• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Cewek Hindu

baruna

IndoForum Newbie F
No. Urut
9650
Sejak
19 Des 2006
Pesan
6
Nilai reaksi
0
Poin
1
Buat cewek2 hindu diman pun berada salam kenal aja
 
Ok Deh Nanti Saya Salamin Cewek Cewek Bali, Bagus Sih Cewe Bali, Ayu Dan Anggun Bagai Lembayung Senja.
 
Cewek Bali banyak yg jual mahal...keliatannya aj kalem tapi sebenarnya ganas..mendingan nyari Sarinem cewek Jember...hahahaha
 
ayo....

bikin smuanya pang ajeq baline........domogi rahajeng bali ne..... :)
 
Cewek Bali dan Aktivitas Ritual

Cewek Bali sanggup memberikan pemahaman yang baik tentang kodrat sebagai wanita yang penuh kasih sayang, dan ikut menjaga keluarganya agar tetap eksis di tengah kesulitan ekonomi.

Cewek Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka juga sibuk menyiapkan sarana ritual "yadnya" dan rangkaian beberapa hari suci.

Cewek Bali menyingsingkan lengan baju bekerja keras. Bisa jadi seorang Cewek Bali pada siang hari menjadi pedagang, menekuni usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga, namun pada malam harinya tampil sebagai seniman pentas di atas panggung. Sanggup melakoni pekerjaan kasar, bergelut dalam urusan pangan, buruh bangunan bekerja di bawah terik matahari.

Mereka tampil profesional, menari dengan lincah dan menyanyi di atas pentas diiringi gamelan serta disambut tepuk tangan riuh penonton yang sebagian besar wisatawan mancanegara maupun nusantara.
 
Cewek Bali sanggup memberikan pemahaman yang baik tentang kodrat sebagai wanita yang penuh kasih sayang, dan ikut menjaga keluarganya agar tetap eksis di tengah kesulitan ekonomi.

Cewek Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka juga sibuk menyiapkan sarana ritual "yadnya" dan rangkaian beberapa hari suci.

Cewek Bali menyingsingkan lengan baju bekerja keras. Bisa jadi seorang Cewek Bali pada siang hari menjadi pedagang, menekuni usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga, namun pada malam harinya tampil sebagai seniman pentas di atas panggung. Sanggup melakoni pekerjaan kasar, bergelut dalam urusan pangan, buruh bangunan bekerja di bawah terik matahari.

Mereka tampil profesional, menari dengan lincah dan menyanyi di atas pentas diiringi gamelan serta disambut tepuk tangan riuh penonton yang sebagian besar wisatawan mancanegara maupun nusantara.

Mengenai cewe Bali sekarang,gmn? Ke tempat suci dijadikan kesempatan buat pacaran sama anak muda. saya heran melihatnya..Siwaratri dijadikan malam pacaran.Harusnya Cagub Bali sekarang juga mikirin neh para truna truni Bali yang sudah melupakan ciri khas Bali yang sesungguhnya.
 
Mengenai cewe Bali sekarang,gmn? Ke tempat suci dijadikan kesempatan buat pacaran sama anak muda. saya heran melihatnya..Siwaratri dijadikan malam pacaran.Harusnya Cagub Bali sekarang juga mikirin neh para truna truni Bali yang sudah melupakan ciri khas Bali yang sesungguhnya.

Walau sebelumnya perayaan hari suci Siwaratri selalu diwarnai dengan konvoi anak muda (umumnya anak sekolah) di jalan raya, kini pemandangan itu mulai sirna.

Hampir semua sekolah menyelenggarakan Siwaratri, penuh kesadaran. Sekolah pun menutup pintu masuk agar siswanya tak keluyuran ke jalan.

melakukan persembahyangan bersama, ceramah / dharmatula soal perjuangan Lubdhaka, meditasi di tengah malam dan membacakan sastra agama dan pesantian. Di masyarakat hampir tiap pura dadia diisi dengan pesantian dan begadang hingga pagi.

Cerita Lubdhaka dalam Siwaratri sangat relevan dengan masalah kekinian.

Lubdhaka adalah simbol manusia yang tekun dan bisa mencapai kesadaran diri. Ketekunan dan disiplin ini menjadi utama bagi siswa karena ilmu pengetahuan menentukan masa depan. Makanya ia menegaskan perayaan Siwaratri harus dilakukan dengan tulus tanpa beban serta penuh kesadaran.

Sastra agama disebutkan malam Siwaratri adalah malam utama yang sarat mengandung permohonan maaf, kebahagiaan dan memberi harapan.

