• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dharma Wacana / Renungan

Konsep Hidup Sehat

Dhanikah strotriyo raajaa
Nadii vaidyastu pancamah.
Panca yatra na vidyate
Na tatra divasam vaset.
(Canakya Nitisastra I,9)


Artinya:
Apabila tidak ada lima unsur seperti orang kaya (dhanikah), orang suci (strotria) yang ahli Veda, pemimpin (Raja), orang yang ahli dalam pengobatan (vaidya) dan sungai (nadi), di tempat tersebut, maka hendaknya janganlah bermukim di tempat itu.

HIDUP bersama di dunia ini membutuhkan berbagai unsur yang mampu bersinergis untuk menciptakan fasilitas hidup yang dapat dijadikan unsur mendorong manusia menjadi semakin sejahtera lahir batin. Untuk itu dibutuhkan modal. Orang kaya dalam Sloka Canakya Nitisastra tersebut di atas adalah orang yang mau mendayagunakan dananya untuk dikembangkan menjadi unit-unit usaha yang mampu mendaya gunakan berbagai produk masyarakat yang dapat memberikan manfaat ekonomi secara adil. Usaha itu juga dapat menampung tenaga kerja dan pajak untuk negara.

Dewasa ini orang kaya sudah dijelmakan dalam bentuk usaha keuangan seperti bank. Bank bisa dijadikan media meningkatkan kemakmuran ekonomi. Begitu juga, srotria sebagai orang suci untuk dapat menuntun manusia yang bermukim di lingkungan itu. Orang suci itu dapat dijadikan tempat oleh umat untuk mengembangkan keluhuran moral dan daya tahan mental dalam menghadapi hiruk-pikuknya kehidupan. Manusia sebagai anggota masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah pemukiman juga membutuhkan pemimpin.

Pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengkoordinasikan berbagai hal agar semua unsur dapat disinergikan menjadi sumber pendorong umat memajukan kehidupan. Tanpa pemimpin tidak ada yang mengkoordinasikan berbagai potensi dalam masyarakat tersebut. Unsur yang lain yang juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah air atau sungai. Dalam sloka Canakya Nitisastra disebut Nadi. Betapapun majunya suatu ekonomi masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa berdasarkan ekonomi agraris. Ekonomi industri dan jasa tidak mungkin lepas dari ekonomi agraris. Ekonomi agraris itu membutuhkan air.

Fungsi sungai di samping untuk tujuan agraris juga menampung air hujan yang tidak dapat diresap seketika oleh tanah. Demikianlah pentingnya Nadi dalam konsep pemukiman menurut perspektif Sastra Hindu. Unsur selanjutnya waidya yaitu ahli pengobatan. Apa pun upaya manusia untuk mencegah munculnya penyakit, sakit itu pasti pernah muncul pada dirinya. Dalam konsep memelihara hidup sehat dan istilah yang sangat populer yaitu: ''lebih baik mencegah daripada mengobati''. Untuk mencegah agar kita jarang sakit, dalam kitab Ayur Veda ada diajarkan untuk mengelola hidup dengan tiga cara yaitu Ahara, Vihara dan Ausada.

Ahara selalu mengkonsumsi makanan yang sehat. Makanan yang sehat dalam Bhagawad Gita disebut satvika ahara. Vihara adalah mengembangkan gaya hidup yang benar dan wajar. Artinya, gaya hidup sesuai dengan tuntutan Sastra Agama. Di samping itu jangan lupa menjaga kesehatan fisik dengan memakan makanan yang alami. Demikian juga bahan obat-obatan sesungguhnya sudah tersedia di lingkungan alam sekitar kita bermukim.

Dalam Upa Veda ada yang disebut Ayur Veda sebagai ilmu yang mengajarkan tentang memelihara kesehatan. Di kalangan umat Hindu di Bali dikenal kelompok Pustaka Lontar yang disebut usada. Dalam usada tersebut juga diajarkan tentang ilmu pengetahuan untuk memelihara kesehatan jasmani maupun rohani.

Dalam usada juga diajarkan mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan bahan obat-obatan. Di India, Ayur Veda sudah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga telah menjadi sebuah cara memelihara kesehatan yang sudah memasyarakat. Di fakultas kedokteran di India sudah ada jurusan kedokteran Ayur Veda, di samping kedokteran Barat. Lama belajar antara kedokteran Ayur Veda dan kedokteran Barat sama. Setelah tamat mereka dapat membuka praktik di masyarakat. Dengan demikian masyarakat bebas memilihnya.

Sistem kedokteran Ayur Veda dapat berkembang demikian, karena melalui proses yang panjang. Demikian juga usada di Bali memang sudah dijadikan dasar dalam sistem pengobatan tradisional. Ke depan, pengobatan dengan bahan tumbuh-tumbuhan ini tentu dapat dikembangkan secara modern melalui berbagai penelitian, seminar, lokakarya dan berbagai percobaan. Dalam hal ini, berbagai disiplin ilmu lainnya patut didayagunakan dalam membantu mengembangkan ilmu usada ini agar dapat berkembang.

Ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu botani, ilmu farmasi, dll. patut dijadikan ilmu yang dapat membantu pengembangan ilmu usada itu agar dapat diaplikasikan dalam sistem kehidupan modern. Para ilmuwan Hindu dari berbagai disiplin ilmu diharapkan dapat terpanggil untuk ikut serta memajukan ilmu usada ini, agar ilmu warisan nenek moyang kita lebih dapat didayagunakan untuk kesejahteraan hidup umat manusia di kolong langit ini. Di samping itu, berbagai isi flora dan fauna sebagai bahan obat-obatan dapat lebih dipahami maknanya dalam hidup ini. * I Ketut Gobyah
source: Balipost
 
Kritik untuk Kembali pada Kitab Suci

Idaanim dharma pramaanaanyaa.
Wedo'khilo dharma mulam
Smrtisile ca tadvidam
Aacaaracaiva saadhuunaam.
Aatmanastustireva ca.
(Manawa Dharmasastra.II,6).

Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda (Sruti dan Smrti) sumber dari Dharma. Kemudian barulah Sila (tingkah laku yang suci). Lalu kemudia muncul Acara (kebiasaan Weda) dan kepuasan Atman.

SLOKA Manawa Dharmasastra tersebut adalah sistem penerapan Dharma atau sistem pembumian kebenaran Weda. Ia benar-benar nyata menjadi penuntun kehidupan umat Hindu. Umat manusia yang mengamalkan ajaran Weda itu berada pada lingkup kekuasaan ruang dan waktu. Adanya perubahan ruang dan waktu itu maka ia mengalami perubahan secara terus-menerus dalam pentradisinya.

Tradisi Hindu, acara itu harus terus-menerus dikembalikan pada sumbunya yaitu kitab Sruti dan Smrtinya. Setiap perubahan kalau ada yang dirasakan menyimpang dari sumbernya maka carilah sumbernya yang lebih tinggi. Apabila ia acara (tradisi Weda), sumbernya adalah Sila. Sila itu sumbernya adalah Smrti. Sumber yang tertinggi adalah Weda Sruti. Demikianlah menurut Sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip diatas.

Dinamika pengamatan Weda, tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan kalau dinamika perubahan itu selalu bersumber pada dharma atau kebenaran Weda. Masalah akan muncul kalau dinamika pengamalan dharma dari Weda itu sudah semakin jauh dari sumbunya. Konflik pasti akan timbul kalau dinamika itu tidak berjalan diatas relnya dharma. Kalau dinamika itu ada di luar rel dharma pasti akan ada yang dirugikan atau disengsarakan.

Demikianlah halnya umat Hindu di Indonesia. Pada zaman Majapahit, agama Hindu dianut di seluruh Nusantara. Dalam proses perkembangan Hindu, ada kesalahan menerapkan ajaran suci Weda, akhirnya umat Hindu merosot drastis dan tinggal di Bali. Di Bali kehidupan beragama Hindu hanya dipelihara dengan adat-istiadat atau tradisi yang pada umumnya tidak dipahami arti dan makna dengan baik.

Dengan kemajuan zaman, banyak umat yang daya nalarnya meningkat dalam bidang Agama. Dari mereka ada yang makin paham bahwa banyak adat-istiadat yang bertentangan dengan sumbernya. Bagi umat Hindu yang peduli akan ajaran agamanya tentu menginginkan agama Hindu yang mereka anut diluruskan dari penyimpangan-penyimpangan tersebut. Mereka sering malu karena dicemooh oleh umat lain. Misalnya umat Hindu kok membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dengan sistem Kastanya.

Pada hal dalam sumber ajarannya di Sruti, Smrti maupun dalam kitab Sastranya tidak ada konsep kasta itu. Yang ada adalah sistem Catur Varna yang sangat mulia. Demikian juga sistem Kepanditaannya tidak ada diajarkan dalam ajaran Hindu bahwa Pandita itu harus dari Wangsa tertentu saja. Tradisi Hindu yang bertentangan dengan sumber ajarannya sampai saat ini dirasakan masih sangat sulit mengembalikan pada sumber ajaran.

Oleh karena itu, kritik konstruktif dari dalam diri umat Hindu itu harus terus disalurkan. Jangan takut dikritik. Tidak ada kemajuan tanpa kritik. Kritik memang penting, tetapi autokritik jauh lebih penting. Asalkan kritik itu dilakukan dengan cara yang tidak membabi buta.

Sebelum kritik disampaikan, perlu didahului tahapan proses, dengan pengamatan dan analisis yang mendalam dan ilmiah. Hal ini untuk menggulirkan pembaruan dalam kehidupan beragama Hindu. Proses pembaruan dalam kehidupan beragama Hindu memang sudah digulirkan sejak lahirnya Piagam Campuan tahun 1961. Tetapi, dalam praktiknya banyak hal yang sudah ditetapkan dalam Piagam Campuan tersebut jalannya tersendat-sendat.

Memang ada kelompok tertentu yang sudah kadung mendapatkan kenikmatan sosial dan keuntungan material sangat sulit diajak melakukan perubahan kehidupan beragama yang makin mengarah pada terlaksananya agama Hindu sesuai dengan ajaran Weda. Mengembalikan berbagai tradisi yang menyimpang pada konsep Weda dan mempertahankan tradisi yang masih relevan tentu menimbulkan pro dan kontra.

Hal itu hendaknya dianggap sesuatu yang biasa dalam suatu proses sosial. Janganlah konflik seperti itu dianggap sebagai perpecahan. Masyarakat itu selalu berproses ada yang menuju asosiatif integratif dan ada juga yang mengarah disosiatif menuju deferensiatif. Semua proses sosial itu memiliki aspek negatif dan positif masing-masing. Ke mana pun arah proses sosial itu hendaknya menuju pada penegakan sumbu agama Hindu yaitu kitab suci Weda dan Sastra-sastranya. Atmanastuti bersumber dari tradisi Weda atau Acara. Acara bersumber dari Sila. Sila bersumber dari Smrti, dan Smrti bersumber dari Sruti.
* I Ketut Gobyah
source: BP
 
Pelit Itu Dosa

Paasako matsyaghaati ca vyaadhah saakunikas tathaa
Adaataa karsakas ca iava pancat te sama bhaginah.
(Parasara Dharmasastra II.10).

Artinya: Seorang pasaka (orang yang menangkap binatang dengan memasang jerat) nelayan, pemburu, penangkap burung, orang pelit dipandang sama dan sama juga kualitas dosanya.

HIDUP di dunia ini memang tidak dapat menghindar sama sekali dari perbuatan dosa. Dosa itu hanya dapat dikurangi dan dilemahkan dengan lebih banyak berbuat yang baik seperti melakukan punia dan bhakti. Punia artinya melakukan kebajikan, sedangkan bhakti melakukan pemujaan pada Tuhan dan Dewa Pitara atau leluhur yang telah suci.

Bahkan dalam Manawa Dharma Sastra III.68 dinyatakan bahwa tiap kepala keluarga memiliki lima tempat pembunuhan. Lima tempat pembunuhan itu adalah tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya, tempayan tempat air. Pemakaian lima alat itu menimbulkan dosa.

Namun dalam Manawa Dharma Sastra III.69 dinyatakan bahwa untuk menebus dosa terhadap pemakaian lima alat itu tiap kepala keluarga diajarkan agar melakukan Panca Yadnya tiap hari.

Panca Yadnya tiap hari berwujud Yadnya Sesa yang di Bali disebut masaiban. Yadnya dalam wujud simbolis dengan makanan yang dimasak hari itu sebelumnya disisihkan sedikit dan dijadikan simbol persembahan sebagai wujud Panca Yadnya yang terkecil. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi dosa pembunuhan di lima tempat tersebut.

Negara maju seperti Amerika Serikat sudah memiliki Undang-undang Hak-hak Asasi Hewan. Meskipun tidak dilarang memakan dagingnya, hewan itu harus diperlakukan dengan perasaan yang halus. Tidak dibenarkan memperlakukan hewan dengan semena-mena. Karena itu di AS kalau menyakiti hewan dengan semena-mena pasti ditangkap apabila diketahui oleh petugas negara. Dalam sloka Parasara Dharmasastra yang dikutip di atas dinyatakan bahwa pelit itu juga termasuk dosa, sama dengan menyiksa binatang. Meskipun tergolong dosa yang ringan.

Orang pelit itu adalah orang yang sudah mendapat karunia dari Tuhan berupa rezeki lebih dari yang lain. Namun rezeki itu lebih banyak hanya untuk memenuhi keinginannya sendiri. Perolehan rezeki lebih banyak dari yang lain itu adalah suatu peluang yang diberikan oleh Tuhan untuk menolong mereka yang masih dalam keadaan kekurangan. Pada zaman modern sekarang ini sesungguhnya sudah lebih banyak tercipta peluang mendapatkan rezeki.
Kalau dibandingkan dengan zaman ekonomi masih mengandalkan sistem ekonomi agraris semata.

Mengapa masih ada kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, karena masih ada yang pelit dan tidak adil dalam mendistribusikan rezeki tersebut. Mendapatkan rezeki lebih dari orang lain sering tidak dijadikan kesempatan melakukan dana punia kepada orang yang lebih miskin atau lebih membutuhkan. Bahkan banyak pihak mendapatkan rezeki lebih banyak melalui jalan yang tidak adil, memeras mereka yang kedudukan sosialnya lebih lemah. Bahkan ada yang mendapatkan rezeki lebih banyak itu melalui cara-cara jahat. Rezeki yang lebih banyak sering dirasakan sedikit meskipun secara nominatif mereka sudah jauh lebih banyak memiliki harta benda dari yang lain. Namun hal itu dirasakan masih jauh dari cukup. Karena itu, niat untuk berdana punia pun tidak muncul dalam diri. Orang seperti inilah tergolong pelit. Rezeki yang diperolehnya tidak dikelola berdasarkan kesadaran budi, lebih banyak menggunakan gejolak hawa nafsu.

