungan alam dan kondisi sosial menjadi kondisi kehidupan. Terbangunnya kondisi kehidupan yang kondusif itu menjadi tanggung jawab pemerintah yang berkuasa untuk memimpinnya. Iklim pendidikan harus diciptakan untuk mendorong mereka yang sedang berada pada tahapan hidup Brahmacari. Iklim pendidikan yang kondusif harus diciptakan di tiga pusat pendidikan. Tiga pusat pendidikan formal, non formal dan informal.

Sekolah adalah pusat pendidikan formal, masyarakat luas pusat pendidikan non formal dan keluarga pusat pendidikan informal. Tiga pusat pendidikan itu harus diperhatikan secara seimbang dan sungguh-sungguh oleh penguasa. Demikian juga mereka yang Grhastha harus dimotivasi oleh penguasa untuk mampu mandiri membangun rumah tangganya menyelenggarakan kehidupannya. Mandiri dalam mensejahterakan rumah tangganya dan mandiri dalam mengembangkan kehidupan mental spiritual keluarganya.

Dalam Agastya Parwa ada dinyatakan: Grhasta ngarania yatha sakti kayika dharma. Artinya Grhasta namanya dia yang dengan kemampuannya (sakti) sendiri mengamalkan dharmanya. Pemerintah wajib mengupayakan kondisi kehidupan publik yang mampu memotivasi para Grhastin mengembangkan swadharmanya. Demikian juga para pensiunan yang menempuh Wanaprastha agar ikhlas menyerahkan estafet kehidupan Grhastha menuju wanaprastha. Para Wanaprastha harus juga diupayakan dapat hidup tenang dan terjamin masa tuanya sampai memasuki Sanyasi Asrama.

Penguasa yang baik akan berusaha untuk mengupayakan berbagai hal yang dapat memfasilitasi para Wanaprastha dan Sanyasin mengembangkan kehidupan yang bahagia di masa-masa tuanya. Penguasa juga seyogianya menciptakan berbagai hal untuk memotivasi dan melindungi Catur Varna mengembangkan diri sesuai dengan Varnanya masing-masing. Keadaan masyarakat akan menjadi kondusif apa bila setiap orang memiliki profesi atau Varna dengan kwalitas tinggi. Untuk itu penguasa harus bekerja keras bersama dengan seluruh jajarannya untuk membangun berbagai hal agar seluruh masyarakat dapat mengembangkan profesinya serta mendapatkan tempat yang layak dalam mengimplementasikan profesinya. Dengan demikian tidak ada Varna yang nganggur tanpa kerja. Penguasa yang cerdas mampu menciptakan iklim hidup sehingga para profesi tersebut atas motifasi pemerintah mampu menciptakan sendiri lapangan kerja. Melindungi Catur Asrama dan Catur Varna tujuannya penguasa diciptakan.
 
Memahami Bhinneka Tunggal dengan Jiwa Merdeka

Oleh Cok Sawitri

Proses untuk jujur dan berani hidup dengan memahami ketakutan-ketakutan yang menyertai kehidupan keseharian dalam proses pergaulan antar manusia dengan keragamannya, tidaklah dapat dilakukan tanpa memaksa diri pribadi masing-masing untuk terus menerus menyadari bahwa berpihak kepada kemanusiaan adalah kekuatan manusia untuk melanjutkan hidup.
Bahwa keragaman itu dan toleransi yang menjembatani hubungan-hubungan antar manusia, tidak bisa kini dilakukan sebatas toleransi formalitas

Toleransi formalitas adalah keadaan seolah-olah adanya toleransi dan penghormatan atas keragaman, namun jauh di dalam hati membiarkan ketakutan-ketakutan menjadi konsep berpikir dan pola bertutur di ruang- ruang pribadi, sebagai pengasuhan untuk mengingatkan akan adanya bahaya mengancam terhadap identitas pribadi, kelompok maupun wilayah oleh pihak lainnya.

Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau menghilangkannya dengan alasan apapun. Bahkan atas nama agama. Toleransi sejati hanya dapat terwujud apabila kesadaran meluaskan wawasan ke ruang-ruang yang menyekat, menjadikan sikap rendah hati sebagai tiangnya, agar berani untuk menghadapi bahwa hidup itu adalah keragaman, yang tak satu pun diantarannya atas nama keyakinan apapun dapat dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain ataulah sebagai upaya mulai dalam rancang sistematik penyeragaman keyakinan.

Karena itu, belajar kepada sejarah spritual Bali, khususnya Gama Tirta, Hindu Bali yang berdasarkan paham Siwa Budha, dalam hal membangun toleransi sejati, tidaklah dimaksudkan bahwa ini yang terbaik dan sempurna. Namun sejenak merenungkan proses dari konsep berpikir dan pola bertutur yang jujur melalui hasil yang didapatkan sampai masa kini, bahwa ajaran ini sungguh-sungguh memberi contoh akan kemauan disertai tindakan nyata untuk penghormatan kepada keragaman manusia.

Sutasoma adalah itihasa dari paham siwa budha ini, selain ramayana dan mahabrata. Sutasoma memiliki sejarah yang panjang saat memasuki nusantara.

Bahkan tercatat di era Dalem Waturenggong + tahun 1472, saat itulah Danghyang Nirarta mengajarkan agama di Bali.

Beliau menasehatkan, "Apan tiwas juga sirang muni Budhha paksa. Yan tan wruhing para tatwa Ciwatwa marga. Mengkang munindra sangapaksa Ciwawatwa yoga. Yan tan wruh ing parama tattwa jinatwa manda," "Karena dipandang kurang sempurna juga bila seorang pendeta penganut Budhha, jika tidak tahu akan inti ajaran Ciwa.

