• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dhammapada Atthakatha

Syair 402 (XXVI:19. Kisah Seorang Brahmana Tertentu)

Ada seorang budak muda milik seorang brahmana. Suatu hari, setelah melarikan diri dari rumah tuannya, ia memasuki pasamuan bhikkhu, dan pada saatnya ia mencapai tingkat kesucian arahat. Pada suatu kesempatan, ketika ia sedang pergi untuk berpindapatta dengan Sang Buddha, bekas tuannya dahulu, seorang brahmana melihat dan menariknya dengan kuat dengan menggunakan seutas tali. Ketika Sang Buddha menanyakan apa permasalahannya, brahmana tersebut menjelaskan bahwa bhikkhu muda tersebut pernah menjadi budaknya.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Bhikkhu ini telah meletakkan beban (dari khandha-khandha/kelompok-kelompok kehidupan)." Brahmana itu mencerna hal tersebut dan mengartikan bahwa budaknya telah menjadi seorang arahat. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bertanya kepada Sang Buddha apakah benar bahwa bhikkhu tersebut telah menjadi seorang arahat, dan Sang Buddha menegaskan pernyataan-Nya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 402 berikut :

Dalam dunia ini, seseorang yang telah menyadari akhir penderitaannya sendiri, yang telah meletakkan beban dan tak terikat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Syair 403 (XXVI:20. Kisah Khema Theri)

[lihat juga syair 347 Bab XXIV:14 ]

Suatu malam, Sakka, raja dewa, datang dengan para pengikutnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka sedang bersama Sang Buddha, Khema Theri, dengan kemampuan batin luar biasanya, juga datang melalui angkasa untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Tetapi karena Sakka dan rombongannya berada di sana bersama Sang Buddha, ia hanya menyembah dengan membungkukkan badan kepada Sang Buddha, dan segera meninggalkan Beliau. Sakka bertanya kepada Sang Buddha siapakah bhikkhuni tadi dan Sang Buddha menjawab, "Ia adalah salah satu muridKu yang paling terkenal; ia dikenal sebagai Khema Theri. Ia tidak ada bandingnya di antara para bhikkhuni dalam hal kebijaksanaan, dan ia mengetahui bagaimana membedakan jalan yang benar dan jalan yang salah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 403 berikut :

Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 404 (XXVI:21. Kisah Tissa Thera)

Tissa Thera, setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke suatu sisi gunung. Di sana, ia menemukan sebuah gua yang sesuai baginya dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu tiga bulan musim hujan (masa vassa) di dalam gua tersebut. Oleh karena tinggal di dalam gua, ia pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi.

Di desa itu, terdapat seorang wanita yang usianya lebih tua yang secara teratur memberikan dana makanan kepadanya. Di dalam gua, juga hidup hantu penjaga gua. Karena sang thera memiliki latihan moral (sila) yang baik, hantu gua tersebut tidak berani untuk tinggal di dalam gua yang sama dengan sang thera. Selain itu, ia juga tidak mempunyai keberanian menyuruh sang thera untuk meninggalkan gua. Jadi ia memikirkan suatu rencana yang akan mampu membuatnya menemukan kesalahan sang thera; yang kemudian menyebabkan sang thera tersebut meninggalkan gua.

Hantu gua merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang bertempat tinggal di rumah dimana sang thera biasanya pergi untuk menerima dana makanan. Ia menyebabkan anak tersebut bertingkah laku aneh, menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan memutar-mutarkan matanya yang terbuka lebar. Ibu anak itu menjadi kebingungan dan menangis. Hantu gua, yang merasuki anak tadi, kemudian berkata, "Biarkan gurumu, sang thera mencuci kakinya dengan air dan menuangkan air tersebut pada kepala anakmu."

Pada hari berikutnya, ketika sang thera datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan, ia melakukan seperti yang telah dianjurkan oleh hantu gua tadi dan anaknya menjadi tenang dan damai.

Hantu gua kembali ke gua dan menunggu di lubang masuk kedatangan sang thera. Ketika sang thera tiba kembali dari berpindapatta, hantu gua menampakkan dirinya dan berkata, "Akulah hantu penjaga gua ini. O, kamu, tabib, tidak boleh memasuki gua ini."

Sang thera mengetahui bahwa ia telah hidup dalam kehidupan yang bersih sejak ia menjadi thera, jadi ia menjawab bahwa ia tidak ingat mempraktekkan ilmu ketabiban. Kemudian hantu gua menuduhnya bahwa pada pagi hari ia telah menyembuhkan seorang anak muda yang dirasuki oleh raksasa pada rumah wanita tua tersebut. Tetapi sang thera tersebut menyadari hal itu sesungguhnya bukan praktek ilmu ketabiban, dan ia menyadari bahwa bahkan hantu gua tidak dapat menemukan kesalahan yang lain padanya. Hal ini memberinya suatu kepuasan yang sangat menggembirakan (piti) pada dirinya sendiri, meninggalkan kegiuran (piti) dan konsentrasi keras menuju 'Meditasi Pandangan Terang' (Vipassana).