Sifat pelit banyak menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial, yang dapat menjadi pemicu timbulnya perbuatan-perbuatan dosa. Sifat pelit membunuh tumbuhnya keseimbangan hidup di tengah kehidupan bersama dalam masyarakat. Penderitaan akan dirasakan lebih pedih di hadapan orang yang serba berlebihan oleh mereka yang kecil. Namun akan terobati kalau mereka yang memiliki rezeki lebih itu mau menginvestasikan kelebihan untuk membuka peluang rezeki pada mereka yang lebih kecil. Misalnya kalau mereka yang tergolong kaya itu mau berbelanja di warung rakyat kecil, tidak selalu ke pasar swalayan, bahkan sampai ke luar negeri. Hal itu akan dirasakan pula sebagai sesuatu yang baik dan sebagai suatu punia.

source: BP
 
Dana Punia, Prioritas Beragama Zaman Kali

Tapah para, kerta yuge.
Tretayam jnyana mucyate.
Dvapare yadnyavaivahur.
Daana mekam kalau yuge.
(Manawa Dharmasastra. I.86).

Maksudnya:
Pada zaman Kerta puncak beragama dengan Tapa. Pada zaman Treta dengan Jnyana. Upacara Yadnya pada zaman Dwapara. Sedangkan pada zaman Kali dengan Daana Punia.

MANAWA Dharmasastra I.86 yang dikutip di atas menyatakan, bahwa Tapa adalah prioritas beragama pada zaman Kerta. Jnyana pada zaman Treta, upacara yadnya pada zaman Dwapara dan Daana Punia pada zaman Kali.
Ingat Daana tidak sama artinya dengan Dhana. Daana artinya memberikan dengan tulus ikhlas. Sedangkan Dhana artinya harta benda termasuk uang. Pemberian itu hendaknya didasarkan pada punia.

Punia artinya pengabdian. Daana atau pemberian dengan dasar punia itu tidaklah semata-mata dalam wujud uang. Dapat saja dalam bentuk tenaga, keahlian, dalam wujud waktu, dorongan moral, juga dalam bentuk menahan indria atau hawa nafsu. Seperti tidak serakah, tidak mudah tersinggung, hidup tidak pamer kekayaan, dll.

Dalam Sarasamuscaya 180 menyatakan lebih utama melakukan Abhaya Daana daripada Sarwa Daana. Abhaya Daana artinya pemberian untuk melenyapkan rasa takut. Sedangkan Sarwa Daana adalah pemberian dalam bentuk harta benda. Jadinya kalau bisa, kita saling memberikan bimbingan sesama umat sehingga hidup ini menjadi saling beryadnya (Cakra Yadnya). Orang takut itu karena kebodohannya.

Kalau ia berilmu baik Guna Vidya atau ilmu yang dapat dijadikan dasar mencari nafkah maupun Tattwa Adyatmika atau ilmu kerohanian maka rasa takut itu pun akan mudah diatasi. Bhagwad Gita XVIII.5 menyatakan hendaknya jangan pernah berhenti melakukan Daana, Yadnya dan Tapa. Karena Daana, Yadnya dan Tapa itulah yang akan menyucikan orang yang bijaksana.

Daana dalam hal ini dapat diwujudkan dalam wujud investasi. Investasi itu diplot dalam wujud program dengan landasan Konsep Cakra yadnya sebagaimana disebutkan dalam Bhagawad Gita III.16. Investasi itu untuk menghasilkan suatu produk barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Investasi itu dapat menampung tenaga kerja, memupuk modal, pajak untuk negara dan memelihara lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya.

Karena investasi itu mengelola uang dan berbagai sumber daya maka akan terjadi banyak godaan. Dalam hal inilah kita harus tingkatkan Tapa untuk tidak mudah tergoda untuk menyeleweng dari rencana pengembangan investasi tersebut. Hal ini akan sangat sesuai dengan konsep Mantra AtharvaVeda.III.24.5 yang menyatakan bahwa carilah uang dengan seratus tangan Daana. Puniakanlah dengan seribu tangan. Hal ini tentunya dilakukan melalui investasi yang benar. Dalam Slokantara pada Sloka 2 menyatakan bahwa juah lebih utama memiliki seorang Suputra daripada seratus kali berupacara yadnya. Kalau kita berhasil mengembangkan Daana Punia, arahkan penggunaannya untuk mengembangkan pendidikan untuk melahirkan SDM yang berkualitas (suputra). Menolong mereka yang patut mendapat pertolongan (sang Patra), jangan dihabiskan untuk upacara agama yang lebih menonjolkan hura-hura.

Untuk membangun SDM yang suputra itu berikan kesempatan lembaga umat yang tradisional maupun yang modern untuk melaksanakannya dengan program yang matang. SDM yang berkualitas atau suputra itu hanya akan dapat diwujudkan melalui pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan di luar sekolah. Upacara yadnya zaman Kali ini hendaknya dijadikan media untuk mengembangkan spiritualitas umat.
Spiritual umat yang kuat ini sebagai sumber pendorong untuk memperhatikan nasib orang lain.

Memperhatikan nasib orang lain dengan memberi Daana Punia sesuai dengan keadaannya orang tersebut. Yang penting dengan Daana Punia itu orang tersebut meningkat menjadi SDM yang lebih baik. Kalau ia seorang yang masih dalam tahapan hidup Brahmacari serta memiliki kadar kecerdasan yang baik patut didorong dengan Daana Punia dalam bentuk biaya pendidikan. Hal itu pun diberikan kalau orangtuanya tergolong ekonomi lemah.

Kalau ada orang yang berbakat dalam bidang bisnis namun lemah permodalannya patut ia diberikan saran bagaimana cara mendapatkan modal serta mengembangkan bisnisnya dengan cara-cara bisnis yang benar. Jika ia seorang yang punya kelainan mental patut dibantu untuk membenahi mereka yang terkena gangguan mental tersebut. Konsep Daana Punia dalam arti luas dapat disosialisasikan dalam kegiatan upacara yadnya. Dengan demikian upacara yadnya itu menjadi wadah ajaran Susila dan Tattwanya Agama Hindu. * I Ketut Gobyah



source: BP
 
Makna Hambatan dan Tantangan Agama Hindu

oleh : Drs. I Wayan Catra Yasa

Om Swastyastu,

Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Sastra Bhagawad Gita menjelaskan, bahwa kita mestinya mencari Tuhan yang bersemayam di dalam hati. Disebutkan pula bahwa orang yang Kucintai ialah orang yang tidak mementingkan diri sendiri, melepaskan segala keterikatan, dan bersikap sama dalam suka dan duka. Hal ini sangat sulit bagi orang awam yang mencari kebenaran untuk mencapai keseimbangan seperti itu dan untuk melepaskan diri dari keterikatan serta rasa keakuan. Apalagi orang-orang yang sudah memasuki masa grehasta, hal ini hampir tidak mungkin. Mereka dapat memuja Tuhan melalui berbagai jenis pemujaan, namun sangat sulit bagi mereka untuk menghancurkan keakuan dan menghilangkan rasa individualitas.

Hal ini merupakan tantangan yang sedang kita hadapi sebagai umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Uraian berikut merupakan ilustrasi, bahwa bagaimana kita melihat dimensi keberadaan tentang agama Hindu secara umum. Sebagai agama yang amat tua, yang memiliki pandangan yang amat luas, dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi yang masih dalam garis kemiskinan dengan latar belakang sejarah pertumbuhannya yang khas, umat Hindu benar-benar mendapatkan satu tantangan yang cukup serius dan besar.

Agama itu sendiri sudah merupakan satu ilmu tersendiri yang harus dipahami terlebih dahulu agar dapat diterapkan secara tepat guna, khususnya dalam proses membangun bangsa dan membangun masyarakat seutuhnya, sehingga pemahaman doktrin-doktrin ajaran agama Hindu perlu mendapat perhatian secara khusus. Kemajuan teknologi dan sains, yang dihadapi manusia merupakan satu tantangan tersendiri yang dihadapi oleh umat manusia sehingga tidak jarang manusia yang kurang menyadari penting artinya agama lebih meremehkan agama dari pada ilmu teknologi.

Karena itu timbul anggapan seakan-akan yang paling penting dalam pembangunan sains dan teknologi itu saja tentunya kurang tepat. Timbulnya anggapan seperti itu pada mulanya bersumber pada satu pengertian bahwa agama hanya bersifat mistik, yang hanya mendidik orang untuk hal-hal yang tidak praktis, hanya melakukan ritual, untuk berdoa dan berdiam diri atau meditasi tanpa melakukan aktifitas. Ini dilihat jika ajaran agama Hindu sebagai ajaran yang mengajarkan Nivrtha marga saja atau ajaran yang mengajarkan untuk mengenal moksa saja. Tetapi kenyataannya ajaran agama Hindu memperhatikan pula soal-soal duniawi, seperti soal keselamatan, soal politik, soal ekonomi, sosial budaya, pengobatan yang semuanya dilakukan dengan humanisme.

Sifat kepekaan agama itu perlu dengan catatan terarah, karena apabila tidak terarah, setiap kemajuan yang timbul dalam agama akan ditentang sendiri oleh umatnya. Dalam abad perkembangan sains dan teknologi, sudah selayaknya kalau pendalaman ajaran agama sudah diarahkan pada pola berpikir kearah pada reorientasi penghayatan ajaran agama itu sendiri dan melihat ajaran agama Hindu sebagai suatu ilmu kebijakan.

Kalau agama Hindu harus kita pelajari tidak hanya sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai ilmu, maka cara pendekatannyapun harus diarahkan sebagai satu ilmu yang dapat membantu manusia dalam mencapai tujuannya. Dari hasil penelitian para peneliti ada beberapa kesimpulan bahwa agama Hindu kalau dibahas secara mendalam dan meluas, membahas berbagai bidang ilmu, seperti:

  • Masalah alam semesta
  • Struktur dan bentuk materi
  • Makna dan kedudukan waktu
  • Sifat alam pikiran
  • Evolusi manusia
  • Sejarah manusia dilihat pada jangka waktu
  • Masalah hidup dan mati dan hidup setelah mati
  • Pengendalian pikiran dan badan jasmani
  • Pengendalian Panca Maha Bhuta
  • Pengetahuan politik dan ekonomi
  • Psikologi
  • Teori pengetahuan
  • Cara kerja
  • DLL
Dengan demikian, pada hakekatnya agama Hindu merupakan lebih dari sekedar beragama atau agama biasa dalam arti tradisional. Banyak ilmu yang masih perlu dan yang dapat kita pelajari dan kembangkan untuk dapat diabadikan bagi kepentingan pembangunan, sebagai bentuk pelayanan yang tulus dan ikhlas. *(070722)

Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
 
Sastra Veda

MANTRAM Veda yang berjumlah 20.389 itu adalah sabda Tuhan. Untuk mendalaminya membutuhkan kondisi diri yang mantap lahir batin. Karena itu, mendalami mantram Veda membutuhkan suatu metode tertentu. Dalam kitab Vayu Purana 1.201 dan Sarasamuscaya 39 dinyatakan Itihasa dan Purana adalah media untuk mendaki menuju kesempurnaan Veda. Ramayana dan Mahabharata tergolong Itihasa. Jadi untuk mendalami isi Veda itu hendaknya dipahami terlebih dulu isi Itihasa dan Purana itu. Karena itu, di kalangan umat Hindu umumnya seperti di Bali ini cerita Ramayana dan Mahabharata dengan ajarannya lebih populer daripada mantram Veda. Jadi Ramayana dan Mahabharata adalah ''tangga'' menuju kesempurnaan Veda.

Dalam Manawa Dharmasastra II.6 dinyatakan tahapan untuk membumikan Veda Sruti. Dari Veda Sruti sabda Tuhan itu dijabarkan ke dalam kitab-kitab Dharmasastra. Selanjutnya Dharmasastra dijabarkan ke dalam sila (perilaku/tingkah laku) dan acara untuk mencapai kepuasan rohani atau atmanastusti. Sila itulah yang dituangkan ke dalam bentuk cerita Ramayana dan Mahabharata.

Itihasa berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Jadi Itihasa itu adalah sejarah yang sungguh-sungguh terjadi.

Prof. Dr. Satya Vratsastri, guru besar bahasa Sansekerta di New Delhi University, menyatakan bahwa Itihasa adalah histori yang distorikan atau sejarah yang dikarya-sastrakan. Itihasa itu sejarah penerapan ajaran Veda dalam kehidupan individu dan sosial. Karena itu, dalam Manawa Dharmasastra III.232 dinyatakan agar ajaran Dharmasastra, Itihasa dan Purana itu diperdengarkan kepada para tamu yang hadir saat yadnya dilangsungkan. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa di Bali muncul tradisi pembacaan cerita Ramayana dan Mahabharata serta cerita-cerita Purana lainnya dalam setiap ada upacara yadnya.

Ramayana, Mahabharata dan juga Purana adalah sastra Veda. Artinya ajaran suci Veda itu dituangkan ke dalam bentuk Upadesa Kavya agar lebih mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Upadesa Kavya adalah karya sastra yang memuat ajaran-ajaran kerohanian yang bersumber dari Veda. Ramayana karya Resi Valmika disusun pada zaman Tretya, sedangkan Mahabharata disusun oleh Resi Wyasa pada zaman Dwapara. Hal ini dinyatakan oleh Vettamani dalam buku ''Puranic Encyclopaedia''.

Karya Resi Valmiki dan Resi Vyasa ini menyangkut segala aspek kehidupan. Karya Sastra Veda ini memiliki dimensi yang amat luas sehingga dapat memberikan kita inspirasi untuk terus berkreasi. Kreasi dibolehkan sepanjang untuk membawakan visi dan misi suci Veda. Karena dari Ramayana Valmiki misalnya dikembangkan di India Selatan menjadi Ravana Vada oleh sastrawan yang bernama Batti. Ravana Vada juga disebut Batti Kavya, artinya karyasastra oleh Batti. Meskipun judulnya tidak Ramayana, isi pokoknya tidak menyimpang dari babonnya yaitu Ramayana Valmiki.