Di malam yang paling gelap selama setahun dengan penuh kesadaran mengakui kesalahan untuk bangkit berbuat kebaikan, harapan dan kebahagiaan. Ingat bukan malam peleburan dosa.
Yang penting ada kesadaran untuk berbuat yang lebih baik

Saya mengakui anak muda Hindu kini semakin menghayati makna Siwaratri.
 
Mengenai cewe Bali sekarang,gmn? Ke tempat suci dijadikan kesempatan buat pacaran sama anak muda. saya heran melihatnya..Siwaratri dijadikan malam pacaran.Harusnya Cagub Bali sekarang juga mikirin neh para truna truni Bali yang sudah melupakan ciri khas Bali yang sesungguhnya.

namanya juga anak muda......... cari kesempatan dalam kesempitan :">
 
Mengenai cewe Bali sekarang,gmn? Ke tempat suci dijadikan kesempatan buat pacaran sama anak muda. saya heran melihatnya..Siwaratri dijadikan malam pacaran.Harusnya Cagub Bali sekarang juga mikirin neh para truna truni Bali yang sudah melupakan ciri khas Bali yang sesungguhnya.


ya biarin aja lah...soalnya kita tuh minoritas... soalnya saya sbg org bali yg tinggal dan besar di jakarta merasakannya...bagaimana susahnya dpt cwe bali yg sesuai (bkn asal ngambil kyk beli kucing dalam karung hahah). apalagi cwe bali di jakarta, oke sdikit sombongnya behhhh ga nahan... hahaha padhal saya juga ga jlek2 amet (hahahahah)
 
Bhagavan Dwidja
--------------------------------------------------------------------------------


Wanita Dalam Pandangan Agama Hindu

Wanita berasal dari Bahasa Sanskrit Svanittha, di mana kata Sva artinya “sendiri†dan Nittha artinya “suciâ€. Jadi Svanittha artinya “mensucikan sendiri†kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau “pengamal Dharmaâ€. Dari sini juga berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya “bibit†atau janin yang dikandung oleh manusia, dalam hal ini, peranan perempuan.

Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus “sarana†terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu. Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi. Wanita yang sedang menstruasi dijaga tetap berada didalam kamar agar terlindung dari mara bahaya.

Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa, yang sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang. Dewa Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya. Sejak awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia sedang haid, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.

Wanita yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan ketenangan phisik dan mental. Namun perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka, bahwa wanita yang sedang haid tergolong “cuntaka†atau “sebel†atau dalam bahasa sehari-hari disebut “kotorâ€, sehingga ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura. Ini perlu diluruskan sesuai dengan filosofi Hindu yang benar.

Wanita dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi dan Prajapati. Brahmana wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik; Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang direstui oleh kedua belah pihak.

Di masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari cara-cara yang pertama, ketiga dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan dan disetujui oleh orang tua dari kedua pihak. Selanjutnya dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah “Dharma Sampati†artinya “tindakan Dharma†karena melalui pernikahan, ada kesempatan re-inkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma kembali sebagai manusia. Dalam tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai pengamal “Dharma†dan suami disebut sebagai pengamal “Shaktiâ€.

Peranan istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti mengandung, melahirkan, memelihara bayi dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hind u di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dan lain-lain. Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya. Kombinasi antara Dharma dan Shakti ini menumbuh-kembangkan dinamika kehidupan. Oleh karena itu pula istri disebut sebagai “Pradana†yang artinya pemelihara, dan suami disebut sebagai “Purusha†artinya penerus keturunan.

Bila perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): “rwa-bhineda†(dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian, timbul kesengsaraan bagi pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua. Maka dalam agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.

Istri harus dijaga dengan baik, disenangkan hatinya, digauli dengan halus sesuai dengan hari-hari yang baik sebagaimana disebut dalam Manava Dharmasastra III.45: Rtu kalabhigamisyat, swadharaniratah sada, parvavarjam vrajeksainam, tad vrato rati kamyaya. Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik.

Selanjutnya MD III.55: Pitrbhir bhatrbhis, caitah patibhir devaraistatha, pujya bhusayita vyasca, bahu kalyanmipsubhih. Istri harus dihormati dan disayangi oleh mertua, ipar, saudara, suami dan anak-anak bila mereka menghendaki kesejahteraan dirinya. Ucapan “sorga ada di tangan wanita†bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam MD.III.56: Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarvastatraphalah kriyah. Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala. Lebih tegas lagi dalam sloka berikutnya: 57 : Socanti jamayo yatra, vinasyatyacu tatkulam, na socanti tu yatraita, vardhate taddhi sarvada. Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia. Dan sloka 58: Jamayo yani gehani, capantya patri pujitah, tani krtyahataneva, vinasyanti samantara h. Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki. Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan, mebebantenan, menjama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama. Tanpa wanita seolah-olah kegiatan di dunia ini terhenti, sehingga seorang lelaki dewasa yang belum juga menikah dianggap suatu keanehan, kecuali memang niatnya melakukan berata “nyukla brahmacari†artinya tidak kawin seumur hidup seperti yang dilakukan oleh Maha Rsi Bisma dalam ephos Mahabharata, dengan tujuan tertentu, yaitu memberikan kesempat an kepada keturunan adik tirinya menduduki tahta kerajaan.

