• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Candi Sukuh, Candi Paling Erotis di Indonesia

roughtorer

IndoForum Senior A
No. Urut
44416
Sejak
24 Mei 2008
Pesan
6.755
Nilai reaksi
174
Poin
63
SUKUH, CANDI DI LERENG GUNUNG LAWU

510px-Statue_at_Candi_Sukuh.jpg


sukuh1.jpg
sukuh2.jpg
sukuh3.jpg

Di lereng Gunung Lawu di Desa Berjo Kabupaten Karanganyar, Jateng, terdapat sebuah candi yang memiliki struktur bangunan yang unik karena bentuknya mirip bangunan piramid bangsa Maya. Menurut promosi Dinas Pariwisata Karanganyar, candi yang dibangun masyarakat Hindu Tantrayana tahun 1437 itu selain merupakan candi berusia paling muda di Bumi Nusantara juga candi paling erotis.

Yang unik, di kompleks candi ini terdapat patung-patung makhluk bersayap. Makhluk ini disebut sebagai garuda karena salah satu patung yang masih utuh menunjukkan kepala seperti burung garuda. Hanya saja, patung-patung ini memiliki tangan dak kai seperti manusia dan sayap seperti malaikat. Apakah patung ini menggambarkan makhluk alien?

Candi ini sangat ssederhana dan berisikan sejumlah relief dengan berbagai bentuk. Di antaranya bentuk kelamin laki-laki dan wanita yang dibuat hampir bersentuhan. Pada deretan relief-relief yang menghiasi dinding candi juga digambarkan relief tubuh bidadari dengan posisi "pasrah" serta relief rahim wanita dalam ukuran cukup besar.

Relief-relief seks itu menggambarkan lambang kesucian antara hubungan wanita dan pria yang merupakan cikal bakal kehidupan manusia. Hubungan pria dan wanita melalui relief ini dilambangkan bukan melampiskan hawa nafsu, tapi sangat sakral yang merupakan curahan kasih sayang anak manusia untuk melahirkan sebuah keturunan.

Selain itu sekitar candi juga dipenuhi relief-relief yang satu sama lain tidak berhubungan sehingga menimbulkan banyak ceritera. Kisah-kisah tentang relief itu bisa beragam tergantung persepsi orang-orang sesuai dengan sudut pandangnya. Relief di candi ini menggambarkan cerita yang tidak saling berhubungan.Ada legenda Dewi Uma yang dikutuk suaminya Batara Guru karena berbuat serong dengan seorang penggembala. Ada juga ceritera wanita yang kalah judi lalu dibebaskan di candi ini sehingga bisa masuk sawarga (surga). Legenda warga setempat menyebut candi ini merupakan tempat bertemu dengan roh yang sudah meninggal.

Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut. Hawanya sejuk dan dalam musim hujan ini kabut tebal selalu menyelimuti kawasan candi yang alamnya indah itu. Setiap bulan antara 200-250 turis asing datang ke candi dengan berbagai maksud. Selain ingin melihat candi itu juga banyak yang melakukan meditasi sebab candi ini merupakan tempat ruwatan warga kawasan lereng Gunung Lawu.

Jalan ke candi itu sepanjang 2 km tidak bisa menggunakan bus besar karena jalannya sempit. Selain itu tanjakannya tegak sehingga hanya kendaraan yang benar-benar prima bisa mendaki lereng gunung itu. Jalan sempit ini agak disengaja untuk mempertahankan kelestarian alam di kawasan itu. Pariwisata Karanganyar mengandalkan keindahan alam dengan memanfaatkan segi tiga emas Solo-Karanganyar-Sukoharjo. (*)


Candi Sukuh

nnvim.php

Bentuk candi ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi-candi lain di Indonesia. Sekilas tampak menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau suku Inca di Peru. Candi ini juga tergolong kontroversial karena adanya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu yakni di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.

nnvim.php

Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.

nnvim.php

Relief phallus yang bertemu dengan vagina dan terdapat pada lantai dasar Gapura teras pertama Candi Sukuh​

Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin kebelakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.

nnvim.php

Candi Sukuh Relief-relief lain yang ada dilokasi candi​

Pada teras kedua juga terdapat gapura namun kondisinya kini telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama !

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

nnvim.php

Relief yang menggambarkan ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku "Pancanaka” ke perut raksasa​


Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Dengan struktur bangunan seperti ini boleh dibilang Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.

Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.

nnvim.php

Arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru​

Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.

Secara keseluruhan, mengunjungi objek wisata Candi Sukuh memberikan pandangan baru akan bentuk candi maupun relief2-nya yang tidak lazim seperti layaknya candi-candi lain di pulau jawa. Tentunya hal ini merupakan bukti yang menunjukkan akan kekakyaan budaya bangsa Indonesia.

-----------------------------------------------------------------------

Candi Sukuh

Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.

Sejarah singkat penemuan

Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.

Lokasi candi

Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho.

Struktur bangunan candi

Denah candi Sukuh.

Denah_candi_Sukuh.png


Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang menyolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Di bawah akan dibahas lebih lanjut mengenai bentuk ini.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda W.F. Stutterheim pada tahun 1930. Beliau lalu mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen: pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi atau ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.

Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.

Teras pertama candi
Gapura utama candi Sukuh.
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Teras kedua candi

Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!

Teras ketiga candi
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.


Relief pertama.

Sukuh-relief01.jpg

Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

Relief kedua.

Sukuh-relief02.jpg

Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

Relief ketiga.

Sukuh-relief03.jpg

Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

Relief keempat.

Sukuh-relief04.jpg

Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.

Relief kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.

Patung-patung sang Garuda

Prasasti sukuh.


Sukuh_prasasti.jpg

Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.

Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
Lihat kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta


Beberapa bangunan dan patung lainnya

Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.

Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.

Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

-------------------------------------------------------

[Candi Sukuh] Erotisme Pada Candi

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur ternyata memiliki peninggalan yang masih kokoh berdiri di daerah Jawa Tengah, tepatnya di lereng Gunung Lawu. Menariknya, candi ini dikatakan sebagai candi yang paling erotis di seluruh dunia. Mengapa?


Perjalanan ke Candi Sukuh saya tempuh dari arah Karanganyar. Naik ke lereng Lawu, mengambil arah yang sama dengan Tawangmangu. Lokasi tepatnya di Kecamatan Sukuh. Cukup mudah mencarinya, karena candi ini sudah menjadi identitas bagi warga Kabupaten Karanganyar.

Karena berdiri di tempat ketinggian, udara segar segera menyapa saya ketika menjejakkan kaki di situs Sukuh ini. Sebuah bangunan candi berbentuk punden gapura menyambut saya pertama kali. Sebuah tangga menuju ke atas tertahan oleh pagar selebar dua orang berhimpitan. Saya yakin dulunya ini adalah pintu masuk menuju ke bangunan atasnya. Saat saya ke sana, pagar itu terkunci. Tapi yang menarik adalah di lantai persis pada gapura itu terdapat lingga dan yoni yang berhadapan. Lingga dan yoni adalah representasi dari alat kelamin laki-laki dan perempuan. Sering pula disepakati sebagai lambang kesuburan.


Letaknya persis di pintu masuk ini dan begitu nyatanya membuat masyarakat sering menyebutnya sebagai candi tabu. Padahal, bisa jadi menurut budaya Jawa yang sarat akan lambang, penempatan lingga dan yoni itu sebagai pengusir bala bagi yang ingin masuk ke dalam candi.