Ravana Vada yang berbahasa Sansekerta itulah yang masuk ke Indonesia. Dari Ravana Vada inilah muncul kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno. Di India Utara juga ada Ramayana oleh Tulsidas dan inilah yang sangat populer di India dewasa ini.

Itihasa dan Purana akan terus-menerus dan sangat menarik untuk didiskusikan. Di sanalah letak kelebihan kitab Itihasa dan Purana itu. Kalau hanya menampung pandangan satu arah dan dari satu kelompok saja mungkin Itihasa dan Purana itu tidak lagi dibicarakan orang di setiap zaman di seluruh dunia. Semua pendapat yang berbeda, bahkan tampaknya seperti bertentangan, akan tertampung dan terakomodasi serta tersublimasikan dalam Itihasa dan Purana itu. Ramayana dan Mahabharata dapat saja dikreasi sepanjang untuk memperkuat penerapan ajaran suci Veda. Kalau ia dikreasi berlawanan dengan babonnya tentunya harus dipersoalkan oleh umat Hindu karena ia Sastra Veda.
Sedangkan Veda itu kitab sucinya agama Hindu.
Mengkreasi Itihasa hendaknya tidak untuk ''memukul'' Veda.
 
Pintu Neraka Terbuka untuk Teroris

Ahamkaram balamdarpam
kamam krodham ca samssritah
mam atmaparadehesu
pradvisanto bhyasuyakah.
(Bhagawadgita XVI.18).

Maksudnya: Terlalu biasa dengan kesombongan, kekerasan, kebanggaan dan pengumbaran nafsu marah, mereka itu adalah orang jahat. Mereka itu sesungguhnya memandang rendah Tuhan yang memberikan jiwa pada tubuhnya sendiri dan pada tubuh orang lain.

PARA teroris yakin akan dirinya masuk sorga. Keyakinan seperti itu tentunya boleh-boleh saja. Tetapi menurut keyakinan agama Hindu, semua teroris itu dapat dipastikan masuk neraka. Mengapa demikian? Mereka itu membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan juga tidak dikenalnya sebagai musuh. Bahkan, ada yang seagama dan sebangsa dengan diri para teroris itu. Mereka itu melakukan apa yang disebut dalam budaya Bali agung pati kurang dosa. Artinya membunuh orang-orang yang tidak jelas apa dosanya. Apalagi pembunuhan itu dilakukan karena kesombongan, kebanggaan akan keyakinannya dan penuh dengan nafsu marah. Hal itu jelas suatu kejahatan yang penuh dosa tak berampun. Di samping berdosa kepada mereka yang dibunuhnya, juga berdosa pada Tuhan dan agama yang dianutnya juga kepada negara dan bangsanya.

Dalam Bhagawad Gita XVI.21 dinyatakan bahwa pintu neraka akan terbuka lebar bagi mereka yang melakukan kama, krodha dan lobha. Jadi, kesombongan, mengumbar nafsu marah sampai melakukan kekerasan dengan sengaja dan berencana membunuh orang dengan sembarangan, sangat jelas suatu kejahatan yang tiada berampun. Teroris itu membunuh orang secara membabi buta dengan memperbodoh mereka yang mau dijadikan alat untuk melakukan bom bunuh diri. Yakinlah tidak ada agama di dunia ini mengajarkan hal yang sesat seperti itu.

Dalam Slokantara 71 dinyatakan membakar rumah atau agnida dan sastraghna atau membunuh dengan alasan dendam dan kebencian adalah dua kejahatan yang tergolong dalam enam kejahatan yang disebut Sad Atatayi. Melakukan enam jenis kejahatan itu menurut ajaran agama Hindu tersebut dapat dipastikan akan masuk neraka. Apalagi teroris itu tidak saja membunuh mereka yang tidak jelas dosanya, juga membuat keluarga dan masyarakat luas tercekam derita. Ini menurut ajaran Hindu tergolong himsa karma, maksudnya membunuh orang yang tidak berdosa dengan cara menyiksa. Para teroris itu dapat digolongkan orang yang dalam keadaan wikalpa dan branta.

Dalam kitab Wrehaspati Tattwa 28 dinyatakan orang yang akan mendapatkan pahala sorga adalah mereka yang melakukan dharma dengan kesadaran budhi. Sedangkan mereka yang akan masuk neraka apabila melakukan adharma.

Wikalpa dan branta adalah sebagian dari wujud adharma. Wikalpa artinya mengharapkan sesuatu yang tidak jelas. Para teroris meyakini dirinya akan masuk sorga dengan membakar rumah dan membunuh orang yang tidak berdosa. Ini keyakinan yang sesat.

Perbuatan teroris itu juga menyengsarakan masyarakat luas dan mengkhianati negara dan bangsanya. Keyakinan masuk sorga dengan cara penuh dosa itu adalah suatu harapan berdasarkan keyakinan yang sangat kabur atau berdasarkan khayalan belaka.

Para teroris itu juga sedang menderita keadaan yang disebut branta. Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan branta itu adalah cara berpikir yang sangat keliru. Tuhan yang mahasuci itu tidak mungkin mensabdakan agama untuk membuat sesama manusia sengsara.

Para teroris itulah yang keliru memahami agama yang disabdakan oleh Tuhan. Karena itu ke depan perlu ada kerja sama antara para ahli agama dan ahli pendidik untuk meninjau kembali metodelogi pengajaran dan penerapan agama kepada masyarakat.

Sangat kita sayangkan mereka-mereka yang dijadikan martil bom bunuh diri itu umumnya generasi yang masih sangat produktif. Generasi yang masih memiliki masa depan yang cerah untuk melanjutkan cita-cita mulia agama membangun dunia yang damai, adil dan sejahtera. Sayang mereka terpeleset oleh indoktrinasi beragama dengan cara berpikir yang keliru. Metode pendekatan beragama memang keyakinan. Meskipun dasar beragama adalah keyakinan, unsur logika tidak boleh ditinggalkan begitu saja.

Manusia akan buta dan lumpuh kalau agama dan ilmu tidak disinergikan. Hal inilah menyebabkan Albert Einstain mengingatkan agar agama dan ilmu tidak dibuat berdikotomi. Keyakinan beragama dan berpikir logis harus saling memperkuat secara proporsional. Agama itu bukanlah Tuhan. Agama adalah media untuk mencapai Tuhan.

Untuk mencapai Tuhan menurut agama Hindu melalui jenjang. Jenjang itu adalah mengasihi alam, mengabdi pada sesama manusia dengan konsep punia dan jenjang yang tertinggi bhakti pada Tuhan. Inilah yang disebut Tri Paraartha. *Ketut Gobyah
 
Mengukur Keberhasilan Tradisi Hindu

MENGAMALKAN ajaran Veda menurut berbagai petunjuk sastra suci Hindu haruslah melalui proses tradisi.

Dalam Sarasamuscaya dinyatakan dengan istilah Vedaabyasa dan acara. Vedaabyasa artinya ajaran suci Veda itu harus diterapkan sampai menjadi kebiasaan hidup sehari-hari.

Acara berasal dari kata ''car'' artinya bergerak. Acara artinya langgeng, ajeg atau juga kebiasaan. Dengan demikian acara artinya upaya untuk melanggengkan ajaran cusi Veda tersebut dalam perilaku sehari-hari, baik dalam perilaku individu maupun dalam perilaku sosial. Karena itu, dalam Sarasamuscaya dinyatakan: Acara ngaran prawrtining kawarah linging Sang Hyang Aji. Artinya: Acara adalah pengamalan ajaran kitab suci Veda.

Untuk mencapai wujud tradisi itu maka Veda Sruti sabda Tuhan itu melalui suatu proses bertahap. Manawa Dharmasastra II/6 menyatakan bahwa proses penerapan Veda itu dari Veda Sruti dijabarkan lebih luas ke dalam kitab-kitab Smrti atau Dharmasastra. Dari Dharmasastra ini dijabarkan ke dalam kitab-kitab sila seperti kitab-kitab itihasa dan purana. Dalam kitab-kita itihasa dan purana itulah kita akan menjumpai berbagai sila atau tingkah laku. Ada sila yang patut dijadikan teladan dan ada juga sila yang tidak patut diteladani.

Segala jenis sila yang susila dan yang dursila dipentaskan dalam kitab itihasa dan purana. Selanjutnya silakan manusia mau memilih yang mana. Kalau memilih sila yang susila maka sorga pahalanya. Sebaliknya yang memilih sila yang dursila neraka sebagai pahalanya. Dari sila inilah ajaran suci Veda (agama Hindu) terus dilanjutkan ke dalam bentuk tradisi yang disebut acara. Acara selalu menekankan agar umat berusaha memilih sila yang susila dan menghindari sila yang dursila.

Tujuan mewujudkan ajaran agama Hindu ke dalam acara atau tradisi Hindu itu adalah untuk mencapai Atmanastusti. Istilah ini berasal dari kata ''atma'' dan ''tusta'' artinya kepuasan atman atau kepuasan rohani. Artinya tradisi agama Hindu itu bertujuan memberikan kepuasan rohani kepada umatnya. Jadinya acara itulah sesungguhnya tradisi atau adat dari agama Hindu untuk memberi kepuasan rohani kepada pemeluk Hindu. Yang melakukan proses itu dari Veda Sruti sabda Tuhan terus menjadi dharmasastra, sila dan acara adalah para resi dan pandita yang memang ahli pada ajaran Veda. Sedangkan yang mengamalkan adalah umat yang meyakini Veda itu sebagai sumber ajaran agama Hindu.

Bagaimana mengukur apakah tradisi itu sudah sesuai dengan konsep Manawa Dharmasastra tersebut atau tidak? Ukurannya adalah kepuasan rohani itu. Kalau proses pentradisian agama Hindu itu justru malahan memunculkan makin bergejolaknya hawa nafsu umat itu berarti bukan kesalahan ajaran agama Hindunya, tetapi yang salah adalah yang mengamalkan tradisi tersebut. Karena sangat jelas puncak pertradisian Veda Sruti itu bukan Visayatusti atau kepuasan hawa nafsu, tetapi Atmanastusti. Munculnya beberapa tradisi Hindu yang justru mengobarkan wisaya tusti atau semakin bergejolaknya hawa nafsu umat bukan sebagai tujuan tetapi sebagai suatu proses.

Kurang intesifnya fungsi kontrol pada proses tradisi beragama Hindu itu sebagai salah satu, sebab timbulnya perjalanan tradisi beragama Hindu itu menjadi semakin jauh dari konsep awalnya. Di samping itu, kurang luas dan dalamnya pemahaman sementara pemuka agama Hindu akan sosok ajaran Hindu tersebut. Karena dalam kurun waktu yang cukup lama pemimpin Hindu yang menjadi penuntun umat beragama Hindu ditentukan melalui keturunan.

Seharusnya mereka yang didudukkan sebagai pemimpin yang menuntut kehidupan beragama adalah mereka yang benar-benar dibuktikan sudah sangat paham akan ajaran Hindu yang seutuhnya.

Pelaksanaan beragama Hindu yang menyimpang dari inti ajarannya kalau sudah telanjur mentradisi tidak mudah untuk meluruskannya kembali.

Apalagi tradisi itu memberikan keuntungan sosial dan material kepada sementara pihak, tentunya lebih sulit untuk mengembalikannya pada ajaran yang benar.

Di samping itu, adalah kekaburan batin pada zaman Kali ini.
Umumnya manusia zaman Kali sangat sulit membedakan mana kepuasan rohani dan mana kepuasan akibat gejolak hawa nafsu. Apalagi di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak. Yang mahamutlak hanyalah Brahman.

Beberapa persoalan itulah yang menjadi penghalang untuk melakukan pembenahan pada tradisi Hindu agar kembali menjadi sumber pemberi kepuasan atman kepada umat penganut Hindu.

Tetapi dengan keyakinan yang kuat, tekun dan sabar bagaikan surya yang terus konsisten menguapkan air untuk menjadi mendung untuk menurunkan hujan.

Surya brata itu adalah saneh-saneh denira mengisep welana.


Artinya, dengan sabar dan tekun menguapkan air menjadi mendung. Mendung itulah yang akan memberi kesuburan pada bumi. Demikianlah dalam membenahi tradisi beragama Hindu sangat dibutuhkan ketekunan, kesungguhan dan kesadaran agar mampu terus-menerus memberikan kepuasan rohani pada umatnya.

Marilah kita benahi tradisi beragama Hindu yang masih ada justru sebagai pembangkit hawa nafsu seperti nafsu untuk bermusuhan, arogansi kelompok, mabuk-mabukan, berjudi, penyiksaan hewan, nafsu untuk membeda-bedakan harkat dan martabat dengan sesama, nafsu ingin menguasai dan seterusnya.
 
Menajemen dan SDM Berkualitas

Aatmaanam rathinam viddhi, sariiram rathamtu.
Buddhim tu saaradem viddhi, manah pragram eva ca.
Indriani hayaa aahur visayaams tesu gocaraan
Aatmanendriya mano yuktam, bhoktety aahur mamiisinah.
(Katha Upanishad. I.3-4)

Maksudnya:
Ketahuilah Atman itu adalah tuannya kereta. Badan adalah kereta itu sendiri. Ketahuilah Budhi (kebijaksanaan) itu adalah kusir dan pikiran adalah tali kekangnya. Indria disebut bagaikan kuda. Sasaran indria adalah jalan. Atman dihubungkan dengan badan, indriya dan pikiran. Ialah yang menikmati. Demikian orang bijak menerangkannya. DALAM mantra Katha Upanishad ini adalah suatu pariabel yang mengandalkan diri manusia yang utuh bagaikan kereta yang lengkap. Dalam membangun diri, tidak ada satu unsur pun yang boleh diabaikan. Kereta itu akan dapat berjalan menuju tujuan yang dikehendaki oleh sang Penumpang, jika semua unsur kereta itu ada dalam keadaan normal dan dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya.

Badan kereta diumpamakan bagaikan badan wadag. Kuda itu bagaikan indria. Tali kekang kuda bagaikan pikiran. Kusir kereta bagaikan kesadaran budhi. Idealnya badan kereta dalam keadaan tidak ada yang rusak atau keropos. Demikian juga kuda dalam keadaan sehat dan dapat dikendalikan. Tali kekang juga dalam keadaan kuat mengendalikan kuda. Kusirnya juga harus sehat lahir batin.


Kereta yang berkeadaan seperti itulah yang akan dapat membawa pemilik kereta sampai pada tujuan. Demikian juga diri manusia harus di manajemen dengan sebaik-baiknya. Dengan memanajemen diri secara seimbang, terpadu dan kontinu itu sebagai syarat awal membangun diri yang sehat dan tenang.


