Bicara takdir, seperti bicara diawang awang. Siapa yang tahu bagaimana takdir dirinya? Setelah sesuatu terjadi, baru orang berujar itu adalah takdir atau nasib. Yang lain menyebutnya sudah suratan, yang lain lagi mengatakan sudah digasriskan seperti itu.
Takdir dan nasib hanyalah kata-kata penghibur bagi orang yang mengalami kekecewaan. Sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kenyataan hasil meleset dari dugaan. Maka itu disebut takdir atau nasib. Belum jodoh dll. Ada lagi yang melihat kesenangan orang lain. Tidak dapat menjangkau dengan pikiran bagaimana seberuntung itu, maka dikatakanlah itu takdir atau nasib.
Siapa yang tahu bahwa takdir saya akan main di IF dan ketemu dengan banyak orang yang akhirnya menjadi teman? Tidak ada yang tahu. Bilapun diramalkan oleh seseorang, tapi bila saya memilih lain, misalnya saya maunya main di Forum lain? Apakah ini bisa dikatakan takdir? Bagi saya, tidak. Tapi mutlak keinginan dan kemauan saya. Niat saya, usaha saya.
Adalah tidak produktif bagi saya untuk bergantung kepda takdir.
Benar dalam paham reinkarnansi atau tumimbal lahir atau lahir kembali, apa yang dijalani sekarang adalah buah dari kehidupan lampau. Namun demikian, bukankah dalam kehidupan sekarangpun selalau ada kesempatan untuk memilih.
Bahkan bagi yang terlahir sebagai homo atau gay pun ada pilihan. Ingin menjadi kucing atau ingin seperti Ryan? Atau ingin seperti Dumbledore atau memilih jadi leonardo DaVinci.
Pilihan selalu ada. Bila mau mencermatinya. Ada banyak pelacur. Ada banyak orang susah. Ada banyak orang cacat. Ada banyak pengemis. Tidak semua orang susah sudi menjadi pelacur. Seperti tidak semua orang cacad harus mengibah-ibah menjadi pengemis. Karena apa? Karena itu bukan Takdir. Karena itu bukan nasib. Karena itu pilihan. Untuk berusaha atau untuk mengharapkan langit menjamah.
Mati dan hidup bukan takdir. Tua dan muda juga bukan takdir. Itu kenyataan yang tidak bisa ditolak. Kecuali ingin menjadi benda mati. Lahir, muda, tua, sakit dan mati, itu kesunyataan. Tidak bisa dihindari, tidak bisa dipungkiri. Mau sembunyi dimanapun, berguru kepada siapapun, memeluk agama apapun, atau tidak memeluk apa-apa pun, tetap terjadi. Kalau sudah tahu akan terjadi, apakah bisa dikatakan takdir?
Kalau aku tahu takdirku, nasibku, besok bagaimana.... apa enaknya hidup hari ini?