• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Abhidhamma

singthung

IndoForum Junior E
No. Urut
7164
Sejak
21 Sep 2006
Pesan
1.634
Nilai reaksi
27
Poin
48
ABHIDHAMMA PITAKA

(Sabda Luhur Sang Buddha)


oleh : Selamat Rodjali​



I. Pendahuluan

Ajaran-ajaran Sang Buddha, yang terdapat di dalam Kitab Suci umat Buddha yang terlengkap dan diakui oleh seluruh umat Buddha di dunia, terdiri dari Vinaya Pitaka (1/4 bagian), Sutta Pitaka (1/4 bagian) dan Abhidhamma Pitaka (1/2 bagian). Ketiga bagian Kitab Suci (Tipitaka) ini merupakan sumber inspirasi dan dorongan untuk praktik, yang mengarah ke penghancuran pandangan keliru dan kekotoran-kekotoran batin lainnya.

Di dalam ketiga bagian Tipitaka ini, kita diajarkan tentang `Dhamma' tentang segala sesuatu yang nyata. Melihat adalah Dhamma, hal yang nyata. Warna adalah Dhamma, hal yang nyata juga. Merasakan adalah Dhamma, hal yang nyata. Kekotoran batin kita adalah Dhamma, mereka merupakan kenyataan.

Ketika Sang Buddha merealisasi penerangan sempurna, Beliau dengan jelas memahami Dhamma sebagaimana kenyataannya. Beliau mengajarkan Dhamma kepada kita agar kita juga memahami kenyataan sebagaimana kenyataannya.

Vinaya mengandung tata tertib bagi para bhikkhu untuk menjalani kehidupan sempurna sebagai samana. Gol dari kehidupan sebagai samana adalah penghancuran total semua kekotoran batin. Pembahasan Vinaya memakan seperempat dari keseluruhan Tipitaka.

Tidak hanya para bhikkhu, namun juga para perumah tangga seyogyanya mempelajari vinaya. Kita membaca tentang contoh-contoh para bhikkhu yang merosot dari kehidupan murninya, kemudian Sang Buddha menetapkan tata tertib untuk menolong mereka agar lebih waspada. Ketika kita membaca Vinaya, kita diingatkan akan lobha, dosa, dan moha kita, mereka adalah kenyataan yang dialami di dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam Sutta, Dhamma dijelaskan kepada orang yang berbeda di tempat yang berbeda. Sang Buddha mengajarkan tentang semua kenyataan yang hadir melalui enam pintu indera, mengenai sebab dan akibat, mengenai praktik menuju akhir dari semua dukkha. Pembahasan Sutta memakan seperempat dari keseluruhan Tipitaka.

Abhidhamma, merupakan pembabaran semua kenyataan secara rinci. Kata `Abhi' secara literal berarti `lebih luhur', oleh karena itu `Abhidhamma' berarti `Dhamma yang lebih luhur.' Metode penyampaian kenyataan dari bagian Tipitaka ini berbeda dengan bagian lainnya, namun tujuan dan maksudnya sama, yaitu menghancurkan pandangan keliru dan secara bertahap menghancurkan semua kekotoran batin. Oleh karena itu, ketika kita mempelajari banyak deskripsi tentang kenyataan, kita seyogyanya tidak terlupa akan tujuan pokok dari pelajaran tersebut. Teori (pariyatti) seyogyanya mendorong kita untuk berlatih (patipatti) yang dibutuhkan untuk merealisasi kesunyataan (pativedha). Pembahasan Abhidhamma memakan separuh dari isi keseluruhan Tipitaka.

Pemaparan di dalam artikel bersambung ini merupakan awal mempelajari Abhidhamma. Penulis berharap agar para pembaca, tidak merasa bosan atas pemaparan beristilah Pali yang kerap digunakan, melainkan justru akan mengembangkan ketertarikan yang meningkat terhadap kenyataan-kenyataan sehari-hari yang dialami di dalam dan di sekitar kita.


II. Pannatti Dhamma dan Paramattha Dhamma.


Pembabaran Dhamma (Dhammadesana), bila dikelompokkan, terdiri dari dua metode, yaitu vohara desana dan paramattha desana. Vohara desana, adalah pembabaran yang menitikberatkan pada kenyataan sehari-hari yang bersifat konseptual, kesepakatan yang biasanya menggunakan istilah umum, seperti orang, mobil, gunung, aku, milikku, binatang, setan, dewa. Paramattha desana, adalah pembabaran yang menitikberatkan pembahasan pada kenyataan yang sesungguhnya dari segala sesuatu di dalam kehidupan sehari-hari yang terbebas dari konseptual, kesepakatan, yang biasanya berkisar pada pembahasan tentang batin dan jasmani. Kedua jenis pembabaran di atas sebenarnya didasarkan atas pengelompokkan Dhamma yang terdiri dari dua jenis, yaitu Pannatti Dhamma dan Paramattha Dhamma .

Pannatti Dhamma adalah:

- Sebutan, nama, ungkapan, gambaran atas sesuatu; wujudnya dapat berupa kata-kata, isyarat, bentukan pikiran, tulisan dan sebagainya.

- Definisi, keterangan atas sebutan, nama, ungkapan, gambaran; wujudnya dapat berupa kumpulan kata, gabungan isyarat, bentukan pemikiran dan sebagainya.

Contoh:

- Orang merupakan satu sebutan yang disepakati atas makhluk yang terdiri dari batin dan jasmani dengan ciri-ciri sesuai kesepakatan bersama.

- Gula, merupakan sebutan bagi sesuatu yang rasanya manis apabila dikecap lidah.

- Kumpulan kata-kata yang mengilustrasikan rasa manis, misalnya bagaikan air tebu yang baru diperas.

Paramattha Dhamma adalah:

Hakekat sesungguhnya dari segala sesuatu, terdiri dari batin (nama) dan jasmani (rupa).

Contoh:

- Kesadaran sentuhan yang dialami langsung ketika mengecap masakan.

- Perasaan yang muncul langsung ketika mengalami sentuhan kecapan masakan.

Pannatti Dhamma maupun Paramattha Dhamma, keduanya nyata penggunaannya di dalam kehidupan sehari-hari, namun keduanya berbeda di dalam penggunaannya. Pannatti Dhamma digunakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antar orang /makhluk, sedangkan Paramattha Dhamma dialami langsung walaupun kata-kata, tulisan, bentukan tidak dikenal.

Bagian Tipitaka yang membahas secara terperinci Paramattha Dhamma, adalah Abhidhamma Pitaka. Dengan mempelajari Abhidhamma Pitaka, seseorang diajak untuk memandang hidup dan kehidupan ini dalam hakekat yang sesungguhnya. Pembahasan makhluk hidup, reaksinya terhadap objek, evolusi reformasi batinnya di dalam pencapaian tujuannya, serta tujuan hidup yang ideal dijelaskan dengan sangat rinci.

III. Tujuan dan manfaat mempelajari Abhidhamma.

Dengan mempelajari Abhidhamma, seseorang tidak dimaksudkan untuk berspekulasi atau berteori semata, namun lebih daripada itu, tujuan seseorang mempelajari Abhidhamma justeru untuk membantu mereka di dalam memahami:

1. Kehidupan dan dunia ini sesungguhnya.
2. Siapa kita sesungguhnya
3. Siapa di sekitar kita sesungguhnya.
4. Bagaimana dan mengapa di sekitar kita bertindak-tanduk tertentu
5. Bagaimana dan mengapa kita bereaksi terhadap sekitar kita
6. Apa tujuan hidup kita yang sesungguhnya
7. Bagaimana cara merealisasi tujuan hidup yang sesungguhnya secara alamiah

Pelajaran di dalam Abhidhamma Pitaka, seyogyanya diterjemahkan secara ber-kesinambungan di dalam tindak-tanduk kehidupan sehari-hari.

IV. Sejarah Pembabaran Abhidhamma

Kitab Atthasalini menyebutkan bahwa pada minggu keempat setelah pencerahan sempurna, ketika Sang Buddha masih menetap di sekitar pohon Bodhi, Beliau duduk di dalam sebuah rumah permata (ratanaghara) dengan arah Barat Laut. Rumah permata ini bukanlah sebuah rumah yang secara literal dibuat dari batu mulia, namun merupakan sebuah tempat Beliau merenungkan isi Abhidhamma secara keseluruhan. Beliau melakukan perenungan mulai dari isi yang nantinya tertuang dalam Dhammasangani, namun setelah menginvestigasi isi yang nantinya dituangkan ke dalam enam buku pertama, tubuhnya tidak meradiasikan cahaya gemilang. Hanya setelah merenungkan isi Abhidhamma yang nantinya tertuang di dalam kitab Patthana, merenungkan korelasi kombinasi dua puluh empat kondisi universal inilah, tubuh Beliau memancarkan enam jenis warna gemilang.

Kelompok Sarvastivada (salah satu aliran Buddhist Ortodoks juga) menyebutkan bahwa Abhidhamma merupakan karya para murid Buddha belakangan. Namun kelompok Theravada menyebutkan bahwa awal mula pembabaran Abhidhamma dilakukan oleh Sang Buddha, karena tidak hanya spirit Abhidhamma, tetapi juga isinya, telah direalisasi dan dibabarkan oleh Sang Buddha semasa kehidupannya, kecuali kitab Kathavatthu ditulis oleh Mogaliputta Tissa Thera.

Kelompok Theravada berkeyakinan bahwa Abhidhamma dibabarkan oleh Sang Buddha, pertama kali dibabarkan bukan kepada manusia, namun kepada para dewa yang hadir di surga Tavatimsa. Menurut tradisi ini, pada vassa ketujuh Sang Buddha pergi ke Surga Tavatimsa, duduk di batu Pandukambala di bawah pohon Paricchattaka, selama tiga bulan vassa tersebut Beliau mengajarkan Abhidhamma kepada para deva yang hadir dari sepuluh ribu sistem dunia. Beliau menujukan pembabaran tersebut terutama kepada ibundanya Devi Mahamaya yang bertumimbal lahir sebagai Deva di surga Tusita. Alasan Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma di alam dewa bukan di alam manusia, karena untuk memberikan gambaran Abhidhamma secara utuh kepada pendengar yang sama dalam satu sesi pembabaran Dhamma. Pembabaran Abhidhamma secara utuh membutuhkan waktu tiga bulan berturut-turut tanpa istirahat, dan hanya para Dewa dan Brahma yang sanggup menerima pembabaran Dhamma selama itu tanpa henti, karena mereka sanggup untuk duduk berdiam diri dalam postur yang sama selama tiga bulan.