Dengan badan yang sehat dan jiwa yang tenang modal awal menemukan minat dan bakat. Dengan ketemunya minat dan bakat dikembangkan dengan manajemen diri yang kontinu mewujudkan keterampilan bahkan profesionalisme yang andal. Menggunakan ajaran Hindu sebagai konsep manajemeni diri dengan tepat kita bangun manusia berkualitas. Jadi, syarat utama membangun SDM menurut ajaran Hindu adalah membangun SDM yang sehat secara jasmani, tenang secara rohani dan memiliki profesionalisme yang andal.


Untuk itu, menyiapkan SDM tidak seperti menyiapkan sebuah mesin untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Manusia itu harus dididik dan dilatih dengan memotivasinya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki jiwa. Dalam Bhagawad Gita III.42 tersirat konsep membangun SDM yang berkualitas dengan manajemen diri yang bertahap.


Dalam Bhagawad Gita tersebut dinyatakan sempurnakanlah indriamu. Tetapi lebih sempurna dari indria adalah pikiran. Lebih sempurna dari pikiran adalah kesadaran budhi. Yang paling sempurna dan suci adalah Atman sebagai sumber hidup dalam diri.


Dalam Sloka Bhagawad Gita tersebut tergambar konsep manajemen diri yang terstruktur seperti halnya Katha Upanishad dalam kutipan di atas. Indria hendaknya dimanajemen agar sehat dapat berfungsi dengan baik dan patuh pada manah (pikiran) yang positif. Demikian juga pikiran harus selalu dilatih berproses logis untuk dapat menerima pencerahan kesadaran budhi.


Kalau manajemeni diri tersebut berhasil, hal itu yang dapat menjadi media mengekspresikan kesucian Atman. Kalau kesucian Atman dapat diekspresikan sampai tampil dalam wujud perilaku nyata maka perilaku itu akan selalu berada pada jalur dharma. Manajemen diri yang mampu mengekspresikan kesucian Atman dalam perilaku itulah sebagai SDM yang berkualitas.

Diri yang termanajemen dengan konsep sastra suci Hindu itu adalah diri yang mampu mewujudkan hidup yang sehat, tenang dan profesional untuk mengabdi pada sesama ciptaan Tuhan.


Mewujudkan konsep Hindu dalam manajemen diri itu sangat memerlukan ketetapan hati dan disiplin diri yang tinggi. Tanpa disiplin dan ketetapan hati, mustahil konsep itu akan dapat direalisasikan. Ibarat menanam pohon di musim kemarau. Harus tiap hari disiram dengan air yang cukup.


Berketetapan hati maksudnya dalam suatu proses perjuangan apa saja pasti banyak godaan atau hambatan yang akan dijumpai. Setiap godaan dan hambatan hendaknya dijadikan bumbu penyedap dalam perjuangan. Orang yang mudah putus asa atau mudah terkebur tidak akan berhasil dalam mewujudkan perjuangan.


Apalagi dalam memanajemen diri sungguh banyak liku-liku yang harus ditempuh dengan penuh perhitungan dan keyakinan. Dengan akal sehat dan keyakinan, Tuhan pasti memenangkan yang benar. Tanpa keyakinan yang kuat, maka manajemen diri itu akan mudah terseret arus sosial yang tidak terarah. Karena itu, manajemen diri (jana kerti) dan manajemen sosial (jagat kerti) harus seimbang.
* I Ketut Gobyah
 
Filosofi Saput Poleng dalam Hipokrit Kehidupan Beragama

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam budaya dan tradisi masyarakat . Negara kita merupakan bangsa majemuk dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa. Kebhinekaan memang merupakan kekayaan dan sumber kekuatan bangsa, namun harus kita akui bahwa kebhinekaan juga mengandung kerawanan jika kita tidak pandai menjaganya. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia semenjak berabad-abad yang lalu, bangsa kita pernah menjadi kelinci percobaan penjajah yang dengan mudahnya di adu domba. Dengan beragamnya dimensi sosial yang ada dan tumbuh berkembang di masyarakat menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah di antara segenap insan sosial. Akankah hal ini terulang kembali? Tentunya tidak bukan! Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tatanan ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin dihindari. Dipertegas lagi bahwa Hyang Widhi yang Maha Pencipta tidak pernah menciptakan sesuatu yang sama. Mahluk ciptaan-Nya berupa manusia diwarnai dengan kemajemukan. Terlihat dari warna kulit, ras, suku, golongan, bangsa, bahasa, dan agama. Seseorang yang beragama Hindu, misalnya pasti akan bergaul dengan pemeluk agama yang lain. Proses ini merupakan hal yang wajar dan alami. Interaksi plurastik terjadi dan dapat dipastikan semua agama mengakuinya.

Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama.. Kondisi ini menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama manusia berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.

Agar hipokrit (munafik sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut kesadaran semua pihak untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain. Pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik dengan mengandalkan kata-kata saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan media pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai, yaitu suatu acuan yang digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu penerapannya ialah dengan memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang ada di Bali, yaitu saput poleng sebagai medianya.
Saput poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur. Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain meliputi saput poleng saput Rwa Bhineda, saput poleng Sudhamala, dan saput poleng Tridatu. Saput poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap (hitam) dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma. Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni dharma dan adharma. Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan merah. Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).

Saput poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh para pecalang (perangkat keamanan), patung penjaga pintu gerbang, dililitkan pada kul-kul atau kentongan, dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional, dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen, Hanoman, dan Bima), dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian, dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan.

Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap kehidupan beragama. Warna putih yang secara umum merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa memberikan kedamaian. Hal ini tercermin dari sikap toleransi untuk menghindari kemunafikan sosial (hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya mengakibatkan perpecahan diantara kita semua. Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk adalah bersaudara. Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati.

Warna hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.

Disamping itu pula, warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk.
Warna merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah, keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak baik.

Seperti yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45 dinyatakan : “Beberapa pengucapan bahasa yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”. Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat malihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan” (Yayurweda, 40.7). Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan.

Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacuan atau kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini dalam diri manusia adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan yang diwarnai oleh beragamnya kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai filosofis yang demikian tinggi dalam saput poleng dapat dijadikan cermin dalam mempertahankan kerukunan kehidupan beragama. Hal tersebut perlu diterapkan agar kita semua terhindar dari hipokrit sosial yang dapat memecah belah kita semua. Keinginan (rajas) yang tak terbatas agar diimbangi sifat mengerem (tamas) serta dikontrol dengan kebijaksanaan (satwam). Keseimbangan rajas dan tamas yang didominasi satwam secara perlahan akan meningkatkan harkat kemanusiaan (Manawa) dan sifat keraksasaan (danawa) menuju sifat kedewataan (madawa). Dan semoga kita semua diberikan kedamaian… (*bddn.org)

Oleh : I Gede Mahendra Wijaya
Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
 
Nilai Agama dan Budaya

Loka samgraham samyukta,
Widarta wihitam puram
Suksma dharma arthaniatam
Satam caritam uttamam.

(Santi Parwa 225.26).

Artinya:
Kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari dharma. Perbuatan dan budi yang luhur untuk kesejahteraan umat manusia itulah dharma yang utama.

BALI pulau yang kecil, sejak zaman dahulu memang dibangun dengan mengeksitensikan nilai-nilai agama Hindu dan budaya oleh Mpu Kuturan. Nilai-nilai agama dan budaya Hindu itu, dijadikan landasan menata kehidupan sosial kemasyarakatan di Bali. Hal itu menyebabkan warisan Mpu Kuturan benar-benar membawa Bali menjadi pulau yang kaya budaya yang indah dan luhur.

Mpu Kuturan mampu memilah dan memilih nilai-nilai agama dan budaya Hindu untuk didayagunakan menata kehidupan masyarakat Bali. Sayang nilai-nilai yang sudah diletakkan itu, dalam era berikutnya banyak yang dilencengkan sehingga di Bali banyak menyimpan bibit-bibit konflik yang menjadi debu menimbun nilai-nilai kesucian agama dan budaya Hindu tersebut.

Ke depan nilai-nilai suci agama dan budaya Hindu tersebut kembali dieksistensikan membangun Bali agar menjadi Bali yang benar-benar Bali. Kata ''Bali'' bukan berasal dari bahasa Bali. Kata ''Bali'' berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya the power fuul. Maksudnya kekuatan yang mahaagung. Karena itu, dalam kitab Rg Veda disebutkan upacara Bali adalah upacara untuk menegakan kekuatan yang mahaagung itu.

Kekuatan yang maha agung itu adalah kesucian Tuhan yang diimplementasikan menjadi suatu norma-norma hidup membangun masyarakat menjadi Jagat Hita. Jagat Hita landasan untuk mencapai Moksha. Nilai-nilai agama dan budaya Hindu yang dipilih oleh Mpu Kuturan banyak terekam dalam lontar-lontar Susastra Hindu di Bali. Demikian juga dalam berbagai bentuk peninggalan budaya Hindu lainnya.

Mpu Kuturanlah yang memproklamirkan Bali ini sebagai Padma Bhuwana dalam Lontar Mpu Kuturan. Padma Bhuwana artinya simbol alam semesta stana Tuhan yang sebenarnya. Ini artinya kesucian dan keagungan Tuhan harus dijadikan pedoman hidup disetiap jengkal tanah Bali. Tidak ada satu jengkal tanah pun di Bali, orang boleh berbuat bertentangan dengan ajaran suci Tuhan.

Makna konsep Padma Bhuwana ini, agar umat benar-benar yakin bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Kalau orang betul-betul yakin pada Tuhan, mereka tidak akan berani melakukan perbuatan yang tidak benar. Karena hal itu pasti diketahui oleh Tuhan. Demikianlah maksudnya Mpu Kuturan menjadikan Bali sebagai Padma Bhuwana. Pura yang dibangun dengan tattwa agama Hindu memiliki makan yang sangat dalam dan universal. Upacara yadnya merupakan visualisasi tattwa dan susila. Dengan nilai-nilai yang sangat konsepsional dan universal menyebabkan Bali menjadi pulau yang sangat terkenal di mancanegara.

Membangun Bali kedepan hendaknya nilai-nilai agama dan budaya Hindu yang sudah diletakan sejak zaman Mpu Kuturan itu dikembalikan eksistensinya secara benar. Bersihkanlah nilai-nilai suci agama dan budaya Hindu dari debu-debu tradisi yang kotor dan sesat. Bangkitlah semangat masyarakat untuk kembali beragama dan berbudaya Hindu yang benar. Ajaklah umat membangun tradisi yang benar-benar sesuai dengan ajaran Hindu dan tuntutan zaman.

Dalan konteks kekinia, peliharalah tradisi beragama dan berbudaya Hindu yang masih relevan dengan ajaran suci Weda dan atuntutan zaman. Mari relakanlah melepas tradisi-tradisi yang memang sudah tidak sesuai dengan ajaran agama dan perkembangan zaman. Banyak nilai-nilai yang sudah pernah diletakan oleh leluhur umat Hindu terutama zaman Mpu Kuturan sudah ketingalan zaman.

Misalnya dalam berdagang. Zaman dahulu dagang menentukan harga menggunakan istilah bani meli bani ngadep. Artinya dalam harga barang itu sudah ada keadilan. Pembeli dan penjual sama-sama tidak rugi. Dalam bekerja ada juga istilah megae bareng-bareng pang paturu hidup. Artinya bekerja sama mencari nafkah agar sama-sama hidup. Sekarang umumnya orang bekerja mencari kekayaan untuk dirinya sendiri dengan merugikan mereka yang lemah.

Ke depan nilai-nilai agama dan budaya hendaknya lebih dieksistensikan membangun masyarakat sejahtera di dunia ini (Lokasamgraham). Sejahtera berdasarkan kebenaran agama di dunia sebagai landasan menuju dunia niskala yang lebih baik. Ke depan Bali harus berani meninggalkan tradisi yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran lewat media kegiatan agama. Kegiatan agama dan budaya harus benar-benar sebagai media peningkatan kualitas spiritual untuk diaplikasikan membangun kehidupan sosial yang adil, setara dan sejahtra. *I Ketut Gobyah
 
Dunia dihancurkan Awatara Pun Turun

Paritranaya sadhunam vinasaya ca duskrtam
Dharma-smsthapanarthaya sambhavmi yuge-yuge
(BGT: 4,8)

Artinya:
Untuk menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma. Aku sendiri muncul pada setiap jaman.

Semakin cangih peradaban manusia, maka mereka akan semakin berupaya melupakan keselamatan sesamanya. Oleh sebab itu di dalam Bhagavadgita disebutkan, ketika peradaban manusia semakin hancur dimana adharma merajalela, maka Dewa Wisnu akan turun ke dunia sebagai Awatara.

Seperti dikatakan, Ketua PHDI Drs. Ida Bagus Agastia (pengurus periode 1991 sampai dengan 1996) Awatara hadir untuk menyelamatkan dunia ini. Ketika manusia mulai melakukan kejahatan, bila dikatakan dalam diri, alam semesta telah ada upaya penghancuran peradaban. Karena mengalami hambatan, maka unsur yang mengakibatkan hambatan tersebut akan dibersihkan dan diganti Ida Sang Hyang Widhi. Penggantian organ tersebut dilakukan diri sendiri melalui sebuah proses yang sangat panjang. Alam semesta perwujudan diri. Sedangkan manusia bagian kecil dari diri tersebut.

Apabila buana agung rusak, maka sang jiwa di jagat agung itu akan mengalami kerusakan juga. Agastia juga menegaskan, semua ajaran awatara (lahir kembali) masuk ke dalam konsep pengembangan agama Hindu. Salah satunya adalah Ramayana dan Mahabharata. Kedua ajaran ini mengandung kesamaan yaitu penegakan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.

Dalam ajaran Ramayana terdapat SAT yang mempunyai makna SATYA yang artinya kebenaran. Kebenaran ini bisa digambarkan pada diri Rama dan Sita. Sedangkan nilai kejahatan akan berkumpul pada kelompok Rahwana. Ketiga tokoh ini memberi dukungan masing-masing untuk berperang membela prinsip masing-masisng. Demikian halnya dengan kisah Mahabharata.

Di mana SAT tersebut ditunjukkan pada diri Dharmawangsa. Jadi ini ajaran Dharma tersebut terdapat dalam diri Dharmawangsa. Sedangkan kejahatan digambarkan dalam sosok Korawa. Dari kedua konsep tersebut bisa disimpulkan ajaran Agama Hindu mempunyai tujuan menegakkan semua energi yang tertuang untuk mendukung dan menegakkan kebenaran.