Ia kemudian mencapai tingkat kesucian arahat di sana, ketika ia sedang berdiri pada lubang masuk gua.

Karena sang thera sekarang telah menjadi seorang arahat, ia menasihati hantu gua untuk meninggalkan gua. Sang thera terus menetap di sana sampai akhir vassa, dan kemudian ia kembali menemui Sang Buddha. Ketika ia menceritakan kepada para bhikkhu lain tentang pertemuannya dengan hantu gua, mereka bertanya apakah ia tidak marah terhadap hantu gua ketika ia dilarang masuk ke dalam gua. Sang thera menjawab tidak, tetapi para bhikkhu yang lain tidak mempercayainya. Lalu mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Tissa Thera telah menegaskan dirinya sebagai seorang arahat; ia tidak berbicara yang sebenarnya."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, murid-Ku Tissa berbicara yang sebenarnya ketika ia berkata bahwa ia tidak marah. Ia telah sungguh-sungguh menjadi seorang arahat. Ia tidak lagi melekat kepada siapapun; ia tidak mempunyai kesempatan untuk marah kepada siapapun atau pun kepada segala sesuatu yang berhubungan dengannya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 404 berikut :

Orang yang menjauhkan diri dari masyarakat umum maupun para pertapa, yang mengembara tanpa tempat tinggal tertentu dan sedikit kebutuhannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 405 (XXVI:22. Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu)

Seorang bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk melatih meditasi. Setelah ia mencapai tingkat kesucian arahat, ia kembali menemui Sang Buddha untuk menyampaikan penghormatan yang besar dan mendalam kepada Beliau.

Dalam perjalanannya ia melewati sebuah desa. Baru saja ia melewati desa tersebut, seorang wanita yang baru saja bertengkar dengan suaminya, keluar dari rumahnya dan mengikuti sang bhikkhu. Sang suami yang berjalan mengikuti istrinya, melihat istrinya berada di belakang sang bhikkhu, berpikir bahwa bhikkhu ini akan membawa pergi istrinya. Ia berteriak pada sang bhikkhu dan mengancam akan memukulnya. Istrinya memohon dengan sangat pada sang suami untuk tidak memukul bhikkhu tersebut, tetapi hal itu membuatnya menjadi makin marah. Akibatnya, bhikkhu itu dipukul berulang kali sehingga mengalami luka parah oleh sang suami. Setelah memukuli bhikkhu tersebut sepuas hatinya, ia pergi bersama istrinya dan sang bhikkhu meneruskan perjalanannya.

Setibanya di Vihara Jetavana, para bhikkhu yang lain melihat luka-luka memar di seluruh tubuh sang bhikkhu, sehingga mereka merawat luka tersebut. Ketika mereka bertanya apakah ia tidak marah kepada orang yang memukulinya berulang kali, ia menjawab tidak. Oleh karena itu para bhikkhu yang lain pergi menemui Sang Buddha dan memberitahukan bahwa sang bhikkhu dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat telah menyisihkan/meninggalkan tongkat dan pedang. Mereka tidak lagi menjadi marah bahkan jika mereka dipukul." Demikian, Sang Buddha menegaskan bahwa bhikkhu tadi telah, benar-benar, menjadi seorang arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 405 berikut :

Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk lain, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tidak membunuh atau menganjurkan orang lain membunuh, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 406 (XXVI:23. Kisah Empat Samanera)

Suatu ketika, istri dari seorang brahmana menyuruh suaminya pergi ke Vihara Jetavana utnuk mengundang empat orang bhikkhu guna menerima dana makanan di rumah mereka. Ia memberitahu suaminya untuk khusus meminta para bhikkhu senior yang juga benar-benar brahmana asli. Tetapi empat samanera arahat berusia tujuh tahun, Samkicca, Pandita, Sopaka, dan Revata yang diutus ikut bersamanya.

Ketika istrinya melihat para samanera muda tersebut, ia menjadi tidak puas dan menyalahkan sang brahmana karena membawa samanera muda yang bahkan lebih muda dari pada cucu laki-lakinya.

Ia marah kepada suaminya, dan ia menyuruh suaminya kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu yang lebih tua. Dalam hal itu ia tidak memberikan tempat duduk lebih tinggi yang telah dipersiapkan bagi para bhikkhu. Mereka diberikan tempat duduk yang lebih rendah dan ia tidak memberi dana makanan kepada para samanera muda itu.

Ketika sang brahmana tiba di vihara, ia menemui Y.A. Sariputta dan mengundangnya datang ke rumahnya. Ketika Y.A. Sariputta tiba di rumah sang brahmana, ia melihat empat samanera arahat yang masih muda dan bertanya kepada mereka apakah mereka telah menerima dana makanan atau belum. Karena mengetahui bahwa para samanera arahat belum diberi dana makanan dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya untuk empat orang, Y.A. Sariputta pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan dari rumah sang brahmana tadi.

