• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dhammapada Atthakatha

Syair 423 (XXVI:39. Kisah Devahita, Seorang Brahmana)

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha menderita penyakit ringan pada lambung perut dan ia menyuruh Upavana Thera untuk mencari air panas dari Devahita, sang brahmana.

Sang brahmana sangat senang karena mempunyai kesempatan yang sangat langka untuk memberikan sesuatu kepada Sang Buddha. Maka sebagai tambahan dari sekedar air panas, ia memberi sirup gula kepada sang thera untuk Sang Buddha.

Di vihara, Upavana Thera memberikan air hangat untuk mandi kepada Sang Buddha. Setelah mandi ia memberi Sang Buddha campuran sirup gula dan air hangat. Setelah minum campuran tersebut Beliau segera merasa lega.

Sang brahmana kemudian datang dan bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante! Pemberian yang dilakukan kepada siapa yang memberikan manfaat terbesar bagi seseorang?"

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana! Suatu pemberian yang dilakukan kepada seseorang yang telah meninggalkan semua kejahatan adalah yang paling bermanfaat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 423 berikut :

Seseorang yang mengetahui semua kehidupannya yang lampau, yang dapat melihat keadaan surga dan neraka, yang telah mencapai akhir kelahiran, telah mencapai kesempurnaan pandangan terang, suci, murni, dan sempurna kebijaksanaannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, brahmana menjadi teguh keyakinannya terhadap 'Sang Tiga Permata' (Buddha, Dhamma dan Sangha), dan menjadi pengikut awam Sang Buddha yang berbakti.
 
-tamat-

- Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata -
- Semoga Semua Mahkluk Berbahagia -

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Buddha.jpg
 
Ada empat jenis manusia yang ditemukan di dunia ini. Siapa sajakah mereka? Seseorang dengan sedikit pengetahuan yang tidak mengambil manfaat dari pengetahuannya, seseorang dengan sedikit pengetahuan yang mengambil manfaat dari pengetahuanya, seseorang dengan banyak pengetahuan yang tidak mengambil manfaat dari pengetahuanya, dan seseorang dengan banyak pengetahuan yang mengambil manfaat dari pengetahuannya.

Dan bagaimanakah seseorang dengan sedikit pengetahuan yang tidak mengambil manfaat dari pengetahuannya itu? Dalam hal ini, orang itu hanya memiliki sedikit pengetahuan dalam ajaran-ajaran (Dhamma), ia tidak mengetahui baik kata-kata maupun maknanya, dan ia tidak hidup sesuai dengan Dhamma.

Dan bagaimanakah seseorang dengan sedikit pengetahuan yang mengambil manfaat dari pengetahuannya itu? Dalam hal ini, orang itu hanya memiliki sedikit pengetahuan dalam ajaran-ajaran (Dhamma), tetapi dari apa yang diketahuinya ia mengerti baik kata-kata maupun maknanya, dan ia hidup sesuai dengan itu.

Dan bagaimanakah seseorang dengan banyak pengetahuan yang tidak mengambil manfaat dari pengetahuannya itu? Dalam hal ini, orang itu belajar secara luas dalam ajaran-ajaran (Dhamma), ia tidak mengerti baik kata-kata maupun maknanya, dan ia tidak hidup sesuai dengan Dhamma.

Dan bagaimanakah seseorang dengan banyak pengetahuan yang mengambil manfaat dari pengetahuannya itu? Dalam hal ini, orang itu belajar secara luas dalam ajaran-ajaran (Dhamma), yang mengerti baik kata-kata maupun maknanya, dan ia hidup sesuai dengan Dhamma. [Anguttara Nikāya II : 5]

6620_1131786173034_1178643001_30361626_6566410_a.jpg
 
“Jika siapa pun yang mengkritik Aku (Tathāgata), Dhamma, atau Sangha, engkau tidak seharusnya menjadi marah, benci atau bingung karenanya. Karena jika engkau menjadi demikian, hal itu akan mengganggumu, dan engkau tidak akan dapat mengetahui apakah mereka berkata benar atau salah. Maukah engkau menjadi seperti itu?”