SAT ini tergantung pada manusia. Sejauhmana Satya yang dipikirkan dengan satya yang diperbuat serta bisa dipertanggungjawabkan. Dan ajaran tentang mempertahankan kebenaran merupakan ajaran kekal abadi (Sanatana Dharma). Sehingga sampai saat ini lebih banyak apresiasi sastra Hindu yang mengajarkan kebenaran.

Dan itu merupakan pencerahan bagi umat. Barang siapa yang melakukan perbuatan ASAT (tidak Satya), pasti akan hancur. Selain itu perlu diwaspadai di dunia ini banyak sekali bermunculan illusi. Maksudnya adalah banyak orang yang merasa melaksanakan kebenaran tetapi sebenarnya ia mempunyai tujuan lain. Contoh yang sangat konkrit ungkap Agastia, ketika seseorang membawa bendera Rama, belum tentu ia dalam dirinya mengajarkan tentang Rama secara benar. Bisa saja hanya membawa nama saja, tetapi ajaran Rama-nya justru tidak dipraktekkan secara benar.

Seperti pengamat Agama Hindu lainnya, Ida Ayu Astini (45), aliran-aliran yang membawa nama tokoh-tokoh pewayangan sangat banyak di India, dan sekarang mereka mulai mencari pengaruh di Bali. Sebenarnya kalau tidak disimpangkan ajaran-ajaran itu jelas sangat bagus. Seperti Kelompok Hare Krishna, tujuannya sangat bagus, tetapi terkadang mereka tampil secara eksklusif yang seolah-olah merekalah yang paling benar tentang ajaran Weda. Akibat dan kondisi tersebut akhirnya di kalangan penyembah tertentu sering bentrok. Ini yang harus kita waspadai. *tim

KRISHNA AWATARA MAHASEMPURNA

Sri Krshna menrupakan sosok awatara yang maha sempurna dibandingkan awatara-awatara Tuhan sebelumnya. Disebut sempurna, karena Krishna memiliki sifat-sifat ketuhanan yang di dalam Bhagavad Gita disebut sebagai Kepribadian Tuhan yang Maha Esa.

Sosok Sri Krishna yang merupakan tokoh pewayangan dalam Mahabharata bukan cerita semata-mata. Sri Krishna adalah seorang sosok kebenaran Weda. Bagi yang yakin dengan Weda beserta ajarannya, maka Mahabharata adalah bagian dari Pancama Weda. Sehingga Sri Krishna tidak usah diragukan lagi. Ungkapan yang serius itu dilontarkan Premadharma Dana dari Asram Sri Sri Radha Rasesvara di Gerih, Abiansemal ketika MBA menghubungi di pesramannya.

Tokoh Sri Krishna dalam tokoh ceritra pewayangan maupun dalam lakon-lakon film India tidak asing lagi, sehingga Sri Krishna adalah sosok atau tokoh panutan dalam kehidupan sehari-hari. Dijelaskan kehadiran Sri Krishna merupakan awatara Tuhan yang sangat sempurna. Diceritakan Premadhana yang bernama asli I Ketut Adi Perbawa mengatakan, seorang Krishna yang lahir di sebuah penjara karena ayah dan ibunya dibui oleh Kamsa lantaran dirinya mendapat pawisik yang isinya dirinya bakala dibunuh oleh anak kedelapan dari istri adiknya Vasudeva.

Ujung-ujungnya setiap istri Vasudeva, Devaki melahirkan anak itu selalu dibunuh Kamsa. Sampai lahirnya anak ke delapanpun tidak terlepas dari usaha pembunuhan. Dari anak yang kedelapan ini lahirlah Sri Krishna, dia luput sari ancaman pembunhan Kamsa. Singkat cerita akhirnya Kamsa-lah yang mati di tangan Krishna.

Krishna lahir disebuah kota yang bernama Mathura tepatnya Desa Gokul, Vrindavan. Kebesaran Sang Krishna tidak lepas dari asuhan Maharaja dan Ibu Yasuda. Semakin remaja penampilan Krishna semakin meyakinkan membesarkan hati umat karena mampu memberikan tuntunan rohani kepada rekan-rekannya.

Ditanya mengapa Sri Krishna diyakini sebagai Awatara?. Dengan tegas dan meyakinkan Premadhana mengatakan. "didalam Kitab Mahabharata yang merupakan bagian dari Pancama Weda jelas dikatakan kelahiran sebelumnya adalah berwujud Sri Rama, dan Sri Rama pun mengatakan pada perjalanan jaman Dwapara Sri Rama akan muncul lagi dan lahir sebagai tokoh Sri Krishna," katanya.

Orang yang yakin dengan Weda dan memahami Weda dengan benar, seyogyanya menganut Weda harus menyemah Krishna karena Krishna adalah pribadi Tuhan, bukan pribadi Dewa. "Sebab Dewa dalam konsep Hindu adalah tenaganya Krishna," imbuh Premadhana dengan hati-hati.

Kalau boleh dikatakan Sri Krishna merupakan awatara yang sempurna sehingga bukan dewa yang turun sebagai awatara melainkan dewa yang merupakan sumber dari kepribadian Krishna. Sri Krishna juga sering disebut dengan Awatari yang artinya sumber dari segala awatara. Lebih tegas dikatakan Krishna adalah sumber awatara sehingga Tuhan itu adalah Krishna. Pernyataan ini sudah tersurat dalam Bhagavad Gita.

Kalau dikaitkan dengan sekta Waisnawa juga memuja Sri Krishna tapi entah bagaimana di Bali konsep Krishna sudah tidak lumrah di puja, mungkin perwujudan itu sudah mengarah ke Dewata Nawa Sanga yang ada Dewa Wisnu, Brahma, Siwa, Mahadewa, Iswara dan dewa lainnya sebagai penjuru arah. Sehingga menurut Premadharma sangat tepat di jaman yang serba bergelimangan materi ini sosok Krishna sebagai penyelamat yang dititahkan Sri Rama di dalam jaman Dwapara akan menjelma lagi. Dan penjelmaan itu sudah terbukti dengan sosok tokoh pembela kebenaran yaitu Sri Krisna . Jika kita melihat kehidupan masa kecil Sri Krishna, jelas penyembah Krishna, Ida Ayu Warsika, dia itu terkenal sangat nakal. Kesehariannya di masa kanak-kanak dihabiskan dengan bermain-main, kemudian mencuri susu. Iya seperti layaknya anak-anak. Walaupun begitu Sri Krishna banyak menyelematkan umat manusia, diantaranya dia berhasil membunuh Kamsa yang sangat jahat dan berperilaku kurang manusiawi terhadap sesamanya. Nah nilai-nilai ini yang harus ditanamkan kepada umat, katanya menambahkan. *patra

SRI KRISHNA "SANG PEMBUNUH"

Sri Krishna dilahirkan ketika negeri Mathura dipimpin seorang raja bernama Kamsa. Kamsa putra Ugrasena yang berasal dari keluarga besar Bhoja ini dikenal sangat sakti tetapi memiliki tabiat yang sangat jahat.

Suatu hari pada saat dia mengemudikan kereta adiknya Vasudeva yang baru saja menikahi Devaki, tiba-tiba ia mendengar ramalan dari alam niskala yang isinya: "suatu hari Kamsa bakal dibunuh oleh anak kedelapan dari pasangan Vasudeva dan Devaki".

Mendengar lamaran itu Kamsa menjadi sangat gelisah. Mengapa anak adiknya justru yang bakal membunuh dirinya, mungkinkah semua ini karena perilakunya selama ini. Karena diganggu oleh pikiran-pikiran buruknya, akhirnya Kasa meminta kepada Vasudeva, agar setiap anak yang lahir dari kansungan Devaki buah perkawinan mereka itu, harus diserahkan kepada dirinya. Vasudeva tidak bisa berbuat banyak.

Sebagai seorang raja yang taat terhadap dharma, Vasudeva menyerahkan anak pertamanya kepada Kamsa. Kamsa sempat terketuk hatinya melihat tingkah adiknya yang berbudi luhur itu. Sampai ia tidak tega membunuh anak adiknya sendiri. Namun ketika dia mendapat bisikan dari Rsi Nerada bahwa kutukan yang didengarnya itu adalah benar, dan dirinya akan dibunuh oleh anak kedelapan dari Vasudeva yang merupakan titisan dari Wisnu yang menjelma sebagai Sri Krishna, sejak saat itu Kamsa menjadi marah besar.

Vasudeva dan Devaki akhirnya dijebloskan ke penjara. Setiap tahu, begitu pasangan suami istrinya melahirkan, anaknya langsung dibunuh. Tidak sampai disini, pikiran Kamsa mulai rusak, ketika dia mendengar anak dalam bentuk titisan Wisnu itu bisa saja lahir di luar istana. Dengan dasar pikiran seperti itu, Kamsa akhirnya membunuh semua anak yang lahir di negeri yang dipimpinnya. Kejahatan menjadi tidak terkontrol.

Dalam mimpi Kamsa terbongkar bahwa Krishna yang sebenarnya bakal lahir di keluarga Yadu, Bhoja dan Andhaka. Karena itu sasaran pemburuan Kamsa hanya di lingkungan ketiga keluarga tersebut. Akhirnya ketiga keluarga itu menjadi bingung. Mereka meminta perlindungan kepada kerajaan lain yang berada di sekitar Mathura.

Setelah membunuh enam anak pasangan Devaki - Vasudeva, Kamsa melalui anak buahnya terus mengintai keadaan pasangan ini, untuk mencari-cari kelahiran anak mereka selanjutnya. Akhirnya Devaki mengandung anaknya yang kedelapan. Hal ini membuat Devaki sangat cemas. Pastilah anaknya ini bakal dibunuh oleh kakak iparnya.

Malam hari sebelum sang bayi lahir, Devaki dan Vasudeva mendapatkan bisikan dari niskala. Isi setelah bayi itu lahir, bayi itu harus ditukarkan kepada anak Yasoda, dan pada saat yang sama Yasoda juga melahirkan seorang bayi, bayi itulah yang harus diambil. Sesuai dengan pawisik itu, Vasudeva malam-malam mengarungi sungai gangga untuk menukarkan anaknya kepada Yasoda. Perbuatan ini benar-benar nekad. Namun berkat perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, akhirnya usaha itu berhasil.

Begitu pagi, seorang penjaga penjara mengabarkan kepada Kamsa, anak kedelapan adik iparnya sudah lahir. Pada saat itu Kamsa mencari adik iparnya untuk kemudian membunuh sang bayi. Lantas apa yang terjadi, ternyata sebelum dibunuh bayi itu sudah terbang. Sembari mengeluarkan peringatan, Sri Krishna sudah lahir kebumi dan siap membunuh Kamsa suatu hari.

Kamsa menjadi semakin kalap, dia membunuh semua bayi yang baru lahir maupun yang sudah menginjak umur beberapa bulan. Dalam perjalanan kehidupan Kamsa memang akhirnya dibunuh oleh Sri Krishna. Pembunuhan ini dilakukan untuk membebaskan Kamsa dari dosa-dosa yang telah dibuatnya selama memerintah negeri Mathura. Sebenarnya dalam konteks Bhagavad Gita , setiap pembunuhan yang dilakukan Sri Krishna adalah untuk membebaskan dan membersihkan dunia dari keangkaramurkaan.

Seperti dikatakan dalam Bhagavad Gita, kapan dan dimana terjadi kekacauan dan dharma tidak ditegakkan, maka pada saat itu dia sendiri yang akan lahir untuk melakukan "pembersihan". Sri Krishna adalah sesrorang pembunuh yang sekaligus membersihkan dunia ini dari kekotoran, kedurjanaan, dari keangkaramurkaan dan dari kebathilan. Sri Krishna merupakan lambang pembebasan, lambang penegakkan dharma.*

Thread terkait:
http://indoforum.org/showthread.php?t=36660
http://indoforum.org/showthread.php?t=36769
 
Meningkatkan Fungsi Pura

Isyavasam idam jagat
Sarvam jagat yat kim ca
Jagat ya jagat.
(Yajurveda XXXX. 1)

Artinya: Tuhan Yang Mahaesa berstana di alam semestha (Bhuwana Agung). Baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

MANTRA Yajurveda ini kembali dikutip pada Kitab Isopanisad I.1. Sesungguhnya Tuhan itu memenuhi seluruh alam semesta ini. Tuhan memenuhi seluruh alam semesta. Tuhan berada di dalam alam semesta maupun di luar alam semesta. Tuhan berada di mana-mana. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah Tuhan tidak berstana di pura saja. Umat awam sering memandang Tuhan hanya berstana di pura.

Sesungguhnya Tuhan itu tak hanya berstana di pura. Pura lebih tepat disebut sebagai tempat memuja Tuhan, karena Tuhan bukan hanya berada di pura. Ibarat lembu betina. Seluruh badan lembu berfungsi memproduksi susu lembu. Namun, susu lembu hanya dapat diperas melalui puting susu lembu. Pura itu ibarat puting susu lembu untuk mendapatkan susu karunia Tuhan. Itu artinya, pura tempat memuja Tuhan untuk mendapatkan anugerah berupa air susu kehidupan yang sejahtera.

Hakikat Tuhan itu ada di dalam dan di luar Bhuwana Agung. Pura pun adalah simbol atau replika dari Bhuwana Agung itu sendiri. Karena itu Pelinggih Meru, Padmasana, tiga areal (Tri Mandala) pura semuanya lambang Bhuwana Agung. Pura itu adalah simbol bhuwana sebagai sarana memuja Tuhan. Ibarat sendok sebagai alat untuk memasukkan makanan ke dalam diri lewat mulut. Dalam analogi itu, yang dimakan adalah nasinya, bukan sendoknya.

Demikian juga ada banyak simbol keagamaan di pura. Semuanya itu sarana untuk memuja Tuhan. Bukan sarana seperti patung atau pelingih itu yang dipuja. Yang dipuja tetap adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Pura sebagai sarana pemujaan Tuhan memiliki dimensi yang amat luas. Tujuan umat memuja Tuhan bukanlah hanya memuja. Memuja Tuhan sebagai salah satu kegiatan beragama untuk mengarahkan diri menuju transformasi rohani ke arah yang makin suci. Kesucian rohani akan menjadi sumber pengendali untuk mengendalikan kualitas perilaku. Perilaku yang semakin berkualitas itulah yang akan dapat mewujudkan hidup yang semakin damai.