Melihat hal itu, sang istri menyuruh sang suami kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu senior yang lain. Kali ini, Y.A. Maha Moggallana datang bersama sang brahmana, tetapi ia juga pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan ketika beliau mengetahui bahwa para samanera muda tidak diberi dana makanan, dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya untuk empat orang.

Pada saat itu, para samanera sedang merasa lapar. Sakka, Raja Dewa, melihat hal ini, merubah dirinya menjadi seorang brahmana tua dan datang ke rumah tersebut. Sang brahmana dan istrinya memberi hormat kepada brahmana tua itu dan memberinya sebuah tempat duduk kehormatan, tetapi Sakka hanya duduk di tanah/lantai dan memberi hormat kepada empat samanera tersebut. Kemudian ia menyatakan dirinya bahwa ia adalah Sakka.

Melihat bahwa Sakka sendiri memberi hormat kepada para samanera muda itu, sepasang brahmana tersebut memberikan dana makanan kepada mereka berlima. Setelah selesai makan, Sakka dan para samanera menunjukkan kemampuan batin luar biasa mereka dengan terbang ke angkasa menerobos atap rumah. Sakka kembali ke tempat kediamannya di alam dewa, para samanera kembali ke vihara.

Ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepada para samanera apakah mereka tidak marah ketika sepasang brahmana tersebut menolak untuk memberikan dana makanan kepada mereka, mereka menjawab, tidak. Para bhikkhu karena tidak percaya kepada mereka, lalu memberitahu kepada Sang Buddha bahwa keempat samanera telah dengan cara seperti itu menegaskan dirinya sebagai arahat.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, para arahat tidak lagi memiliki kebencian kepada mereka yang memusuhi mereka."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 406 berikut :

Orang yang tidak membenci di antara mereka yang membenci; damai di antara mereka yang kejam; dan tidak melekat di antara yang melekat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 407 (XXVI:24. Kisah Mahapanthaka Thera)

[lihat juga syair 25 Bab II nomor (3)]

Mahapanthaka Thera telah menjadi seorang arahat ketika adik laki-lakinya Culapanthaka masuk dalam pasamuan bhikkhu. Culapanthaka sejak lahir adalah seorang yang dungu karena ia pernah menertawakan seorang bhikkhu dungu pada salah satu kehidupannya terdahulu. Culapanthaka tidak dapat bahkan mengingat satu syair dalam waktu empat bulan. Mahapanthaka menjadi kecewa dengan adiknya dan menyuruhnya untuk meninggalkan vihara karena ia tidak ada gunanya berada dalam pasamuan bhikkhu.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa meskipun ia seorang arahat, mengusir adik laki-lakinya dari vihara. Mereka juga menambahkan, "Apakah para arahat masih kehilangan kesabarannya ? Apakah mereka masih mempunyai kekotoran batin seperti keinginan jahat dalam diri mereka ?"

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat tidak mempunyai keinginan jahat seperti nafsu dan kebencian dalam diri mereka. Murid-Ku Mahapanthaka melakukan hal seperti itu dengan pengertian demi keuntungan saudaranya dan bukan karena keinginan jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 407 berikut :

Seseorang yang nafsunya, kebenciannya, kesombongannya dan kemunafikannya telah gugur, seperti biji lada yang jatuh dari ujung jarum, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 408 (XXVI:25. Kisah Pilindavaccha Thera)

Pilindavaccha Thera mempunyai cara yang kurang sopan dalam menegur orang. Ia sering berkata, "Kemari, kamu orang sial", atau "Ke sana, kamu orang sial", dan hal-hal lain seperti itu. Para bhikkkhu yang lain melaporkan tentang hal itu kepada Sang Buddha.

Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus kehidupannya yang lampau, sang thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain.

Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu ! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai 'orang sial' hanya karena kekuatan dari kebiasaan yang diperoleh dalam masa lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan kepada yang lain."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 408 berikut :

Seseorang yang mengucapkan kata-kata halus, yang mengandung Ajaran Kebenaran, yang tidak menyinggung siapapun juga, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 409 (XXVI:26. Kisah Thera Tertentu)

Suatu hari, seorang brahmana dari Savatthi meletakkan pakaian miliknya di luar rumah untuk mengangin-anginkannya. Seorang thera menemukan pakaian itu ketika ia akan pulang ke vihara. Setelah berpikir bahwa selembar pakaian tersebut telah dibuang oleh seseorang dan tentunya tidak ada yang memilikinya, sang thera mengambilnya. Sang brahmana yang melihat keluar lewat jendela rumahnya melihat sang thera mengambil pakaian tersebut, menghampiri sang thera, memaki-maki dan menuduhnya, "Kau, kepala gundul! Engkau mencuri pakaianku," katanya. Sang thera dengan cepat mengembalikan selembar pakaian tersebut kepada sang brahmana.

Setelah tiba kembali di vihara, sang thera menceritakan kejadian di atas kepada para bhikkhu yang lain, dan mereka menertawakannya dan dengan bergurau mereka bertanya kepadanya apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus.

Atas pertanyaan ini sang thera menjawab, "Apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus tidak menjadi masalah bagiku; Aku sama sekali tidak melekat pada hal itu."

