pinnacullata
IndoForum Activist C
- No. Urut
- 24506
- Sejak
- 24 Okt 2007
- Pesan
- 13.034
- Nilai reaksi
- 224
- Poin
- 63
Bos Pengemis Tinggal Nikmati Hidup
Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir
sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari
jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil
gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.
---
Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati
hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau
perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke
kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu
hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta
hingga Rp 9 juta.
Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang
didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya ,
Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk
emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia
bangun di Kota Semarang.
Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan
sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
***
Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini
di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda
CR-V-nya yang berwarna biru metalik.
Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat
seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut
berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak
bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang
tak pernah menamatkan sekolah dasar.
''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.
***
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis,
berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai
cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis
yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990,
penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari.
''Pokoknya sudah enak,'' katanya.
Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah
sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan
oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan
TV 14 inci,'' kenangnya.
Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia
mulai mengumpulkan anak buah.
Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat
teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya
sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.
Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang
baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah
kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku
malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu
saudara di kampung,'' tegasnya.
Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja.
Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya
Timur.
Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai
di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti
penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.
Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan
perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan
sendiri-sendiri.
***
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak
buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To.
Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.
Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan
setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200
ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta
per bulan.
Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya
minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau
sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada
saya,'' ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah
kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai
donatur tetap di sebuah masjid di Gresik.
''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,''
katanya.
Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal
mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya
lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti...
*sumber:www.jawapos.co.id
Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir
sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari
jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil
gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.
---
Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati
hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau
perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke
kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu
hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta
hingga Rp 9 juta.
Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang
didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya ,
Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk
emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia
bangun di Kota Semarang.
Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan
sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
***
Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini
di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda
CR-V-nya yang berwarna biru metalik.
Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat
seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut
berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak
bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang
tak pernah menamatkan sekolah dasar.
''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.
***
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis,
berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai
cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis
yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990,
penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari.
''Pokoknya sudah enak,'' katanya.
Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah
sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan
oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan
TV 14 inci,'' kenangnya.
Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia
mulai mengumpulkan anak buah.
Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat
teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya
sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.
Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang
baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah
kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku
malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu
saudara di kampung,'' tegasnya.
Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja.
Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya
Timur.
Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai
di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti
penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.
Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan
perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan
sendiri-sendiri.
***
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak
buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To.
Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.
Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan
setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200
ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta
per bulan.
Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya
minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau
sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada
saya,'' ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah
kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai
donatur tetap di sebuah masjid di Gresik.
''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,''
katanya.
Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal
mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya
lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti...
*sumber:www.jawapos.co.id