Hidup yang damai sebagai kondisi untuk mengembangkan sumber-sumber kehidupan baik yang bernilai material maupun yang bernuansa spiritual. Karena itu, pura sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan hendaknya lebih ditingkatkan peranan dan fungsinya untuk memajukan kualitas hidup umat baik kualitas individu maupun kualitas kolektif.

Lewat sarana pura berbagai program keagamaan yang lebih menyentuh kebutuhan umat dapat dilakukan. Umat akan mampu meningkatkan kualitas hidupnya, apa bila setiap umat memiliki keterampilan. Setiap manusia lahir ke dunia ini membawa karma wasana. Dalam karma wasana itu ada dua muatannya. Ada guna dan swabhawa. Guna itu adalah bibit-bibit bakat dan minat. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat. Lewat kegiatan di pura yang terprogram dengan baik kedua muatan karma wasana dapat dibina. Apalagi pura yang lengkap memiliki jaba sisi, jaba tengah dan jeroan akan lebih mudah mengembangkan program-program yang nyata dapat menyentuh kebutuhan umat.

Di jaba sisi dapat dilakukan program-program yang membantu umat untuk mengembangkan guna widya. Guna widya adalah ilmu yang langsung dapat meningkatkan berbagai keterampilan umat. Dengan keterampilan, umat dapat merebut pasaran kerja untuk mencari nafkah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Di jaba tengah dapat dikembangkan berbagai program meningkatkan pemahaman umat akan nilai-nilai spiritual agama dalam upaya untuk meningkatkan kualitas moral dan daya tahan mentalnya sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan yang semakin penuh gejolak.

Sementara di jeroan pura sebagai Utama Mandala dapat difungsikan lebih intensif melakukan pendakian rohani yang lebih khusyuk sesuai dengan ajaran Hindu semakin mendekatkan Atman dengan Brahman. Meningkatkan fungsi dan peranan pura sangat perlu dirumuskan dengan matang. Perumusan dilakukan oleh umat penyungsung dan dapat dibantu oleh para ahli yang terkait.

Pura jangan hanya difungsikan sebagai tempat upacara ngodalin atau melakukan perayaan hari raya keagamaan semata. Pura dapat difungsikan untuk mengembangkan keseimbangan hidup sekala dan niskala sesuai dengan ajaran Hindu. (Ketut Gobyah*BP)
 
Menguatkan Pikiran

Indriyanam prasanggena
Dosamrcchatyasamsayam
Samniyamya tu tanyeva
Tatah siddhim niyacchati.

(Manawa Dharmasastra II.93)

Maksudnya, oleh karena indra itu terikat pada benda-benda duniawi, manusia tanpa ragu-ragu lagi berbuat dosa. Tetapi bila ia mampu mengendalikannya secara terpadu, ia akan memperoleh keberhasilan dalam semua tujuannya yang benar.


SANISCARA Kliwon Wuku Landep disebut Tumpek Landep. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan Tumpek Landep pinaka landepanning hidep. Artinya, Tumpek Landep sebagai media untuk mempertajam hidep (alam pikiran). Dengan demikian Tumpek Landep itu adalah rerahinan umat Hindu di Bali untuk mengingatkan umat agar meningkatkan daya nalar yang disebut dengan hidep. Kata landep dalam bahasa Jawa Kuno artinya tajam.

Jadi, Tumpek Landep itu mengingatkan manusia untuk mengasah pikirannya agar menjadi lebih tajam atau lebih cerdas menganalisis sesuatu dalam hidup ini. Kata hidep dalam bahasa Jawa Kuno artinya pikiran atau kesadaran. Jadi, Tumpek Landep itu sebagai momen untuk meningkatkan kesadaran alam pikiran umat manusia dalam mengemudikan jalannya hidunya. Seperti dinyatakan dalam kutipan Sloka Manawa Dharmasastra tersebut kalau indria dibiarkan terikat oleh benda-benda duniawi maka dosalah yang kita akan lakukan terus. Kalau ia mampu dikendalikan maka segala cita-cita yang mulia akan berhasil. Dalam Manawa Dharmasastra II Sloka 92 dinyatakan bahwa pikiran sebagai indria yang kesebelas atau rajanya indria.

Semua indria itu harus ditundukkan dengan kekuatan pikiran. Demikianlah ajaran sastra Weda tentang penguasaan indria. Dalam konteks ini indria itu bukan harus dikalahkan, tetapi justru dikendalikan bagaikan kuda yang kuat menarik kereta. Kalau kuda itu mampu kita kendalikan dengan baik maka tujuan pun akan cepat tercapai.

Mengapa umat Hindu di Bali pada hari Tumpek Landep mengupacarai berbagai peralatan hidup seperti keris, segala jenis pisau, kendaraan, alat-alat elektronik? Semua jenis benda-benda tersebut sebagai alat hidup bukan tujuan hidup. Dia hanyalah alat untuk dijadikan sarana dalam menapaki hidup. Agar jangan sarana itu justru mengikat manusia maka diingatkan dengan upacara Tumpek Landep. Dengan upacara tersebut diharapkan kesadaran pikiran kita ditingkatkan agar jangan sampai alat-alat yang berupa benda-benda duniawi sebagai sarana hidup itu menjadi tujuan utama kita. Pengadaan alat-alat hidup tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran pikiran. Jadinya bukan hanya keris saja yang diupacarai tetapi semua benda yang berfungsi sebagai sarana yang menunjang hidup.

Keris itu lambang ketajaman pikiran. Janganlah mengadakan sesuatu sarana hanya untuk pamer demi menonjolkan egoisme sebagai ciri indria yang bergejolak. Justru sarana yang kita adakan itu untuk memperkuat dan mempercepat terselenggaranya tujuan hidup mendapatkan dharma, artha, kama dan moksha. Atau mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir batin.

Dewasa ini banyak orang memiliki berbagai benda duniawi. Benda itu sesungguhnya sarana hidup, bukan untuk menajamkan tujuan hidup dalam mencapai catur purusa artha.

Jika pemilikan benda-benda duniawi itu hanya untuk mengangkat gengsi atau status sosial semata, itulah yang menimbulkan persaingan hidup dengan biaya tinggi. Persaingan hidup dengan biaya tinggi itu akan memunculkan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin tajam. Yang kaya akan semakin kaya. Sebaliknya yang miskin akan semakin miskin. Sebab, mereka yang sudah berkecukupan tidak akan pernah puas memiliki benda tersebut. Apalagi modenya terus diperbarui. Uang yang mereka miliki akan terus dianggarkan untuk mengejar benda-benda duniawi. Untuk berdana punia mereka akan merasa tidak mampu. Uangnya disiapkan untuk mengikuti mode. Tanpa itu mereka akan merasa ketinggalan zaman. Untuk mengikuti mode itu mereka tidak akan merasa terenyuh melihat sesamanya yang miskin, kekurangan makan, tidak mampu membayar obat, tidak mampu menyekolahkan anak, tidak mampu menyewa rumah dan sebagainya.

Oleh karena itu, banten pokok Tumpek Landep adalah sesayut pasupati. Kata pasu dalam bahasa Sansekerta artinya hewan. Sedangkan pati artinya menguasai atau raja. Sesayut artinya menuju yang semakin ayu atau perubahan dari yang kurang baik menuju yang lebih baik atau kerahayuan. Dengan demikian makna dari banten sesayut pasupati adalah untuk menguatkan kekuatan hidep kita agar mampu menguasai nafsu kebinatangan yang mungkin bisa bergejolak dalam diri. Pengadaan benda-benda sarana hidup itu jangan sampai digunakan berdasakan nafsu kebinatangan. Benda-benda itu akan berguna kalau diadakan berdasarkan hidep yang landep. *I Ketut Gobyah
 
Siwaratri Malam Kesadaran

Omkaaraam hrdaye sthaapya
Tattarliine siwaatmakam
Omkaarah samdhrto yasmad.
Dhaaranam vai nigadyate.
(Wrehaspati Tattwa.57)


Maksudnya:

Ada Omkara Sabda namanya, tempatnya dalam hati, itulah supaya ditahan kuat-kuat. Bila ia sepi tak terdengar lagi waktu melaksanakan Yoga, itulah Siwaatma namanya. Pada saat yang demikian Batara Siwa berbadan sunia. Yang demikian itulah Dharana Yoga namanya.


SIWARATRI
artinya malam Siwa. Malam adalah lambang kegelapan hati. Setiap bulan menurut perhitungan tahun Chandra ada malam tergelap yang disebut Tilem atau bulan mati. Setiap tahun ada dua belas kali malam tergelap atau Tilem. Di antara dua belas malam tergelap itu yang paling gelap adalah malam Tilem Kapitu. Sesungguhnya setiap hari Tilem umat semestinya melakukan Brata Siwaratri. Selanjutnya setiap tahun, saat Tilem Sasih Kapitu sebagai Tilem tergelap melakukan Brata Maha Siwaratri.

Dewa Siwa dalam kitab-kitab Purana adalah manifestasi Tuhan dalam fungsinya menuntun umat manusia untuk menguasai Guna Thamas. Memuja Tuhan sebagai Dewa Siwa bukan berarti memuja Guna Thamas. Justru Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan yang dapat memberikan kekuatan untuk menguasai Guna Thamas bagi umat manusia yang memuja-Nya.

Guna Thamas itu adalah guna yang dapat menimbulkan kegelapan hati nurani. Namun, kalau Guna Thamas itu dapat dikuasai dengan menguatkan Guna Sattwam dan Guna Rajas, orang pun akan mencapai sorga. Demikian dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa. 21. Kalau Guna Sattwam dan Guna Rajas yang kuat dalam diri seseorang maka orang yang demikian itulah yang disebut orang yang Jagra.


Jagra artinya kesadaran rohani. Kesadaran rohani ini sebagai tujuan utama orang memuja Batara Siwa saat merayakan Siwaratri maupun Maha Siwaratri. Dengan kuatnya kesadaran rohani itu orang pun akan dapat menghindar dari perbuatan dosa kesadaran rohani. Itu adalah suatu puncak dari upaya yoga membangunkan kekuatan Siwatman dalam diri seseorang. Bagaimana caranya membangunkan kekuatan Siwatman dalam diri? Hal itulah yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa. 57 pada kutipan di atas. Merayakan Siwaratri itu sesungguhnya membangun kekuatan Omkarasabda yang bersemayam dalam diri. Kalau upaya melakukan Brata Siwaratri seperti Jagra, Upawasa dan Mona, maka Omkarasabda yang bersemayam dalam hati itu akan dapat menyepikan suara hawa nafsu. Terkuasainya suara wisaya atau suaranya hawa nafsu itu sebagai ciri Batara Siwa telah meresap di Bhuwana Alit. Untuk mencapai keadaan seperti itu dengan melakukan yoga. Yoga menurut kitab Yoga Sutra Patanjali adalah mengendalikan citra atau pikiran dalam alam pikiran (Yogascitta rtti nirodah). Demikian dinyatakan dalam Yoga Sutra I.1.


Merayakan Maha Siwaratri pada hakikatnya melakukan yoga dalam wujud Jagra, Upawasa dan Mona. Jagra bukan berarti melek tidak tidur secara fisik. Jagra adalah melatih diri agar selalu sadar. Ciri orang sadar dapat membeda-bedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan. Mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting dst. Orang sadar selalu berbuat dengan penuh perhitungan agar jangan sampai merugikan orang lain dan diri sendiri berlandaskan kebenaran.


Perayaan Siwaratri hendaknya menghindari perayaan yang bersifat formal dengan hanya melek semalam suntuk secara fisik, tetapi membiarkan rohaninya dikotori dengan ngelantur ke mana-mana ditarik oleh gaya hidup hedonistis. Demikian juga melakukan Upawasa. Upawasa dalam kitab Purana artinya kembali suci. Upawasa tidak sama dengan kelaparan. Upawasa maksudnya jangan makan makanan yang tak didapat berdasarkan Dharma.
Upawasa saat melakukan Siwaratri untuk menempa diri agar jangan mencari makan sembarangan. Seperti dengan korupsi, berbohong, melalui cara yang tidak adil merugikan orang lain. Mencari makan dengan menghalalkan segala cara akan dapat merugikan orang lain, bahkan negara dan mengotori jiwa sendiri. Jadi Upawasa itu bukan sekadar berlapar-lapar secara formal saat Siwaratri. Demikian juga Mona bukan hanya sekadar berdiam diri tidak ngomong. Artinya, Mona adalah sebagai proses melatih diri agar jangan ngomong sembarangan. Karena omongan yang dikeluarkan sembarangan tanpa berdasarkan kebenaran risikonya sangatlah tinggi. Mona adalah Brata Siwaratri untuk menuntun umat agar setiap ngomong didahului oleh suatu perhitungan tentang akibat yang akan ditimbulkan oleh omongan yang kita keluarkan. * I Ketut Gobyah

 
Menguatkan Diri dalam Hadapi Dinamika Hidup

DALAM Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan "sama duhkha-sukham dhiram". Maksudnya: seimbang dan teguhkanlah diri menghadapai gejolak senang dan sedih.

Fluktuasi senang dan sedih pada zaman Kali ini semakin tajam, terutama bagi mereka yang lemah daya spiritualnya. Membangun sikap hidup yang bijaksana amat sulit kalau masih keadaan diri dikelabui oleh kuatnya gejolak suka dan duka.

Menghadapi meningkatnya dinamika zaman pada era global dewasa ini sungguh tidak mudah. Sangat dibutuhkan peningkatan daya tahan diri agar tidak mudah goyah dan jatuh dalam menghadapi pasang surutnya zaman.

Ada empat hal yang harus terus menerus dilatih untuk meningkatkan daya tahan diri agar tidak mudah tergoyahkan oleh dinamika zaman yang dapat menjebak hidup ini pada lingkaran suka dan duka itu. Melatih diri itu dinyatakan oleh Dr Naresh Bhatia dalam bukunya "Bertatap Muka dengan Tuhan". Melatih diri secara terus menerus itu dinyatakannya atas nasehat guru spiritualnya. Empat hal itu adalah melatih kekuatan badan jasmani, melatih mental, melatih kecerdasan dan melatih kemampuan akal budi agar dapat mencapai wiweka jnyana.

Badan jasmani perlu dilatih dengan membiasakan hidup teratur berdisiplin ketat. Jangan menggunakan badan melebihi kemampuan daya dukungnya. Badan hendaknya selalu dipelihara dan dilatih agar senantiasa sehat, segar dan bugar. Agar badan selalu sehat, salah satu caranya adaleah dengan jangan makan sembarangan. Jangan makan berdasarkan selera lidah saja. Lidah boleh menikmati makanan enak, tetapi jangan sampai makan seenaknya.