Para bhikkhu yang lain kemudian memberitahu Sang Buddha bahwa sang thera itu dengan cara seperti itu untuk menegaskan dirinya sendiri sebagai seorang arahat.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Sang thera mengatakan yang sebenarnya; seorang arahat tidak mengambil apapun yang tidak diberikan kepadanya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 409 berikut :

Dalam dunia ini, seseorang yang tak mengambil apa yang tidak diberikan, baik yang panjang atau yang pendek, kecil atau besar, baik ataupun buruk, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 410 (XXVI:27. Kisah Sariputta Thera)

Suatu ketika, Sariputta Thera disertai dengan lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah vihara dekat sebuah desa kecil untuk melewatkan masa vassa. Pada akhir masa vassa, Sariputta Thera membutuhkan jubah untuk bhikkhu muda dan samanera. Lalu ia berkata pada para bhikkhu, "Jika ada orang yang datang untuk memberikan jubah, ajak mereka datang padaku atau beritahu aku." Kemudian ia meninggalkan Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Para bhikkhu yang lain salah mengerti perintah Sariputta Thera, dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Sariputta Thera masih melekat pada barang-barang seperti jubah dan barang keperluan bhikkhu yang lain."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Murid-Ku Sariputta tidak memiliki lagi nafsu keinginan dalam dirinya. Ia memberitahu kalian untuk membawa jubah kepadanya, agar kesempatan untuk melakukan perbuatan bermanfaat tidak akan menurun/berkurang bagi pengikut awam, dan kesempatan menerima apapun yang pantas mereka terima tidak berkurang demi kebutuhan para bhikkhu muda dan para samanera."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 410 berikut :

Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan terhadap dunia ini maupun dunia selanjutnya, yang telah bebas dari keinginan, dan tidak lagi melekat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 411 (XXVI:28. Kisah Maha Moggallana Thera)

Pada suatu kesempatan, para bhikkhu memberitahu Sang Buddha tentang Maha Moggallana Thera hal yang sama yang telah mereka katakan tentang Sariputta Thera; bahwa ia masih mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang duniawi. Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa Maha Moggallana Thera telah memusnahkan semua nafsu keinginan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 411 berikut :

Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi, yang telah bebas dari keragu-raguan karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 412 (XXVI:29. Kisah Samanera Revata)

Suatu hari, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "Revata mendapatkan banyak pemberian dari umat, ia menjadi terkenal dan beruntung. Meskipun demikian ia tinggal sendirian di hutan, melalui kemampuan batin luar biasa ia sekarang telah membangun lima ratus vihara untuk lima ratus bhikkhu."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, murid-Ku Revata telah memusnahkan semua nafsu keinginan; ia telah melampaui kebaikan maupun kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 412 berikut :

Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan, dan kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 413 (XXVI:30. Kisah Candabha Thera)

Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu, membuat persembahan kayu cendana kepada sebuah stupa di mana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baik ini, ia dilahirkan kembali dalam keluarga brahmana di Savatthi. Ia dilahirkan dengan tanda yang istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang memancar dari sekitar pusarnya. Karena lingkaran cahaya ini menyerupai bulan ia dikenal sebagai Candabha. Beberapa brahmana, mengambil keuntungan dari keistimewaan yang jarang terjadi ini, memasukkannya ke dalam kereta dan membawanya keliling kota untuk pertunjukan dan hanya orang yang membayar seratus atau seribu yang boleh menyentuhnya. Pada suatu kesempatan, mereka berhenti pada suatu tempat antara kota dan Vihara Jetavana.

Kepada para pengikut Sang Buddha yang sedang berjalan ke Vihara Jetavana, mereka berkata, "Apa gunanya engkau pergi menemui Sang Buddha dan mendengarkan khotbah Beliau ? Tidak ada seorang pun yang sehebat Candabha. Seseorang yang menyentuhnya akan menjadi kaya; mengapa engkau tidak datang dan melihatnya ?" Para pengikut itu kemudian berkata kepada para brahmana, "Hanya guru kami yang hebat; ia tidak tersaingi dan tiada bandingnya."

Kemudian para brahmana membawa Candabha menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi ketika Candabha sedang bersama Sang Buddha, cincin cahaya itu hilang dengan sendirinya. Ketika Candabha dibawa jauh hilang dari pandangan Sang Buddha, cincin cahaya itu kembali lagi secara otomatis; cahaya itu hilang lagi ketika ia dibawa kembali ke hadapan Sang Buddha.

Candabha kemudian meminta Sang Buddha untuk memberinya mantra (kata-kata bermakna) yang akan membuat cincin cahaya itu hilang dari pusarnya. Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya akan diberikan kepada anggota pasamuan. Candabha memberitahu para brahmana bahwa ia akan mendapatkan mantra dari Sang Buddha dan setelah menguasai mantra tersebut ia akan menjadi manusia terbesar di seluruh Jambudipa. Sehingga para brahmana tersebut menunggu di luar vihara.