Namun demikian, setiap hari untuk memelihara tubuhnya, Sang Buddha pergi ke alam manusia melakukan pindapata di sebelah utara dari Uttarakuru. Setelah menerima dana makanan, Beliau pergi ke tepi danau Anotatta untuk makan. Y.A. Sariputta Thera, Jenderal Dhamma, menemui Beliau di sana dan menerima sebuah sinopsis(ringkasan) dari ajaran yang dibabarkan di alam dewa. Kepadanya Sang Buddha memberikan metodenya,dan berkata, "Sariputta, begitu banyak ajaran yang ditunjukkan." Demikian, pemberian metode disampaikan kepada siswa utama, yang memiliki ketajaman kebijaksanaan analisis paling tinggi, ketika sang Buddha berdiri di tepi danau dan menunjuk ke lautan dengan tangan terbuka. Kepadanya pula Sang Buddha mengajarkan ajaran di dalam beratus dan beribu metode dan menjadi sangat jelas."

Setelah mempelajari Dhamma yang diajarkan Sang Buddha itu, Y.A.Sariputta Thera kembali mengajarkannya kepada 500 orang muridnya, dan dari sinilah awal dari resensi tekstual Abhidhamma Pitaka terpancang teguh. Sariputta Thera memaparkan urutan tekstual khotbah Abhidhamma sebaik urutan di dalam Patthana. Inilah yang mungkin diyakini oleh para sekte Buddhist lain, yang menghubungkan Abhidhamma dengan Sariputta Thera, di mana di beberapa tradisi Buddhist Ortodoks dianggap sebagai pencipta khotbah Abhidhamma.

Para pembaca, perlu diketahui bahwa banyak hal di dalam bagian Sutta tercantum khotbah-khotbah Sang Buddha yang bernafaskan Abhidhamma, tentang kenyataan kehidupan sehari-hari di dalam hakekat yang sesungguh-nya. Khususnya di Indonesia ini, belum banyak Sutta yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga sebagian besar umat Buddha di Indonesia belum mengetahuinya. Bahkan di antara mereka yang telah mengetahuinya, kerap kali mengalami tantangan di dalam menyelami pengertian khotbah atau Sutta tersebut, namun bila telah dihubungkan dengan Abhidhamma, maka penyelaman akan pengertian Sutta tersebut menjadi sangat jelas dan akurat sehingga lebih kecil kemungkinan munculnya dualisme interpretasi. Di dalam Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, juga ada kisah, "..... Pada masa itu, para bhikkhu, setelah kembali dari berpindapata dan bersantap, berkumpul bersama untuk membahas Abhidhamma …"Demikian pula di dalam Vinaya Pitaka, Mahavibhanga,

Dabbamallaputta Thera-vatthu, tertulis ".… para bhikkhu yang ahli Abhidhamma tergabungkan dalam satu kelompok mengatur tempat duduk untuk mereka dengan berpikir supaya mereka dapat saling mengadakan perbincangan tentang Abhidhamma …. " Saudara pembaca, Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka merupakan tiga serangkai, saling melengkapi sehingga kitab suci umat Buddha utuh. Secara umum, karena istilah dan metode yang dikembangkan di dalam Abhidhamma lebih unik serta sistematis, maka banyak yang menganggap `lebih sulit' dipelajari, dan oleh karenanya amat masuk akal apabila di masa yang akan datang Abhidhamma yang lebih dulu akan dilupakan atau ditinggalkan oleh umat Buddha yang tidak tekun. Padahal di dalam salah satu Sutta disebutkan bahwa selama ada mereka yang membabarkan batin dan jasmani (seperti yang diuraikan di dalam Abhidhamma) serta mempelajari dan mempraktikkannya, maka Dhamma masih dapat terjaga dengan baik kelestariannya, dan dunia tidak akan kekurangan makhluk suci.

V. Tujuh kitab Abhidhamma dalam Tipitaka

Kitab Abhidhamma di dalam Tipitaka terdiri dari tujuh judul, yaitu:

1) Dhammasangani

Kitab ini merupakan pokok utama dari keseluruhan sistematika Abhidhamma. Kata Dhammasangani ini dapat diterjemahkan sebagai "Pemaparan Fenomena." Pemaparan fenomena merupakan katalog lengkap dari semua kenyataan ditinjau dalam hakekat yang sesungguhnya. Buku ini dimulai dengan matika (matriks), ringkasan kategori, yang menyajikan outline keseluruhan istilah teknis kesunyataan yang dibahas dalam Abhidhamma, di mana naskah ini terdiri dari empat bab, yaitu Pemaparan Kesadaran, yang memakan separuh isi buku, membahas analisa kelompok tiga pertama dari matika (Tika-matika), yaitu kusala, akusala dan abyakata. Untuk mendukung analisa ini, naskah tersebut memaparkan 121 jenis kesadaran yang dikelompokkan berdasarkan kualitas moral. Setiap tipe kesadaran diuraikan ke dalam faktor-faktor batin pembentuknya (cetasika), yang dideskripsikan tersendiri secara penuh. Bab kedua, "Pemaparan Materi", melanjutkan pemaparan Abyakata Dhamma secara moral dengan menyebutkan dan mengelompokkan tipe-tipe fenomena materi yang berbeda. Bab ketiga, disebut sebagai "Ringkasan", menyajikan penjelasan konsisten dari semua istilah di dalam matriks Abhidhamma dan matriks Sutta. Bab terakhir, sebuah ringkasan kesimpulan "Sinopsis" yang menyajikan penjelasan yang lebih sederhana atau ringkas dari matriks Abhidhamma tanpa matriks Sutta.

2) Vibhanga

"Buku tentang Analisa" terdiri dari 18 bab, tiap bab merupakan disertasi tersendiri, meliputi: kelompok perpaduan (Khandha), landasan indera (Ayatana), unsur (Dhatu), kesunyataan (sacca), perlengkapan (Indriya), sebab-musabab yang saling terkait (Paticca Samuppada), landasan perhatian murni (Satipatthana), daya-upaya sempurna (Samapaddhana), Iddhipada, factor pencerahan sempurna (Bojjhanga), jalan berunsur delapan (Magga 8), jhana, keadaan tanpa batas (Appamanna), tata tertib latihan, pengetahuan analitis (Patisambhida), jenis-jenis pengetahuan, kelompok minor (kelompok bernomor perihal kekotoran batin), dan `jantung ajaran' (Dhammahadaya), sebuah topografi psiko-kosmik dari alam semesta Buddhist. Sebagian besar bab-bab di dalam Vibhanga, walaupun tidak semuanya, melibatkan tiga sub-seksi, yaitu sebuah analisa menurut metodologi Sutta; sebuah analisa menurut metodologi Abhidhamma; dan sebuah seksi integrasi, yang menerapkan kategori-kategori dari matriks (matika) akan subyek yang diinvestigasi.

3) Dhatukatha

"Pembabaran tentang Unsur", ditulis seluruhnya di dalam bentuk katekismus. Buku ini mendiskusikan semua fenomena dengan referensi terhadap tiga kelompok, yaitu perpaduan (khandha), landasan indera (ayatana) dan unsur-unsur (dhatu), mencari apakah, dan atas hal apa, fenomena-fenomena itu termasuk ataukah tidak termasuk di dalamnya, dan apakah fenomena-fenomena berhubungan dengannya atau tidak berhubungan dengannya.

4) Puggalapannatti

"Konsep tentang individu", merupakan satu-satunya buku Abhidhamma yang lebih condong ke arah metode Sutta dibanding- kan ke arah metode Abhidhamma. Buku ini dimulai dari pemaparan tentang tipe-tipe konsep, dan menganjurkan bahwa hal ini merupakan kenyataan konseptual murni di luar hakekat sesungguhnya yang diterapkan secara strict di dalam metode Abhidhamma. Sebagian besar isi buku menyajikan definisi formal dari perbedaan tipe-tipe individu; terdiri dari 10 bab, dimulai bab pertama tentang satu tipe individu, bab kedua tentang pasangan, bab ketiga tentang kelompok tiga, dan seterusnya.

5) Kathavatthu

"Pokok-Pokok Kontroversi", merupakan sebuah uraian polemik yang ditulis oleh Y.A.Moggaliputta Tissa Thera. Beliau disebutkan telah mengkompilasinya selama masa pemerintahan Asoka, 218 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana, dengan maksud untuk mengcounter pandangan-pandangan dari sekte-sekte Buddhist Ortodoks yang bertentangan dengan kelompok Theravada. Di dalam kitab komentar disebutkan bahwa Mogaliputta Tissa Thera mengisi pokok-pokok outline yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha yang telah memperkirakan akan terjadinya penyimpangan-penyimpangan atas ajaran Beliau.

6) Yamaka

"Buku tentang Pasangan", memiliki tujuan untuk mengatasi dualisme (ambiguities) dan mendefinisikan penggunaan yang akurat atas istilah-istilah teknis. Perlakuan pembahasannya berpasangan antara sebuah pertanyaan dan formulasi kebalikannya. Sebagai contoh, pasangan pertama pertanyaan di dalam bab pertama, seperti demikian: "Apakah semua fenomena baik (kusala Dhamma) adalah akar yang baik (kusala hetu)? Dan apakah semua akar yang baik (kusala hetu) adalah fenomena yang baik (kusala Dhamma)?" Buku ini terdiri dari sepuluh bab, yaitu bab tentang akar (hetu), bab tentang perpaduan (khandha), tentang landasan indera (ayatana), tentang unsur (dhatu), tentang kesunyataan (sacca), tentang formasi, disposisi laten, kesadaran, fenomena dan indriya.

7) Patthana

"Buku tentang Hubungan Kondisi" merupakan buku yang terpenting di dalam Abhidhamma Pitaka dan secara tradisional disebut sebagai `uraian luhur' (Mahapakarana). Isinya sangat banyak baik volume maupun sarinya; terdiri dari lima volume besar. Tujuan dari Patthana adalah untuk menerapkan 24 jenis hubungan kondisi terhadap semua fenomena yang dipaparkan di dalam matriks Abhidhamma. Tubuh utama buku ini terbagi dalam empat bagian besar, yaitu: kemunculan menurut metode positif, menurut metode negatif, menurut metode positif-negatif, dan menurut meyode negative-positif. Tiap bagian besar itu dibagi lagi ke dalam enam sub bagian yang lebih rinci, yaitu: kemunculan dari kelompok tiga, dari kelompok dua, dari kelompok dua dan kelompok tiga berkombinasi, dari kelompok tiga dan kelompok dua berkombinasi, dari kelompok tiga dan kelompok tiga berkombinasi, dan dari kelompok dua dan kelompok dua berkombinasi. Di dalam pola kedua puluh empat bagian yang rinci ini, dua puluh empat model kondisional (24 paccaya) diterapkan secara berurutan terhadap semua fenomena dalam semua kemungkinan permutasinya secara rinci.