Wanita Hindu juga diatur oleh sederetan norma-norma yang lebih ketat sehingga membedakan prilakunya di masyarakat dengan kaum lelaki. Pada beberapa hal ia tidak boleh melakukan hal yang sama seperti laki-laki. Baru zaman sekarang saja wanita “dibolehkan†memakai celana panjang, menyetir mobil, pergi ke mana-mana sendirian, berbicara bebas, dan lain-lainnya. Itu semua sebagai dampak pengaruh budaya dari “luar†Hindu. Di beberapa negara yang masih ketat melaksanakan norma-norma Hindu, wanita masih berlaku demikian, misalnya, di India dan Nepal. Di sana malah ada yang masih menutupi wajahnya dengan cadar, dan sangat tabu memakai pakaian yang menampakkan aurat walau seminimal mungkin.

Wanita Hindu Nusantara di masa kini dan di masa depan tentulah tidak boleh ketinggalan dari kaum lelaki dalam menempuh karir dan pendidikan serta menyelenggarakan kehidupan sebagaimana mestinya. Persoalannya adalah bagaimana menempatkan diri secara bijaksana, sehingga peranan semula sebagai “pengamal Dharma†dalam rumah tangga tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ayat-ayat Kitab Suci Veda seperti yang dikemukakan tadi. Berbagai upaya mesti dirancang dengan baik oleh ibu-ibu rumah tangga sejak awal, mendidik anak-anak gadisnya, membesarkan dalam nuansa Hindu, dan akhirnya ketika gadis, sudah siap menjadi pengamal Dharma atau dengan kata lain, matang untuk menjadi istri atau pendamping suami yang baik. Om A no bhadrah krattavo yantu visvatah.

Source : HDNet
 
Bhagavad-gita 10.34

Di kalangan kaum wanita, Aku adalah kemasyuran, keuntungan, bahasa yang halus, ingatan, kecerdasan, ketabahan dan kesabaran.

NB: karena ada tulisan wanita jadi saya copy aja ndak tau maknanya kalau ada yang tau bagi bagi dong!
 
ngomongin ce bali yg hindu pastinya donk hehehehe
:-)
 
Wanita Menurut Atharwa Weda
Details Written by Sri Coding Hits: 612 Prev 2 of 4 Next
Wanita Bali sebaiknya ikut ramai-ramai menjadi calon pemimpin dan bergerak di bidang politik, karena jika wanita seimbang dalam organisasi politik dengan laki-laki, maka manfaatnya di dalam pengambilan keputusan akan tidak memihak. Misalnya keputusan itu tidak hanya untuk kepentingan laki-laki saja padahal wanita juga harus diperhatikan dalam berbagai hal untuk kelayakan hidupnya. Misalnya peraturan istri ikut suami yang sekarang sudah diubah suami boleh ikut istri dalam perpindahan PNS.

Mengapa wanita harus diberikan kehormatan sebagai politikus dan pemimpin? Karena di dalam Atharwaweda V.17.3.4 diuraikan tahta rastram gupitam, ksatriayasya sa bruhmajaya vi, dunoti rastram. Artinya, dimana wanita dilindungi dan dihormati, maka bangsa itu selamat dan terjamin. Sebaliknya, dimana seorang wanita yang tidak dihormati, maka akan meruntuhkan bangsa itu.

Karena itulah wanita dalam kegiatan politik harus mendapatkan tempat yang layak, sebab dengan adanya wanita dalam kegiatan politik, udara perpolitikan itu akan menjadi lebih sejuk dan terkontrol oleh naluri keibuannya. Sebab itulah wanita perlu diberdayakan menjadi politikus-politikus andal. Demikian juga bisa mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehormatan wanita oleh dirinya sendiri dan bukan hanya oleh laki-laki.