Dalam hal itu, Candabha menjadi seorang bhikkhu. Ia diperintahkan untuk merenungkan tubuh, yaitu untuk menggambarkan betapa menjijikkannya dan kotornya tubuh ini terdiri dari tigapuluh dua unsur pokok tubuh. Dalam beberapa hari, Candabha mencapai tingkat kesucian arahat.

Ketika para brahmana yang menunggu di luar vihara datang untuk menanyakan apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Candabha menjawab, "Engkau sebaiknya pulang kembali sekarang; karena aku tidak lagi berada pada pihak yang akan pergi bersamamu." Para bhikkhu, yang mendengarnya, pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Candabha dengan cara seperti itu menegaskan bahwa ia telah menjadi seorang arahat."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Candabha mengatakan yang sebenarnya; ia telah memusnahkan semua kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 413 berikut :

Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih batinnya seperti bulan purnama, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 414 (XXVI:31. Kisah Sivali Thera)

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaannya.

Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan selamat." Ketika kata-kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa bhikkhu diundang untuk datang ke rumahnya. Dana makanan diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.

Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam pasamuan dan sebagai bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. Ia mencapai tingkat kesucian arahat segera setelah kepalanya dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal sebagai seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar. Sebagai bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.

Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi seorang arahat, dilahirkan di dalam rahim ibunya selama tujuh tahun.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Dalam salah satu kelahirannya yang terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan kerajaannya karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh kembali kerajaan mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat ibunya. Sebagai akibatnya, orang-orang di dalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir dari semua dukkha/ penderitaan; ia telah merealisasi nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 414 berikut :

Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai Seberang' (nibbana); yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan; yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai nibbana, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 415 (XXVI:32. Kisah Sundarasamudda Thera)

Sundarasamudda adalah anak dari seorang hartawan dari Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke Rajagaha, yang empat puluh lima yojana jauhnya dari Savatthi, untuk berlatih meditasi.

Suatu hari, ketika beberapa perayaan sedang berlangsung di Savatthi, ayah Sundarasamudda merasa sangat kehilangan putranya. Mereka juga merasa kasihan pada putranya yang kehilangan semua kesenangan. Memikirkan hal itu mereka menangis. Ketika mereka sedang menangis, seorang pelacur datang pada mereka, dan menanyakan apa duduk persoalannya.

Setelah mendengar apa yang terjadi pada anak mereka, pelacur itu berkata, "Jika aku dapat membuat anakmu meninggalkan pasamuan dan kembali hidup sebagai orang biasa bagaimana engkau akan menghargaiku ?" Orang tua tersebut menjawab bahwa mereka akan membuatnya kaya raya. Pelacur tersebut kemudian meminta sejumlah besar uang dan pergi ke Rajagaha dengan sejumlah pengikutnya.

Di Rajagaha, ia menyewa sebuah rumah bertingkat tujuh pada rute jalan di mana Sundarasamudda berpindapatta. Ia menyiapkan makanan yang baik dan menunggunya. Pada beberapa hari pertama, ia memberikan dana makanan kepada Sundarasamudda di pintu rumahnya. Kemudian, ia mengundangnya untuk masuk ke dalam rumah. Ia memberi uang kepada beberapa anak untuk datang dan bermain di luar rumah pada saat kira-kira Sundarasamudda biasanya datang untuk menerima dana makanan.

Hal ini membuat keadaan tidak nyaman bagi Sundarasamudda menerima dana makanan karena halaman kotor dan berisik, sehingga ia mengundang Sundarasamudda untuk naik ke lantai atas dan menerima dana makanan di sana. Sang thera mengikutinya naik, dan segera setelah memasuki ruangan tersebut, sang pelacur menutup pintu. Kemudian ia mulai menggoda Sundarasamudda. Ia berkata kepada, "Yang Mulia! Marilah menjadi suamiku yang awet muda dan kuat, dan aku akan menjadi istrimu yang paling tercinta. Setelah kehidupan perkimpoian kita yang panjang dan bahagia kita berdua dapat meninggalkannya untuk masuk dalam pasamuan dan berjuang sekuat tenaga untuk mencapai nibbana."

Ketika mendengar kata-kata itu, Sundarasamudda tiba-tiba menyadari kekeliruannya dan terkejut. Kemudian ia berkata pada dirinya sendiri, "Sungguh, karena kelalaian dan kurangnya perhatian aku telah membuat satu kekeliruan besar."

Pada saat itu, Sang Buddha memperhatikan dari kuti harum Beliau, apa yang sedang terjadi pada Sundarasamudda di Rajagaha. Ia memanggil Y.A. Ananda, dan berkata, "Ananda! Pada lantai atas sebuah rumah bertingkat di Rajagaha, sekarang sedang terjadi perlawanan antara Sundarasamudda dan seorang pelacur, tapi pada akhirnya Sundarasamudda yang akan menjadi pemenangnya." Setelah mengatakan hal ini kepada Ananda, Sang Buddha mengirimkan sinar kesucian kepada Sundarasamudda dan membuatnya merasakan kehadiran Beliau. Lalu Beliau berkata, "Murid-Ku! Putuskanlah dan buanglah rasa cinta terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan nafsu keinginan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 415 berikut :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Pada akhir khotbah ini Sundarasamudda mencapai tingkat kesucian arahat dan dengan kemampuan batin luar biasanya ia menerobos atap rumah menuju angkasa, pergi menemui Sang Buddha.
 