1.jpg

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lingga dan yoni di gapura dulunya sering dijadikan sarana untuk menguji kesucian perempuan dengan melangkahi simbol itu. Jika kain kebaya yang digunakannya robek berarti perempuan itu menjaga kesuciannya, namun jika kain kebayanya terlepas, maka perempuan itu dipercayai telah kehilangan kesuciannya. Ah patriarki…

Gapura ini ternyata hanyalah sebuah pengantar menuju ke bangunan candi yang letaknya lebih tinggi. Karena pagar tertutup, maka saya mengambil jalan naik ke tangga di sebelah gapura tersebut. Terbentang sebuah teras yang cukup lapang. Membalikkan badan, maka akan terlihat panorama kabupaten Karanganyar dari ketinggian. Beruntung cuaca cerah saat itu. Tanpa halangan kabut yang biasanya sudah turun di siang hari, saya bisa memandang lepas ke lembah yang hijau dan rumah-rumah a la pedesaan.

Sebuah gerbang nampak lagi beberapa meter di depan. Gerbang ini hanya seperti pagar setinggi pinggang, dijaga oleh dua dwarapala yang sudah compang camping bentuknya. Dan di depan sana lagi nampaklah bangunan candi yang bentuknya hampir sama seperti gapura di bawah tadi namun lebih besar dan lebih tinggi. Rupanya inilah bangunan intinya.


2.jpg

Sebelum mendekati bangunan inti, bertebaran obelisk dan relief-relief yang beberapa di antaranya juga sudah tidak utuh lagi. Menurut cerita, di sinilah upacara ruwatan yang merupakan tradisi Hindu konon diadakan.

Saya berbegas memasuki bangunan inti dan naik ke puncak yang paling atas. Lorong tangga sempit hanya cukup untuk satu badan orang dewasa itu terasa begitu dingin. Dan di atas, bertebaran sesaji dengan bunga setaman yang masih segar. Masyarakat Karanganyar memang hingga kini masih banyak yang percaya dengan aliran Kejawen dan mistis. Tak heran, candi ini pun masih digunakan untuk ritual-ritual tertentu.

Mengenai julukan erotis, selain perlambangan lingga dan yoni di pagar, juga nampak pada relief-relief yang tersisa. Tapi sepertinya sudah tak banyak lagi. Mungkin karena terlalu vulgar, makanya relief itu tak ada lagi. Ah sayang sekali. Mestinya itu dipandang sebagai sebuah budaya dan bisa menceritakan tentang kondisi dan pesan yang ingin dibuat saat candi dibangun. Menurut kawan yang mengantar saya ke Candi Sukuh, dulu ada sebuah patung berbentuk laki-laki sedang memegangi alat kelaminnya yang sedang ereksi di kawasan candi ini. Patung itu juga sudah tak ada lagi.

Candi Sukuh ini melihat tahun pembuatannya, yaitu 1437 M, merupakan candi Hindu termuda di Indonesia. Dibangun pada era kejatuhan Majapahit yang didesak oleh bala tentara Islam Kesultanan Demak.

Sebenarnya ada satu candi lagi yang juga merupakan peninggalan Majapahit, tak jauh dari lokasi Candi Sukuh. Dikenal dengan nama Candi Cetho. Sayang sekali, waktu pelesir saya di lereng Lawu ini terbatas. Sehingga harus melewatkan candi itu.

Meski hanya beberapa jenak, namun Gunung Lawu telah memberikan saya sebuah hadiah panorama indahnya. Turun dari situs Candi Sukuh, saya melewati hamparan kebuh teh yang hijau bergunung-gunung di daerah Kemuning. Pemda Karanganyar rupanya belum mengeksplorasi panorama kebun teh ini seperti layaknya di Puncak yang sudah begitu ramai oleh kegiatan tea walk. Hanya terlihat beberapa rombongan saja yang mampir menikmatinya.

3.jpg

Tapi bagi saya, Lawu sudah banyak bercerita, tentang panorama, tentang aura mistisnya yang hingga sekarang tetap menjadi pusat kegiatan spiritual di Pulau Jawa dan tentu saja tentang sejarahnya.