Di luar daripada penilaian yang menganggap buku ini berisi format permutasi kombinasi yang kering, Patthana merupakan satu buah hasil pemikiran, pemahaman dan kebijaksanaan manusia terhadap hakekat sesungguhnya segala sesuatu yang sungguh dahsyat dan monumental, dengan visi yang sangat menakjubkan, kemantapan yang sangat konsisten, dan ketajaman perhatian yang rinci. Di dalam tradisi Theravada disebutkan bahwa hanya Sang Buddha yang dapat membabarkannya secara sempurna, dan dengan meninjau Patthana akan membuktikan bahwa Sang Buddha sungguh sempurna dan tak tertandingi pengetahuan-Nya.

Kita telah mengetahui pembagian kitab-kitab di dalam Abhidhmma Pitaka, serta manfaat dan tujuan mempelajari Abhidhamma, dan sejarah pembabaran Abhidhamma oleh Sang Buddha. Untuk mempelajari Abhidhamma secara mendetail maka kita harus mengetahui hakekat sesungguhnya kehidupan kita. Hal ini erat kaitannya dengan pembahasan Citta (Pikiran) dan Cetasika (Bentuk-bentuk pikiran). Bagaimana kita dapat mengerti sepenuhnya hakekat dari pembahasan Abhidhamma ini, untuk itu kita harus mengetahui apakah Citta dan Cetasika itu? Selain itu, kita juga harus mengetahui Fungsi Kesadaran dan Proses Pikiran, maka nantikanlah kehadiran Bapak Selamat Rodjali yang akan membimbing kita dalam mempelajari Abhidhamma di edisi berikutnya.


bersambung...


 
ABHIDHAMMA PITAKA
(Sabda Luhur Sang Buddha)

Setelah kita mengetahui pembagian kitab-kitab di dalam Abhidhamma Pitaka, serta manfaat dan tujuan kita mempelajari Abhidhamma, dan sejarah dibabarkannya Abhidhamma oleh Sang Buddha, maka kali ini kita akan beranjak lebih jauh lagi. Edisi Waisak kali ini akan membahas hakekat makhluk hidup, kehidupan dunia serta proses munculnya batin atas rangsangan objek melalui indera kita yang kali ini masih diasuh oleh Bapak Selamat Rodjali.


VI. BATIN (NAMA) DAN JASMANI DAN RUPA

Hakekat Sesungguhnya Makhluk hidup



Makhluk hidup di dalam hakekat yang sesungguhnya merupakan perpaduan yang terdiri dari unsur batiniah (nama) dan jasmaniah (rupa), yang di dalam istilah Abhidhamma digolongkan menjadi citta (kesadaran)dan cetasika (faktor batin) yang merupakan kelompok unsur batiniah (nama) serta materi yang merupakan kelompok rupa. Perpaduan batin dan jasmani ini bekerjasama dan berproses saling tergantung secara terus-menerus tanpa jeda waktu. Kesadaran (citta) adalah batin, yang mengetahui / mengalami objek baik objek tersebut berupa materi / fisik maupun batin lainnya; sedangkan materi / fisik tidak dapat mengetahui / mengalami objek.

Faktor batin atau penyerta batin yang disebut cetasika adalah batin yang memiliki fungsi khusus yang memiliki objek yang muncul bersamaan dengan kesadaran. Cetasika terbagi atas 52 jenis. (lihat tabel cetasika). Kombinasi cetasika inilah yang mewarnai citta, sehingga dikenal ada 89 jenis citta/ kesadaran (lihat tabel citta); ada akusala citta (kesadaran buruk), ada kusala citta (kesadaran baik), ada vipaka citta (kesadaran hasil kusala/akusala) dan ada kiriya citta (kesadaran fungsional yang bukan merupakan hasil kusala/akusala juga bukan perbuatan kusala maupun akusala). Keempat jenis kesadaran tersebut sebagian besar dialami di dalam kehidupan kita luput dari perhatian kita.

Hakekat Sesungguhnya Kehidupan dan Dunia

Apakah kehidupan itu, dan apakah dunia itu? Secara Abhidhamma, kehidupan itu tidak lain dari rangkaian proses melihat, proses mendengar, proses mencium bau, proses mengecap rasa, proses mengalami sentuhan fisik, proses memikirkan sesuatu. Kalau kita amati perjalanan kehidupan kita sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai dengan tidur kembali melewati jangka waktu yang pendek ataupun panjang, maka tidak lain daripada berlangsungnya keenam proses-proses tadi, yang muncul dan padam silih berganti. Dengan demikian, dunia yang terjadi dan kita alami sehari-hari, merupakan dunia melihat, dunia mendengar, dunia mencium bau, dunia mengecap rasa, dunia sentuhan fisik, dan dunia pemikiran.

VII. FUNGSI KESADARAN (KICCA CITTA)

Kesadaran-kesadaran yang bergulir di dalam pengalaman kita sejak tumimbal lahir sampai dengan mati dan berlanjut ke tumimbal lahir selanjutnya, bila dikelompokkan sesuai fungsinya, sebenarnya ada 14 kelompok fungsi kesadaran (kicca citta), yaitu:

1. Penerus antar kehidupan (patisandhi)
2. Penyambung proses kehidupan/ aliran proses kesadaran (bhavanga)
3. Mengarahkan menuju objek pada tahap pertama proses pikiran (avajjana)
4. Melihat (dassana)
5. Mendengar (savana)
6. Mencium bau (ghayana)
7. Mengecap rasa (sayana)
8. Mengalami sentuhan (phussana)
9. Menerima objek (sampaticchana)
10.Memeriksa / menyelidiki objek yang diterima (santirana)
11.Memutuskan objek yang telah diterima dan diselidiki (votthapana)
12.Mendorong aksi berjalan (javana)
13.Mencatat aksi yang telah berjalan (tadarammana)
14.Mengakhiri kehidupan di salah satu alam (cuti)

VIII. TERJADINYA PROSES-PROSES INDERA


Proses melihat, proses mendengar, proses mencium bau, proses mengecap rasa, proses mengalami sentuhan fisik, proses berpikir tidaklah muncul tiba-tiba dan juga tidak random atau acak, namun proses-proses tersebut muncul sesuai dengan kondisi yang terjadi. Selama kondisi tidak lengkap, atau tidak terpenuhi, maka proses kehidupan tidak akan muncul dengan sempurna. Sebagai contoh, munculnya kesadaran melihat dapat terjadi apabila terpenuhi syarat-syarat:

- ada objek penglihatan (bentuk/ warna)
- ada landasan penglihatan (dalam istilah kedokteran disebut retina)
- ada media
- ada perhatian
- kontak

Proses kesadaran melalui indera yang sempurna secara sekilas terdiri dari tujuh belas (17) saat kesadaran yang muncul dan padam secara berkesinambungan. Mari kita umpamakan tiap saat munculnya kesadaran dengan menggunakan angka:


Misalkan terjadi proses melihat dengan sempurna:

abhidhamma2.jpg



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
AB BI BT MO KM MeO MemO Pu Do Do Do Do Do Do Do Ca Ca

Keterangan:
AB = Aliran Bhavanga (aliran kesadaran pasif dengan objek lampau) BI = Bhavanga terinterupsi/ tergetar
BT = Bhavanga terpengaruh
MO = Kesadaran mengarahkan indera ke objek penglihatan
KM = Kesadaran Melihat objek penglihatan
MeO = Kesadaran Menerima objek penglihatan yang dilihat tadi
MemO = Kesadaran Memeriksa objek penglihatan yang telah diterima tadi
Pu = Kesadaran memutuskan objek yang telah diperiksa tadi
Do = Dorongan yang terjadi atas keputusan tadi (kusala, akusala, kiriya)
Ca = Kesadaran yang mencatat pengalaman di atas.

Ketujuh belas kesadaran di atas muncul dan padam berkesinambungan tanpa ada waktu kosong (tanpa kekosongan kesadaran) dan prosesnya sangat cepat.

Para guru Abhidhamma terdahulu, mengilustrasikan proses pikiran/ kesadaran yang penuh tersebut dengan sebuah perumpamaan, sebagai berikut:

Seorang raja sedang tidur di pembaringannya dengan seorang pembantu yang memijati kakinya. Seorang penjaga pintu yang tuli berdiri di dekat pintu, dan tiga orang penjaga berdiri dalam sebuah barisan. Kemudian seorang pembawa pesan datang, membawa pesan, dan mengetuk pintu. Penjaga pintu yang tuli itu tidak mendengar ketukan pintu itu, namun pembantu raja memijat kaki sebagai tanda, yang kemudian disusul oleh penjaga pintu yang tuli itu membukakan pintu. Penjaga pertama menerima pesan tertulis itu dan meneruskannya kepada penjaga kedua, yang kemudian diteruskannya lagi kepada penjaga ketiga. Penjaga yang ketiga itu memberikannya kepada raja yang akhirnya membuka dan membaca pesan tersebut.

Analogi ini mendemonstrasikan proses citta vithi yang muncul mengalami objek (arammana), di mana ketika arammana datang kontak dengan indera penglihatan, mirip seperti pembawa berita datang ke depan pintu. Pembantu memijat kaki raja mirip dengan kesadaran yang mengarahkan kepada objek penglihatan (pancadvaravajjana citta) yang mengetahui ada seorang tamu mengetuk. Dan ia memberikan tanda bahwa objek telah datang, kemudian kesadaran itu padam. Kesadaran melihat (cakkhu vinnana) kemudian muncul mengikuti untuk melihat melalui cakkhupassada. Setelah itu penjaga pertama, atau sampaticchana citta menerima pesan, dan dilanjutkan oleh citta berikutnya, santirana citta yang diteruskan lagi oleh votthappana citta. Yang ketiga memberikannya kepada raja untuk melakukannya, atau javana citta, dan raja itu memahami isi pesan / arammana itu.

Saudara-saudara pembaca, hal di atas merupakan sebuah ilustrasi perumpamaan dari proses berlangsungnya kesadaran dengan masing-masing fungsi yang berbeda yang muncul dan padam silih berganti tanpa ada jeda waktu.