“Tidak, Bhante.”

“Jadi, jika orang-orang lain mengkritik Aku, Dhamma, atau Sangha, dengan mudah engkau dapat menjelaskan apa saja yang tidak tepat dengan mengatakan, ‘itu tidak tepat, itu tidak benar, itu bukan cara kami, kami tidak berbuat itu.’ Tetapi juga, jika orang-orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, engkau tidak seharusnya menjadi gembira, senang atau angkuh karenanya. Karena jika engkau menjadi demikian, hal itu akan mengganggumu. Jadi jika orang-orang memuji-Ku, Dhamma atau Sangha, dengan mudah engkau dapat menjelaskan apa saja yang benar dengan mengatakan, ‘Itu tepat, itu benar, itulah cara kami, itulah yang kami perbuat.’” [Dīgha Nikāya I : 3]

5260_1129305311014_1178643001_30353998_1369471_a.jpg
 
Kembangkanlah meditasi (tentang) cinta kasih, karena dengan berbuat demikian, kebencian akan lenyap.
Kembangkanlah meditasi (tentang) welas asih, karena dengan berbuat demikian, kejahatan akan lenyap.
Kembangkanlah meditasi (tentang) simpati, karena dengan berbuat demikian, ketidaksukaan akan lenyap.
Kembangkanlah meditasi (tentang) keseimbangan batin, karena dengan berbuat demikian, reaksi yang ditimbulkan oleh rangsangan panca indera akan lenyap.
Kembangkanlah meditasi (tentang) kekotoran, karena dengan berbuat demikian, kemelekatan akan lenyap.
Kembangkanlah meditasi (tentang) ketidak kekalan, karena dengan berbuat demikian, kecongkakan “keakuan” akan lenyap.
[Majjhima Nikāya I : 424]


6580_1134902130931_1178643001_30370666_2790325_a.jpg
 
Terdapat enam bahaya dari ketagihan terhadap minuman keras : kehilangan kekayaan, meningkatnya perselisihan, kesehatan yang memburuk, kehilangan nama baik, melakukan hal-hal yang tidak senonoh, dan kecerdasan yang melemah.
[Dīgha Nikāya III : 182]


9728_1136146082029_1178643001_30373561_2757063_a.jpg
 
Apabila terdapat pertentangan pendapat dalam pembicaraan, dapat diduga akan banyak perdebatan, apabila terdapat banyak perdebatan, seseorang akan timbul emosinya, dengan timbulnya emosi, seseorang tidak akan dapat mengendalikan diri, dan bila seseorang tidak dapat mengendalikan diri, pikiranya akan jauh dari konsentrasi.
[Anguttara Nikāya IV : 87]


9728_1135544626993_1178643001_30372296_2502116_a.jpg
 
Bila siapa pun menyakiti wajahmu, memukulmu dengan kepalan tangan, melemparimu dengan gumpalan tanah, memukulmu dengan tongkat atau melukaimu dengan pedang, engkau harus mengesampingkan semua keinginan dan pertimbangan duniawi serta melatih dirimu dengan cara seperti ini, “Batinku tidak akan tergoyahkan. Tiada perkataan jahat yang akan kuucapkan. Aku akan hidup dengan welas asih untuk kebaikan makhluk lain, dengan kemurahan hati, tanpa rasa dendam.” Demikian engkau harus melatih dirimu. [Majjhima Nikāya I : 124]