=================================================================================

GAMBAR GAMBAR

800px-Candi_Sukuh.jpg


510px-Statue_at_Candi_Sukuh.jpg


530px-Erotic_depiction_at_Candi_Sukuh.jpg


2.jpg


3.jpg




 
Candi Sukuh, Nasib "The Last Temple" Itu…


WAJAR rasanya ketika pihak Balai Perlindungan dan Penelitian Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Tengah terkejut dan begitu serius menaruh perhatian pada gejala retak yang berada di Kompleks Candi Sukuh. Bukan hanya karena Candi Sukuh merupakan candi terakhir yang menjadi saksi pudarnya budaya Hindu di Jawa ketika agama Islam hadir di kawasan itu. Tetapi, karena candi itu juga memiliki struktur punden berundak (teras bertingkat) dan merupakan satu-satunya di Jawa.

CANDI yang terletak di Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, itu sering disebut "The Last Temple" karena selepas runtuhnya Majapahit pada abad XV tidak ditemui pembangunan candi lagi. Mirip dengan makna film The Last Emperor, Candi Sukuh menjadi saksi terakhir Kejayaan Hindu di Jawa. Retaknya salah satu bagian bangunan candi di Kompleks Candi Sukuh, tepatnya bangunan di sisi kanan bangunan utama candi yang menghadap ke barat, menimbulkan analisis mendalam dari kalangan pihak BP3 Jawa Tengah. Salah satu di antaranya yang dituding sebagai penyebab adalah tiga terowongan atau lubang yang membentuk lorong-lorong akibat penambangan pasir yang dilakukan penduduk. Lorong- lorong itu mengarah memanjang ke lokasi kompleks situs Candi Sukuh.

"Panjang masing-masing lorong memang sampai 15 meter. Namun, jika kita lihat dengan pandangan mata telanjang, panjang lorong itu rasanya belum menembus lahan kompleks candi. Namun, kami tetap mempertanyakan lubang-lubang itu punya pengaruh atau tidak," kata Lambang Babar Purnomo, Kepala Kelompok Kerja Perlindungan BP3. Kecemasan terhadap pelestarian Candi Sukuh juga timbul karena adanya ancaman peristiwa longsor kawasan Gunung Lawu yang kondisi hutannya gundul karena adanya aksi pencurian terhadap hutan pinus. Sementara letak Candi Sukuh berada di kaki sisi barat Gunung Lawu. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar IA Joko Suyanto mengungkapkan, selain aksi penggundulan hutan pinus, peristiwa kebakaran hutan dalam kemiringan 60 persen juga potensial melahirkan kelongsoran yang mengarah ke Candi Sukuh.

KASUS lain yang tampaknya perlu dicermati adalah kondisi bangunan candi induk yang bagian puncaknya miring ke sisi selatan. Namun, menurut Kepala BP3 Jawa Tengah Wahyu Indrasana, pihaknya belum bisa memastikan apakah miringnya itu sejak awal dibangun atau memang karena ambles.

"Yang pasti, kita tidak punya data titik nol pada puncak candi induk tersebut. Namun, dari penelitian Tim Arkeologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, di empat sisi puncak candi induk sisi berbentuk limas terpotong itu memang ada yang plus dan ada yang minus. Apakah itu miring, kita tidak bisa memastikan, apakah sejak penggarapan atau memang karena ambles," kata Indrasana. Untuk terus mewaspadai kondisi kritis Kompleks Candi Sukuh, ungkap Indrasana, pihaknya melakukan studi geologi pada bulan April. Studi ini dilakukan oleh BP3 bekerja sama dengan Balai Studi dan Konservasi Borobudur.

Studi geologi ini mempelajari struktur tanah lingkungan Candi Sukuh. Dari studi yang ingin mengetahui seluruh struktur tanah di Kompleks Candi Sukuh ini diharapkan bisa diperoleh gambaran bagaimana langkah-langkah konkret untuk pelestarian Candi Sukuh. "Dari studi ini diharapkan kita akan tahu sebab-sebab retaknya salah satu bangunan kompleks candi itu. Termasuk juga miringnya puncak candi itu, apakah karena pengaruh alam ataukah karena sejak awal pembangunan sudah seperti itu," ujar Indrasana.