Agar dipahami, bahwa keseluruhan proses indera ini muncul dan padam tanpa diri atau subjek di belakangnya yang mempertahankan atau mengontrol kejadian itu. Tiada ‘seseorang yang mengetahui’ di luar proses itu sendiri. Kesadaran sesaat demi sesaat itu sendiri yang melakukan semua fungsi untuk dialami dan kelengkapan proses indera ini sepenuhnya dikondisikan oleh koordinasi melalui keselarasan kondisi yang saling berhubungan.


Referensi:
Bodhi. 1993. A Comprehensive Manual of Abhidhamma. Buddhist Publication Society. Sri Lanka.. 400p.
Boriharnwanaket. 2000. Summary of Paramattha Dhamma. Dhamma Study and Propagation Foundation. Bangkok.
Kell. A. 1958. On “Reality of Mind” A Comparison Western Opinion with Abhidhamma. Burma Buddhist Society. Burma.
Narada. 1978. A Manual of Abhidhamma of Anuruddhacariya. Buddhist Publication Society. Sri Lanka.
Nyanaponika. 1996. Abhidhamma Studies. Buddhist Publication Society, Sri Lanka.
Sanjivaputta, Jan. 1988. Sebuah Telaah Objektif: Abhidhamma Sabda Murni Sang Buddha? Yayasan Pancaran Dharma. Jakarta. 48 hal.
Van Gorkom, Nina. 1990. Abhidhamma in Daily Life. Dhamma Study and Propagation Foundation. Bangkok.284 p.
Van Gorkom, Nina. 1999. In Asoka’s Footstep, Dhamma in India. Dhamma Study and Propagation Foundation. Bangkok. 61p




bersambung...

 
ABHIDHAMMA PITAKA
(Sabda Luhur Sang Buddha)​


Setelah Anda memahami apa hakekat sesungguhnya nama-rupa serta bagaimana terjadinya proses indera kita, maka kali ini, Bapak Selamat Rodjali akan membimbing kita untuk memahami tentang kesadaran (citta) dan pengelompokan kesadaran tersebut. Marilah kita simak bersama bagaimana pengelompokan citta itu bersama Bapak Selamat Rodjali Selamat Rodjali


IX. KESADARAN (CITTA) DAN PENGELOMPOKAN KESADARAN

Pengertian Citta/kesadaran/pikiran

Saudara pembaca, Kesadaran (Citta), kita bahas terlebih dulu, karena fokus utama analisa kenyataan Buddha Dhamma adalah pengalaman; dan kesadaran atau pikiran merupakan unsur pokok di dalam pengalaman, yang mencakup "mengetahui" atau "menyadari" satu objek (arammana).

Sebuah kesadaran/pikiran pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas atau proses mengetahui atau menyadari satu objek. Jadi kesadaran/pikiran bukanlah satu agen atau alat yang dimiliki oleh makhluk itu sendiri, namun kesadaran/pikiran lebih merupakan satu aktivitas mengetahui /menyadari satu objek.

Sebagai contoh, kesadaran pada melihat (kesadaran melihat) memiliki sesuatu yang dapat dilihat sebagai objeknya (objek penglihatan). Kesadaran pada mendengar (kesadaran mendengar) memiliki suara sebagai objeknya (objek pendengaran). Tidak ada satupun kesadaran/pikiran yang tanpa objek. Bahkan ketika kita sedang tertidur lelap, kesadaran /pikiran mengalami satu objek.

Pengelompokan citta/kesadaran/pikiran

Dikenal berbagai cara di dalam mengelompokkan kesadaran/pikiran; salah satu cara pengelompokan, sebagai berikut:

1. Beberapa kesadaran/pikiran adalah kusala citta (kesadaran bermanfaat / baik),

2. Beberapa akusala citta (kesadaran tidak bermanfaat/tidak baik). Kusala citta dan akusala citta merupakan sebab. Mereka dapat memotivasi kusala atau akusala kamma melalui tindak-tanduk jasmani, ucapan maupun pikiran

3. Beberapa kesadaran merupakan vipaka citta, yaitu kesadaran yang merupakan hasil dari kusala citta atau akusala citta.

4. Beberapa kesadaran/pikiran adalah kiriya citta, bukan kusala citta, bukan akusala citta dan juga bukan vipaka citta, tetapi semata-mata merupakan kesadaran fungsional, kesadaran/pikiran yang berproses semata-mata karena fungsi.

Kusala Citta (Kesadaran bermanfaat/baik)

Di dalam Buddha Dhamma dikenal ada 6 hetu (akar), yaitu:

1. Kusala hetu 3 : Aloba, Adosa dan Amoha
2. Akusala hetu 3 : Lobha, Dosa dan Moha

Pengertian masing-masing hetu di dalam Paramattha Dhamma:

1. Alobha adalah sikap batin yang tidak melekat terhadap objek
Catatan: sikap batin tidak melekat terhadap objek bukan berarti menolak objek
2. Adosa adalah sikap batin yang tidak menolak terhadap objek
Catatan: sikap batin tidak menolak terhadap objek bukan berarti melekat terhadap objek
3. Amoha adalah sikap batin bijaksana (pabba)
4. Lobha adalah sikap batin yang melekat terhadap objek
5. Dosa adalah sikap batin yang menolak terhadap objek
6. Moha adalah sikap batin yang tidak bijaksana, tak dapat membedakan kusala dan akusala, tak dapat berpegang teguh pada objek serta tak dapat menetapkan hati atas kebenaran.

Kusala citta adalah kesadaran/pikiran yang bersekutu dengan faktor-faktor akar kusala.

Akar-akar kusala ada 3 jenis, yaitu:

1. Alobha yaitu faktor batin tidak serakah/tidak melekat terhadap objek
2. Adosa yaitu faktor batin tidak membenci/tidak menolak objek
3. Amoha yaitu faktor batin bijaksana

Kusala citta yang muncul pada makhluk yang mungkin dicengkeram oleh nafsu (kamavacara kusala citta)

Beberapa faktor utama yang membedakan kâmâvacara kusala citta, adalah:

1. Faktor batin perasaan (vedâna)
2. Faktor batin kebijaksanaan (bana)
3. Faktor spontanitas upaya (sankhâra)

Perasaan terdapat 3 jenis, yaitu:

1. Perasaan menyenangkan (somanassa vedana)
2. Perasaan tidak menyenangkan (domanassa vedana)
3. Perasaan netral/bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan

Jenis kesadaran yang terlibat di dalam mahakusala kamavacara citta ini hanya dua jenis, yaitu yang pertama dan ketiga.

Faktor kebijaksanaan (bana) yang dimaksudkan di atas adalah kebijaksanaan/pengetahuan akan sebab akibat, proses alamiah yang terjadi.Faktor upaya, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Spontan/tanpa upaya (a-sankharika)
2. Tidak spontan/dengan upaya tertentu (sa-sankharika)

Dengan kombinasi tiga faktor utama pembeda kamavacara kusala citta, maka kemungkinan citta/kesadaran kamavacara kusala yang muncul ada delapan (8) jenis, yaitu:

NO DISERTAI PERASAAN KEBIJAKSANAAN SPONTANITAS UPAYA

1. Menyenangkan Dengan kebijaksanaan Spontan
2. Menyenangkan Dengan kebijaksanaan Tidak spontan
3. Menyenangkan Tanpa kebijaksanaan Spontan
4. Menyenangkan Tanpa kebijaksanaan Tidak spontan
5. Netral Dengan kebijaksanaan Spontan
6. Netral Dengan kebijaksanaan Tidak spontan
7. Netral Tanpa kebijaksanaan Spontan
8. Netral Tanpa kebijaksanaan Tidak spontan

Contoh:

· Melihat anaknya terancam bahaya, seorang ibu segera menolongnya dengan gembira. Saat itu ia menyadari bahwa itu merupakan kondisi untuk melakukan kusala. (Contoh mahakusala citta nomor 1).

· Melihat anaknya terancam bahaya dan karena didorong oleh nasehat temannya sehingga ia menyadari bahwa kusala itu memang seyogyanya dikembangkan, maka akhirnya ibu menolong anak tersebut dengan gembira (contoh mahakusala citta nomor 2).

· Melihat seorang nenek ingin menyeberang, seorang anak segera membimbing nenek itu menyeberang dengan penuh kegembiraan dan anggapan bahwa hal itu memang semata-mata kewajibannya (contoh mahakusala citta nomor 3).

Akusala citta

Akusala citta adalah kesadaran/pikiran yang mengandung akusala hetu.

Di dalam maha kusala citta yang telah dibahas di atas, mengenai peran kusala hetu, yaitu Alobha, Adosa dan Amoha; memiliki prinsip-prinsip, sebagai berikut:

1. Pada saat Alobha muncul, pasti Adosa juga muncul bersama (kedua sikap batin ini muncul, selalu muncul bersama di dalam citta yang sama). Sebagai contoh: pada saat seorang sedang memaafkan (adosa) pasti saat itu ia tidak melekat (alobha).

2. Pada saat Alobha dan Adosa muncul, belum tentu disertai Amoha. Sebagai contoh: pada saat seorang sedang memaafkan (adosa) dan tidak melekat (alobha) belum tentu berhubungan dengan pengetahuan benar (belum tentu orang itu mengerti hakekat perbuatannya itu).

3. Pada saat pikiran/kesadaran tidak berhubungan dengan pengetahuan benar, tidaklah berarti pikiran/kesadaran itu memiliki pandangan keliru.

Di dalam akusala citta, maka hetu yang terlibat (akusala hetu) berperan dengan prinsip-prinsip, sebagai berikut:

1. Pada saat lobha muncul, pasti dosa tidak muncul bersama, karena objeknya berbeda; lobha memiliki objek yang menyenangkan sedangkan dosa memiliki objek yang tidak menyenangkan.
2. Pada saat lobha muncul, pasti moha muncul bersama.
3. Pada saat dosa muncul, pasti moha muncul bersama.

Akusala citta terdapat 12 jenis, yaitu:

1. Lobha-mula-citta, yaitu kesadaran/pikiran akusala yang dipimpin oleh lobha terdapat 8 macam

2. Dosa-mula-citta, yaitu kesadaran/pikiran akusala yang dipimpin oleh dosa terdapat 2 macam.

3. Moha-mula-citta, yaitu kesadaran/pikiran akusala yang dipimpin oleh moha terdapat 2 macam.

Lobha-mula-citta

Lobha-mula-citta terdapat delapan macam, yaitu:

No Dengan perasaan (vedana) Persekutuan dengan Pandangan keliru

Spontan/dengan ajakan

1. Senang Dengan pandangan keliru Spontan
2. Senang Dengan pandangan keliru Dengan ajakan
3. Senang Tanpa pandangan keliru Spontan
4. Senang Tanpa pandangan keliru Dengan ajakan
5. Netral Dengan pandangan keliru Spontan
6. Netral Dengan pandangan keliru Dengan ajakan
7. Netral Tanpa pandangan keliru Spontan
8. Netral Tanpa pandangan keliru Dengan ajakan

Contoh nomor 1: Dengan perasaan senang dan spontan, pikiran seorang anak menyebabkan ia makan bakso dengan lahap, dengan pandangan bahwa perbuatannya ini bukan kamma buruk.