5260_1123659409870_1178643001_30339636_7571770_a.jpg
 
9728_1158747047039_1178643001_30432724_5862101_n.jpg

Dikatakan bahwa orang-orang Sakya dan Koliyā membendung air sungai Rohini di antara kapilavattu dan Koliyā dan mengolah ladang-ladang di kedua tepi sungai itu. Pada bulan Jetthamūla, hasil panen mulai menjadi layu, dan para buruh yang dipekerjakan oleh kedua kota itu berkumpul. Orang-orang Koliyā berkata, “Apabila air dialirkan untuk kedua belah sisi sungai, tidak akan mencukupi kedua belah pihak. Karena hasil panen kami hanya akan masak dengan tanpa membagi air itu, biarlah kami memiliki air tersebut.” Tetapi orang-orang Sakya menjawab, “Setelah lumbung-lumbung kalian penuh, kami tidak mau menukarkan barang-barang berharga kami dan dengan keranjang dan tas-tas di tangan, pergi dari pintu ke pintu, mengemis dari kalian. Hasil panen kami hanya akan masak dengan tanpa membagi air itu, maka biarlah kami memiliki air tersebut.”

“Kami tidak akan menyerahkannya kepada kalian.”

“Dan kami pun tidak akan membiarkan kalian memilikinya.”

Pembicaraan menjadi sengit, seorang memukul yang lain, pukulan dibalas, perkelahian pun pecah, dan ketika mereka berkelahi, mereka melontarkan caci maki asal usul masing-masing. Para pekerja Koliyā berkata, “Bawalah anak-anak kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian. Bagaimana kami dapat dicelakakan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai, dan senjata-senjata dari orang-orang yang seperti anjing dan serigala hidup sebagai suami isteri dengan saudara-saudara perempuan mereka?” Para pekerja Sakya menjawab, “Kalian penderita kusta, bawalah anak-anak kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian. Bagaimana kami dapat dicelakakan oleh gajah-gajah, kuda-kuda, perisai-perisai, dan senjata-senjata dari orang-orang buangan melarat yang hidup diatas pohon seperti binatang.”

Kedua kelompok itu masing-masing pulang dan melaporkan pertikaian itu kepada para menteri yang bertugas yang selanjutnya melaporkan kepada rajanya. Orang-orang Sakya mempersiapkan diri untuk bertempur sambil berkata, “kami akan memperlihatkan kekuatan dan kemampuan dari orang-orang yang telah hidup sebagai suami isteri dengan saudara-saudara perempuan mereka.” Orang-orang Koliyā mempersiapkan diri untuk bertempur sambil berkata, “Kami akan memperlihatkan kekuatan dan kemampuan dari orang-orang yang tinggal diatas pohon.”

Ketika Sang Bhagavā memandang ke dunia pada dini hari, Beliau melihat sanak saudaranya dan berpikir, “Jika Aku tidak pergi, mereka akan saling memusnahkan. Adalah kewajiban-Ku untuk mengunjungi mereka.” Beliau terbang melewati langit menuju ke tempat sanak saudaranya berkumpul, dan duduk bersila, melayang diatas sungai Rohini. Ketika melihat Beliau, mereka membuang senjata dan bersujud kepada Beliau. Lalu Sang Bhagavā berkata, “Apa yang dipertengkarkan, Raja yang agung?”

“Kami tidak mengetahui apa-apa, Bhante.”

“Lalu siapa yang mengetahui?”

“Panglima angkatan bersenjata yang mengetahui.”

Ketika ditanya, panglima mengemukakan bahwa raja muda mungkin mengetahuinya. Maka Sang Bhagavā bertanya kepada mereka satu persatu dan tak seorang pun diantara mereka yang mengetahui penyebab pertikaian, sampai pada buruh ditanyai. Mereka menjawab, “Kami bertikai mengenai air.”
Lalu Sang Bhagavā berkata kepada raja, “Berapakah nilai air, Raja yang agung?”

“Sangat kecil, Bhante.”

“Berapakah nilai seorang serdadu?”

“Seorang serdadu, Bhante, adalah tak ternilai harganya.”