Demikian pula para pendeta penganut Ciwa dipandang tidak sempurna, jika tidak tahu inti ajaran Budhha, "Dalam ajaran Ciwa, huruf sucinya adalah Ongkara, dalam ajaran Budha huruf sucinya adalah Hrih.
Dalam bahasa langitnya, zat itu itu dua senyawa, yaitu purusa dan pradana, dalam ajaran Siwa itulah Rwabhineda, yakni Siwa dan Uma, sedangkan dalam ajaran Budha dinamai adwaya-adwayajnyana, atau Adwaya-Prajnyamita.

Rwabhineda inilah juga disebut sebagai Arddhanarecwari, atau dalam Budha disebut Adwaya-Pranyamita. Apabila itu dipahami sebagai tiga segi dikenal sebagai Tri Murti, Tri purusa atau tyrnuka : upati, stiti dan pralima (tri kona). Dalam ajaran Siwa, Brahma, Wisnu dan Ciwa, yang menguasai tri bhuwana: bayu, Cabda dan Idhep, dst.

Dari itihasa sutasoma, yang populer hanyalah kata Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
Namun hampir luluh, tidaklah dijelaskan asal kalimat indah itu, bahwa itu bukanlah bahasa slogan yang muncul dengan spontan.
Namun kalimat itu adalah hasil dari proses toleransi sejati, dialog mendalam dan penuh keiklasan untuk menjaga hidup kemanusiaan. Kalimat itu adalah pengingat dan inspirasi untuk selalu mengutamakan penghormatan sungguh-sungguh kepada perbedaan, bukan basa-basi, bukan sebatas formalitas.

Bahwa kini Bali adalah benteng terakhir Indonesia untuk sikap toleransi sejati ini, karena di Bali yang masih melaksanakan ajaran Siwa Budha ini, yang diajarkan para leluhur orang Bali dengan visi, bahwa kelak nanti, di suatu masa (di masa kini), ketika politik identitas begitu menguatnya, bahwa kini adalah 'masa depan' yang dulu telah dibayangkan bahwa akan tiba masa dimana ketakutan-ketakutanlah yang dijadikan konsep berpikir berproses dalam kehidupan keseharian.

Dan mendorong lahirnya konsep berpikir untuk menemukan agama kembali, dan atas nama pemurnian, atas nama reformasi dan juga atas keyakinan sebagai jalan mulia, yang terjadi adalah betapa semangatnya untuk membangun tanda-tanda dan kecirian yang berjarak.

Bahwa tidaklah dapat dipungkiri, bahwa toleransi sejati tidaklah sebatas pencapaian duduk bersama, lalu bersikap seolah-olah telah dapat memahami satu sama lain. Jika tidak disertai oleh semangat kesadaran bahwa kerendahatian untuk belajar menghargai ajaran satu sama lain untuk dijalankan sebagai sikap nyata, adalah proses batin yang sungguh kaya.

Bahwa pengalaman Bali dengan ajaran Siwa-Budha-nya, tidaklah menghilangkan tradisi siwanya, juga tidak melenyapkan tradisi budhanya. Keduanya adalah agama-agama yang tetap dengan keotonomannya, namun dengan kerendahatian para leluhur nusantara mendialogkan sehingga mencapai taraf penghormatan yang tulus kepada keduabelah pihak, yang menjadi tindakan dalam proses hidup berbudaya. Hidup manusia dengan berpihak kepada kemanusiaannya

Kerisauan kita saat ini, tidaklah dapat dipungkiri diawali oleh kerisauan terhadap kenyataan bahwa moralitas dan nilai-nilai hidup yang kian hari kian merosot. Bahwa yang dirasakan seakan ada ancaman dan pertanda bahwajalan mulia itu adalah memurnikan kembali ajaran masing-masing, dan itu tidaklah salah.

Namun jika jalan mulia itu tidak disertai kesadaran bahwa pribadi lain, kelompok lain, wilayah lain pun ada dalam semangat perasaan yang demikian pula, untuk tujuan menyelamatkan kemanusiaan manusia pula. Maka yang hadir adalah tarikan kepentingan identitas, yang ingin menguasai pihak lain. Dan atas nama jalan mulia tidaklah akan terhindarkan akan terjadi jalan kekerasan atas nama ajaran mulia.

Belajar kepada susastra Sutasoma, belajar kepada jalan kemuliaan yang melahirkan ajaran toleransi sejati, bukanlah untuk mendorong semua pihak yang berbeda meninggalkan ajarannya masing-masing. Namun mendorong semua pihak untuk ke dalam pribadi membangun konsep berpikir dan pola bertutur yang berdasarkan kesejatian ajaran masing-masing, disertai pengetahuan sejarahdan tradisi yang menyertainya.

Sehingga tidaklah terjadi klaim mengklaim akan adanya satu ajaran memiliki paspor jalan tol menuju surga. Bahkan janganlah menjadikan diri atau kelompok sebagai penjaga moralitas. Terjebak dalam kesombongan seakan-akan urusan dunia akan dapat diselesaikan dengan mengamankan, menyortir dan memaksakan dalam absolut tafsiran.

Bahwa diri, kelompok ataupun organisasi yang menjadikan kecirian keyakinannya, sering lalai bahwa yang dijadikan perjuangan bukanlah spririt keyakinannnya yang sejuk dan kasih, namun sering terjadi adalah tafsir, aspirasi pribadi dan kelompoknya itu yang menjadi kemudi konsep berpikir dan pola tutumya.

Bali dalam sejarahnya, belajar sungguh-sungguh untuk menjadikan ajaran siwa-budha ini sebagai jalan mulia. Ajaran ini telah menjadi air yang mengalir tak putus-putus ke semua titik proses dinamika kebudayaan Bali, jugamenjadi tindakan sebagai wujud pertanggungjawabannya.

Konsep berpikir dan pola bertutur manusia disaat menghadapi kebuntuan dialog sangatlah menarik untuk dikaji. Dan Bali menemukan caranya yakni koh ngomong, aje wera, atau depang anake ngadanin, dst. Seolah-olah apa yang diucapkan itu ketika menghadapi kebuntuan dialog, tidak bermuara kepada kode dan simbol ajarannya.