Dapatkanlah makanan dengan jalan dharma. Makanlah jenis makanan yang satvika ahara sebagaimana diajarkan dalam Bhagawad Gita XVII.8. Makanlah jenis makanan yang sesuai dengan siklus tubuh alami. Waktu pagi siklus pembuangan, siang siklus pengolahan dan malam siklus pemanfaatan. Memakan jenis makanan sesuai dengan siklus tubuh makanan itu akan memberi manfaat maksimal pada kesehatan tubuh. Demikian menurut teori Dr Harvy dalam buku "Hidup Sehat dan Bugar".

Badan yang disebut sarira dibangun dari lima unsur yang disebut panca maha bhuta yaitu zat padat, cair, panas, udara dan ether. Lima unsur inilah secara umum membangun badan jasmani. Lima unsur inilah yang membentuk tulang, otot, syaraf, darah dan kelenjar dan unsur yang lebih halus lainnya. Menurut para yogi, wujud yang sangat halus dari semuanya itu adalah cakra.

Semua unsur itu harus diberikan makan, minum dan dilatih setiap hari agar berfungsi dengan sempurna. Melatihnya dengan olah raga untuk melenturkan otot dan syaraf secara teratur. Dengan yoga asana untuk menguatkan fungsi kelenjar dengan panca prana-nya. Sedangkan meditasi untuk menguatkan fungsi cakra menyeimbangkan semua unsur hidup dalam diri.

Memelihara dan melatih tubuh ini harus dilakukan dengan disiplin yang ketat (karmasiksana). Melatih mental dilakukan dengan meluaskan kesadaran rohani (satsila). Dengan meningkatkan kesadaran rohani secara terus menerus, jiwa akan menjadi semakin cerah. Dengan jiwa yang cerah itu serta dengan keyakinan pada Tuhan sebagai sutradara agung kehidupan umat manusia, maka mental akan menjadi semakin kuat menghadapi berbagai dinamika kehidupan. Suka dan duka akan diterima dengan sikap yang teguh (dhira) dan seimbang. Tidak akan ada kejadian apapun di alam semesta ini tanda seizin dan atas kesaksian Tuhan. Latihlah setiap hari menguatkan keyakinan tersebut. Ada banyak metode untuk melatih katahanan mental tersebut.

Melatih kecerdasan dilakukan dengan rajin belajar membaca teori-teori, pandangan dan berbagai perluasan wawasan hidup. Upaya pemahaman teoritis itu dilanjutkan dengan rajin mengamati dan menganalisa berbagai persoalan dalam kehidupan empiris. Untuk melakukan hal ini, salah satu caranya dengan rajin membaca dan mengikuti sajian berbagai media secara kontinyu. Untuk meningkatkan kemampuan wiweka jnyana yaitu kemampuan untuk membeda-bedakan baik-buruk, benar-salah, patut-tidak, wajar-tidak, dan seterusnya. Untuk hal ini, wajib dilakukan upaya penguatan daya spiritualitas melalui kegiatan keagamaan sebagaimana yang tertera dalam kitab suci. Kitab suci Hindu memuat banyak jalan bagi setiap orang untuk memajukan kehidupan spiritualitasnya.

Ajaran Hindu memuat berbagai petunjuk hidup untuk menguatkan dirinya sehingga hidup ini tidak dirasakan sebagai beban yang memberatkan. Ajaran Hindu bukanlah ajaran yang membebani umatnya dengan sejumlah kewajiban yang memberatkan hidupnya. Ajaran Hindu justru memberikan kekuatan pada umat penganutnya agar mampu memikul berbagai beban hidup. Kalau ada umat yang merasa terbebani hidupnya oleh kewajiban-kewajiban agama, hal itu bukanlah salahnya ajaran agama. Umatlah yang kurang paham dalam memahami ajaran agama Hindu yang dianutnya.

Ajaran Hindu disabdakan oleh Tuhan bukan untuk membuat umat penganut menjadi semakin berat dan sulit dalam menjalankan kehidupan. Kalau benar dan tepat caranya umat memahami dan mengamalkan ajaran Hindu tersebut, justru akan menjadi hidup semakin cerah dan sehat lahir batin. Demikian juga dalam kebersamaannya umat, akan semakin harmonis dan bersinergi secara dinamis dan produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lahir batin. Umat tidak akan hidup kesepian dalam dunia ramai. Dalam kebersamaan itu umat akan dapat memenuhi kebutuhan sosiologis dan psikologisnya.

Dengan menjadikan hidup ini sebagai proses untuk melatih empat hal yang sudah disebutkan tadi secara terus menerus dengan berdisiplin, maka umat akan tangguh menghadapi perjalanan zaman yang sangat dinamis ini. Jika orang-orang tangguh menghadapi dinamika hidup, maka vibrasi spiritual yang tersebar akan semakin positif. Kalau banyak orang kecewa, sedih, marah, kesal, dendam dan senantiasa berniat buruk, maka vibrasi yang tersebar akan negatif. Vibrasi yang negatrif ini amat kuat pengaruh negatifnya pada pembangunan diri yang tenang dan damai. *BP
 
Tiga Ciri Suksesnya Pengamalan Agama

MASIH banyak orang yang baru merasa beragama kalau sudah melaksnakan upacara yadnya atau melakukan sembahyang. Menolong orang menderita, berdana punia di bidang pendidikan, tidak mengotori lingkungan, berlalu lintas yang sopan mengikuti aturan, hidup hemat, hal itu sering tidak dianggap sebagai perilaku mengamalkan ajaran agama. Padahal, berbuat baik, benar dan wajar diajarkan sebagai pengamalan agama.

Berbakti pada Tuhan sesungguhnya untuk memotifasi agar manusia dapat berbuat baik, benar dan wajar, untuk membenahi kualitas hidup dirinya sendiri, kualitas kehidupannya bersama dalam masyarakat dan kualitas perilakunya pada alam lingkungan.

Upacara yadnya adalah merayakan hari raya agama sebagai metode sakral untuk menanamkan tattwa agama agar umat termotivasi melakukan perilaku nyata memelihara hak azasi alam berdasarkan rta. Demikian juga untuk menegakan dharma agar kualitas moral dan daya tahan mental semakin meningkat. Agama Hindu juga mengajarkan agar memelihara kesehatan dan kebugaran fisik sebagai media untuk berbuat baik, benar dan wajar.

Citra kehidupan beragama akan menjadi semakin terpuruk kalau pengamalan agama menyebabkan kehidupan umat manusia semakin rusak. Sebutlah misalnya atas nama agama melakukan teror yang demikian kejam kepada sesama manusia, karena alasan berbeda agama tidak mau bergaul setara dengan sesama manusia. Ada juga karena alasan agama, orang membeda-bedakan harkat dan martabat manusia, seperti memandang kedudukan wanita lebih rendah dari laki-laki. Dengan alasan agama, orang mendudukkan suatu wangsa tertentu lebih tinggi dari wangsa yang lain.

Pengamalan agama seperti itu akan merusak citra agama. Perilaku yang demikian itulah sesungguhnya tergolong melakukan penodaan agama yang melanggar ajaran agama itu sendiri dan juga ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Pengamalan agama dalam kehidupan ini baru dianggap berhasil setidak-tidaknya dapat dilihat dari tiga kriteria -- adanya peningkatan kualitas hidup manusia secara individual, adanya peningkatan kualitas kehidupan sosial, dan adanya peningkatan upaya pelestarian alam lingkungan. Tanpa adanya kemajuan dalam tiga aspek kehidupan itu, berarti kehidupan beragama belum berhasil memberikan kontribusi positif pada kehidupan ini.

Keyakinan dan pemujaan pada Tuhan salah satu wujud dari pengamalan agama. Kalau pemujaan Tuhan itu tidak mendatangkan perbaikan pada tiga aspek tersebut, maka ada sesuatu yang salah dalam proses pengamalan agama. Kesalahan itu bukan pada ajaran agama yang suci sabda Tuhan tersebut.

Tiga kriteria suksesnya pengamalan agama dapat diamati sbb.:

Pertama, adanya peningkatan kualitas hidup secara individual. Artinya dengan mengamalkan ajaran agama, seseorang hidupnya menjadi semakin berkualitas. Dengan mengamalkan ajaran agama, hidup seseorang lebih tenang dan damai dalam kejiwaannya, lebih sehat secara fisik, lebih disiplin dalam melakukan kehidupan, lebih mampu menata kehidupan yang semakin sejahtera lahir dan batin.

Demikian juga secara individual moralnya semakin luhur, daya tahan mentalnya lebih tangguh menghadapi hiruk pikuk, pasang surut serta suka dukanya kehidupan ini. Proses kehidupan yang multidimensi ini diselenggarakannya dengan seimbang dan wajar dan dengan demikian kehidupan di bumi ini tidak dirasakan sebagai beban yang demikian memberatkan. Suka duka diterimanya dengan sikap yang adil dan dengan akal sehat.

Dalam diri setiap orang, menurut sastra Hindu ada kekuatan citta yang disebut aiswarya. Unsur aiswarya ini adalah unsur pikiran yang mendorong seseorang berniat dan berbuat untuk meningkatkan kualitas diri terus menerus. Dengan mengamalkan ajaran Hindu, unsur aiswarya itu menjadi semakin kuat dalam citta atau alam pikiran seseorang. Dengan begitu, orang pun semakin kuat niatnya meningkatkan kualitas dirinya secara individual.

Kedua, dinamika kehidupan sosial yang semakin harmonis. Dinamika sosial itu tetap sinergis. Sinergi sosial itu mampu menumbuhkan produktivitas sosial yang semakin kondusif menciptakan nilai-nilai spiritual dan nilai material yang seimbang dan berkesinambungan. Dengan nilai itu, umat manusia hidupnya semakin rukun, aman dan damai. Agama seharusnya mampu didayagunakan untuk memanajemen berbagai perbedaan agar menjadi keanekaragaman yang membawa daya tarik menghapuskan kejenuhan jiwa.

Agama jangan diekspresikan justru untuk membawa keruhnya kehidupan sosial yang dalam dunia global semakin pluralistik. Kondisi pluralistik ini justru dibina untuk membangun dialog sosial yang multikultur. Dialog sosial itu dapat mendorong munculnya inspirasi spiritual dalam mengakomodasikan berbagai aspirasi yang berbeda dari berbagai pihak. Pengamalan agama dapat meredam dengan cantik emosi sosial yang kadang-kadang meledak karena dipicu oleh pihak-pihak tertentu. Memelihara kualitas individu dan sosial bedasarkan ajaran dharma.

Ketiga, pengamalan agama akan sukses dengan ciri tidak adanya perilaku manusia mengeksploitasi keseimbangan alam lingkungan yang melanggar hukum rta. Lingkungan yang rusak karena adanya kerakusan sementara pihak, sementara orang-orang kaya menggunakan sumber-sumber mineral yang tak terbarukan secara berlebihan. Misalnya minyak bumi, bijih besi, timah, emas, perak, dll.

Semua sumber mineral yang tak terbarukan itu dieksploitasi secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai kerusakan bumi. Demikian juga menurunnya keberadaan air tawar di bumi karena penggunaan yang berlebihan dan juga karena adanya pengerusakan hutan yang sulit dihentikan. Semua itu mestinya tidak terjadi kalau agama dapat berfungsi meredam kerakusan manusia. Alam seharusnya dijaga penggunaannya secara seimbang dengan tidak melanggar hukum rta.



I Ketut Wiana
 
Memilih Pemimpin dan Segudang Bibit Bunga

SETELAH Pilpres berlangsung dengan kelebihan dan kekurangannya, maka selanjutnya kita mengharapkan terbentuknya kabinet baru yang akan bertugas memimpin pembangunan bangsa Indonesia lima tahun ke depan.

Dalam Kekawin Nitisastra disebutkan, "Masepi ikang desa tan ana mukya". Artinya, "amat sepilah desa itu kalau tidak ada yang memimpin". Ini menggambarkan betapa pentingnya kehadiran pemimpin dalam suatu masyarakat bangsa apalagi suatu negara. Masyarakat diibaratkan sebagai sebuah taman bunga. Dalam taman bunga itu tentunya ada bermacam-macam kualitas bunga. Orang pun akan memilih bunga-bunga yang dianggap baik untuk memenuhi suatu keperluan.

Dalam naskah Jawa Kuna, Nawa Natya, ada disebutkan tentang tatacara memilih pemimpin pembantu raja. Raja dalam ajaran Nitisastra artinya "dia yang telah membahagiakan rakyat". Raja, dalam memilih pemimpin untuk membantunya memimpin masyarakat, diibaratkan seperti memilih bibit bunga yang akan disemaikan dalam taman bunga. Dalam Lontar Nawa Natya itu disebutkan bahwa bibit bunga yang baik untuk disemaikan dalam taman adalah bunga yang mekar, indah warnanya, harum baunya, tahan lama, tidak disukai oleh hama penyakit, hijau daunnya, dan tak mudah layu.

Dalam memilih pemimpin calon pembantu raja, hendaknya berpedoman pada cara memilih bibit bunga tersebut. Dalam Nawa Natya digambarkan adanya sembilan syarat bagi seseorang yang dapat dipilih sebagai pemimpin pembantu raja. Sembilan syarat yang disebut Nawa Natya adalah:

* Pradnya widagda, artinya bijaksana dan mahir dalam berbagai ilmu pengetahuan. Orang yang berilmu itu bukanlah orang yang memiliki kemampuan untuk mengadopsi ilmu yang terdapat dari berbagai buku atau sumber-sumber lainnya, ke dalam otaknya -- apalagi ilmu itu sampai menenggelamkan dirinya ke dalam kesombongan dan kebingungan. Orang berilmu adalah orang yang mampu menjadikan ilmu sebagai alat untuk memperkuat eksistensi dirinya sebagai manusia. Ilmu itu belumlah cukup hanya menjadi alat untuk memperkuat sang diri, namun harus mampu diekspresikan hingga menjadikan seseorang bijaksana. Orang yang mampu menjadikan ilmu sebagai alat untuk memperkuat diri dan mampu menjadikan seseorang bijaksana inilah yang disebut pradnya widagda.