Lalu Sang Bhagavā berkata, “Tidaklah benar demi sedikit air kalian harus membunuh para serdadu yang tak ternilai harganya.” Mereka semua terdiam. “Para Raja yang agung, mengapa kalian bertindak demikian? Jika Aku tak berada di sini hari ini, kalian akan menyebabkan sebuah sungai darah mengalir. Tindakan kalian tidak berfaedah. Kalian hidup dalam kebencian, menyerahkan diri kepada lima jenis kebencian. Aku hidup dengan penuh cinta kasih. Kalian menderita karena nafsu. Aku hidup bebas dari penderitaan. Kalian hidup dengan mengejar lima kesenangan indera. Aku hidup dengan kepuasan hati.”
[Dhammapada Atthakatā 254]
 
Kisah Tiga Kelompok Orang

13339_1228215759623_1655965075_594589_6687886_a.jpg


Kelompok pertama : Sekelompok Bhikkhu dalam perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para Bhikkhu. Salah satu rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.

Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para Bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.

Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.


Kelompok kedua : Kelompok Bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.

Kapten kapal berkata dengan sedih, "Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi."

Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.

Setibanya di tempat tujuan mereka, para Bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.


Kelompok ketiga : Sekelompok Bhikkhu yang terdiri dari tujuh Bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah Vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.

Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.

Pada pagi harinya, Bhikkhu-Bhikkhu dari Vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh Bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.

Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para Bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.

Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.

Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama, "Para Bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam Neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ke tujuhnya."

Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua, "Para Bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam Neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya."

Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga, "Para Bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ke tujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ke tujuh jalan keluar mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya."

Kemudian para Bhikkhu berkata, "O memang benar ! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua."


Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Benar, Bhikkhu ! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 127 berikut :

Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung
atau di manapun juga dapat ditemukan suatu tempat
bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri
dari akibat perbuatan jahatnya.


Semua Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Syair 127 (IX:11.)
DHAMMAPADA ATTHAKATHA
Kisah-Kisah Dhammapada
 
7517_102062159809161_10000016133359.jpg


Dhammapada
BAB XIV. BUDDHA VAGGA - Buddha

(181) Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, yang bergembira dalam kedamaian pelepasan, yang memiliki kesadaran sejati dan telah mencapai Penerangan Sempurna, akan dicintai oleh para dewa.

Dhammapada Atthakatha :

Kisah Kembalinya Sang Buddha dari Tavatimsa

Pada suatu saat, ketika berada di Savatthi, Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ganda dalam menjawab tantangan para pertapa dari berbagai sekte. Setelah itu, Sang Buddha pergi ke surga Tavatimsa; ibu-Nya yang telah lahir di surga Tusita sebagai dewa yang dikenal dengan nama Santusita juga datang ke surga Tavatimsa. Di sana Sang Buddha menjelaskan tentang Abhidhamma kepada para dewa dan brahmana selama tiga bulan masa vassa. Hasilnya, dewa Santusita mencapai tingkat kesucian sotapatti; begitu pula dengan banyak dewa dan brahma.

Selama masa itu Sariputta Thera menghabiskan vassa di Sankassanagara, tiga puluh yojana dari Savatthi. Selama ia tinggal disana, setiap hari Sang Buddha juga menyampaikan ringkasan Abhidhamma kepadanya, dan selanjutnya ia mengajarkan Abhidhamma kepada lima ratus orang bhikkhu yang tinggal bersamanya dan menutup keseluruhan ceramah pada saat berakhirnya masa vassa.

Menjelang akhir masa vassa, Maha Moggallana Thera pergi ke surga Tavatimsa untuk menjenguk Sang Buddha. Kemudian, ia diberitahu bahwa Sang Buddha akan kembali ke dunia manusia pada saat bulan purnama di akhir masa vassa di tempat Sariputta Thera melaksanakan masa vassa.

