Amadeus
IndoForum Beginner A
- No. Urut
- 71442
- Sejak
- 25 Mei 2009
- Pesan
- 1.149
- Nilai reaksi
- 14
- Poin
- 38
Terkait 33 SMA/MA yang Kelulusannya 0%; UN Tidak Sah Jika Terjadi Salah Penuhi Prosedur
Jakarta, (Analisa)
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas, Dr. Sungkowo M, mengatakan, ujian nasional (UN) tidak sah jika terjadi kesalahan prosedural.
"Kalau pelaksanaan ujian nasionalnya tidak sesuai prosedur operasional standar (POS) sesuai aturan penyelenggara ujian, maka ujiannya tidak sah," ungkap Sungkowo terkait 33 SMA/MA di sembilan provinsi -- Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu -- yang kelulusannya nol persen.
Sungkowo mengaku sampai saat ini belum bisa bertemu dengan pihak Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), pihak penyelenggara ujian nasional. Ia juga mengatakan belum mengetahui persis apakah penyebabnya karena belum ada pengumuman resmi ujian nasional.
"Pengumuman ujian nasional baru dilaksanakan pada 16 Juni. Kami hanya mengetahui sebatas isu. Saya berharap ini masih dalam pengkajian pihak-pihak terkait, sehingga kami berharap pada saat pengumuman hasil ujian itu tidak terjadi hal seperti itu," katanya.
Karena belum ada pengumuman resmi hasil ujian nasional Sungkowo mengatakan, tidak mau berandai-andai tentang penyebab adanya sekolah yang kelulusan ujian nasionalnya nol persen. Ia hanya menyebutkan, jika terjadi kesalahan prosudur maka pihak yang bertanggung jawab adalah penyelenggara ujian nasional dan pusat evaluasi pendidikan.
"Pihak penyelenggara inilah yang berhak menentukan langkah-langkah selanjutnya. Tetapi kalau kesalahan karena menyontek bisa saja tidak diluluskan," tuturnya. Sungkowo mengharapkan jika benar adanya kesalahan prosedur pada ke 33 SMA/MA tersebut hendaknya jangan sampai merugikan siswanya. "Anak-anak jangan sampai dirugikan. Karena anak-anak sebenarnya tidak tahu apa-apa. Mereka itu hanya subjek pelaksana ujian nasional saja," ujarnya.
Evaluasi Pelaksanaan UN
Menanggapi hal itu Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistiyo mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi pelaksanaan UN yang selalu menuai permasalahan karena dilaksanakan secara tidak jujur. "Bila terjadi pembiaran, maka bisa menjadi kebocoran nasional," katanya. Data tersebut merupakan hasil temuan Tim Pengawas Independen dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap penyelenggaraan UN tahun 2009.
"Tidak adanya standar pelayanan minimal menjadikan sebanyak 33 sekolah di sembilan provinsi gagal meluluskan siswanya secara murni bahkan hasilnya adanya nol persen," katanya. Sulistyo melanjutkan ujian nasional hanya menuntut nilai tinggi. Tuntutan ini menyebabkan banyak guru dan kepala sekolah menjadi cemas setiap kali menjelang UN.
Selain itu ujian nasional saat ini menjadi konsumsi politik, katanya. "Nilai tinggi ini belakangan sudah mulai dipolitisasi karena menyangkut gengsi daerah. Bisa saja ada tim sukses di suatu daerah yang berusaha meninggikan hasil nilai ujian untuk kepentingan tertentu."
Ia mengatakan, kalaupun ada guru yang kedapatan melakukan hal itu pemerintah jangan semena-mena menyalahkan kepada gurunya. Harus ditangani secara komprehensif. Sebab tuntutan penilaian tinggi dalam ujian nasional itu tidak punya karakter yang bisa memecahkan persoalan kebangsaan ke depan," katanya.
Sulistyo menegaskan, jika mau jujur sebenarnya apa yang terjadi seperti kasus kebocoran ujian nasional yang kerap terjadi di kemudian hari kejadian ini akan terulang. "Kalau semua pada mau jujur. Sebenarnya bisa saja sekarang ini terjadi kebocoran nasional," katanya. Meski demikian ia meyakini masih banyak guru dan kepala sekolah yang masih bekerja bagus. "Kalau ada kesalahan guru jangan langsung dihakimilah," tambahnya. (Ant)
Jakarta, (Analisa)
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas, Dr. Sungkowo M, mengatakan, ujian nasional (UN) tidak sah jika terjadi kesalahan prosedural.