Syair 416 (XXVI:33. Kisah Jatila Thera)

Segera setelah Buddha Kassapa mangkat (parinibbana), seorang arahat thera pergi berkeliling untuk mencari dana bagi pembangunan stupa emas dimana nantinya relik Buddha Kassapa akan diabadikan.

Sang thera datang ke rumah seorang pandai emas ketika pandai emas dan istrnya sedang dalam pertengkaran yang sengit. Si pandai emas tersebut berteriak kepada sang thera, "Kau sebaiknya melemparkan stupamu itu ke dalam air dan segera pergi."

Istrinya kemudian berkata kepada sang pandai emas, "Jika engkau marah kepadaku engkau seharusnya hanya boleh memakiku saja, engkau bahkan boleh memukulku jika engkau suka, tetapi mengapa engkau harus memaki Sang Buddha dan sang thera ? Tentu saja, engkau telah melakukan kesalahan yang menyedihkan !"

Mendengar kata-kata istrinya, sang pandai emas menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya dan ingin menebus kesalahan itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas, meletakkannya ke dalam tiga pot emas dan memberikannya untuk diletakkan pada kamar relik stupa Buddha Kassapa.

Pada kelahirannya yang sekarang, ia dikandung di dalam rahim anak perempuan dari seorang hartawan yang telah mempunyai hubungan cinta gelap. Ketika anak itu dilahirkan, ia meletakkannya ke dalam pot dan mengapungkannya ke dalam aliran sungai.

Seorang wanita muda yang sedang mandi di sungai melihat anak di dalam pot tersebut dan membawanya bersamanya. Ia mengadopsi anak itu dan memberi nama Jatila. Karena nasihat dari salah seorang thera, wanita tersebut menyuruh Jatila pergi ke Taxila di mana ia akan mendapatkan pendidikan. Ketika Jatila berada di Taxila, sang thera mengaturnya untuk tinggal di rumah seorang pedagang yang merupakan muridnya. Setelah beberapa lama, Jatila menikah dengan anak perempuan dari pedagang tersebut. Segera setelah menikah, segundukan emas diberikan di halaman belakang dari rumah yang baru saja dibangun untuk pasangan ini. Lahirlah tiga anak dari pernikahan ini. Setelah itu, Jatila memasuki pasamuan bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat.

Pada suatu kesempatan, saat Sang Buddha pergi untuk berpindapatta bersama dengan lima ratus bhikkhu termasuk Jatila, mereka datang ke rumah dari anak-anak Jatila. Anak-anaknya memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan para pengikutnya selama lima belas hari.

Beberapa waktu setelah kejadian itu, para bhikkhu bertanya kepada Jatila apakah ia masih melekat kepada segundukan emas mliknya dan anak-anaknya, dan ia menjawab, bahwa ia tidak lagi mempunyai kemelekatan pada mereka. Para bhikkhu kemudian berkata kepada Sang Buddha, bahwa Jatila dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Jatila telah membuang nafsu keinginan dan kesombongan; ia telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 417 (XXVI:34. Kisah Nataputtaka Thera)

[Kisah nomor (33) dan (34) bab ini mempunyai syair sama]

Jotika adalah seorang hartawan yang terkenal dari Rajagaha. Ia tinggal di rumah besar yang megah bertingkat tujuh. Terdapat tujuh buah tembok yang mengelilingi rumah besarnya, masing-masing mempunyai pintu masuk yang dijaga oleh setan angkasa. Ketenaran kekayaannya menyebar jauh dan luas, dan banyak orang datang untuk melihat rumah besarnya.

Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara datang mengunjungi Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu, bersamanya. Ajatasattu, setelah melihat kemegahan rumah besar Jotika, berjanji bahwa ia tidak akan memperbolehkan Jotika untuk tinggal di rumah besar yang bagus sekali seperti ini kalau kelak ia menjadi Raja. Pada saat keberangkatan Raja dari rumahnya, Jotika memberi kenang-kenangan kepada Raja berupa sebuah batu delima besar yang tak ternilai harganya. Ini adalah kebiasaan Jotika untuk memberi hadiah kepada semua pengunjung yang datang untuk menemuinya.

Ketika Ajatasattu naik tahta, setelah membunuh ayahnya, ia datang dengan tentaranya untuk mengambil rumah besar milik Jotika dengan paksa. Tetapi karena semua gerbang dikawal ketat oleh para setan angkasa, Ajatasattu dan para pasukannya harus menarik diri.

Ajatasattu melarikan diri ke Vihara Veluvana dan menemukan Jotika sedang mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Melihat Jotika yang berada pada kaki Sang Buddha, Ajatasattu berseru, "Setelah membuat pengawalmu bertarung melawanku, engkau sekarang berpura-pura untuk mendengarkan khotbah!"