Seperti yang telah dijanjikan, Sang Buddha datang dengan sinar enam warna yang terus menerus bersinar dari tubuh-Nya ke gerbang kota Sankassanagara, pada malam hari di bulan purnama di bulan Assayuja ketika bulan bersinar dengan terangnya. Beliau diiringi oleh sekumpulan besar dewa di satu sisi dan sekumpulan besar brahma di sisi yang lainnya.

Sekumpulan besar orang yang dipimpin oleh Sariputta Thera menyambut kedatangan Sang Buddha ke dunia ini; dan seluruh kota diterangi cahaya. Sariputta Thera terpesona oleh keagungan dan kemuliaan dari seluruh pemandangan kembalinya Sang Buddha.
Ia dengan hormat mendatangi Sang Buddha dan berkata, "Bhante! kami tidak pernah melihat ataupun mendengar kemuliaan yang begitu indah dan gemerlapan. Sungguh, Bhante dicintai, dihormati, dan dipuja oleh para dewa, brahma dan manusia!"

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Anakku Sariputta, seorang Buddha yang memiliki sifat-sifat unik sesungguhnya dicintai oleh manusia dan para dewa."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Ye jhānapasutā dhīrā
nekkhammūpasame ratā
devāpi tesaṃ pihayanti
sambuddhānaṃ satīmataṃ."

Orang bijaksana yang tekun bersamadhi,
yang bergembira dalam kedamaian pelepasan,
yang memiliki kesadaran sejati
dan telah mencapai Penerangan Sempurna,
akan dicintai oleh para dewa.

Kelima ratus orang bhikkhu yang merupakan murid-murid dari Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian arahat, dan banyak sekali dari kumpulan orang yang hadir di sana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

-----------------------------
Notes :
Selama tiga bulan masa vassa tsb, Sang Buddha berdiam di surga Tavatimsa untuk mengajarkan Abhidhamma. Setiap hari, untuk memenuhi kebutuhan badan kasarnya, Sang Buddha turun ke dunia dan berpindapata di Uttarakuru, kemudian menuju danau Anotatta dimana Sariputta Thera sudah menunggunya. Setelah memberi penjelasan singkat mengenai apa yang dibabarkan di Tavatimsa, Sang Buddha kemudian kembali ke Tavatimsa.
Selama Beliau turun ke dunia, Beliau menciptakan kembaran diriNya untuk menggantikan Beliau mengajar Abhidhamma kepada para dewa..
 
Syair 78 (VI:3. Kisah Channa Thera)

Channa adalah pelayan yang menyertai Pangeran Siddhattha ketika beliau pergi meninggalkan istana dengan menunggang seekor kuda, dan ingin meninggalkan keduniawian. Ketika Sang Pangeran telah mencapai tingkat Ke-Buddha-an, Channa tetap mengikutinya dengan menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, ia sangat sombong dan suka bersikap main kuasa, hal itu disebabkan hubungannya yang dekat dengan Sang Buddha.

Channa kerap berkata, "Saya yang menemani Tuanku ketika Beliau meninggalkan istana dan menuju ke hutan. Pada waktu itu, saya satu-satunya teman Beliau, dan tiada yang lainnya. Tetapi sekarang, Sariputta dan Moggallana mengatakan bahwa mereka berdua adalah pemimpin dari para bhikkhu dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan memerintah para bhikkhu !"

Ketika Sang Buddha mengundang dan memperingatkan perihal perilakunya itu, ia diam, tetapi kemudian terus-menerus mencela dua murid utama, Sariputta dan Moggallana.

Sampai tiga kali Sang Buddha memanggil dan memperingatkannya, tetapi ia tetap tidak berubah. Sekali lagi Sang Buddha memanggil Channa, dan berkata, "Channa inilah dua murid utama yang mulia dan teman yang baik untukmu, kamu harus bergaul dengan mereka dan jalinlah hubungan yang baik dengan mereka."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 78 berikut ini :

Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah; tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur.