"Kalau pelaksanaan ujian nasionalnya tidak sesuai prosedur operasional standar (POS) sesuai aturan penyelenggara ujian, maka ujiannya tidak sah," ungkap Sungkowo terkait 33 SMA/MA di sembilan provinsi -- Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat dan Bengkulu -- yang kelulusannya nol persen.
Sungkowo mengaku sampai saat ini belum bisa bertemu dengan pihak Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), pihak penyelenggara ujian nasional. Ia juga mengatakan belum mengetahui persis apakah penyebabnya karena belum ada pengumuman resmi ujian nasional.
"Pengumuman ujian nasional baru dilaksanakan pada 16 Juni. Kami hanya mengetahui sebatas isu. Saya berharap ini masih dalam pengkajian pihak-pihak terkait, sehingga kami berharap pada saat pengumuman hasil ujian itu tidak terjadi hal seperti itu," katanya.
Karena belum ada pengumuman resmi hasil ujian nasional Sungkowo mengatakan, tidak mau berandai-andai tentang penyebab adanya sekolah yang kelulusan ujian nasionalnya nol persen. Ia hanya menyebutkan, jika terjadi kesalahan prosudur maka pihak yang bertanggung jawab adalah penyelenggara ujian nasional dan pusat evaluasi pendidikan.
"Pihak penyelenggara inilah yang berhak menentukan langkah-langkah selanjutnya. Tetapi kalau kesalahan karena menyontek bisa saja tidak diluluskan," tuturnya. Sungkowo mengharapkan jika benar adanya kesalahan prosedur pada ke 33 SMA/MA tersebut hendaknya jangan sampai merugikan siswanya. "Anak-anak jangan sampai dirugikan. Karena anak-anak sebenarnya tidak tahu apa-apa. Mereka itu hanya subjek pelaksana ujian nasional saja," ujarnya.
Evaluasi Pelaksanaan UN
Menanggapi hal itu Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistiyo mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi pelaksanaan UN yang selalu menuai permasalahan karena dilaksanakan secara tidak jujur. "Bila terjadi pembiaran, maka bisa menjadi kebocoran nasional," katanya. Data tersebut merupakan hasil temuan Tim Pengawas Independen dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap penyelenggaraan UN tahun 2009.
"Tidak adanya standar pelayanan minimal menjadikan sebanyak 33 sekolah di sembilan provinsi gagal meluluskan siswanya secara murni bahkan hasilnya adanya nol persen," katanya. Sulistyo melanjutkan ujian nasional hanya menuntut nilai tinggi. Tuntutan ini menyebabkan banyak guru dan kepala sekolah menjadi cemas setiap kali menjelang UN.
Selain itu ujian nasional saat ini menjadi konsumsi politik, katanya. "Nilai tinggi ini belakangan sudah mulai dipolitisasi karena menyangkut gengsi daerah. Bisa saja ada tim sukses di suatu daerah yang berusaha meninggikan hasil nilai ujian untuk kepentingan tertentu."
Ia mengatakan, kalaupun ada guru yang kedapatan melakukan hal itu pemerintah jangan semena-mena menyalahkan kepada gurunya. Harus ditangani secara komprehensif. Sebab tuntutan penilaian tinggi dalam ujian nasional itu tidak punya karakter yang bisa memecahkan persoalan kebangsaan ke depan," katanya.
Sulistyo menegaskan, jika mau jujur sebenarnya apa yang terjadi seperti kasus kebocoran ujian nasional yang kerap terjadi di kemudian hari kejadian ini akan terulang. "Kalau semua pada mau jujur. Sebenarnya bisa saja sekarang ini terjadi kebocoran nasional," katanya. Meski demikian ia meyakini masih banyak guru dan kepala sekolah yang masih bekerja bagus. "Kalau ada kesalahan guru jangan langsung dihakimilah," tambahnya. (Ant)