Padahal, kode dan simbol ajaran itulah yang menjadi kemudinya, karena demikian jauh terdiferensiasi sehingga seringkali orang mengira ajaran Hindu Bali, tidak punya persyaratan sebagai agama sempuma, menurut definisi agama modern. Padahal, Siwa Budha memiliki kitab suci berdasarkan wahyu dan tafsir, begitupun Budha.

Lalu dengan kearifan mulia para agamawanlah, agama Siwa-Budha ini membumi, menjadi inspirasi yang sampai masuk ke wilayah-wilayah tindakan, sampai terkesan tak berhubungan lagi dengan akamya. Pencapaian kearifan ini, bukanlah proses sehari jadi, tidaklah juga karena semata-mata menanti datangnya kesadaran. Namun melalui proses dialog mendalam dan dengan didukung oleh kebijakan politik yang mendorong, agama sejatinya adalah menyelamatkan kemanusiaan manusiannya.

Karena itu, di tahun ini kembali dengan indah, sutasoma kita buka, untuk menggugah diri, terbuka kepada inspirasi yang telah diberikannya, yakni mendorong kita semua untuk ada dalam semangat pluralisme, dengan toleransi sejati. Bahwa tindakan yang utama adalah mendorong semua orang untuk belajar melawan ketakutan terhadap prasangka akibat meluasnya politik identitas di negeri ini, bahwa dengan jernih harus diketahui bahwa ajaran agama apapun adalah mulia, dan organisasi apapun itu adalah sesungguhnyalah menjalankan spirit keyakinannya, bukan aspirasi dan tafsir pribadi dan kelompoknya.

Bahwa terbukanya Bali untuk siapa saja, dan kemudian berbagai peristiwa yang melukai rasa aman orang Bali atas keyakinannnya, dengan jernih harus disadari bahwa tidaklah akan terhindari munculnya perasaan berlebihan untuk melawan ketakutannya dengan sikap yang keras pula. Ketakutan inilah yang takut dibicarakan dengan terbuka, dan akhimya ketakutan inilah yang kelak akan bicara dalam hubungan antar kemanusiaan kita.

Dilain pihak, tarikan kepentingan politik identitas sudah sampai pada titik, melupakan bahwa negeri ini bhineka tunggal ika. Bahwa Indonesia didirikan diatas keragaman. Bahwa para pendiri bangsa tahu persis, bahwa hutang terbesar Indonesiaini adalah kepada keragaman itu, yang tidak berhutang apapun kepada Indonesia, namun dengan sadar membangun sebuah negara untuk tujuan keadilan dan kemakmuran bersama.

Karena itu, persaudaraan sebagai manusia dengan tujuan menjaga kemanusiaannya yang seharusnya diutamakan. Bahwa kerendahatian untuk tidak terjebak membawa risau pribadi dalam perbaikan moral dan nilai-nilai itu, janganlah dibawa ke dalam semangat meminta risau itu diselesaikan dalam bentuk solidaritas massa. Apalagi dalam bahasa karena 'kita seumat'.

Dan reformasi Hindu yang selama ini katanya telah dilakukan, baik melalui jalan media, organisasi dan kebijakan. Belumlah memberi penjelasan mengenai Siwa-Budha dengan memadai dan tradisi yang menyertainya.

Ajaran Ciwa yang datang ke Indonesia diperkirakan datang dari Bengal, sama seperti Budha tantra. Ini berdasarkan prasasti berbentuk logam-logam tipis Bhagapur dari raja Narayanapala berangka tahun 854-908 setelah masehi. Ciwait di Bengal yang berkembang saat itu sampai sekarang termasuk dalam mazab Pasupata yang didirikan oleh Srikanthanatha, penulis Pingalamata dan Lakulisa, nama ini diperkirakan muridnya.

Dalam prasasti di Jawa nama-nama murid Srikanthanata ini dalam formula sumpah prasasti-prasati Jawa diberi kode nama Patanjali.Karena itu sejak Pancakusika, para murid Srikanthanatha membuat catatan pada lempengan tembaga kanca, 860 setelah masehi, inilah yang kemudian memasuki Jawa, disebutkan sebagai sektarian Ciwaisme India pertama yang memasuki Nusantara, namun Kern punya pendapat bahwa pejalan-pejalan China telah menemukan kaum brahmana tersebut dalam abad ke-5. Sedang Budhis memiliki riwayatnya memasuki Nusantara via Sumatra, bahkan pada abad ke- 7 telah mengembangkan seperangkat kesusastraan dan model sadhana.

Kemudian pada abad 8 dan 9 Masehi telah berkembang Tantrisme Ciwa dan Budha walaupun saat itu simbol-simbol yang diangkat masih berbeda-beda. Namun elemen-elemen mistik Tantrisme Budhaa, seperti Wajrayana, Sahajayana dan kalacakrayana berdasarkan filosofisnya diberikan oleh Yogacara dan sistem filsafatnya madyamika, inilah yang berproses secara generik dengan sebutan Mantrayana.

Dengan mode sadhana yang rumit, baik Ciwa dan Budha memberikan tanda peninggalannya, yakni jika filosofi Wajradhara nampak pada Borobodur, maka Pasupata nampak pada Candi Ptambanan. Dari sini mulai populer sebutan Ciwa Siddhanta, yang dapat dilacak setidaknya ke pertengah abad sembilan. Namun jika kesusatraan Tantra Ciwa Jawa yang ada sekarang digunakan sebagai panduan, paham Siddhanta adalah bermuara pada Jawatimur.

Ide-ide Ciwa-Budha ini dapat juga disusuri ke wilayah Bengal, namun baru setibanya di Jawa dan Bali dapat menjadi realitas. Spirit toleransi ini secara meluas dicerminkan dalam kesusatraan dan prasasti-prasati Jawa Kuno.

