• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

23 Orang Dikurung Layaknya Hewan Berbahaya

yan raditya

IndoForum Addict E
No. Urut
163658
Sejak
31 Jan 2012
Pesan
24.461
Nilai reaksi
72
Poin
48
K5uIW.jpg
TRENGGALEK - Bentuk alat pasung bukan belahan kayu keras yang terdapat dua lubang untuk menjepit dua kaki. Juga bukan rantai besi yang membelit anggota tubuh. Pasung itu berupa lonjoran bambu utuh yang tersusun rapi.

Bambu betung diikat satu sama lain dan didesain menjadi kotak. Panjangnya sekira satu meter, lebar dua meter, dan tinggi 1,5 meter. Kadang bambu itu terdapat kaki yang jaraknya sekira 50 sentimeter dari tanah.

Melihat tempat itu akan teringat kandang anak ayam yang akrab di permukiman masyarakat desa. Mirip juga sebuah kerangkeng yang biasa digunakan untuk mengurung binatang buas yang membahayakan.


Di sanalah, Seno (45), warga Dusun Gandu, Desa Gamping, Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek, melewati hari demi hari. Sejak tak mampu mengendalikan emosi hingga mengancam jiwa orang lain, pihak keluarga memutuskan menyekapnya di kurungan itu. “Sudah sekira 16 tahun berada di sana,” tutur Saeran (67), kakak kandung Seno.

Ratusan tali tambang dan lilitan kain yang berfungsi untuk mengikat bambu satu sama lain telah menghalangi sinar matahari untuk leluasa masuk ke dalam ruangan. Selain itu, bagian atasnya dibuat berlapiskan asbes, dengan bagian luar terdindingi anyaman bambu.

Atap dan dinding anyaman bambu itu yang melindungi rumah pasungan Seno dari tumpahan air hujan. Namun keberadaannya membatasi sinar matahari. Akibatnya, ruang itu pengap dan sedikit gelap.

Untuk makan, minum, dan tidur, Seno melakukanya di sana juga. Begitu halnya dengan mandi dan buang hajat.

“Kalau makan, kami ulurkan melalui sela-sela jeruji bambu. Sedangkan untuk mandi biasanya langsung kami guyurkan air dari atas memakai timba. Kami berikan sabun dan dia akan sabunan sendiri,” terang Saeran.

Pada bagian bawah, ada galian tanah memanjang. Konsepnya, layaknya selokan untuk mengalirkan air dan kotoran. “Kotoran buang air besarnya langsung mengalir ke tempat pembuangan di belakang rumah,“ jelas Saeran.

Hal yang lebih memprihatinkan, kurungan itu dekat dengan kandang ternak. Beberapa ekor kambing dan sapi tinggal bersebelahan menjadi tetangga tetap Seno. Tidak ada penjelasan pasti bagaimana asal muasal Seno mengalami gangguan jiwa.

Pria yang nyaris tidak mengenal pendidikan formal tersebut sudah dibawa oleh keluarga ke berbagai tempat. Upaya medis dan alternatif juga sudah dilakukan. “Apa yang disarankan paramedis dan paranormal telah dituruti, tapi adik saya tidak juga sembuh. Sudah sembilan kali dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Lawang, namun sembuhnya hanya sebentar, kemudian kambuh lagi,” pungkasnya.

Kondisi yang sama dialami Asman Budi (38) dan Suyati (47). Seperti halnya dengan Seno, dua orang yang juga satu dusun itu disekap dalam kerangkeng bambu.

Menurut Hariyadi (50), kerabat sekaligus perangkat desa setempat, Asman sudah tujuh tahun menjalani hidup dalam pasungan. Seperti halnya alasan keluarga Seno, perilaku Asman bisa membahayakan jiwa orang lain.

“Kami tidak pernah tahu pasti, namun kemungkinan besar karena kesedihan yang mendalam atas kematian ibunya. Sebab, gejala aneh itu muncul setelah ibunya meninggal dunia,“ jelas Hariyadi.

Ketidakjelasan penyebab gangguan jiwa juga terjadi pada Suyati. Ibu satu anak itu mendadak sering marah, mengamuk, bahkan hendak membunuh setiap orang di dekatnya. Karena khawatir membahayakan orang lain, Suyati disekap di dalam kerangkeng bambu.

“Sudah setahun setengah, cucu saya ini hidup di dalam pasungan. Dari pada di luar membahayakan, lebih baik berada disana (pasungan),“ terang Widji (60), nenek Suyati.

Kenapa warga Desa Gamping memilih memasung menggunakan kerangkeng bambu? Semua keluarga pengidap gangguan jiwa mengatakan, kurungan bambu lebih manusiawi dibanding model pasungan dengan menjepit kaki. “Sebab dengan dikurung begini, yang sakit masih bisa bergerak. Sedangkan kalau dijepit itu bisa mengakibatkan kelumpuhan pada kaki,“ jelas Widji.

Dari penelusuran yang dilakukan LSM Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Timur, jumlah penderita gangguan jiwa di Kecamatan Suruh sebanyak 23 jiwa. Hampir seluruhnya dikurung di kerangkeng bambu.

“Ini data sementara dan sangat mungkin bertambah. Memang ada yang tidak dipasung, tetapi hanya satu dua,“ ujar Koordinator DKR Jatim Arif Witanto.

Di samping berbahaya buat orang lain, pemasungan lebih dikarenakan faktor ekonomi. Hampir semua keluarga pengidap gangguan jiwa memilih menyekap anggota keluarganya setelah tidak ada biaya lagi untuk berobat.

Sementara itu, data yang dihimpun dari di kemenkes, jumlah penderita gangguan berat di Indonesia sekira 0,46 persen dari total penduduk atau sekira 1 juta jiwa lebih. Di luar ini, diperkirakan masih ada 11,6 persen atau 19 juta jiwa yang mengalami gangguan mental emosional, termasuk depresi.

Kasus pemasungan terbanyak berada di Jawa Tengah dengan jumlah 968 jiwa dan Bali 200-an jiwa.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.