Jotika menyadari bahwa raja telah pergi untuk mengambil alih tempatnya dengan paksa dan ia telah dipaksa untuk mundur.

Pada salah satu kelahirannya yang terdahulu, Jotika telah membuat hasrat yang sungguh-sungguh bahwa harta miliknya tidak boleh diambil darinya berlawanan dengan kehendaknya, dan kehendak ini telah dipenuhi. Jadi Jotika berkata kepada Raja Ajatasattu, 'O, Raja! Harta milikku tidak dapat diambil berlawanan dengan kehendakku."

Setelah berkata seperti ini, ia mengulurkan kesepuluh jari tangannya dan meminta sang Raja untuk mengambil dua puluh cincin yang sedang dipakainya pada jari-jari tangannya. Sang Raja berusaha keras untuk mengambilnya tetapi ia tidak berhasil. Kemudian Jotika menyuruh sang Raja untuk membentangkan selembar kain, dan ketika Jotika menaruh jari-jarinya pada kain tersebut, semua cincinnya dengan mudah terlepaskan.

Setelah memberikan semua cincinnya kepada Raja Ajatasattu, Jotika memohon kepada Sang Buddha supaya ia diijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Segera setelah memasuki pasamuan, Jotika mencapai tingkat kesucian arahat.

Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepadanya apakah ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan yang tersisa pada dirinya, kepada rumah besarnya, kekayaannya, dan istrinya? Ia menjawab bahwa ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan pada semuanya itu. Para bhikkhu kemudian pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Jotika Thera menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat; ia berkata tidak benar."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Jotika berbicara yang sebenarnya; ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan di dalam dirinya. Ia sekarang adalah seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 417 berikut :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 418 (XXVI:35. Kisah Nataputtaka Thera)

Suatu ketika, Nataputtaka, anak laki-laki dari seorang penari yang sedang pergi berkeliling menyanyi dan menari, memiliki kesempatan untuk mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, ia masuk dalam pasamuan dan mencapai tingkat kesucian arahat tidak lama kemudian.

Suatu hari, ketika Sang Buddha dan para bhikkhu termasuk Nataputtaka sedang berjalan untuk menerima dana makanan, mereka menjumpai anak laki-laki dari penari lain yang sedang menari di jalanan. Melihat anak muda yang sedang menari, para bhikkhu bertanya kepada Nataputtaka apakah ia masih suka menari. Dan Nataputtaka menjawab, "Tidak, aku tidak." Para bhikkhu kemudian pergi menemui Sang Buddha dan menceritakan bahwa Nataputtaka dengan cara seperti itu ingin menegaskan bahwa dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Nataputtaka telah meninggalkan semua ikatan kemelekatan; ia telah menjadi seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 418 berikut :

Seseorang yang telah menyingkirkan ikatan-ikatan duniawi dan juga telah mengatasi ikatan-ikatan surgawi, yang benar-benar telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 419-420 (XXVI:36. Kisah Vangisa Thera)

Suatu ketika, di Rajagaha, terdapat seorang brahmana bernama Vangisa, yang dengan cara sederhana mengetuk-ngetuk tengkorak mayat seseorang yang telah meninggal dunia, dapat memberitahukan apakah orang tersebut lahir di alam dewa, atau di alam manusia, atau dalam salah satu dari empat alam rendah (apaya). Para brahmana membawa Vangisa menuju banyak desa dan orang-orang berkumpul karenanya dan membayarnya sepuluh, dua puluh, atau seratus untuk mencari informasi dimanakah saudaranya yang meninggal dunia dilahirkan kembali.

Pada suatu kesempatan, Vangisa dan kelompoknya datang ke suatu tempat yang tidak jauh dari Vihara Jetavana. Melihat beberapa orang datang menemui Sang Buddha, para brahmana mengundang mereka untuk datang menemui Vangisa yang dapat memberitahu mereka di mana saudara mereka yang sudah meninggal dunia dilahirkan kembali.

Tetapi para pengikut Sang Buddha berkata kepada mereka, "Guru kami adalah satu-satunya yang tanpa saingan, Ia adalah satu-satunya Yang Telah Mencapai Pencerahan."

Para brahmana mendengar perkataan seperti itu menganggap sebagai suatu tantangan dan membawa Vangisa menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha.

Sang Buddha, karena mengetahui maksud mereka, memerintahkan para bhikkhu untuk membawa tengkorak dari seseorang yang terlahir di niraya (alam neraka), dari seseorang yang terlahir di alam binatang, dari seseorang yang terlahir di alam manusia, dari seseorang yang terlahir di alam dewa dan juga dari seorang arahat. Kelima tengkorak tersebut diletakkan berurutan.

Kepada Vangisa diperlihatkan tengkorak-tengkorak itu. Ia dapat memberitahukan di mana pemilik dari empat tengkorak yang pertama itu dilahirkan; tetapi ketika ia menuju pada tengkorak dari seorang arahat, ia kehilangan jejak.