* Parama artha, artinya orang yang memiliki cita-cita mulia dalam hidupnya. Parama itu utama atau mulia, artha itu tujuan atau cita-cita. Cita-cita utama adalah orang yang dalam mencari sumber hidup dan kehidupan melalui bhakti pada Tuhan dan mengabdi pada sesama dengan penuh cinta kasih. Dari bhakti-nya pada Tuhan dan pengabdiannya pada sesama itulah mereka mendapatkan sumber hidup dan kehidupan.

* Wira sarwa yudha, artinya pemberani dalam menghadapi pertempuran. Dalam keadaan perang, pemimpin pembantu raja ikut berperang. Namun dalan keadaan damai, sikap wira sarwa yudha ini tidak takut menghadapi masalah yang terjadi dalam melakukan tugas-tugas kepemimpinan. Pemimpin itu jangan lari dari persoalan yang dihadapi dalam pekerjaannya. Setiap persoalan yang timbul hendaknya dijadikan kesempatan untuk berbuat yadnya atau melakukan sesuatu yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Yang terbaik itu adalah sesuatu yang berbadasarkan kebenaran dan menuju kebenaran.

* Dirotsaha, artinya teguh dan tekun dalam berupaya. Dirotsaha berasal dari kata dira artinya teguh atau tekun dan utsaha artinya berupaya. Dalam tugas-tugas kepemimpinan, apalagi pada zaman Kali dewasa ini, tentunya banyak persoalan yang tidak begitu gampang diselesaikan. Sikap yang teguh dan tekun sangat dibutuhkan dalam berupaya mencari solusi-solusinya. Keteguhan dan ketekunan itu bukanlah suatu keangkuhan, namun didasarkan pada kuatnya rasa bhakti pada Tuhan dan disertai dengan keyakinan bahwa Tuhan pasti akan memberikan petunjuk pada mereka yang teguh dan tekun berusaha untuk menemukan kebenaran.

* Pragi wakya, artinya pandai menyusun kata-kata dalam pembicaraan. Salah satu tugas seorang pemimpin adalah menyampaikan buah pikirannya dalam suatu pembicaraan dengan pihak lain. Kalau tidak memiliki kemampuan pragi wakya, pihak lain bisa salah mengerti pada buah pikiran yang ingin dikomunikasikan. Hal ini akan sangat menghambat seseorang pemimpin dalam melakukan tugas-tugasnya. Pragi wakya akan diperoleh melalui kegemaran membaca dan latihan-latihan berbicara.

* Sama upaya, artinya taat pada janji. Janji adalah mahkota yang menentukan wibawa seorang pemimpin. Taat pada janji adalah salah satu cara bagi seorang pemimpin untuk memelihara kepercayaan masyarakat. Karena itu, pemimpin tidak boleh sembarang berjanji. Setiap janji haruslah dianalisa secara mendalam bahwa janji itu akan dapat ditaati. Kepercayaan adalah napas bagi seorang pemimpin.

* Lagha wangartha, artinya orang yang tidak memiliki pamrih pribadi yang sempit. Orang tidak akan terjebak pada pamrih yang sempit apabila keyakinannya sangat mendalam tentang kebenaran ajaran karma phala. Karena hanya perbuatan yang baiklah yang akan memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu, berkonsentrasilah untuk berbuat yang baik sesuai dengan swadharma.

* Wruh ring sarwa bhastra, artinya tahu mengatasi kerusuhan, mirip dengan ilmu "manajemen krisis" dewasa ini. Kerusuhan dalam kehidupan bersama, apalagi dalam suatu wadah negara, merupakan ancaman yang sewaktu-waktu mungkin saja muncul. Seorang pemimpin harus sudah memperhitungkan semua kemungkinan tersebut dan harus sudah memiliki berbagai upaya mencegahnya, serta jika sampai kerusuhan itu muncul sudah punya konsep untuk mengatasinya.

* Wiweka, artinya kemampuan untuk dapat membeda-bedakan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat. Juga mampu mengambil sikap mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting, dan seterusnya. Hal ini tidak dapat diperoleh hanya dengan membaca buku saja, namun harus dilakukan melalui latihan-latihan yang tekun dalam masyarakat di samping itu harus juga ada bakat.

sumber: BaliPost
 
Kapan Dunia Kiamat

Oleh I Ketut Wiana

Tapah param krta yuge
tretayam jnanamuscyate.
Dwapare yajnaewahur
Danamekam kalau yuge.
(Manawa Dharmasastra, I.86).


Maksudnya: Pada zaman Kerta Yuga, dengan bertapalah cara beragama yang paling utama. Zaman Treta Yuga, beragama dengan mengamalkan ilmu pengetahuan suci (jnana) itulah yang paling utama. Zaman Dwapara Upacara, yadnya-lah yang paling utama. Sedangkan pada zaman Kali Yuga, dana punia-lah cara beragama yang paling utama.

PERUBAHAN terjadi karena adanya perjalanan waktu. Waktu terjadi karena adanya peredaran isi alam. Misalnya bumi mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Demikian juga planet-planet yang lainnya beredar sesuai dengan hukum Rta. Agar hidup ini dapat mengikuti perubahan waktu, sikap hidup pun harus berubah disesuaikan dengan perubahan itu.

Alam ciptaan Tuhan ini memberikan ruang dan waktu pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Seperti pernyataan sloka Manawa Dharmasastra I.86, ada tuntunan cara beragama umat manusia pada setiap zaman. Semua ciptaan Tuhan ditata berdasarkan hukum utpati (tercipta), sthiti (hidup terpelihara) dan pralina (lenyap kembali kepada asalnya). Alam dan isinya ini, setelah masanya selesai beredar dan berputar-putar, akan pralina atau pralaya. Istilah lainnya, kiamat.

Ada suatu kelompok keyakinan yang menyatakan dunia akan kiamat akhir 2009 ini. Ada juga isu-isu yang menyatakan dunia akan kiamat akhir 2012. Pendapat atau pandangan tentang dunia kiamat itu dalam era demokrasi dewasa ini tentunya boleh-boleh saja. Yang patut dijelaskan, bagaimana pandangan Hindu tentang dunia kiamat ini.

Istilah kiamat memang tidak dijumpai dalam ajaran Hindu. Namun, yang mirip dengan konsep kiamat mungkin konsep pralina atau pralaya dalam kitab-kitab Purana. Dalam kitab-kitab Purana, utpati, sthiti dan pralina dibahas secara khusus. Memang terdapat sedikit perbedaan antara Purana satu dan Purana lainnya mengenai konsep ini. Namun, secara umum menyangkut hal-hal yang substansial, semua Purana isinya sama, bahwa semua ciptaan Tuhan ini kena hukum Tri Kona yaitu utpati, sthiti dan pralina itu.

Dalam kitab Brahma Purana misalnya dinyatakan satu hari Brahman (satu kalpa) atau satu siang dan satu malamnya Tuhan lamanya 14 manwantara. Satu manwantara = 71 maha yuga. Satu maha yuga = empat zaman yaitu kerta, treta, dwapara dan kali yuga. Satu maha yuga = 432 juta tahun.

Sekarang peredaran alam semesta sedang berada pada manwantara ketujuh dibawah pimpinan Vaivasvata Manu. Ini artinya pralaya atau kiamat total akan terjadi setelah manu ke-14 berakhir. Manu ke-14 adalah Suci sebagai Indra Savarni Manu.

Empat Konsep

Konsep pralaya dalam Wisnu dan Brahmanda Purana ada dinyatakan empat konsep pralaya yaitu:

* Nitya Pralaya yaitu proses kematian yang terjadi setiap hari dari semua makhluk hidup. Bahkan dalam diri manusia pun setiap detik ada sel tubuhnya yang mati dan diganti dengan sel baru. Sel tubuh manusia terjadi utpati, sthiti dan pralina. Naimitika pralaya adalah pralaya yang terjadi dalam satu periode manu. Menurut pandangan ini akan terjadi pralaya terbatas dalam setiap akhir manwantara. Ini artinya akan terjadi 14 kali naimitika pralaya atau kiamat terbatas atau kehancuran alam secara terbatas.

* Prakrtika Pralaya yaitu terjadinya pralaya secara total setelah manwantara ke-14. Saat terjadinya Prakrtika Pralaya, seluruh alam semesta beserta isinya lenyap dan kembali pada Brahma atau Tuhan yang Mahaesa dalam waktu yang panjang atau satu malamnya Brahma. Setelah itu akan terjadi penciptaan lagi dan memulai dengan manwantara pertama lagi. Prakrtika Pralaya inilah yang mungkin identik dengan konsep kiamat menurut kepercayaan lainnya. Karena, semua unsur alam dengan segala isinya kembali pada Brahman. Menurut keyakinan Hindu, hanya Tuhanlah yang kekal abadi.

* Atyantika Pralaya yaitu pralaya yang disebabkan oleh kemampuan spiritualnya melalui suatu pemberdayaan jnyana yang amat kuat sehingga seluruh dirinya masuk secara utuh lahir batin kepada Tuhan Brahman.

Demikian konsep pralaya (semacam kiamat) menurut Hindu. Yakinlah, pralaya dalam arti Prakrtika Pralaya tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, apalagi dinyatakan akhir tahun ini atau tahun 2012 mendatang. Sedangkan Nitya Pralaya akan terjadi dalam setiap hari, ada makhluk hidup yang mati dan ada yang lahir.

Untuk menyelamatkan diri dari pengaruh buruk pada setiap perjalanan yuga itu, Swami Satya Narayana menyatakan agar manusia berperilaku seperti zaman atau mengikuti yuga sebelumnya. Misalnya, pada zaman treta, Sri Rama dan para pengikutnya berperilaku mengikuti zaman kerta yuga meskipun Sri Rama hidup pada zaman treta yuga. Sedangkan Rahwana berperilaku seperti zaman kali. Karena itu, Sri Rama dengan pengikutnya selamat hidup di bawah lindungan dharma dan Rahwana hancur karena hidup berdasarkan adharma.

Demikian juga Pandawa dengan Sri Krisna hidup pada zaman dwapara yuga, tetapi perilakunya mengikuti zaman kerta dan treta yuga. Dengan demikian Pandawa dan Sri Krisna memenangkan hidup berdasarkan dharma, sedangkan Korawa hancur karena mengikuti cara hidup yang adharma.

Demikianlah kini, kalau ingin selamat dari pengaruh zaman kali, hiduplah seperti zaman dwapara. Bahkan kalau bisa, ikuti treta atau kerta, maka akan selamatlah dari pengaruh buruk zaman kali. Justru pengaruh baiknya yang akan didapatkan.
 
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam budaya dan tradisi masyarakat . Negara kita merupakan bangsa majemuk dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa. Kebhinekaan memang merupakan kekayaan dan sumber kekuatan bangsa, namun harus kita akui bahwa kebhinekaan juga mengandung kerawanan jika kita tidak pandai menjaganya. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia semenjak berabad-abad yang lalu, bangsa kita pernah menjadi kelinci percobaan penjajah yang dengan mudahnya di adu domba. Dengan beragamnya dimensi sosial yang ada dan tumbuh berkembang di masyarakat menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah di antara segenap insan sosial. Akankah hal ini terulang kembali? Tentunya tidak bukan! Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tatanan ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin dihindari. Dipertegas lagi bahwa Hyang Widhi yang Maha Pencipta tidak pernah menciptakan sesuatu yang sama. Mahluk ciptaan-Nya berupa manusia diwarnai dengan kemajemukan. Terlihat dari warna kulit, ras, suku, golongan, bangsa, bahasa, dan agama. Seseorang yang beragama Hindu, misalnya pasti akan bergaul dengan pemeluk agama yang lain. Proses ini merupakan hal yang wajar dan alami. Interaksi plurastik terjadi dan dapat dipastikan semua agama mengakuinya.

Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama.. Kondisi ini menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama manusia berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.

Agar hipokrit (munafik sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut kesadaran semua pihak untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain. Pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik dengan mengandalkan kata-kata saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan media pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai, yaitu suatu acuan yang digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu penerapannya ialah dengan memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang ada di Bali, yaitu saput poleng sebagai medianya.
Saput poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur. Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain meliputi saput poleng saput Rwa Bhineda, saput poleng Sudhamala, dan saput poleng Tridatu. Saput poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap (hitam) dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma. Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni dharma dan adharma. Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan merah. Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).

Saput poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh para pecalang (perangkat keamanan), patung penjaga pintu gerbang, dililitkan pada kul-kul atau kentongan, dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional, dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen, Hanoman, dan Bima), dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian, dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan.

Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap kehidupan beragama. Warna putih yang secara umum merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa memberikan kedamaian. Hal ini tercermin dari sikap toleransi untuk menghindari kemunafikan sosial (hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya mengakibatkan perpecahan diantara kita semua. Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk adalah bersaudara. Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati.

Warna hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.

Disamping itu pula, warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk.
Warna merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah, keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak baik.

Seperti yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45 dinyatakan : “Beberapa pengucapan bahasa yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”. Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat malihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan” (Yayurweda, 40.7). Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan.

Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacuan atau kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini dalam diri manusia adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan yang diwarnai oleh beragamnya kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai filosofis yang demikian tinggi dalam saput poleng dapat dijadikan cermin dalam mempertahankan kerukunan kehidupan beragama. Hal tersebut perlu diterapkan agar kita semua terhindar dari hipokrit sosial yang dapat memecah belah kita semua. Keinginan (rajas) yang tak terbatas agar diimbangi sifat mengerem (tamas) serta dikontrol dengan kebijaksanaan (satwam). Keseimbangan rajas dan tamas yang didominasi satwam secara perlahan akan meningkatkan harkat kemanusiaan (Manawa) dan sifat keraksasaan (danawa) menuju sifat kedewataan (madawa). Dan semoga kita semua diberikan kedamaian… (*bddn.org)

Oleh : I Gede Mahendra Wijaya
Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB


Saya SUka dengan Filosofi ini...

Saya Mau minta Bantuan anda, saya sedang mau akan skripsi, saya akan membahas semiotika dari kain saput poleng ini, karena ini mempunyai makna yang sangat dalam.

saya menemukan judul buku yang membahas
Saput Poleng: Cermin Baik dan Buruk
Judul : Saput Poleng Dalam Kehidupan Beragama Hindu di Bali
Penyusun : I Ketut Rupawan
Tebal : i-xii, 132 halaman
Penerbit : Pustaka Bali Post

saya sedang mencari ini, atau anda bisa merekomendasikan buku apa atau referensi dari mana saya bisa mendapatkan data-data yang otentik.

Sebelumnya saya ucapkan terimakasih.

mohon pencerahannya.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.