• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Alam semesta dalam buddha dhamma

singthung

IndoForum Junior E
No. Urut
7164
Sejak
21 Sep 2006
Pesan
1.634
Nilai reaksi
27
Poin
48
ALAM SEMESTA DALAM BUDDHA DHAMMA


250px-Galaxy.ap19.2003.750pix.jpg




Awalnya, Sang Buddha mencela berbagai spekulasi tentang kosmologi dan kosmogonik mengenai alam semesta yang dikedepankan oleh para cendekia. Beliau tidak ingin menuruti spekulasi-spekulasi yang tidak jelas maksud dan logikanya, di sisi lain Beliau telah pernah berjuang sangat keras bergelut dengan pertanyaan yang lebih penting mengenai penderitaan hidup (dukkha) dan jalan untuk terbebas dari penderitaan.

Bagaimanapun, di kemudian hari, literatur Buddhisme memberikan gambaran dan penjelasan yang terperinci mengenai kosmos, dikarenakan hal ini memainkan peranan dalam perjuangan mencapai Kebebasan.

Penyusun alam semesta

ALAM SEMESTA MEMILIKI LUAS YANG tidak terkira dan apa yang ada di dalamnya pun tidak terhitung jumlahnya. Namun semua yang terkandung di dalam alam semesta memiliki dasar penyusun yang sama. Dalam Buddhisme, ada tiga komponen yang menyusun hakekat alam semesta, yaitu Citta, Cetasika, dan Rûpa.

Rûpa secara mudah dapat dikatakan sebagai materi atau jasmani (sebutan untuk makhluk). Sedangkan Citta dan Cetasika sebenarnya merupakan bagian dari Nâma atau secara mudah dapat disebut batin. Nâma secara rinci terdiri dari unsur perasaan (Vedanâ), pencerapan (Sañña), bentuk-bentuk pikiran (Sankhârâ), ketiganya termasuk dalam kelompok Cetasika, dan kesadaran (Viññânâ), yaitu Citta.

Berikut ini definisi dari komponen penyusun hakikat alam semesta menurut Abhidhammatthasangaha.

Secara harfiah Rûpa berarti 'yangberubah'. Rûpa (bentuk) adalah keadaan yang dapat bercerai atau berubah padam dengan kedinginan dan kepanasan. Contoh sifat Rûpa yang selalu berubah yaitu kulit Anda yang berubah menjadi kemerah-merahan dan meradang pada kondisi suhu yang sangat panas. Secara keseluruhan, ada 28 jenis Rûpa.

Citta dapat dijelaskan sebagai keadaan yang mengetahui obyek, atau keadaan yang menerima, mengingat, berpikir, dan mengetahui obyek. Secara singkat, Citta dapat diartikan sebagai kesadaran/pikiran. Setiap saat kita sadar akan berbagai obyek. Di sini 'kesadaran' bukan berarti pemahaman secara pengetahuan ataupun melalui kebijaksanaan, melainkan kemampuan untuk menangkap obyek melalui organ indera. Ketika melihat suatu obyek tampak, timbullah kesadaran penglihatan. Ketika mendengar suatu suara, timbullah kesadaran suara, dsb.

Cetasika (faktor-faktor mental) adalah keadaan yang bersekutu (muncul bersama) dengan Citta (kesadaran). Citta hanya berfungsi mengenali obyek, maka citta itu sendiri tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Karena Citta muncul bersama dengan berbagai faktor mental yang berbeda yang disebut Cetasika, Citta dinyatakan baik atau buruk bergantung pada faktor mental yang muncul menyertai Citta, apakah itu faktor mental yang baik atau faktor mental yang buruk. Dengan kata lain, Cetasika menentukan kesadaran menjadi baik atau buruk.

Sistem dunia

Dalam paham Theravada, kita memiliki sebuah sistem dunia tunggal (single-world system) dan sebuah sistem dunia yang beragam (multiple-world system). Dalam sistem dunia tunggal, alam semesta merupakan sebuah piringan datar yang disebut cakkavala, dengan alam-alam surga (dewa) dan alam-alam brahma yang ada di atas piringan, dan alam-alam rendah (neraka) di bawahnya. Istilah cakkavala dari bahasa Pali yaitu cakka (Sansekerta: cakra) yang berarti bidang yang menyerupai bola atau roda. Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan galaksi yang berbentuk pipih dan spiral.