Contoh nomor 3: Dengan perasaan senang dan spontan, pikiran seorang anak menyebabkan ia makan bakso dengan lahap.

Perhatian:

1. Satu pikiran/kesadaran lobha yang disertai perasaan senang akan memberikan efek/akibat lebih berat dibandingkan dengan yang disertai perasaan netral.

2. Satu pikiran/kesadaran lobha yang bersekutu dengan pandangan keliru akan memberikan efek/akibat lebih berat dibandingkan dengan tidak bersekutu dengan pandangan keliru.

3. Satu pikiran/kesadaran lobha yang muncul spontan akan memberikan efek/akibat lebih berat dibandingkan dengan yang muncul dengan ajakan.

Setelah kita membahas mengenai pikiran/kesadaran lobha dan jika diperbandingkan dengan pikiran maha kusala/maha vipaka dan maha kiriya, maka perlu kita perhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Perasaan senang dapat muncul baik di dalam kusala citta maupun di dalam akusala citta. Jadi perasaan senang tidak selalu bersifat kusala.

2. Perasaan senang patut dikembangkan apabila menyertai pikiran/kesadaran kusala, sedangkan perasaan senang tidak patut dikembangkan apabila menyertai pikiran/kesadaran akusala.

3. Apabila terpaksa berpikiran lobha, maka harus berupaya agar kecenderungan pikiran lobha tersebut hanya disertai perasaan netral, jadi tidak bergembira di dalam berpikiran lobha.

Contoh kasus:

Ketika bangun pagi, terdengar suara burung bersiul. Amir (bukan nama sebenarnya) tersenyum mendengar suara burung bersiul tersebut dengan pandangan bahwa kamma burung tersebut telah menyebabkan burung tersebut gembira. Namun, Amat (juga bukan nama sebenarnya) tersenyum mendengar suara burung bersiul tersebut dengan pandangan betapa senangnya menikmati pagi hari yang indah ceria itu. Kedua orang itu memiliki pikiran yang disertai perasaan senang, namun kualitas pikiran/kesadarannya tersebut berbeda. Amir berpikiran kusala dan disertai dengan pandangan benar, sedangkan Amat berpikiran akusala.

Jenis-jenis senyum dan tertawa:

Saudara, dari perasaan senang, maka mengkondisikan senyuman atau tertawa. Senyuman atau tertawa dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkat kematangan batin seseorang, yaitu:

1. Sita = senyuman tidak terlihat gigi dari seorang Buddha
2. Hasita = senyuman terlihat gigi, yang mungkin dialami oleh Arahat,Anagami, Sakadagami, Sotapanna dan makhluk awam.
3. Vihasita = tertawa dengan suara perlahan dari Anagami, Sakadagami, Sotapanna dan makhluk awam.
4. Atihasita = tertawa dengan suara besar dari Sakadagami, Sotapanna dan makhluk awam.
5. Apahasita = tertawa sampai badan berguncang dari makhluk awam.
6. Upahasita = tertawa sampai mengeluarkan air mata dari makhluk awam.

Lobha mula citta tidak muncul demikian saja tanpa sebab; segala sesuatu yang muncul pasti memiliki sebab; ada reaksi pasti ada aksi yang mendahuluinya. Penyebab yang mengkondisikan lobha-mula-citta:

1. Tumimbal lahir dengan kekuatan kamma yang memiliki lobha sebagai pengkondisi.
2. Meninggal dari alam yang dominan diliputi lobha
3. Selalu dapat mencerap objek yang baik
4. Dapat mengalami objek yang menjadi kesenangannya

Demikian pula dengan pandangan keliru, munculnya dikondisikan oleh karena:

1. Mempunyai kebiasaan berpandangan keliru
2. Suka bergaul dengan makhluk/orang yang selalu berpandangan keliru
3. Tidak suka belajar Dhamma
4. Suka berpikir pada hal yang keliru
5. Tidak mempertimbangkan objek secara seksama dan sesuai keadaan yang sesungguhnya

Saudara pembaca, perbuatan-perbuatan yang tidak baik akan memberikan hasil yang tidak menyenangkan. Tak Seorang pun ingin mengalami hasil yang tidak menyenangkan, tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui penyebab yang memberikan hasil tak menyenangkan; mereka tidak menyadari kapan citta itu tidak baik dan mereka tidak selalu tahu ketika mereka melakukan perbuatan tidak baik; pengetahuan mereka tentang akusala masih samara-samar atau bahkan gelap gulita.

Saudara, mengelompokkan kesadaran/pikiran secara lebih rinci seperti di atas ini sangat bermanfaat. Kita tidak dapat mengembangkan kusala (sesuatu yang bermanfaat/baik) di dalam kehidupan kita sehari-hari jika seandainya kita menganggap akusala (sesuatu yang tak bermanfaat/tidak baik) sebagai kusala atau jika kita menganggap akusala bagi vipaka (hasil dari akusala atau hasil dari kusala). Misalnya, ketika kita mengalami mendengar suara kata-kata yang tidak menyenangkan (ada aktivitas kesadaran mendengar), itu merupakan akusala vipaka, hasil dari akusala kamma yang telah dilakukan. Namun kebencian yang mungkin muncul segera setelah kesadaran mendengar itu bukanlah vipaka citta / pikiran hasil, akan tetapi itu merupakan kemunculan aktivitas akusala citta/pikiran akusala.

Ada cara pengelompokan lain, yaitu pengelompokan berdasarkan alam batiniah (bhumi) yang mengalaminya, sebagai berikut:

1. Kesadaran yang muncul/ada/berproses pada makhluk yang saat itu rintangan batinnya belum mengendap dan masih dicengkeram oleh nafsu indera (Kamavacara citta)

2. Kesadaran yang muncul/ada/berproses pada makhluk yang pada saat itu rintangan batinnya telah mengendap dengan objek merupakan unsur bermateri konseptual unsur bermateri (Rupavacara citta)

3. Kesadaran yang muncul/ada/berproses pada makhluk yang pada saat itu rintangan batinnya telah mengendap dengan objek bukan merupakan materi tetapi merupakan konseptual batiniah non materi (Arupavacara citta).

4. Kesadaran yang muncul/ada/berproses pada makhluk yang batinnya telah mengatasi keduniaan/kesorgaan walaupun hidupnya di dunia/di sorga.
Kesadaran ini dinamakan Lokuttara citta; minimal kesadaran ini tidak lagi mengandung tiga faktor batin yang merupakan belenggu batin, yaitu vicikiccha (keraguan skeptis), silabbataparamasa (keyakinan tahyul bahwa upacara sembahyang semata dapat membawa ke kesucian), dan sakkayaditthi (keyakinan akan adanya diri/inti/kepemilikan).

Pengetahuan akan pengelompokan kesadaran jenis ini dapat membantu membuat seseorang memahami masa depan tumimbal lahir makhluk-makhluk, sehingga ia dapat mengembangkan batinnya sesuai tujuannya dengan tepat disertai pengertian yang lebih telak akan prosesnya.


bersambung...

 
Abhidhamma Pitaka
(Sabda Luhur Sang Buddha)



X. FAKTOR BATIN/PENYERTA BATIN (CETASIKA) DAN PENGELOMPOKANNYA

Pengertian cetasika:

Cetasika merupakan faktor batin, faktor mental, penyerta batin, yaitu fenomena batin yang bersekutu dengan kesadaran. Berbagai jenis cetasika dengan berbagai jenis fungsi yang berbeda, berkombinasi membentuk sebuah citta/kesadaran yang berbeda-beda pula sifat dan fungsinya.

Sifat Cetasika:

1. Munculnya bersamaan dengan kesadaran
2. Padamnya bersamaan dengan kesadaran
3. Memiliki objek yang sama dengan kesadaran
4. Memakai objek yang sama dengan kesadaran

Sebelum kita mengikuti pemaparan cetasika, penulis mengajak para pembaca untuk menyimak perumpamaan di bawah ini, yang mengilustrasikan interaksi kombinasi cetasika dengan citta, sebagai berikut:

Perumpamaan Roti dan komponen-komponennya.

Penulis yakin, saudara semua mengetahui roti, makanan khas yang macamnya juga beragam. Roti memiliki banyak komponen pembentuk, antara lain: telur, mentega, tepung, gula, soda kue, dan tambahan lainnya. Setiap komponen mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Telur untuk melunakkan, mentega untuk melunakkan dan menggurihkan, tepung untuk memadatkan, gula untuk menimbulkan manis. Komponen-komponen ini bercampur dalam kombinasi tertentu dengan panas dan tekanan tertentu membentuk sebuah roti yang tentunya fungsi roti ini berbeda dengan fungsi telur, berbeda dengan fungsi mentega, berbeda dengan fungsi tepung, berbeda dengan fungsi gula dan seterusnya.

Perumpamaan di atas sesungguhnya merupakan padanan sederhana atas fenomena kombinasi cetasika di dalam citta, yang secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Setiap roti pasti mengandung komponen dasar yang sama. Ini merupakan perumpamaan bahwa setiap citta mengandung komponen dasariah cetasika yang sama, dan di dalam pelajaran Abhidhamma, terdapat sedikitnya 7 jenis cetasika umum yang sama (baca pemaparan jenis cetasika di bawah).

b) Ada roti yang mengandung komponen yang tidak sama. Ini merupakan perumpamaan bahwa ada citta yang memiliki cetasika berbeda dengan citta lainnya.

c) Komponen pembentuk roti, memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi komponen lainnya. Ini merupakan perumpamaan bahwa cetasika-cetasika yang berkombinasi membentuk citta memiliki fungsinya masing-masing yang berlainan.

d) Roti yang terbentuk memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi masing-masing komponen pembentuknya. Ini merupakan perumpamaan bahwa citta yang terbentuk dari kombinasi cetasika memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi cetasika yang membentuknya.

e) Roti yang satu dengan roti yang lain memiliki perbedaan rasa. Ini merupakan perumpamaan bahwa setiap citta yang satu dan citta yang lain berbeda, dan memberikan respon/tanggapan berbeda terhadap objek.