Mengapa perlu memahami sejarah Ciwa dan Budha ini, dalam konteks membicarakan Siwa Budha. Karena misalnya, ada kesan bahwa pemeluk Hindu Bali sekarang perlu dicerahkan dan diluruskan, lalu direformasi kehinduannya. Padahal, ajaran Siwa-Budha ini memiliki kelengkapan dan bukti tindakan spiritual dan nyata menguatkan kemanusiaan manusia. (bahan diskusi di Kelompok Tulus Ngayah, Desember 2005)

*** TokohIndonesia DotCom
 
Meluruskan Pengertian ''Desa Kala Patra''

Daatavyam iti yad daanam
diyate ‘nupakaarine.
desa kala ca paatre ca.
tad daanam saatvikam smrtam. (Bhagavad Gita
XVII.20)

Maksudnya: Dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan hasilnya, diyakini sebagai kewajiban suci dan diberikan sesuai dengan aturan setempat (desa), pada waktu yang tepat (kala) dan diberikan kepada orang yang tepat (patra). Pemberian yang demikian itu disebut Satvika Daana.

Penggunaan istilah desa kala patra di kalangan umat Hindu umumnya dan masyarakat Bali khususnya sudah sangat populer. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun ini menggunakan tema ''Desa Kala Patra: Adaptasi diri dalam multi kultur.'' Pemilihan tema ini mungkin sebelumnya kurang didasari dengan pengertian yang benar tentang pengertian desa kala patra menurut pustaka suci. Pengertian desa kala patra yang dipahami pada umumnya tidak seperti pengertiannya dalam pustaka suci seperti Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya. Umumnya Desa Kala Patra itu dipahami sebagai pedoman menerapkan Agama Hindu dan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu. Desa diartikan tempat, kala waktu dan patra keadaan. Pengertian Desa Kala Patra menurut Sloka Bhagavad Gita XVII.20 di atas sangat berbeda dengan pengertian umum. Dalam Bhagavad Gita XVII.20 dinyatakan bahwa Desa Kala Paatra sebagai pedoman untuk berdaana punia. Daana Punia yang benar dan baik itu disebut Satvikadaana. Dana Punia yang benar dan baik itu adalah harus sesuai dengan petunjuk rohani yang berlaku di tempat tersebut. Petunjuk rohani yang berlaku setempat itulah disebut desa. Sedangkan kala artinya daana punia yang benar itu dilakukan pada waktu Satvika Kala. Waktu Satvika itu saat masih pagi. Sedangkan Paatra artinya daana punia itu harus diberikan pada orang yang tepat dan baik. Kalau diberikan pada orang yang tidak baik dan tidak tepat disebut Tamasika Dana. Dalam Bhagavad Gita XVII.22 orang yang tidak tepat diberikan daana punia itu disebut Apaatra.

Orang yang tepat diberikan daana punia disebut Paatra. Dalam Sarasamuscaya 271 dinyatakan ''Paatra ngarania sang yogia wehana daana'' yang artinya Paatra namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscya sloka 181 juga sudah dinyatakan dengan istilah supaatra yang juga artinya orang yang baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak artinya. Tetapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk mensukseskan pengamalan agama atau dharma sudah sangat jelas juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Ada lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses. Dalam sloka Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Inilah yang lebih tepat dimaknai sebagai dasar adaptasi diri dalam multi kultur. Hal ini menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainya. Tattwa itu yang mutlak, penerapannya yang dapat disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dan sebagainya. Yang penting isi Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana. Kalau adaptasi diri dalam multi kultur itu tanpa dasar Tattwa tentunya berbahaya. Tattwa itu adalah sumber jati diri. Kalau Patra diartikan keadaan, Desa tempat dan Kala waktu dijadikan dasar melakukan adaptasi diri dalam multikultur bisa kebudayaan kita terombang-ambing terus mengikuti keadaan zaman tempat dan waktu yang terus berubah. Idealnya kitalah seyogianya merencanakan perubahan itu agar jati diri (Tattwa) tetap berlanjut sepanjang zaman. Dalam mengamalkan kebenaran atau Tattwa bentuknyalah yang disesuaikan dengan Iksa, Sakti, Desa dan Kala. Tattwa itu adalah kebenaran yang paling hakiki yang harus tetap ajeg tidak boleh berubah sepanjang zaman dan dimana pun. Seperti makanan unsur intinya harus tetap ada seperti karbohidrat, lemak, vitamin, protein, asam amino dll. Bentuk dan cara penyajianya boleh berubah-ubah, tetapi substansi makanan itu tetap kekal. Bentuk itu tidak boleh merubah fungsi. Seperti zat pewarna dalam makanan, jangan mengubah makanan itu menjadi racun. Manusia dari suku dan bangsa mana pun dia membutuhkan unsur-unsur itu seperti karbohidrat, protein, vitamin, asam amino. Demikian juga dalam hal kebudayaan Bali jangan menggunakan dasar Desa Kala Patra dalam arti tempat, waktu dan keadaan sebagai dasar membangun adaptasi diri dalam multikultur. Sebaiknya kembali pada pengertian yang benar menurut ketentuan kitab suci.

Kalau dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur itu kita dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya spiritual Hindu di Bali dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu di Bali.

I KETUT WIANA
 
mohon ijin bos GoesDun... artikel² disini saya copas ditempat lain... :)
 
Jadilah Seorang Pengasih

Noranamitra mangelewihane wara guna maruhur
Nora na satru mangalewihane ana geleng ri hati
Nora na sih mangalewihane sihikang antanaya.
Nora na sakti daiwa juga sakti tan anamanahen. (Nitisastra.II.5)

Maksudnya: Tidak ada sahabat yang melebihi ilmu yang luhur. Tidak ada musuh yang melebihi musuh dalam hati. Tidak ada kasih yang melebihi kasih orang tua pada anak. Tidak ada kesaktian yang dapat melawan nasib dewa juga tak bisa melawan.