CANDI Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu bagian barat pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut. Untuk menuju candi yang terletak di Desa Mberjo ini, meskipun jalannya naik dan meliuk-liuk, justru di situlah keindahan begitu kuat ternikmati. Lembah dan ngarai yang menghijau oleh hamparan sawah, pohon cengkeh, dan sayur-sayuran seperti menggambarkan romantisme alami desa yang telah sayup-sayup meninggalkan kenangan. Kalau Puncak, Bogor, sekarang telah tercabik-cabik oleh kekuatan-kekuatan pemodal, lingkungan Candi Sukuh-yang konturnya mirip di Puncak-masih alami, artinya lebih siap untuk ditata secara benar.

Mungkin karena alam yang demikian itu, para penggagas pendirian Candi Sukuh kala itu meyakini konsepnya, di samping memang kiblat gunung yang selalu mengisi konsep Hindu dalam pendirian candi itu. Yang pasti, keberadaan Candi Sukuh sekarang yang disangga keindahan alam "cukup indah" layaklah jika ditata sebagai kawasan wisata. Candi Sukuh dibangun dengan konsep punden berundak, sebuah bangunan tempat persembahyangan pada masa prasejarah, yang situsnya kini masih banyak ditemukan di daerah Jawa Barat. Meski dengan konsep punden berundak, candi ini kaya akan bentuk yang sangat variatif dan datang dari berbagai unsur budaya. Sebagai punden berundak, candi ini memiliki tiga punden berundak (terdiri atas tiga teras). Teras diawali dengan bangunan gapura yang bernama Paduraksa.

Gapura ini mirip dengan pylon, sejenis gapura masuk ke Piramida di Mesir. Pada ambang pintu gapura ini, dihias dengan bentuk kala berjanggut panjang, sebuah relief yang tidak ditemui di candi-candi Hindu. Pada sisi kanan dan kiri gapura terdapat relief yang menggambarkan seorang yang tengah berlari dengan menggigit ekor ular naga yang sedang melingkar. Sementara di atasnya terdapat relief yang menggambarkan makhluk mirip manusia yang sedang melayang dan relief seekor binatang melata.

Menurut arkeolog KC Cruq, relief ini merupakan sengkalan (simbol tahun pembuatan) yang berbunyi gapura buto aban wong yang ditafsirkan sebagai angka Tahun Saka 1359 C atau 1437 Masehi. Yang paling unik adalah motif yang berada di lantai gapura, terdapat paduan lingga-yoni dalam bentuk nyata. Gambaran vagina dan penis ini diduga sebagai lambang kesuburan. "Khusus relief yang di lantai gapura itu kami tutup karena takut aus terinjak-injak pengunjung candi," kata Lambang Babar Purnomo. Pada teras kedua terdapat gapura yang tidak utuh lagi. Gapura ini, berdasarkan prarekonstruksi, diduga berbentuk gapura bentar, seperti pintu gerbang masuk candi-candi di Jawa Timur umumnya.

Di depan gapura terdapat sebuah arca Dwarapala yang saat ini sudah dalam keadaan aus. Arca ini lain dengan dwarapala pada arca candi-candi pada umumnya karena nyaris tanpa aksesori, tubuhnya polos, termasuk gada yang dibawanya tanpa ukiran. Teras ketiga adalah kompleks candi induk dan merupakan kawasan "paling suci". Untuk memasuki teras ketiga ini juga melewati sebuah gapura yang sudah tak utuh lagi. Candi induk yang terletak di barisan paling belakang, menghadap ke barat, berbentuk piramida Mesir yang terpancung bagian atasnya. Candi induk ini berukuran 15 x 15 meter. Di atas bangunan ini diperkirakan ada bangunan candi yang terbuat dari kayu. Hal ini bisa diketahui karena pada bagian atas candi berbentuk piramida itu ada bekas-bekas umpak batu di empat sisinya.