Setelah memahami perumpamaan ini, penulis mengajak para pembaca untuk menyimak "komponen roti" di atas dan berbagai fungsinya sehingga diharapkan, nantinya saudara dapat memahami lebih jelas fenomena batiniah yang muncul dalam batin saudara masing-masing.

Pengelompokan Cetasika/faktor batin/penyerta batin

Saudara pembaca, penyerta batin terdapat 52 jenis dan dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, sebagai berikut:

1. Aññasamâna cetasika 13 (13 cetasika umum):
2. Sabbacittasadharana cetasika 7: 7 cetasika yang terdapat di semua jenis citta

Phassa = kontak. Istilah kontak ini bukan berarti kontak secara fisik. Kontak merupakan faktor batin yang pekerjaannya seperti sebuah pilar yang bertindak sebagai pendukung yang kuat untuk struktur gedung secara keseluruhan. Manifestasinya bersamaan dengan landasan, objek dan kesadaran. Walaupun disebutkan pertama kali, bukan berarti kontak ini adalah yang pertama. Pembahasan kontak pertama kali ini hanya untuk kepentingan pengajaran, tidak ada hubungannya dengan urutan kemunculannya.

Vedanâ = perasaan. Perasaan merupakan padanan kata yang lebih tepat untuk vedana dibandingkan dengan sensasi seperti yang sering dijumpai. Seperti halnya kontak, perasaan merupakan sebuah kekayaan penting bagi setiap kesadaran. Perasaan dapat berwujud menyenangkan, tidak menyenangkan dan bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan/netral. Perasaan merupakan faktor batin yang merasakan objek ketika objek itu `kontak' dengan indera.

Saññâ = pencerapan/persepsi. Arti kata saññâ sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus yang digunakan di dalam hubungan ini sebagai faktor batin yang universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seroang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yang dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yang dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara saññâ, viññâna dan paññâ dapat diumpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dalam melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, ia pun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.

Cetanâ = kehendak, merupakan faktor batin yang berfungsi di dalam koordinasi dan akumulasi. Cetana mengkoordinasikan faktor-faktor batin yang berhubungan dengannya dalam berespons terhadap objek. seperti seorang ahli tukang kayu yang memenuhi tugasnya dan mengatur pekerjaan orang lainnya, demikian pula, cetana memenuhi fungsinya dan mengatur fungsi faktor batin lain yang berhubungan dengannya. Cetana memegang peranan penting di dalam semua jenis aksi, baik moral maupun immoral. Di dalam kondisi lokiya, cetana merupakan faktor batin yang signifikan sedangkan pada
lokuttara, paññâ yang signifikan.

Ekaggatâ = konsentrasi terhadap satu objek, merupakan faktor batin yang mengkonsentrasikan batin terhadap satu objek. Faktor batin ini membuat kokoh batin dalam mengalami objek.

Jivitindriya = penghidup batin, merupakan faktor batin yang melebur kehidupan ke dalam faktor-faktor batin yang berhubungan dengannya. Walaupun cetana menentukan aktivitas dari semua faktor batin, Jivitindriya yang menginfusi kehidupan ke dalam cetana dan faktor batin lainnya.

Manasikâra = perhatian, adalah faktor batin yang mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan.

b) Pakinnaka cetasika 6: enam cetasika yang muncul di sebagian besar citta

Vitakka = pengerahan kepada objek, merupakan faktor batin yang memiliki ciri khusus mengerahkan faktor batin kepada objek. Vitakka harus dibedakan dengan manasikara. Manasikâra mengarahkan faktor-faktor batin ke objek, namun vitakka mengerahkan/membantu menetapkan faktor-faktor batin di atas objek. Seorang dari desa, misalnya, yang berkunjung ke istana kerajaan untuk pertama kalinya, memerlukan pengenalan dari seorang pegawai istana yang membantu.

Vicâra = penggunaan batin terhadap objek. Fungsi vicâra adalah kelanjutan menggunakan faktor-faktor batin kepada objek. Vitakka disebut sebagai penerapan permulaan atas faktor-faktor batin sedangkan vicara sebagai penahan penerapan faktor-faktor batin. Mirip dengan seekor lebah yang menghinggapi sekuntum bunga teratai adalah vitakka, mirip seperti lebah tersebut yang mengitari bunga teratai itu adalah vicâra.

Adhimokkha = keputusan, faktor batin yang memutuskan atau memilih, dan merupakan kebalikan dari vicikiccha, keraguan/ tak memutuskan. Mirip seorang hakim yang memutuskan sebuah kasus.

Viriya = semangat (daya tahan batin/endurance), faktor batin yang membangkitkan semangat dan memiliki ciri khas mendukung, mengukuhkan, mempertahankan faktor-faktor batin. Di dalam kitab komentar, yaitu Atthasalini, viriya seyogyanya dipandang sebagai akar dari semua pencapaian.

Piti = kegiuran, ketertarikan, faktor batin yang tergiur/ tertarik terhadap objek. Piti bukanlah perasaan menyenangkan (sukha), akan tetapi merupakan prekursor dari perasaan menyenangkan tersebut. Piti membuat ketertarikan kepada objek, sedangkan sukha memungkinkan seseorang untuk menikmati objek; mirip dengan seorang pengembara yang kehausan di gurun pasir melihat oasis, ketertarikannya adalah piti, dan mirip ketika ia meminum dan mandi air oasis tersebut adalah sukha.

Chanda = harapan untuk melakukan. Dikenal tiga jenis chanda, yaitu:

- Kammacchanda: nafsu indera, satu dari rintangan batin (immoral)

- Kattukamyata chanda, harapan untuk melakukan (unmoral)

- Dhammacchanda, harapan kebaikan (moral)

Chanda yang dimaksud dalam cetasika ini adalah kattukamyata chanda

2. Akusala Cetasika 14

a) Mocatuka cetasika : 4 cetasika kelompok Moha:

Moha cetasika: kebodohan batin/kegelapan batin, faktor batin yang menyebabkan batin tidak dapat melihat objek secara jelas dan membutakan batin sehingga tidak dapat melihat jelas kusala maupun akusala.

Ahirika cetasika: tidak malu akan kejahatan, faktor batin yang menyebabkan batin tidak malu berbuat jahat.

Anottappa cetasika: tidak takut akibat perbuatan jahat, faktor batin yang menyebabkan batin tidak menyadari akibat perbuatan jahat. Anottappa harus dibedakan dari tidak takut dalam pengertian umum. Buddha tidak menganjurkan untuk menakuti individu apapun termasuk "God".

Uddhacca cetasika: kegelisahan/ketidaktenangan batin, faktor batin yang tidak dapat memegang objek dengan baik.


b) Lotika cetasika: 3 cetasika kelompok Lobha

Lobha cetasika: keserakahan, faktor batin yang menyebabkan terikat terhadap objek

Ditthi cetasika: pandangan. Di dalam Buddha Dhamma, ditthi apabila berdiri sendiri, maka diartikan miccha ditthi, pandangan keliru. Moha dan ditthi seyogyanya dibedakan. Moha seperti awan yang menutupi objek, sehingga tidak dapat melihat jelas, sedangkan ditthi tidak menutupi objek, ditthi dapat melihat objek, namun memegang objek secara salah. Ditthi adalah lawan dari Ñâna, kebijaksanaan. Ditthi menolak sifat alamiah dan memandang secara salah, sedangkan Ñâna memandang objek sebagaimana sifat sesungguhnya.

Mâna cetasika: faktor batin yang menimbulkan kesombongan, pembandingan diri sendiri terhadap pihak lain. Setiap ada pembandingan diri terhadap pihak lain, secara kasar ataupun halus atau sangat halus kesombongan (mana) bersekutu di dalamnya.

c) Docatuka cetasika: 4 cetasika kelompok Dosa

Dosa cetasika: kebencian, faktor batin yang menolak objek.

Issâ cetasika: faktor batin yang menyebabkan iri/cemburu terhadap objek (bersifat objektif)

Macchariya cetasika: kekikiran faktor batin yang menyebabkan kikir atas sesuatu yang dimiliki (bersifat subjektif)

Kukkucca cetasika: kekhawatiran, faktor batin yang menyebabkan menyesal terhadap perbuatan yang telah dilakukan, yaitu menyesal atas kejahatan yang telah dilakukan atau menyesal atas perbuatan baik yang tidak dilakukan. Kekhawatiran ini adalah kekhawatiran terhadap sesuatu yang telah lewat (lampau).

d) Thiduka cetasika 2:

Thina cetasika: kemalasan, kesakitan batin, faktor batin yang merupakan lawan dari Viriya, faktor batin ini sering disebut citta-gelanna bertentangan dengan cittakammannata, daya penyesuaian batin.

Middha cetasika: kelambanan, tidak aktif, inert, faktor batin yang merupakan lawan dari viriya, faktor batin ini sering disebut kaya-gelanna yang bertentangan dengan kayakammannata, daya penyesuaian tubuh batin. Di dalam hal ini, tubuh batin yang dimaksud bukanlah tubuh fisik, melainkan faktor-faktor batin yang terdiri dari vedana, saññâ dan faktor-faktor batin lainnya).

e) Vicikicchâ cetasika: keraguan, skeptis, faktor batin yang menimbulkan keraguan. Sebagai satu dari rintangan batin (nivarana), vicikiccha bukan berarti ragu terhadap Buddha, Dhamma, Sañgha dan seterusnya, tetapi merupakan sikap batin yang tidak mampu untuk memutuskan.

3. Sobhana cetasika 25 (25 faktor batin yang indah):

a) Sobhanasadharana cetasika 19 (19 faktor batin indah yang terdapat di semua jenis kusala citta)

Saddhâ = faktor batin keyakinan berdasarkan pengetahuan.

Sati = perhatian terhadap objek sesuai kondisi yang sesungguhnya.

Hiri = kebalikan dari Ahirika (lihat ahirika)

Ottappa = kebalikan dari anottappa (lihat anottappa)

Alobha = kebalikan dari lobha (lihat lobha cetasika). Alobha merupakan faktor batin yang bertanggung jawab di dalam sikap murah hati.

Adosa = kebalikan dari dosa (lihat dosa cetasika). Adosa merupakan faktor batin yang bertanggung jawab terhadap sikap batin cinta kasih terhadap semua makhluk (metta di dalam brahma vihâra/appamaññâ 4)

Tatramajjhattata = faktor batin yang bertanggung jawab dalam sikap seimbang di dalam menghadapi kondisi yang bergejolak (upekkha di dalam brahma vihâra/appamaññâ 4).