Pada zaman Kali Yuga ini, dharma hanya berkaki satu. Sedangkan adharma berkaki tiga. Demikian dinyatakan dalam pustaka Manawa Dharmasastra I.81-82. Ini artinya kekuatan adharma sangat kuat pengaruhnya di bhuwana agung dan bhuwana alit. Manusia yang tidak mampu menguatkan hatinya dengan daya spiritual, bisa kecenderungan keraksasaan (asuri sampad) yang mendominasi, daripada dewi sampad atau kecenderungan kedewaan. Tanda manusia yang dikuasai oleh asuri sampad menurut Bhagawad Gita XVI. 4 adalah dhambo (suka berpura-pura), darpo (sombong), abhimanas (membangga-banggakan wangsanya), krodha (pemarah, dengki dan pendendam), parusia (keras dan kasar) dan ajnyana (bodoh tanpa ilmu atau kena tujuh kegelapan). Kalau enam musuh itu kuat mempengaruhi diri seseorang, itulah menjadi musuh terkuat yang bercokol dalam diri. Orang yang demikian itu akan selalu serius melihat kejelekan orang lain dan meremehkan kelebihan orang lain. Orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain menurut Canakya Nitiasatra IX.2 disebut nara adhama artinya manusia rendahan tanpa martabat.

Sifat-sifat asuri sampad inilah makin banyak menonjol pada zaman Kali. Untuk meredam kecenderungan keraksasaan itu Swami Satya Narayana menyatakan cara beragama zaman Kali ini dengan menjadikan diri Ksama Murti dan Prema Murti. Ksama Murti artinya wujudkanlah diri jadi seorang pemaaf. Sedangkan Prema Murti wujudkan diri kita sebagai seorang pengasih. Caranya, seriuslah melihat kelebihan orang lain dan remehkan kekurangannya. Sebaliknya seriuslah melihat kekurangan diri dan remehkan kelebihan diri. Apalagi sesama saudara yang hampir tiap hari akan bertemu. Jangan sampai terjadi hubungan saudara tanpa sahabat.

Canakya Nitisastra VII.17 menyatakan orang yang suka memusuhi saudaranya sendiri adalah salah satu ciri bahwa orang itu menjelma dari neraka.

Kalau asuri sampad yang kuat mempengaruhi diri seseorang akan menutup pandangan hati nuraninya yang murni. Kecenderungan keraksasaannyalah yang akan mengendalikan pandangan hidupnya. Dengan demikian akan lebih mudah melihat kesalahan dan kejelekan orang lain dari kelebihannya.

Ada cerita dalam pustaka Cina Kata yang dikutip dari Maha Bharata. Diceritakan bahwa suatu hari di Astina Pura ada suatu upacara kerajaan sejenis resepsi dewasa ini. Saat itu hadir Yudistira dan Duryodana duduk berdampingan dengan Sri Krisna. Raja-Raja yang lainnya juga banyak yang hadir sebagai undangan kerajaan. Saat bincang-bincang Sri Krisna bertanya pada Duryodana. Di antara raja-raja yang hadir siapa di antaranya yang memiliki kehebatan yang lebih dan patut dibanggakan. Pertanyaan Sri Krisna dijawab Duryodana bahwa tak satu pun raja ini punya kehebatan dan kelebihan seperti dirinya. Satu per satu raja yang hadir itu dikemukakan cacat celanya oleh Duryodana. Sama sekali tidak dilihat kelebihan mereka. Selanjutnya Sri Krisna bertanya yang sama kepada Yudistira. Jawaban Yudistira sangat berlawanan dengan Duryodana. Yudistira dengan cermat mengemukakan berbagai kelebihan dari raja-raja yang hadir.

Dari cerita singkat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Cuma bentuk kelebihan dan kekurangan itu yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi asuri sampad akan melihat jelek-jeleknya saja. Karena sesungguhnya itulah cermin dirinya. Kalau dewi sampad yang mendominasi, maka siapa pun akan dilihat baik-baiknya saja. Orang yang didominasi oleh dewi sampad, hidupnya senantiasa akan lebih damai dari mereka yang didominasi oleh asuri sampad.

Untuk meenguatkan kecenderungan dewi sampad pada zaman Kali ini, kuatkan cara beragama dengan japa, dhyana, seva dan puja sahasra nama.

Japa artinya beragama dengan mengulang-ulang pengucapan mantra atau nama Tuhan. Dalam Sarasamuscaya 369 dinyatakan: Mapaluwy-luwyning kojaran Sang Hyang Mantra japa ngarania. Artinya mengulang-ulang pengucapan mantra Weda itu japa namanya. Mantra sabda suci Tuhan kalau diucapkan dan direnungkan dalam-dalam maka akan melahirkan vibrasi suci dalam diri.

Dhyana artinya selalu mengingat nama Tuhan. Dalam Sarasamuscaya 260 ada dinyatakan: Dhyana ngarania ikang Siwa smaranam. Artinya: Dhyana namanya selalu mengingat nama Tuhan. Nama atau sebutan Tuhan itu adalah pemberian orang suci seperti para Maha Resi. Dengan mengikuti sebutan para Resi untuk kemahakuasaan Tuhan itu juga akan menumbuhkan vibrasi suci pada diri seseorang.

Seva artinya pelayanan pada Tuhan dan semua ciptaan-Nya. Resi Vyasa menciptakan Subha Sita atau kata-kata bijak: Para Upakarapunyaya, papaya para pidana. Artinya barang siapa yang selalu melayani orang lain akan dapat punia. Bagi yang suka menyiksa orang lain akan dapat papa atau derita.

Puja sahasra nama artinya pujalah Tuhan dalam berbagai nama yang dianggap paling sesuai dirasakan dengan keadaan diri. Dengan cara beragama seperti itu akan muncul vibrasi mulia untuk menguatkan dominasi dewi sampad dalam diri. Dengan demikian kita akan menjadi seorang pemaaf dan penyayang. Hidup pun jadi damai tidak mudah bermusuhan. *BP
 
Mitos Baru

SEJAK beberapa hari lalu, hampir semua balai banjar di Denpasar dan juga kabupaten lain di Bali, di salah satu ruangannya berdiri ogoh-ogoh. Itu pertanda hari raya Nyepi yakni Tahun Baru Saka 1934, Jumat, 23 Maret akan dirayakan umat Hindu di Bali seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka sepertinya tidak terlalu terpengaruh mendengar gonjang-ganjing politik dan kasus korupsi yang berkesinambungan di negeri ini.