Di kompleks ini ada arca binatang berupa kura-kura, garudan, dan gajah, arca tokoh raksasa yang tak dikenal, dan Dwarapala. Pada salah satu arca garuda terdapat prasasti berangka tahun 1363 Caka atau 1441 Masehi, dan 1364 Caka atau 1442 Masehi. Sementara di sisi kanan-kiri di depan candi induk terdapat relief yang menggambarkan cerita Sudhamala dan Garudeya yang mengisahkan tentang upacara suci ruwatan.

BEGITU ditemukan pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta pada masa pemerintahan Gubernur Raffles, Candi Sukuh lantas menjadi perhatian banyak ahli. Penelitian pertama kali dilakukan Van der Vlis pada tahun 1842, yang kemudian ditulis dalam buku Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Boepermans pada tahun 1864-1867 melakukan penelitian lanjutan. Hasilnya kemudian ditulis dalam bukunya yang berjudul Hindoe Oudheiden van Java.

Upaya penyelamatan dan pengamanan terhadap Candi Sukuh dilakukan Dinas Purbakala sejak tahun 1971, yang kemudian diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) waktu itu, Daoed Joesoef, tahun 1982. Beberapa peneliti dari bangsa Indonesia yang meneliti Candi Sukuh di antaranya Ph Soebroto, Riboet Darmosutopo, Y Padmopuspito, dan Harry Truman Simanjuntak. Dari serangkaian penelitian itu disimpulkan bahwa Candi Sukuh adalah candi terakhir pada masa kejayaan Hindu di Jawa. Candi terakhir ini bukan dibangun oleh para petinggi, para ahli dari kerajaan, tetapi hanya merupakan candi desa yang dibangun oleh masyarakat pinggiran.

Candi yang dibangun sekitar abad ke-15 ini merupakan bangunan suci para pelarian Majapahit akibat serangan dari Kerajaan Demak Bintoro. Serangan Demak Bintoro menandai Kerajaan Majapahit yang berlatar belakang Hindu. Akibat serangan itu, banyak masyarakat yang lari dan menyingkir ke pinggiran. Dalam pelarian itulah, beberapa masyarakat tetap ingin mengembangkan kepercayaannya sebagai penganut Hindu.

"Banyak yang berpendapat Candi Sukuh merupakan akulturasi dari faham Hindu yang dibawa orang-orang Majapahit, dengan kepercayaan masyarakat pinggiran asli Jawa yang masih menyembah arwah nenek moyang. Karena itu, bentuk candi yang lahir kemudian adalah punden berundak, dengan keunikan-keunikan arca yang berbeda dengan candi-candi pada umumnya," kata Lambang.

Ya, Candi Sukuh bisa dikatakan sebagai monumen sejarah perubahan peradaban, dari agama Hindu ke Islam di Jawa. Bahkan, bisa dikatakan bangunan terakhir dalam era peradaban candi-candi. Barangkali di sini lah arti penting mengapa Candi Sukuh layak diperjuangkan untuk terlepas dari ancaman-ancaman alam atau tangan-tangan manusia. (th pudjo widijanto)
 
Banyak Misteri di Candi Erotis ini

ORANG sering mengidentikkan Candi Sukuh di Karanganyar, dengan istilah candi porno atau candi erotis.

‘Ini wajar saja, sebab sejumlah relief yang terpahat di dinding atau bagian candi lain, tergambar vulgar, tak seperti relief pada lantai teras pertama Candi Sukuh, terpampang lingga saling berhadapan dengan Yoni dalam bentuk yang sebenarnya.

Lalu orang pun menghubungkan relief yang disebut-sebut sebagai lambang kesuburan ini dengan kepercayaan mistik. Tersebutlah kepercayaan, seorang wanita akan mengalami peristiwa memalukan seperti sobek ataupun lepas kain yang dikenakan, manakala melewati relief ini, jika ia memiliki perilaku kurang terpuji. Bahkan ada pula kepercayaan, seorang gadis yang tidak perawan lagi, dari kemaluannya akan meneteskan darah manakala melangkahi relief lingga dan yoni itu.