Walau telah diperingatkan beberapa kali dan nasehat-nasehat juga telah diberikan oleh Sang Buddha, Channa tetap melakukan hal yang disukainya dan terus berkata-kata yang tidak baik terhadap bhikkhu-bhikkhu tersebut. Sebenarnya, Sang Buddha mengetahui hal ini dan Beliau berkata bahwa Channa tidak akan berubah selama Sang Buddha masih hidup. Tetapi setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa pasti berubah. Pada malam sebelum mangkat (parinibbana), Sang Buddha memanggil Ananda Thera ke samping tempat berbaring Beliau dan memerintahkan Ananda Thera agar menjatuhkan hukuman Brahma (Brahmadanda) kepada Channa. Sebagai contoh, para bhikkhu tidak boleh menghiraukannya dan tidak melakukan pekerjaan apapun bersama Channa.

Setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa mendengar hukuman yang diberikan oleh Ananda Thera. Ia merasakan penyesalan yang mendalam atas kesalahan-kesalahannya sehingga ia tidak sadarkan diri sebanyak 3 kali. Kemudian ia mengakui kesalahannya kepada para bhikkhu dan meminta maaf. Pada saat itu ia mengubah tingkah lakunya dan pandangannya. Ia juga patuh pada petunjuk mereka untuk praktek meditasi. Beberapa waktu kemudian Channa mencapai tingkat kesucian arahat.
da06_003.jpg


Syair 79 (VI:4. Kisah Mahakappina Thera)

Mahakappina adalah Raja dari Kukkutavati. Ia mempunyai seorang permaisuri bernama Anoja. Ia juga memiliki seribu orang menteri yang membantu kelangsungan pemerintahan.

Suatu hari Raja bersama seribu orang menteri pergi ke taman. Di sana mereka bertemu dengan beberapa pedagang dari Savatthi. Mendengar tentang Buddha, Dhamma, dan Sangha dari para pedagang, Raja dan menteri-menterinya segera pergi ke Savatthi.

Pada hari itu, ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Beliau melihat bahwa Mahakappina dan para menterinya sedang dalam perjalanan menuju Savatthi. Beliau juga mengetahui bahwa mereka dapat mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha pergi ke suatu tempat yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi untuk menemui mereka. Di bawah pohon Banyan di tepi sungai Candabhaga, Sang Buddha menunggu mereka.

Raja Mahakappina dan para menterinya datang ke tempat di mana Sang Buddha menunggu. Ketika mereka melihat Sang Buddha dengan enam warna terpancar dari tubuhnya, mereka mendekati Sang Buddha dan menghormat Beliau. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah mendengarkan khotbah itu raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Sang Buddha melihat masa lalu (kehidupan lalu) mereka, dan mengetahui bahwa mereka sudah pernah mempersembahkan jubah kuning pada kehidupan lampau. Beliau lalu berkata kepada mereka "Ehi bhikkhu", dan mereka semua menjadi bhikkhu.

Sementara itu, Permaisuri Anoja, mendengar tentang kepergian raja ke Savatthi, memanggil istri dari seribu orang menterinya dan bersama-sama mereka mengikuti jalan yang dilalui raja. Mereka juga sampai ke tempat di mana Sang Buddha sebelumnya menemui Raja Kukkutavati. Mereka menemui Sang Buddha yang memancarkan enam warna dan kemudian menghormat Beliau. Pada saat itu Sang Buddha dengan kemampuan batin-Nya membuat raja dan para menterinya tidak dapat dilihat, sehingga istri-istri mereka tidak dapat melihat mereka. Oleh karena itu ratu bertanya di mana raja dan para menterinya berada. Sang Buddha berkata kepada ratu dan rombongannya untuk menunggu beberapa saat dan menyatakan tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya. Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah lain kepada mereka. Pada saat khotbah berakhir, raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian arahat. Ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah itu ratu dan rombongannya melihat bhikkhu yang baru saja ditahbiskan dan mengenali mereka bahwa mereka sebelumnya adalah suaminya.