Suasana politik dan kekuasaan di kancah nasional yang dipenuhi pertengkaran akibat korupsi merajalela tidak membuat anak-anak muda di Bali kehilangan semangat untuk merayakan hari suci mereka. Mereka juga tidak peduli meski dengar ada politisi yang berbicara seperti mengalami gangguan jiwa. Mereka paham, mabuk kekuasaan membuat orang-orang berperilaku seperti itu. Juga karena kekuasaan yang bisa dibeli, mereka merampok dan mencuri uang rakyat dan negara, tanpa mempertimbangkan status sosial, harkat dan martabat mereka sebagai pejabat. Tanpa canggung, ada yang melontarkan tantangan siap digantung di Monumen Nasional bila terbukti bersalah secara hukum. seperti berpantun, celoteh hil yang mustahal itu dibalas ajakan sumpah pocong. Nah, karena tahu kebohongan dan kemunafikan sulit diberantas hukum positif yang lumpuh di negeri ini, masyarakat Bali yang masih percaya akan hal-hal bersifat niskala justru meletakkan harapan pada hukum Karma Phala. Salah satu di antaranya lewat ritual Pengerupukan menjelang hari raya Nyepi. Untuk itulah, ogoh-ogoh dibuat, ulas Rubag.

Tetaplah berharap, karena harapan membuatmu tetap hidup! Ketika harapan di dunia nyata habis, stok harapan di gudang agama tidak pernah ludes. Untuk itu kau harus tetap berdoa! Begitu wacana bijak yang pernah kubaca, yang penulisnya aku lupa. Tapi akibat pengaruh positivisme empirik disemangati materialisme, pragmatisme dan individualisme, harapan yang kukutip itu dianggap sudah ketinggalan zaman oleh sementara orang. Anehnya, untuk mengusut dan memberi solusi buat gonjang-ganjing nonstop di negeri ini, kendati bukti penyelewengan dipertontonkan secara telanjang, penganut positivisme absolut itu juga tidak berdaya. Gemuruh iklan berbunyi ''dilihat, diraba, diterawang'' tidak berdaya ketika uang dijadikan mitos dan uang palsu serta uang haram pun mendominasi peredarannya, komentar Jagra.

Bila direnungkan, usia agama jauh lebih tua daripada umur ilmu pengetahuan modern. Aku tidak alergi pada sainstek, tapi aku muak pada orang yang melecehkan tradisi dan agama, sebaliknya mempertuhankan ilmu pengetahuan. Agama telah memelihara dunia dan segala isinya secara lebih manusiawi daripada ilmu pengetahuan. Itu tidak lain karena kecongkakan moto knowledge is power yang dilontarkan Francis Bacon saat Renaisan dimulai. Dia pula yang menyarankan agar dunia atau alam harus disiksa habis, agar membongkar segala rahasia yang disimpannya. Meskipun pernah ada perang hebat antara agama berbeda di abad pertengahan, namun kerusakan alam serta korban jiwa yang diakibatkannya tidak sebesar dan separah Perang Dunia yang terjadi sepanjang abad ke-20 . Abad yang diakui sebagai puncak zaman modern! Memang, karena perkembangan sainstek dan modernisasi hidup jadi gampang, tapi mati juga tidak sulit ! Sekarang malah sambil tiduran di kamar, kita bisa menyaksikan berita kematian akibat masalah sepele di layar kaca, karena kematian dan penganiayaan sudah dianggap bagian dari hiburan. Yang mengerikan, orang bisa menawarkan jasa untuk mencabut nyawa, lewat hasil sainstek paling populer yakni internet. Mau ditabrak seperti kecelakaan, ditembak seperti perampokan atau diracun seperti terkena serangan jantung, begitu pilihan modus pembunuhan yang ditawarkan. Wah, seperti menu restoran, papar Ranten.

Ya, memang ada manusia-manusia yang semakin congkak! Bertindak seperti malaikat pencabut nyawa, seolah diizinkan Tuhan membunuh sesamanya dan makhluk lain serta merusak alam sesukanya. Padahal mereka cuma makhluk fana, yang tidak luput dari kematian, rasa sakit bahkan lari terbirit ketika alam membalas lewat berbagai bencana. Coba simak, apa yang bisa dilakukan orang-orang congkak itu ketika badai mengamuk, puting beliung memporak-porandakan permukiman mereka, banjir besar menenggelamkan kota mereka? Paling-paling menadahkan tangan ke langit sambil menangis memohon perlindungan Tuhan! Konon, ada sekelompok ilmuwan melanjutkan penelitian yang pernah gagal, buat menemukan Partikel Tuhan yang sebelumnya diberi nama Higgs Boson. Partikel yang bisa mengubah massa jadi materi itu, katanya sudah lama diperkirakan keberadaannya namun sulit ditemukan, sehingga disebut Partikel Tuhan. Partikel itulah yang konon membuat kehidupan jadi mungkin. Artinya, bila sekarang orang hanya bisa membunuh dan kalau partikel tersebut bisa ditemukan, orang pun bisa menghidupkan yang mati, hahaha...,gelak Korma menutup argumennya.