Benar atau tidak kepercayaan berbau mistik ini, yang jelas candi yang diperkirakan dibuat sekitar abad XV ini menjadi menarik manakala dikaitkan dengan misteri yang senantiasa menyelimutinya. Banyak relief di Candi Sukuh hingga sekarang tak terpecahkan kerahasiaannya. Termasuk pakar sejarah Dr. WF Stutterneim yang pernah meneliti candi Sukuh dan Candi Cetho, belum bisa mengungkap secara tuntas misteri candi yang satu ini. Belum lagi bila dipertemukan dengan pembuat candi tersebut.

Dari sisi fisik relief, sungguh berbeda dengan candi lain seperti Candi Borobudur atau Prambanan yang tertatah halus dan rapi. Relief yang terpahat di Candi Sukuh ini kasar, wagu, dan sederhana karenanya, bukan mustahil jika relief di Candi Sukuh ini dikerjakan masyarakat biasa, atau paling tidak bukan seniman pahat, bahkan barangkali dikerjakan orang-orang perpencil.

Begitu memasuki teras pertama Candi Sukuh, orang sudah dihadapkan pada tanda tanya besar. Betapa pada bagian ini terdapat gapura yang mirip dengan pylon sejenis gapura masuk ke piramida di Mesir. Dari sini pula pakar sejarah purbakala sering menghubungkan keberadaan gapura teras pertama Candi Sukuh tersebut dengan seni Mesir dan Meksiko, dengan menganalogkan fisik keduanya.

Lalu pada bagian lain terdapat pula relief yang menggambarkan arak-arakan seorang penunggang kuda dikawal puluhan prajurit bersenjata tombak, ada pula dua ekor badak, sepasang kerbau serta seseorang menunggang gajah. Relief ini pun hingga sekarang masih menjadi misteri.

Begitu unik dan penuh misteri, salah satu relief di Candi Sukuh beberapa tahun silam pernah diboyong ke Amerika Serikat dalam event pameran kebudayaan Indonesia-Amerika Serikat (Kias) selama satu tahun. Malah, dari Amerika Serikat, benda ini diboyong lagi ke Belanda untuk dipamerkan dalam event lain. Dialah, relief yang terpahat pada tiga bilah batu besar berbobot sekitar 12 ton.

Relief ini menggambarkan dewa Gajah Ganesha berdiri di atas satu kaki di sebuah besalen (tempat penempaan besi) sambil memegang ekor anjing. Lalu di bagian lain tergambar seseorang tengah mengerjakan hembusan api dan seseorang yang lain lagi menghadapi sebuah meja sambil mempertunjukkan hasil karya penempaan besi, seperti keris, tombak, cangkul, palu dan seni pahat besi yang lain.

Diperkirakan, orang-orang yang berada di besalen bersama Dewa Gajah Ganesha ini, adalah orang-orang keturunan raja, atau mungkin keturunan dewa. Dugaan ini dikaitkan dengan cerita wayang tentang kehidupan para dewa. Sayangnya, makna atas cerita wayang sesuai tergambar dalam relief tersebut, belum terungkap tuntas.

Candi di Jawa Tengah umumnya menghadap ke Timur. terkecuali candi Sukuh. Candi yang satu ini seperti halnya kebanyakan candi yang ada di Jawa Timur yakni menghadap Barat. Jadi untuk memasuki candi Sukuh, orang menuju ke arah Timur, tempat Matahari terbit. Padahal Matahari dipuja sejak jaman prehistori. Dengan begitu ada pengaruh asli dalam pembuatan candi Sukuh, berbeda dengan candi lainnya di Jawa Tengah yang banyak dipengaruhi India.