Bidang Agama

Di dalam bidang keagamaan para wanita sesungguhnya sudah berdaya, khususnya di dalam agama Hindu. Di zaman Weda peran wanita sesungguhnya sangat tinggi dan sangat terhormat. Zaman Regweda wanita disejajarkan dengan Dewa-Dewa. Kaum wanita mendapat penghormatan sejajar dengan kaum laki-laki dalam konsep Dewa-Dewi, seperti Dewi Adhiti, Saci (bulan), Vak (Saraswati), dan lain-lain. Pada saat itu wanita dianggap sebagai Sabala (utahamasmi virini) yang berarti aku adalah ibu-ibu para perwira (Regweda, 10.86).

Beberapa wanita juga dipuji sebagai penerima wahyu Weda, misalnya Ghosa juga dipuji sebagai wanita yang pandai dalam berdiskusi (Regweda, X.85.26). Wanita juga sebagai pengawas keluarga, wanita sebagai modal keluarga dan penopang keluarga. Selain di zaman Weda, pada zaman Upanisad wanita juga sudah sangat dihormati, misalnya Gargi bisa seimbang dengan Rsi Yajnawalkya berdebat tentang kerohanian, zaman Itihasa Ramayana dan Mahabharata, wanita juga mempunyai peran yang sangat menentukan dimana pelecehan terhadap wanita menyebabkan seseorang menjadi hancur sekalipun menjadi raja dan sangat sakti, seperti Rahwana menculik Dewi Sita dan Duryadana melecehkan Dewi Durupadi. Keduanya akhirnya mengalami kehancuran.


Di zaman sekarang penghormatan kepada wanita rupanya tidak sebaik zaman dahulu, sekalipun ada wanita yang jadi pejabat, hakim, pendeta dan sebagainya, karena kenyataannya di masyarakat Bali khususnya masih banyak terjadi pelecehan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Sebagai bukti banyak wanita menjadi korban perkosaan, pelecehan anak di bawah umur, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena dampak perkembangan zaman yang sangat pesat, manusia berpikir egois hanya untuk dirinya sendiri, lupa berpikir keseimbangan antara manusia dan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Demikian juga pasangan suami istri ada yang tidak ikhlas menjalankan swadharmanya masing-masing. Kemajuan zaman dengan menyediakan peluang untuk berbuat untuk itu yang tidak diikuti oleh kematangan moral manusianya sebagai salah satu penyebab.
 Sesuai dengan ajaran agama Hindu, semestinya bagi pasangan suami istri mengikuti ajaran Atharwaweda, XIV.2.43: husumudau mahasa modamanau (Wahai pasangan suami istri, bersenang hatilah dengan kegiatan usahamu dan jalanilah hidup yang riang gembira).

Rahasia ringannya beban hidup dalam rumah tangga adalah dimulai dari hati yang gembira. Namun banyak orang yang tidak mampu mempraktekkannya. Karena itu perlu banyak belajar dari berbagai pengalaman. Jika tahu bahwa hidup ini sudah sebenarnya merupakan masalah, lalu mengapa dibebani lagi dengan masalah baru berupa kesedihan dalam melakukan swadharma dalam berumah tangga. Maka tidak asinglah di Pulau Bali ini angka kekerasan dalam rumah tangga persentasenya semakin meningkat pesat dari tahun ke tahun. Demikian juga banyaknya pertengkaran memicu meningkatnya pula terjadinya perceraian.



Fakta tentang itu dapat disaksikan di media massa, seperti di televisi, koran, majalah, hampir setiap hari disajikan berita bahwa dalam sebuah rumah tangga mengalami pertengkaran hebat. Bahkan volume pertengkaran semakin hari semakin meningkat, baik itu pertengkaran antara suami dengan istri, antara orang tua dengan anaknya, antara anak dengan orang tuanya atau antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Salah satu jawabannya adalah karena pasangan suami istri belum mampu menjalani kehidupannya dengan gembira bersama-sama.

Kegembiraan suami istri dalam melakukan kewajibannya masing-masing akan mempengaruhi suasana keluarga. Rumah dimana suami istri terlihat riang gembira, maka disanalah berstana dewa kebahagiaan. Anak-anak akan tumbuh dan dibesarkan dengan kasih sayang yang penuh tanpa ada paksaan. Dimana suami istri tidak ikhlas dalam melakukan kewajibannya masing-masing, maka di sanalah awalnya akan terjadi bibit pertengkaran.

Pertengkaran kecil sebagai awal pemicu pertengkaran besar setelah sekian lama menumpuk hari demi hari. Ketidakikhlasan dalam mengambil setiap usaha untuk memelihara kehidupan berkeluarga akan mempengaruhi suasana muram dalam keluarga. Kemuraman dalam kehidupan keluarga yang muncul adalah wajah-wajah raksasa. Sifat raksasa selalu ingin bertengkar, iri hati, dengki, buas, serakah, kejam dan sebagainya. Apabila wajah raksasa dikedepankan oleh pasangan suami istri, maka yang terjadi adalah percekcokan, pertengkaran kecil, membesar dan akhirnya sampai pada kekerasan yang mengakibatkan perceraian bahkan pembunuhan.