Bila pencarian itu berhasil, manusia akan seperti Sang Hyang Prama Kawi, dengan manifestasinya sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. ni lebih hil yang mustahal lagi ! Manusia memang telah berhasil mendarat di bulan atau bikin pesawat yang mampu melaju melebihi kecepatan suara, ironisnya penderita leukemia tetap tidak bisa disembuhkan. Mengapa? Karena darah belum berhasil diciptakan! Makanya gerakan donor darah masih tetap diperlukan, bahkan di negara yang nabi-nabi ilmu pengetahuannya berlimpah sekali pun ! Jadi kita tidak perlu membincangkan ikhwal sainstek, yang sedang menjadi mitos baru itu ! Aku lebih tertarik membahas masalah ogoh-ogoh yang dikatakan Rubag, sebagai sarana untuk menyampaikan harapan pada Sang Hyang Widi agar dunia, khususnya negeri ini dibersihkan dari segala macam kecongkakan, kebohongan, kejahatan dan kebusukan lainnya. Aku setuju, kalau harapan habis di lembaga-lembaga nyata yang sengaja dibayar untuk menuntaskannya, kita menaruh harapan di lembaga abstrak yang cukup diyakini saja, ujar Sanggra.

Persis ! ogoh-ogoh khusus dalam malam pengerupukan yang bentuknya dianggap wujud mahluk astral berupa berbagai bhutakala dipercaya sebagai simbol kekuatan jahat yang selalu menggoda manusia. Namun dalam konsep keseimbangan Hindu atau Rwa Bhineda, baik Dewa-Dewi maupun Bhutakala-Bhutakali adalah ciptaan Tuhan. Nah, ketika kejahatan akibat godaan Bhutakala dirasa merebak melewati takaran keseimbangan seperti sekarang ini, agaknya ritual ogoh-ogoh dalam Pengerupukan, Kamis (22/3) malam merupakan tempat dan waktu tepat untuk menaruh harapan. Meskipun berbentuk ogoh-ogoh, namun konsep Apara Bhakti yakni menyembah dan memohon lewat simbol-simbol dibenarkan dalam Hindu. Bahkan beragam jenis sesajen yang dihaturkan dalam berbagai upacara di Bali merupakan simbol yang mewakili mantra-mantra Weda. Sebab dipahami tidak banyak orang yang menjalin hubungan dengan Tuhan memiliki kekuatan batin atau Jnana Marga yang baik, juga mampu melafalkan mantra secara sempurna, sehingga berbagai simbol digunakan. Sebelum ogoh-ogoh diarak keliling kota , diadakan upacara pembersihan dengan prasita durmanggala. Untuk membuatnya hidup dan bertaksu, dilanjutkan dengan upacara pengurip-urip dan pasupati. Setelah selesai acara keliling kota, ogoh-ogoh dipralina atau dilebur dengan maksud Bhutakala-Bhutakali disomya-kan. Kalau dianalogikan dengan koruptor, diadili dan dipenjarakan kalau bersalah, lalu setelah hukuman selesai diharap menjadi warga negara yang baik. Bukan ditembak apalagi digantung di Monas! pungkas Ktut Jengki. (aridus) *BP
 
''Tri Hita Karana'' Retak

PERUBAHAN perilaku masyarakat yang begitu drastis, menjurus ke degradasi moral sangat memprihatinkan berbagai kalangan akhir-akhir ini. Kekejaman manusia kian meningkat. Tidak hanya terhadap sesama, juga pada lingkungan termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Hubungan mereka dengan Tuhan jadi semakin renggang karena alasan sibuk, kendati dalam pembuatan sesajen saat upacara keagamaan tampak kesan jor-joran. Begitu pendapat Ida Pedanda Gde Made Gunung dalam acara dharma wacana di Balai Banjar Tampak Gangsul, Senin (21/5) lalu.

Keharmonisan masyarakat tidak berlangsung seperti dulu, kata Pedanda, karena masing-masing orang bertindak dan berucap tidak sesuai porsinya. Padahal para leluhur kita mewariskan sejenis masakan sebagai analoginya dan adonan seperti itu hanya dijumpai di Bali, tambahnya. Lawar adalah penganan yang dimaksud. Masakan spesifik Bali itu akan terasa lezat bila masing-masing bumbu dan bahannya tidak saling melebihi atau mengurangi. Padahal lawar berisi nyaris semua jenis bumbu yang mengandung berbagai macam rasa, manis, pahit, sepet, asin dan pedas. Bahkan yang berbau busuk seperti terasi, juga dibutuhkan untuk penyedap rasa, asalkan tidak dimasukkan secara berlebihan. Pun bahan-bahannya, ada daging mentah, daging yang telah digodok, sayur nangka dan merica hijau mentah. Jadi, suguhan lawar sejatinya, bukan buat konsumsi lidah dan perut semata, namun ada makna filosofi yang terkandung di dalamnya untuk dicerna otak, yakni keharmonisan, tutur Rubag.

Tidak hanya lawar, juga gamelan mencirikan keharmonisan dan keindahan. Irama atau melodi yang mampu dihasilkan gender belum terdengar indah dan menarik tanpa diikuti, riyong, cengceng, kempur, jublag, jegog, gong, kempluk dan kendang. Masing-masing instrumen tersebut menyumbang keindahan, apalagi ditambah penyacah sebagai pemanis. Keras dan lembutnya pukulan masing-masing instrumen tergantung tabuh yang dimainkan, membuatnya terdengar harmonis di telinga. Akan kedengaran aneh bila sebuah instrumen dipukul keras padahal seharusnya lembut. Itu akan membuat tabuh uwug dan ditertawai penonton. Gotong royong, toleransi dan kebersamaan adalah filosofi gamelan. Leluhur kita memang luar biasa dalam menciptakan artefak-artefak kebudayaan dan gamelan merupakan salah satu dari sepuluh warisan asli Indonesia, yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia. Kalau saja orang Bali merenungkan kembali semua peninggalan leluhur, terutama lawar dan gamelan ini, keprihatinan seperti yang dilontarkan Pedanda Gunung tidak akan terjadi, kata Purwacita.