Kemudian Sang Buddha berkata, "Vangisa, tidakkah engkau tahu ? Aku tahu di mana pemilik tengkorak ini berada." Vangisa kemudian meminta Sang Buddha untuk memberi mantra gaib yang harus diketahuinya; tetapi Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya dapat diberikan kepada seorang bhikkhu. Vangisa kemudian memberitahu para brahmana untuk menunggu di luar vihara sementara ia mendapat pelajaran mantra tersebut. Kemudian, Vangisa menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, seperti yang dianjurkan Sang Buddha, ia merenungkan tiga puluh dua unsur pokok dari tubuh. Vangisa dengan tekun melatih meditasi seperti yang dianjurkan oleh Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian arahat pada waktu yang singkat.

Ketika para brahmana yang sedang menunggu di luar vihara datang untuk bertanya kepada Vangisa apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Vangisa menjawab, "Kalian semua lebih baik pergi sekarang; karena bagiku, aku seharusnya tidak lagi pergi bersama kalian."

Para bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir ia sedang mengatakan yang tidak sesungguhnya, sehingga mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Vangisa dengan cara seperti itu ingin menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Vangisa benar-benar mengetahui kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 419 dan 420 berikut ini :

Seseorang yang telah memiliki pengetahuan sempurna tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk, yang telah bebas dari ikatan, telah pergi dengan baik (Sugata) dan telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Orang yang jejaknya tak dapat dilacak, baik oleh para dewa, gandarwa, maupun manusia, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin dan telah mencapai kesucian (arahat), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 421 (XXVI:37. Kisah Dhammadinna Theri)

Suatu ketika, ada seorang pengikut awam Sang Buddha bernama visakha di Rajagaha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha berulang-ulang, Visakha mencapai tingkat kesucian anagami dan ia berkata kepada istrinya, "Terimalah semua hartaku; sejak hari ini aku tidak akan campur tangan apapun dalam urusan keluarga."

Istrinya, Dhammadinna, menjawab, "Siapa yang akan menelan air ludah yang telah engkau buang." Kemudian ia minta izin darinya untuk masuk dalam pasamuan dan menjadi seorang bhikkhuni. Setelah menjadi seorang bhikkhuni ia pergi ke sebuah vihara di suatu desa kecil bersama para bhikkhuni lain untuk melatih meditasi. Dalam waktu yang singkat, ia mencapai tingkat kesucian arahat dan kembali ke Rajagaha.

Visakha, setelah mendengar bahwa Dhammadinna telah kembali, pergi menemuinya dan bertanya kepadanya beberapa pertanyaan. Ketika Visakha bertanya kepadanya tentang tiga magga yang pertama; ia memberi jawaban kepadanya. Tetapi ketika Visakha memberikan pertanyaan kepadanya tentang 'Jalan' (magga) dan 'Hasil' (phala) arahat, ia berkata, "O pengikut awam! Masalah ini di luar batas kemampuan pengertianmu; jika engkau ingin tahu, engkau boleh pergi, dan bertanya kepada Sang Buddha."

Ketika Visakha bertanya kepada Sang Buddha, Sang Buddha berkata, "Dhammadinna telah menjawab pertanyaanmu. Jika engkau bertanya kepada-Ku, Aku akan memberikan jawaban yang sama." Setelah berkata demikian, Sang Buddha menegaskan kenyataan bahwa Dhammadinna telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 421 berikut :

Orang yang tidak lagi terikat pada apa yang telah lampau, apa yang sekarang maupun yang akan datang, yang tidak memegang ataupun melekat pada apapun juga, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
Syair 422 (XXVI:38. Kisah Angulimala)

Pada suatu kesempatan, Raja Pasenadi dan Ratu Mallika memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu yang berjumlah lima ratus, dalam ujud suatu pemberian yang tidak dapat dilampaui oleh siapapun juga. Pada saat upacara berlangsung, setiap bhikkhu didampingi oleh seekor gajah yang memegang payung putih yang menutupi kepala bhikkhu tersebut dari sinar matahari. Namun demikian, mereka hanya mendapatkan empat ratus sembilan puluh sembilan gajah yang terlatih, sehingga mereka harus menggunakan seekor gajah yang tidak terlatih, dan gajah tersebut ditempatkan untuk memegang payung dekat Angulimala Thera. Setiap orang takut bahwa gajah yang belum terlatih itu mungkin menyebabkan kerusuhan, tetapi ketika dibawa dekat Angulimala Thera, ia menjadi jinak.

Berkaitan dengan kejadian ini para bhikkhu kemudian bertanya kepada Angulimala apakah ia tidak merasa takut atau tidak. Kepada pertanyaan ini Angulimala menjawab bahwa ia tidak merasa takut. Para bhikkhu kemudian menemui Sang Buddha dan berkata bahwa Angulimala Thera menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesuican arahat.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Adalah cukup jelas bahwa Angulimala tidak takut, mereka yang seperti dirinya juga tidak takut."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 422 berikut :

Ia yang mulia, agung, pahlawan, pertapa agung (mahesi), penakluk, orang tanpa nafsu, murni, telah mencapai penerangan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.