Guna menghindari kekeruhan dalam berkeluarga maka Weda mengajarkan bagi pria dan wanita agar menumbuhkan sifat tulus ikhlas, kerukunan, keserasian dan merasakan berpasangan tanpa suatu kebencian, bagaikan induk sapi yang mencintai anaknya yang baru lahir. Demikianlah hendaknya pasangan suami istri mencintai pasangannya masing-masing. Pada zaman sekarang ini dengan meningkatnya pertengkaran dalam rumah tangga termasuk meningkatnya perceraian karena kurang tumbuhnya sifat keikhlasan memberi dan menerima keadaan pasangan. Misalnya suami atau istri walaupun sudah lama berkeluarga masih saja mengungkit masa lalu ketika masa muda dahulu. Perdebatan tentang hal dimulai dari bangun tidur berlanjut hingga malam sebelum tidur, bahkan terbawa sampai mimpi dan ketika bangun kembali. Karena perdebatan itulah, maka waktunya habis terkuras memperdebatkan hal yang tak perlu.

Penyelesaian masalahnya adalah harus ada keikhlasan menerima apa adanya untuk memulai hidup baru tanpa beban. Demikian juga di dalam mengambil sebuah pekerjaan. Masing-masing pasangan saling merasa lebih payah antara satu dengan yang lainnya. Suami merasa lebih berat bekerja, sementara istri tak mau kalah dan juga merasa lebih berat bekerja dalam hal mengasuh anak ditambah tugas bekerja yang lain. Sehingga masing-masing tidak menemukan kebahagiaan dalam mengambil pekerjaan. Padahal pangkal kebahagiaan dalam mengambil pekerjaan itu adalah keikhlasan. Apabila masing-masing mampu menanamkan keikhlasan dan saling menghargai dalam keluarga, maka pasangan itu sudah membuat sorga dalam rumahnya sendiri. Anggota keluarga akan tumbuh dengan pikiran-pikiran yang saleh, mulia dan sehat, anggota keluarga menjalani hidupnya dengan riang gembira.


 Dimana rumah suasananya selalu menyenangkan, anggota keluarga betah tinggal di rumah. Jika pertengkaran saja yang terjadi, maka semua anggota keluarga bagaikan terusir dan tidak betah tinggal di rumahnya. Apabila sudah demikian jangan menyalahkan Tuhan, menuduh orang lain mengirim ilmu hitam atau ada bhutakala yang mengamuk dan sebagainya.

Mengenai hikmah hidup berkeluarga yang rukun dapat kita belajar dari Pandawa. Panca Pandawa sangat hormat kepada ibunya, kakeknya dan kepada orang yang lebih tua. Sekalipun Arjuna hebat atau Bima sangat sakti, namun rasa hormatnya itu selalu ditunjukkan kepada kakaknya yang tertua, yaitu Yudhistira, juga kepada ibunya Dewi Kunti, sehingga suasana harmonis selalu terjadi di keluarga Pandawa yang menghasilkan keluarga yang cerdas dan berani, bukan angkuhan.

Pemberdayaan wanita di Bali khususnya dalam bidang agama Hindu dalam segala lini masih harus dilakukan di bidang organisasi keagamaan, seperti PHDI dan lainnya. Caranya, wanita hendaknya lebih mampu memberikan pencerahan, memimpin sembahyang dan sebagainya. Juga dalam pelaksanaan upakara dan upacara wanita di Bali hendaknya mampu melampaui kehebatan laki-laki. Demikian pula dengan kepemimpinan.

Oleh: Dra. Relin D.E, M.Ag , Dosen Fakultas Brahmawidya IHDN Denpasar

Sumber: Raditya edisi 135, Oktober 2008
 
Nini Buto Ijo (penjelmaan Dewi Ratih) seorang nenek tua berasal dari gunung wilis mengajurkan kepada anak angkatnya Niken Bawang (dewi Ragil Kuning)
Seorang istri harus berbakti kepada suaminya
Seorang istri dilarang keras membanggakan kecantikan wajahnya, kecantikan wajahnya harus hanya dipersembahkan untuk suaminya
Seorang istri apabila sedang menghadapi dan melayani suami tidak bermuka masam atau cemberut. Bahkan Apabila sedang marah karena suatu hal sedapat mungkin ditahan atau disembunyikan. Hadapilah Sang suami dengan senyum mesra yang menggairahkan.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.