Wanita-wanita itu kemudian memohon izin kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhuni; mereka langsung pergi ke Savatthi. Di sana mereka diterima menjadi bhikkhuni, dan tak lama kemudian mereka juga mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana bersama seribu bhikkhu.

Di Vihara Jetavana, Mahakappina ketika beristirahat sepanjang malam atau pada siang hari sering berkata,"Oh, bahagia !" (Aho Sukham). Para bhikkhu yang mendengarkan beliau mengucapkan kata-kata itu beberapa kali dalam sehari, melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka Sang Buddha menjawab "Anakku Kappina telah merasakan bahagianya kehidupan dalam Dhamma dengan pikiran yang tenang; ia mengucapkan kata-kata itu sebagai ungkapan kegembiraan yang meluap-luap berkenaan dengan nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 79 berikut :

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran yang tenang. Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.
da06_004.jpg


Syair 80 (VI:5. Kisah Samanera Pandita)

Pandita adalah seorang putra orang kaya di Savatthi. Ia menjadi seorang samanera pada saat berusia tujuh tahun. Pada hari ke delapan setelah menjadi samanera, ia pergi mengikuti Sariputta Thera berpindapatta, ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya dan bertanya kepada Y.A. Sariputta Thera, "Dapatkah air yang tanpa kesadaran dibimbing ke tempat yang seseorang kehendaki ?" Sang Thera menjawab,"Ya, air dapat dibimbing kemanapun yang dikehendaki seseorang."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, samanera melihat beberapa pembuat anak panah memanasi panah mereka dengan api dan meluruskannya. Selanjutnya ia mlewati beberapa tukang kayu sedang memotong, menggergaji, dan menghaluskan kayu untuk dibuat roda kereta.

Kemudian ia merenung, "Jika air yang tidak memiliki kesadaran dapat diarahkan kemanapun yang seseorang iinginkan, jika bambu yang bengkok yang tanpa kesadaran dapat diluruskan, dan jika kayu yang tanpa kesadaran dapat dibuat sesuatu yang berguna, mengapa saya tidak dapat menjinakkan pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang."

Kemudian ia memohon izin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai objek perenungan. Sakka dan para dewa membantu pelaksanaan meditasinya dengan cara menjaga kesunyian suasana vihara dan sekitarnya. Sebelum waktu makan tiba, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian anagami.

Waktu itu Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera. Sang Buddha melihat dengan kemampuan batin luar biasa-Nya bahwa Samanera Pandita telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan jika ia meneruskan melaksanakan meditasi maka tidak lama lagi mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memutuskan untuk mencegah Sariputta memasuki kamar samanera. Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, samanera mencapai tingkat kesucian arahat. Jadi, samanera mencapai tingkat kesucian arahat pada hari ke delapan setelah ia menjadi samanera.

Berkenaan dengan hal itu, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu di vihara,"Ketika seseorang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dhamma; Sakka dan para dewa akan melindunginya dan menjadi pelindung. Saya sendiri mencegah Sariputta masuk di muka pintu kamar, sehingga Samanera Pandita tidak terganggu. Samanera setelah melihat petani mengairi ladangnya, pembuat anak panah meluruskan panah-panah mereka, dan tukang kayu membuat roda kereta, mengendalikan pikirannya dan melaksanakan Dhamma; ia sekarang telah menjadi seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 80 berikut :

Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bijaksana mengendalikan dirinya.
da06_005.jpg


Syair 81 (VI:6. Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera)

Bhaddiya adalah seorang bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana. Karena tubuhnya pendek maka ia dikenal dengan sebutan Lakundaka (pendek) oleh para bhikkhu lainnya. Lakundaka Bhaddiya mempunyai sifat yang sangat baik; meskipun bhikkhu-bhikkhu muda mengganggunya dengan memutar hidungnya atau telinganya atau menepuk kepalanya. Sangat sering mereka mengejek dengan mengatakan "Paman, bagaimana keadaanmu ?" Apakah kamu bahagia, atau, apakah kamu bosan dengan kehidupan sebagai seorang bhikkhu di sini?" dan lain sebagainya. Lakundaka Bhaddiya tidak pernah membalas dengan kemarahan atau mencaci mereka; bahkan dalam hati kecilnya pun ia tidak marah terhadap mereka.