Benar, segala sesuatu yang diciptakan para leluhur kita merupakan simbol-simbol keharmonisan. Sayang, kita sering munafik bahkan kadang-kadang menjelek-jelekkan yang tradisional karena terbius modernitas. Banyak orang seakan alergi atau benci pada yang busuk, semisal terasi yang dikatakan Rubag tadi, namun doyan makan rujak atau tahu campur. Padahal kedua adonan itu tidak akan enak tanpa terasi sebagai penyumbang rasa di dalamnya. Bahkan terkait ikhwal degradasi moral, banyak orang memperebutkan yang di dalam Sarasamuscaya dimetaforakan sebagai lembah dalam yang licin berbau busuk. Coba baca di koran dan media elektronik belakangan ini! Banyak kasus perceraian, selingkuh, pelecehan seksual, pelacuran tingkat tinggi dan rendah, pemerkosaan akibat kegandrungan pada yang berbau kurang sedap itu. Celakanya, orang terhormat yang berjulukan wakil rakyat pun diisukan mengabadikan kebusukannya lewat video dan jadi tontonan publik. Rasa malu benar-benar telah tanggal dari cantolannya di hati makhluk tersempurna ciptaan Tuhan ini, ujar Smarajana.

Satu hal yang membuatku cemas adalah gampangnya orang mencabut nyawa sesamanya dewasa ini. Ironisnya itu sering terjadi di tempat orang-orang yang mencari kesenangan. Kafe adalah tempat kumaksud, yang jumlahnya kini konon ratusan di sekitar Denpasar dan Badung. Di tempat seperti itu keselamatan fisik dan nyawa orang mudah terancam. Padahal kebanyakan pengunjung kafe bertujuan untuk menghibur diri. Menenggak berbagai minuman beralkohol, ditemani cewek-cewek berpenampilan menor untuk memandu lagu dan melantai. Nah, ketika berdansa-dansi itulah keributan sering meletus. Baik karena saling senggol, saling pandang atau memang sudah ada bibit sentimen sebelumnya. Begitu seringnya terjadi peristiwa berdarah yang di antaranya merenggut nyawa, bagiku, kafe bukan lagi sebagai tempat hiburan, tapi gelanggang adu nyawa, komentar Sumerta.

Aneh, dalam laporan Bali Post, Selasa (22/5), konon retribusi kafe-kafe yang menjamur di sekitar Denpasar terhadap Pendapat Asli Daerah (PAD) nihil. Namun belasan nyawa sudah melayang, juga puluhan yang luka berat akibat perkelahian dengan senjata tajam maupun senjata api di tempat seperti itu. Kok aparat yang berkompeten seakan membiarkan peristiwa demi peristiwa terjadi ya? Belum lagi meningkatnya pengidap HIV di Bali, ditengarai akibat menyebarnya kafe-kafe hingga ke pelosok desa. Kalau menyimak kejadian pembunuhan di sebuah kafe Denpasar Barat baru-baru ini, yang lantaran utang-piutang korban dibantai seperti bukan manusia, aku jadi curiga pada unsur niskala. Itu terkait kata Pedanda Gunung, yang mengatakan bahwa kini banyak bencana alam terjadi sebagai balasan alam terhadap manusia yang berlaku kejam padanya. Tanah longsor, banjir, gempa, tsunami dan rabies. Jangan-jangan orang yang diduga tewas diserang kera gila di sebuah sungai di Nongan Karangasem karena balas dendam akibat tatanan Tri Hita Karana mengalami keretakan, kata Rubag.

Tetapi kera gila itu sudah berhasil ditembak mati setelah diburu berhari-hari oleh masyarakat dibantu aparat. Senin (14/5) dia berhasil membunuh manusia dengan beberapa gigitan di sekujur tubuh terparah di leher. Sabtu (19/5) dia berhasil dibunuh aparat dengan sebutir timah panas. Jadi skornya 1 : 1. Malah Bupati Karangasem menginstruksikan Dinas Peternakan untuk mengeliminasi satwa kera di sekitar Sungai Jenah, Desa Nongan Kecamatan Rendang. Mungkin dia belum puas dengan skor impas itu. Keruan saja perintah yang terdengar hingga ke DPRD Bali itu mendapat reaksi keras dari wakil rakyat. Instruksi Bupati Karangasem tersebut dianggap bertentangan dengan konsep Tri Hita Karana. Seharusnya, kata wakil rakyat itu, tindakan mengeliminasi dikoordinasikan dengan masyarakat, yang mungkin punya pantangan untuk membunuh kera. Argumen wakil rakyat itu agak mirip dengan sinyalemenmu tentang Tri Hita Karana. Lalu, unsur niskala macam apa yang kamu curigai melatari pembunuhan di kafe-kafe? tanya Darsana di akhir paparannya.

Menurut Pedanda Gunung, kita gampang membunuh apa saja untuk hal-hal yang kita anggap praktis dan ekonomis. Membuang sampah ke got dan kali sehingga menimbulkan kemampetan dan banjir saat hujan. Bahkan ada sungai yang terbunuh karena permukaannya rata dengan daratan akibat sampah yang tertimbun bertahun-tahun berubah jadi tanah. Nah, ladang dan sawah pun dibunuh, lalu di atasnya didirikan berbagai jenis bangunan. Bahkan kebanyakan kafe dibangun di atas tanah yang dulunya sawah atau ladang. Padahal di tempat-tempat seperti itu sebelumnya ada palinggih, yang dibangun sebagai tempat atman atau makhluk-makhluk astral yang menunggu tempat itu. Bahkan untuk sekumpulan sawah ada Pura Subak yang kini nyaris tidak ada yang memelihara, bahkan ada yang dieliminasi karena di sekitar tempat suci itu lahannya tidak lagi sawah, melainkan perumahan. Malah banyak di antara penghuninya adalah penganut keyakinan berbeda. Aku curiga roh atau atman, yang juga disebut makhluk astral itu kini menuntut balas. Bukan hanya di kafe-kafe, di tempat lain pun urusan sepele bisa berkembang jadi masalah besar. Simak kasus pengusiran beberapa keluarga dari tempat kelahirannya yang terjadi di beberapa tempat di Bali! Ini semua akibat ulah manusia yang meretakkan tatanan Tri Hita Karana dan melupakan filosofi lawar dan gamelan. Semoga manusia Bali cepat sadar, tandas Rubag. (aridus) *BP
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.