Di tengah cakkavala terdapat Gunung Meru setinggi enam puluh ribu yojana. Setengah dari gunung ini terbenam dalam air, dan hanya bagian atasnya yang terlihat. Ada enam gunung lainnya yang mengelilingi cakkavala dan saling berhubungan. Ruang di antara gunung-gunung tersebut ditempati oleh berbagai jenis samudera. Salah satunya dinamakan Samudera Agung (Mahasamudra), di mana terdapat empat buah benua, yang terletak di utara (Uttarakuru), selatan (Jambudipa), timur (Pubbavideha), dan barat (Aparayojana). Manusia menempati benua di Jambudipa.

Di puncak Gunung Yugandhara dengan ketinggian setengah dari Gunung Meru, terletak alam dewa Catumahârâjikâ, sedangkan di puncak Gunung Meru terletak surga Tâvatimsâ, tempat tinggal Sakka, raja para dewa. Empat alam dewa yang lebih tinggi yaitu Yâmâ, Tusitâ, Nimmânarati, dan Paranimmitavasavattî terletak di angkasa, terpisah dari bumi (Jambudipa). Berbagai jenis alam surgawi melayang-layang di atas cakkavala, tersusun dalam tiga tingkatan alam, yaitu alam di mana makhluk-makhluknya masih senang dengan nafsu indera dan terikat dengan panca indera (kama-loka), alam kehidupan tempat tinggal para brahma yang memiliki wujud/bentuk (rûpa-loka), dan alam kehidupan para brahma yang tidak memiliki wujud/bentuk (arûpa-loka). Alam berasal alam rendah terletak di bawah pulau Jambudipa.

Dalam sistem dunia yang beragam (multiple-world system), terdapat tiga alam semesta yaitu sistem dari seribu dunia kecil/tata surya (culanika lokadhâtu); sistem dari sejuta dunia menengah (dvisahassi majjhimika lokadhâtu), yang masing-masing terdiri dari seribu dunia kecil; dan sistem dari satu milyar dunia besar (tisahassi mahasahassi lokadhâtu), yang masing masing terdiri dari seribu dunia menengah. Masing-masing dari satu milyar dunia besar tersebut terdapat satu cakkavala, dengan tujuh gunung yang melingkar konsentris, dengan sebuah matahari dan sebuah bulan. Keseluruhan sistem dunia ini bertahan selama satu mahakalpa (sekitar satu milyar tahun) dan kemudian hancur, dan setelah itu kembali terbentuk.

Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :

"Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu culanika lokadhâtu (tata kecil) ?.... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu).

Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu kali dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "tisahassi mahasahassi lokadhatu". Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi."

Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.

Dalam kesesuaiannya dengan berbagai tradisi Barat, Buddhisme berpandangan bahwa alam semesta berjalan dalam lingkaran evolusi dan kehancuran. Hal ini telah diperbandingkan dengan teori yang mengatakan bahwa alam semesta ini bergetar dengan gerakan mengembang dan mengerut. Lebih spesifik lagi, ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa tidak hanya satu alam semesta yang bergetar, namun ada sejumlah besar alam semesta yang juga bergetar, masing-masing memiliki Dentuman Besar (teori Big Bang, yakni teori ilmiah yang dipercaya sebagai kejadian yang membentuk alam semesta). Namun bagaimanapun juga, teori tentang alam semesta yang bergetar ini tidak sepenuhnya diterima oleh para ilmuwan.

Ada juga beberapa orang yang membandingkan teori Buddhisme ini dengan Teori Steady State, yang mengatakan bahwa alam semesta ini diam dan kaku adanya. Teori ini pun banyak ditentang oleh para ilmuwan. Teks Buddhis juga menyebutkan jenis makhluk makhluk yang sangat berbeda dengan manusia yang mendiami dunia ini seperti yang dikenali oleh orang awam.

Disebutkan juga bahwa ada berbagai macam makhluk (makhluk-makhluk deva dan brahma) yang mengunjungi dunia ini (bumi). Hal ini secara tidak langsung telah menjelaskan pertanyaan tentang adanya kehidupan di planet (alam) lain dan tentang adanya alien yang mengunjungi bumi ini dari dunia extra-terrestrial.


 
Hanya orang Buta yang melihat perbedaan (sains dan religi), dan kebanyakan dari kita adalah buta.

Buta karena keterbatasan kata dalam penterjemahan.
Buta karena sempitnya pikiran dalam mencoba mengerti dan menganalisa.
Buta karena banyaknya mitos yang dianggap fakta.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.