Kâyapassaddhi dan cittapassaddhi = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam ketenangan faktor-faktor batin (kaya) dan kesadaran (citta). Faktor batin ini lawan dari kegelisahan dan kekhawatiran.

Kâyalahutâ dan cittalahutâ = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam keringanan/kecepatan faktor-faktor batin dan kesadaran di dalam memanggapi objek. Faktor batin ini merupakan lawan dari thina-middha yang menyebabkan sikap berat batin di dalam menanggapi objek.

Kâyamudutâ dan cittamudutâ = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam menyingkirkan rigiditas (thambha) dalam faktor-faktor batin dan kesadaran ketika menanggapi objek. Faktor batin ini merupakan lawan dari miccha-ditthi dan mana yang menimbulkan rigiditas.

Kayakammaññatâ dan cittakammaññatâ = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam adaptabilitas/penyesuaian faktor-faktor batin dan kesadaran terhadap objek yang dialami. Faktor batin ini merupakan lawan dari sisa rintangan batin lainnya.

Kayâpaguññatâ dan cittapâguññatâ = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam keahlian faktor batin dan kesadaran di dalam memperlakukan objek. Faktor batin ini merupakan lawan dari sikap batin yang tidak yakin dan seterusnya. Faktor batin ini menekan kesakitan faktor batin dan kesadaran.

Kâyujukatâ dan cittujukatâ = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam keterusterangan faktor batin dan kesadaran di dalam menanggapi objek. Faktor batin ini merupakan lawan dari sikap munafik dan ketidakterusterangan

b) Virati cetasika 3 (3 faktor batin yang bertanggung jawab di dalam 3 jenis pantangan)

Sammâ vâcâ cetasika = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam berpantangnya batin terhadap tindakan ucapan yang salah, fitnah, kasar, sia-sia.

Sammâ kammanta cetasika = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam berpantangnya batin terhadap tindakan perbuatan jasmani yang keliru seperti membunuh, mencuri, berprilaku seksual yang salah.

Sammâ âjiva cetasika = faktor batin yang bertanggung jawab di dalam berpantangnya batin terhadap tindakan penghidupan yang salah seperti menjual senjata, makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan, racun, makhluk hidup.

c) Appamaññâ cetasika 2 (2 faktor batin tanpa batas), faktor batin ini disebut juga sebagai brahma vihâra.

Karunâ cetasika = faktor batin yang bertanggung jawab terhadap sikap belas kasihan terhadap semua makhluk yang menderita.

Mudita cetasika = faktor batin yang bertanggung jawab terhadap sikap `appreciate' akan kusala kamma/kusala vipaka yang terjadi pada makhluk lain.

d) Paññindriya cetasika = faktor batin bijaksana di dalam memandang hakekat sesungguhnya segala sesuatu.


Bersambung ...


 
Abhidhamma Pitaka
(Sabda Luhur Sang Buddha)



XI. RÛPA (MATERI)

Sekarang, kita akan mempelajari kualitas materi suatu makhluk, sattâ atau katakanlah contohnya manusia.

Pokok-pokok pembahasan rûpa (materi):

1. Rûpavibhaga = pengupasan rûpa secara luas
2. Rûpakalâpa = pengupasan pengelompokan rûpa yang timbul
3. Rûpasamutthâna = pengupasan prosedur pengkondisi terbentuknya rûpa
4. Rûpapavatti = pengupasan urut-urutan timbul dan padamnya rûpa

Makhluk memiliki sisi fisik (jasmani). Sisi fisik ini dinamakan rûpa paramattha. Dan secara analisa kita temui bahwa kata rûpa berkonotasi unit-unit fundamental materi dan materi yang berubah dalam `strukturnya.' Materi yang berubah-ubah ini, terdiri dari 28 spesies materi yang membentuk sisi fisik normal seorang manusia. Dua puluh delapan materi ini, menurut kitab suci Abhidhamma, sebagai berikut:

Rûpavibhaga:

Dalam deskripsinya, semua materi/fisik makhluk terdiri dari dua kelompok besar, yaitu:

A. Nipphanarûpa/jatirûpa 18: genetic material quality, kualitas materi yang dapat memproduksi materi lain, yaitu:

Mahâbhûtarûpa 4

1. Pathavi-Dhâtu = unsur padat
2. Âpo-Dhâtu = unsur cair
3. Tejo-Dhâtu = unsur panas
4. Vâyo-Dhâtu = unsur gerak

Bhûta, mengacu kepada empat kualitas materi, mahâbhûta, yaitu pathavi (unsur padatan), istilah yang lebih populer namun kurang tepat adalah `unsur tanah', karena kualitas kekerasan dominan di dalam tanah. Hal ini dapat diterima melalui sentuhan yang muncul karena tekanan, sentuhan, kasar, halus, kesakitan dan sebagainya. Âpo (unsur perekat/pemadu), dan lebih populer dengan istilah `unsur air', walaupun istilah ini kurang tepat, karena unsur pemadu/perekat ini lebih ketara di dalam air. Tejo (unsur suhu/ temperatur), dan lebih populer dengan sebutan `unsur api' walaupun istilah ini kurang tepat; unsur ini memang lebih ketara di dalam api. Vâyo (gerak) adalah unsur yang keempat, yang lebih popular disebut `unsur angin' walaupun kurang tepat, karena gerak lebih ketara di dalam angin. Keempat unsur di atas disebut juga "dhâtu" atau elemen dasar, karena keempat unsur itu merupakan penyusun utama dari sebuah paduan. Keempat elemen fisik ini secara mutlak dibutuhkan sebagai fondasi bagi semua keutuhan badan.

Pasâdarûpa 5 (organ sensitif/peka atas rangsangan objek indera)

5. Cakkhu pasâda = organ peka penglihatan
6. Sota pasâda = organ peka pendengaran
7. Ghâna pasâda = organ peka penciuman bau
8. Jivhâ pasâda = organ peka pengecapan
9. Kâya pasâda = organ peka sentuhan

Visayarûpa 4-7 (objek indera)

10. Rûpârammana = objek penglihatan
11. Saddârammana = objek pendengaran
12. Gandhârammana = objek penciuman bau
13. Rasârammana = objek pengecapan

Photthabârammana (Pathavi, Tejo, Vâyo) == > termasuk mahâbhûta = > objek sentuhan

Bhâvarûpa 2 (kualitas pembeda jantan/betina)

14. Itthibhâva = unsur kualitas betina
15. Purisabhâva = unsur kualitas jantan/pria

Hadayarûpa 1

16. Hadayavatthu = landasan tempat keluarnya citta

Jivitarûpa 1

17. Jivitindriya = materi pemelihara kualitas kehidupan

Âhârarûpa 1

18. Kabalikârâhâra = materi kualitas nutrisi

B. Anipphanna rûpa/ajatirûpa 10: non-genetic material quality, tidak memiliki kekuatan memproduksi

Pariccheda rûpa 1

19. Âkâsadhâtu = unsur ruang

Viññattirûpa 2

20. Kâyaviññatti = materi kualitas isyarat jasmani
21. Vaciviññatti = materi kualitas isyarat ucapan

Vikârarûpa 3

22. Lahutâ = unsur daya ringan
23. Mudutâ = unsur daya lentur
24. Kammaññatâ = unsur daya adaptasi

Lakkhanarûpa 4

25. Upacaya = unsur kualitas integrasi
26. Santati = unsur kualitas kelangsungan
27. Jaratâ = unsur kualitas penuaan
28. Aniccatâ = unsur kualitas ketidakkekalan

Rûpakalâpa (Penglompokan Materi):


Menurut ajaran Buddha, Rûpa (materi), dalam bentuk yang paling sederhana, hanya terdiri dari 8 fenomena unsur fisik pokok, dan dikenal daengan istilah "the pure eightfold group" (suddhattaka-kalâpa/Avinibbhogarûpa).


Kelompok terkecil ini terdiri dari 4 unsur dasar (upadaya) yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, yang selalu ada di setiap materi atau bagian fisik suatu makhluk/satta. Istilah Upadaya berarti bahwa materi itu tidak berasal dari yang lainnya; mereka adalah unsur dasariah, katakanlah sebagai bahan mentah (raw material). Mereka adalah:

a) Unsur padatan (Pathavi)
b) Unsur cairan (Âpo)
c) Unsur panas (Tejo)
d) Unsur gerak (Vâyo)

Sedangkan turunannya adalah:

e) Unsur warna (Vanna)
h) Unsur bau (Gândha)
g) Unsur yang dapat dikecap (Rasa)
h) Unsur sari makanan (Ojâ/Âhâra)

Kedelapan unsur di atas membentuk apa yang disebut "benda mati".

Bentuk sederhana dari materi makhluk hidup disebut "the ninefold vitality group (jivita-navaka-kalâpa), terdiri dari 8 unsur di atas ditambah dengan unsur vitalitas fisik kehidupan (jivita). Cakkhu-dasaka-kalâpa terdiri dari 8 unsur di atas, ditambah unsur vitalitas kehidupan (jivita rûpa) dan landasan penglihatan (cakkhu pasâda rûpa) merupakan kelompok fisik indera penglihatan. Dengan cara yang sama, kelompok jasmani lainnya terbentuk seperti di atas.

Saudara pembaca, kita menyebut jivita atau jivitindriya sebagai hidup atau vitalitas, baik kepada fisik (rûpa jivitindriya) maupun batin (nâma-jivitindriya). Nâma jivitindriya adalah satu dari 7 cetasika universal (sabba-citta-sadharana) yang di dalamnya terdapat juga cetana (kehendak), phassa (kontak) dan lainnya yang secara tak terpisahkan bersekutu dalam semua citta. Hal ini berarti, bahkan di dalam `foetus' (janin) makhluk pada saat konsepsi (pertemuan sperma, sel telur dan patisandhi viññâna), vitalitas hidup telah muncul, cetasika bersekutu, demikian juga di dalam bhavanga citta. Oleh karena itu, di setiap tempat terdapat kehidupan, maka di sana pasti terdapat nâma jivitindria maupun rûpa jivitindriya. Jivitindriya merupakan sisi dasariah fenomena kehidupan.

Materi selalu muncul dan padam secara berkelompok. Kalâpa berarti kelompok, jadi rûpa kalâpa berarti materi yang timbul berkelompok dan memiliki ciri yang sama, yaitu timbulnya bersama, padamnya bersama, berlangsungnya bersama.