Itulah salah satu keunikan Sukuh yang selama ini banyak menarik perhatian wisatawan mancanegara. Wisatawan dalam negeri memang ada, tapi jumlahnya lebih kecil jika dibandingkan yang datang dari luar negeri, jelas seorang petugas. Berkunjung ke Sukuh memang mengasyikkan, udaranya sejuk. Candi ini berada di kaki gunung Lawu yang di sekitarnya ditumbuhi pohon pinus. Udara pegunungan tersebut membuat pengunjung betah untuk melihat fragmen-fragmen yang di antaranya menonjol kisah tentang ruwatan.

Kisah tentang ruwat dapat ditemukan lewat beberapa fragmen. Di sebelah Utara dekat pagar, misalnya, terdapat jajaran fragmen berelief kisah Sudamala. Bagian terpenting dari kakawin Sudamala ini adalah Batari Uma dikutuk Batara Guru menjadi Durga yang berparas jelek. Sadewa anak Pandu dan Madrim dikorbankan sebagai tumbal kepada Durga. Sadewa diikat pada sebuah pohon randu alas ditunggui Semar. Durga minta diruwat dan Sadewa berhasi meruwat dengan bantuan Batara Guru yang menyatu dengan dirinya. Kemudian sebagai rasa syukur Dewi Uma memberikan nama Sudamala pada Sadewa.

Masih ada lagi pahatan Garudeya yang juga mengkisahkan tentang ruwat. Kondisi fragmen ini berangsur terkikis oleh waktu. Dari fragmen Garudeya dapat ditarik pengertian sebuah pengabdian seorang anak kepada ibunya. Garudeya, seekor garuda anak Winata. Dari kisah ini Winata harus menjadi budak Kadru setelah mengalami kekalahan. Nasib naas winata bermula dari cangkriman tentang ekor kuda yang warnanya dapat berganti-ganti. Konon itu karena pekerjaan anak-anak Kadru.

Betul, setelah Garuda berhasil menghabisi anak-anak Kadru, maka ekor kuda kembali pada warna aslinya. Dan bebaslah Winata.

Jika dicermati, pada tugu obelish juga mengkisahkan ruwatan versi Mahabarata. Bima yang lahir dari rahim Kunthi dengan Pandu membuat gempar. Mengapa, karena putra kedua Pandu itu berujud bungkus yang sulit dibuka. Suasana kian hangat. Atas kejadian ini Betara Guru mengutus Gajahsena (Ganesya), putranya untuk memec*ahkan bungkus Bima. Usaha tersebut berhasil dan diberikannya pakaian khusus pada Bima yang kemudian diberi nama Bratasena.

Relief-relief yang ada di candi Sukuh di atas yang secara dominan memang merupakan kisah pewayangan. Karena tidak jelas dari versi Ramayana atau Mahabarata, maka banyak orang menyebutnya sebagai carangan yang khusus mengkupas berbagai ceritera tolak balak. Yang menarik perhatian, relief tidak mencerminkan sebuah agama secara tegas. Justru yang dominan unsur-unsur mistik. Dari sini muncul dugaan bahwa saat pembangunannya kepercayaan animisme masih cukup kuat, di samping mulai dipengaruhi agama Hindu.

Kalaupun Candi Sukuh hingga sekarang masih diliputi misteri, beleh jadi senafas dengan keberadaannya yang disebut-sebut se*bagai tempat pemujaan leluhur, bukan tempat pemujaan dewa sebagaimana fungsi candi pada umumnya. Sebagai tempat pemujaan leluhur lewat upacara mistis, suasana terselimuti dengan rahasia dan keajaiban. Bentuk-bentuk fisik relief yang kaku.***-m
 
owh ini toh candi sukuh...
blom baca smuany kebanyakan...
hehhehehe
 
wow....... erotis bggt
mungkin arsitek nya dulu lagi ada ide iseng /heh
 
iy yah...
erotis memang...
untung d buatny jmn dolo...
klo dibuatny skrng...pazti lngsng di grebek sm FPI....
/an
 
Hmmm...porno nih org2 jaman dulu../gg
btw nice info.../no1
 
hmm nice info banyak banget ...
pdhal lompernah denger nama candi itu ... tp bagus bgt
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.