Ketika berbicara mengenai kesabaran dari Lakundaka Bhaddiya, Sang Buddha bersabda,"Seorang arahat tidak pernah terlena pengendalian dirinya, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan ataupun pujian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 81 berikut :

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.
da06_006.jpg


Syair 82 (VI:7. Kisah Kanamata)

Kanamata adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang pemuda dari desa lain. Suatu ketika Kana menjenguk ibunya untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis (dendeng) untuk suami Kana. Esoknya Kanamata membuat sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata. Kanamata sebagai pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu per satu. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya; ibunya membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta di rumahnya, ia mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu, sehingga tidak ada yang tersisa untuk dibawa pulang anaknya, dan anaknya tidak dapat pulang ke rumahnya.

Pada hari ketiga, suaminya mengirimkan pesan untuknya. Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak pulang ke rumah esok hari, maka suaminya akan menikah dengan wanita lain.

Tetapi pada esok harinya, Kana tetap tidak dapat pulang ke rumahnya sebab ibunya mempersembahkan semua dendengnya untuk para bhikkhu. Peringatan keras tadi menjadi kenyataan, suami Kana menikah dengan wanita lain.

Kana menjadi tidak senang terhadap para bhikkhu. Ia beranggapan bahwa mereka yang menjadi gara-gara suaminya menikah lagi. Seringkali ia mencaci maki para bhikkhu, sehingga para bhikkhu akhirnya menjauh dari rumah Kanamata.

Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi ke rumah Kanamata. Di sana Kanamata mempersembahkan sejumlah bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya, "Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka ?" Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka, dan menambahkan bahwa, "Mereka tidak bersalah, saya yang salah." Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. Setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Pada perjalanan pulang ke vihara, Sang Buddha bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala. Beliau mengatakan perihal Kana dan sikapnya yang tidak baik terhadap para bhikkhu. Raja Pasenadi berkata kepada Sang Buddha agar dapat mengajarkan kebenaran (Dhamma) kepadanya. Sang Buddha menjawab,"Ya, saya telah mengajarkan Dhamma kepadanya, dan saya juga telah membuat ia menjadi kaya dalam kehidupan mendatang." Kemudian Raja Pasenadi berjanji kepada Sang Buddha untuk membuatnya kaya dalam kehidupan sekarang.

Raja mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput Kana dengan tandu. Ketika Kana tiba di istana, raja mengumumkan kepada para menterinya, "Siapa yang dapat memberi kesenangan hidup kepada anakku Kana, silakan merawatnya." Salah seorang menteri dengan sukarela mengadopsi Kana sebagai anaknya, memberinya kekayaan dan berkata kepadanya, "Kamu boleh memberikan dana sebanyak yang kamu suka." Setiap hari Kana memberikan persembahan dana kepada para bhikkhu di empat pintu kota.

Ketika berkata tentang Kana dan kemurahan hatinya dalam memberikan dana, Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu, pikiran Kana sebelumnya diselimuti kabut dan lumpur. Sekarang telah menjadi jernih dan tenang oleh kata-kata-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 82 berikut :

Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang, demikian pula batin para orang bijaksana menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.
da06_007.jpg
Maaf, mohon cek lagi terjemahan pada syair 82: sepertinya daging manis (dendeng) diterjemahkan dari kata “sweetmeat”. Sweetmeat bukanlah daging manis, tapi semacam makanan (kue) manis yang bergula. Coba lihat di:
Terima kasih.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.