Kammajakalâpa: Kelompok materi yang dikondisikan oleh kamma

1. Cakkhudasakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh cakkhu pasâda (materi peka indera penglihatan): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, cakkhu pasâda 1

2. Sotadasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh sota pasâda (materi peka indera pendengaran): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, sota pasâda 1

3. Ghânadasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh ghâna pasâda (materi peka indera penciuman bau): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, ghana pasâda 1

4. Jivhâdasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh jivhâ pasâda (materi peka indera pengecap rasa): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, jivhâ pasâda 1

5. Kâyadasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh kâya pasâda (materi peka sentuhan): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, kâya pasâda 1

6. Itthibbhâvadasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh itthibbhâva (materi kualitas kelamin betina): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, itthibbhâva rûpa 1

7. Purisabbhâvadasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh purisabbhâva (materi kualitas kelamin jantan): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, purisabbhâva rûpa 1

8. Vatthudasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 10 jenis dipimpin oleh hadaya vatthu (materi tempat munculnya kesadaran): avinibbhogarûpa 8, jivitarûpa 1, hadayavatthu 1

9. Jivitanavakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 9 jenis dipimpin oleh jivita rûpa (materi kualitas kehidupan): avinibbhogarûpa 8, dan jivita rûpa 1

Keterangan:

Kammajakalâpa ini hanya timbul pada makhluk hidup.


Cittajakalâpa: kelompok materi yang disebabkan citta (ini pun hanya timbul pada makhluk hidup)

1. Suddhatthakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 8 jenis: avinibbhogarûpa 8

2. Kâyaviññattinavakakalâpa = kelompok materi yang teridiri dari 9 jenis: avinibbhogarûpa 8, kâyaviññatti rûpa 1

3. Vaciviññattisaddadasakakalâpa= kelompok materi yang teridiri dari 9 jenis: avinibbhogarûpa 8, vaciviññatti rûpa 1

4. Lahutâdiekâdasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 11 jenis, yaitu avinibbhogarûpa 8 dan vikara rûpa 3

5. Kâyaviññattilahutâdvâdasakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 12 jenis: avinibbhogarûpa 8, vikara rûpa 3 dan kâyaviññatti rûpa 1

6. Vaciviññattisaddalahutâditerasakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 13 jenis: avinibbhogarûpa 8, vikara rûpa 3, vaciviññatti 1 dan saddarûpa 1

Keterangan

1. Suddhatthakakalâpa timbul sewaktu tidak bergoyang, tidak bicara atau tak mengeluarkan suara dan sewaktu batin lemah, sedang stress, benci, takut, dan sebagainya.

2. Kâyaviññattinavakakalâpa timbul sewaktu bergoyang biasa, batin sedang lemah, berjalan, berdiri, duduk, tidur, bersin, dan sebagainya.

3. Vaciviññattisaddadasakakalâpa timbul sewaktu bicara, baca buku, menyanyi, sembahyang, dan seterusnya yang tidak normal, yaitu sewaktu kurang sehat, sewaktu batin lemah, tidak sepenuh hati bicaranya dan sebagainya.

4. Lahutadiekâdasakakalâpa timbul sewatktu tidak berkenaan dengan goyangan, pembicaraan atau pengeluaran suara, timbulnya sewaktu batin sehat, kuat, senang, bembira dan sebagainya.

5. Kâyaviññattilahutâdvâdasakakalâpa timbul sewaktu badan bergoyang, sewaktu batin sehat dan kuat, waktu berjalan, duduk, tidur dan sebagainya.

6. Vaciviññattisaddalahutâditerasakakalâpa timbul sewaktu bicara, baca buku, menyanyi, bersembahyang dan sebagainya seperti biasa; sewaktu batin sehat dan senang sehingga bicara dan membaca menjadi teratur dan lancar.

Utujakalâpa = kelompok materi yang disebabkan oleh utu (bisa muncul pada makhluk hidup atau pada benda mati)

1. Suddhatthakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 8 jenis: avinibbhogarûpa 8

2. Saddanavakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 9 jenis: avinibbhogarûpa 8, saddarûpa 1

3. Lahutâdiekâdasakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 11 jenis: avinibbhogarûpa 8, vikara rûpa 3

4. Saddalahutâdidvâsakakalâpa = kelompok materi yang terdiri dari 12 jenis: avinibbhogarûpa 8, saddarûpa 1 dan vikararûpa 3

Keterangan:

1. Suddhatthakakalâpa timbul sewaktu badan tidak normal, seperti badan lelah dan sakit. Materi ini timbul di dalam dan di luar (makhluk dan bukan makhluk).

2. Saddanavakakalâpa timbul pada bagian luar dan dalam (bukan makhluk dan makhluk). Untuk makhluk: dengkur, kentut, suara perut, suara tepuk tangan dan sebagainya. Untuk bukan makhluk: suara petir, suara angin, dan sebagainya.

3. Lahutâdiekâdasakakalâpa timbul khusus di bagian dalam (makhluk) ketika sedang sehat dan kuat. Jadi ketika sehat dan kuat, suddhatthakakalâpa timbul lengkap ditambah vikara rûpa 3.

4. Saddalahutâdidvasakakalâpa timbulnya khusus pada bagian dalam (makhluk), karena vikara rûpa 3 hanya timbul pada makhluk hidup.

Âhârakalâpa = kelompok materi yang disebabkan oleh âhâra (bisa pada makhluk hidup atau benda mati)

1. Suddhatthakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 8 jenis: avinibbhogarûpa 8

2. Lahutâdiekâdasakakalâpa= kelompok materi yang terdiri dari 11 jenis: avinibbhogarûpa 8, vikara rûpa 3

Keterangan:

1. Suddhatthakakalâpa timbul pada semua makanan dan obat-obatan yang tidak menimbulkan kesehatan.

2. Lahutâdiekâdasakakalâpa timbul pada semua makanan dan obat-obatan yang menimbulkan kesehatan, kesegaran dan kekuatan pada makhluk.

Samutthâna (sebab) dari timbulnya rûpa ada empat, yaitu:

1. Kammasamutthâna: kamma yang menjadi sebab timbulnya materi yaitu cetanâ di dalam akusala citta 12, mahâkusala citta 8 dan rûpâvacarakusala citta 5

2. Cittasamutthâna: citta yang menjadi sebab timbulnya materi yaitu semua upadakhana citta kecuali dvipancaviññana citta 10, arûpavipâka citta 4, patisandhi citta dan cuti citta Arahat *)

3. Utusamutthâna: utu yang menjadi sebab timbulnya materi yaitu tejo dhâtu

4. Âhârasamutthâna: âhâra yang menjadi sebab timbulnya materi yaitu kualitas nutrisi dalam/ajjhatta ojâ (kammaja ojâ yang berada dalam kammajarûpa) dan kualitas nutrisi luar/bahiddha ojâ (ojâ yang berada dalam avinibbhoga rûpa 8 yang berada dalam semua kualitas nutrisi).

*) Catatan:

1. Citta yang membuat cittajarûpa biasa timbul ada 75 : Akusala citta 12, ahetuka citta 8 (tanpa dvipañcaviññana citta 10), kâmasobhana citta 24, mahaggata citta 23 (tanpa arûpavipaka citta 4) dan lokuttara citta 8.

- Citta yang membuat tertawa timbul ada 13: lobhamulasomanassa 4, somanassahasituppâda 1, mahâkusalasomanassa 4, mahâkiriyâsomanassa 4.
- Orang biasa tersenyum dan tertawa dengan jenis citta ada 8 jenis: lobhamulasomanassa 4 dan mahâkusalasomanassa 4.
- Sekkhapuggala 3 senyum dan tertawa dengan citta ada 6 jenis: lobhamulasomanassa ditthigatavippayutta 2 dan mahâkusalasomanassa 4.
- Asekkhapuggala 1 (Arahat) senyum dengan citta 5 jenis: somanassa hasituppâda 1 dan mahâkiriyâsomanassa 4.
-Arahat tidak pernah tertawa, hanya tersenyum, sedangkan sekkhapuggala 3 masih dapat tertawa tetapi tidak terbahak sampai badan bergoyang. Orang biasa masih tertawa terbahak sampai badan bergoyang.

2. Citta yang membuat menangis ada 2 jenis, yaitu dosamûla citta 2.

3. Citta yang membuat goyangan, gerakan kecil, bicara, membaca buku, menyanyi ada 32 jenis, yaitu: manodvârâvajjana citta 1, kâmajavana citta 29 dan abhiññâcitta 2 (pañcamajjhânakusala dan pañcamajjhânakiriya citta).

4. Citta yang membuat bicara timbul ada 32 jenis (idem di atas)

5. Citta yang membuat iriyâpatha (4 gerakan besar: duduk, berdiri, berjalan, berbaring/tiduran) ada 32 jenis: idem di atas.1.

6. Citta yang membantu iriyâpatha 4 agar bertahan kuat ada 58 jenis, yaitu: manodvaravajjana citta 1, kâmajavana citta 29, abhiññâ citta 2, appanâjavana citta 26 (mahaggata kusala 9, mahaggatakiriya 9 dan lokuttara citta 8).



bersambung...
 
saya sangat ingin belajar abhidhamma....tapi....apa ada yang bisa bantu saya?
soalnya rata-rata belajar di forum tetangga.

btw,,tidak ngerti saya soal bulatan citta dan cetasika
kenapa ada banyak bulatan?.....misalkan 1 2 3 4 5 6 .......
apa di artikan seperti bersambung....?

Proses kesadaran melalui indera yang sempurna secara sekilas terdiri dari tujuh belas (17) saat kesadaran yang muncul dan padam secara berkesinambungan. Mari kita umpamakan tiap saat munculnya kesadaran dengan menggunakan angka:


Misalkan terjadi proses melihat dengan sempurna:


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
AB BI BT MO KM MeO MemO Pu Do Do Do Do Do Do Do Ca Ca

Keterangan:
AB = Aliran Bhavanga (aliran kesadaran pasif dengan objek lampau) BI = Bhavanga terinterupsi/ tergetar
BT = Bhavanga terpengaruh
MO = Kesadaran mengarahkan indera ke objek penglihatan
KM = Kesadaran Melihat objek penglihatan
MeO = Kesadaran Menerima objek penglihatan yang dilihat tadi
MemO = Kesadaran Memeriksa objek penglihatan yang telah diterima tadi
Pu = Kesadaran memutuskan objek yang telah diperiksa tadi
Do = Dorongan yang terjadi atas keputusan tadi (kusala, akusala, kiriya)
Ca = Kesadaran yang mencatat pengalaman di atas.

nomor 2 BI itu apa?.......
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.