• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

VEGETARIAN menurut ajaran Buddha

singthung

IndoForum Junior E
No. Urut
7164
Sejak
21 Sep 2006
Pesan
1.634
Nilai reaksi
27
Poin
48
VEGETARIAN menurut ajaran Buddha


Ajaran Buddha sebenarnya tidak mengecam ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".

Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.

Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.

Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.

Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.

Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang Buddha.

Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.

Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.

Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:

Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).

Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.

Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."

Sang Bhuddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:

dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh; binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa; perintah untuk membunuh binatang itu; binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh; ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami." (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)

Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.

Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:

Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, munafik, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.

Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.

Yangon, Januari 2003
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Buddhism & Vegetarianism, Ven. Sayadaw U. Nandamala
Penyadur: Yulianti, B.Dh. (Diploma),
Penyunting: Handaka Vijjananda (Founding Chairman of Ehipassiko Foundation, Yangon).


 
Bung Singthung, judul yang lebih tepat adalah

Buddhism & Vegetarianism menurut Ven. Sayadaw U. Nandamala
 
Bung Singthung, judul yang lebih tepat adalah

Buddhism & Vegetarianism menurut Ven. Sayadaw U. Nandamala

Terima kasih atas masukan,namun dikarenakan ini sesuai dengan vinaya-vinaya dan sutta-sutta yang berdasarkan pada Kitab Suci Tipitaka,jadi bukan menurut pribadi masing-masing tetapi menurut Ajaran Sang Buddha.
 
thread yang bagus...
bye the way saya mau tanya.
apakah tindakan sang buddha(termasuk kita) yang tidak vegetarian,meskipun tidak membunuh (melanggar sila ke 3 pancasila buddhist) termasuk mendukung pembunuhan gak?karena selama masi ada konsumsi daging makan pembunuhan akan terus berlanjut.

ini pertanyaan titipan dari teman saya yang bukan buddhist

mari sharing & berbagi demi kemajuan dhamma

salam metta

^_^
 
thread yang bagus...
bye the way saya mau tanya.
apakah tindakan sang buddha(termasuk kita) yang tidak vegetarian,meskipun tidak membunuh (melanggar sila ke 3 pancasila buddhist) termasuk mendukung pembunuhan gak?karena selama masi ada konsumsi daging makan pembunuhan akan terus berlanjut.

ini pertanyaan titipan dari teman saya yang bukan buddhist

mari sharing & berbagi demi kemajuan dhamma

salam metta

^_^

Sila 3 adalah menghindari perbuatan asusila.
Sila 1 adalah menghindari pembunuhan.

Biarpun kita semua bervegetarin tetap saja ada pembunuh terhadap binatang-binatang(daging).Kita beli daging dipasar karena sudah tersedia disana kecuali kita sengaja pesan daging. kita boleh makan daging asal memenuhi 3 syarat seperti yang terdapat di Jivaka Sutta.
 
iya sila pertama..bukan ketiga
nice argumen..
thx kk singthung
ada lg ??

^_^
 
Halo.. numpang koment..
Sebenarnya tubuh manusia dan sistem pencernaannya itu cocok sebagai vegetarian (tidak makan daging), lihat saja orang yang tidak makan daging relativ lebih sehat dari pemakan daging.. ya seharusnya memang yang terpenting
untuk menjaga nafsu makan daging yang berlebihan, dan tidak membunuh (dengan sengaja) makhluk lain..
itu aja tengkyu..
 
thread yang bagus...
bye the way saya mau tanya.
apakah tindakan sang buddha(termasuk kita) yang tidak vegetarian,meskipun tidak membunuh (melanggar sila ke 3 pancasila buddhist) termasuk mendukung pembunuhan gak?karena selama masi ada konsumsi daging makan pembunuhan akan terus berlanjut.

ini pertanyaan titipan dari teman saya yang bukan buddhist

mari sharing & berbagi demi kemajuan dhamma

salam metta

^_^

coba pikir di indo hampir 80% bukan pemakan daging babi,tapi peredaran daging babi di indo sangat luas,jadi bukan semata-mata karena ada nya permintaan...toh, bisa saja para pebisnis melihat hal ini sebagai PELUANG.

perbanyak perbuatan baik saja,,hehehehe... kalo ada salah tolong d koreksi
 
Sila 3 adalah menghindari perbuatan asusila.
Sila 1 adalah menghindari pembunuhan.

Biarpun kita semua bervegetarin tetap saja ada pembunuh terhadap binatang-binatang(daging).Kita beli daging dipasar karena sudah tersedia disana kecuali kita sengaja pesan daging. kita boleh makan daging asal memenuhi 3 syarat seperti yang terdapat di Jivaka Sutta.

Bung Sinthung, saya ingin tanya...
Kalo kita makan daging itu kan sudah termasuk membunuh, coba saja kalau semua org bervegetarian, maka daging tidak akan laku dan mereka yg jualan daging pasti akan beralih ke jualan sayur, apa pendapat saya benar??
Kalou ingin benar2 menghindari membunuh yah dengan cara bervegetarian total :)

Salam kenal
 
Bung Sinthung, saya ingin tanya...
Kalo kita makan daging itu kan sudah termasuk membunuh, coba saja kalau semua org bervegetarian, maka daging tidak akan laku dan mereka yg jualan daging pasti akan beralih ke jualan sayur, apa pendapat saya benar??
Kalou ingin benar2 menghindari membunuh yah dengan cara bervegetarian total :)

Salam kenal

Asal memenuhi 3 syarat yang terdapat dalam Jivaka Sutta.Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis , Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:

1.Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2.Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3.Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Untuk bertahan hidup bukan untuk tujuan hidup.
silahkan lihat di thread Jivaka Sutta.

AMAGANDHA SUTTA
Bau Busuk



Arti spiritual dari 'ketidakmurnian'

Pertapa Tissa berkata kepada Buddha Kassapa:

1. Orang bajik yang makan padi-padian, buncis dan kacang-kacangan, dedaunan dan akar-akaran yang dapat dimakan, serta buah dari tanaman rambat apapun yang diperoleh dengan benar, tidak akan berbohong karena kesenangan indera.

2. O, Kassapa, engkau makan makanan apapun yang diberikan orang lain, yang disiapkan dengan baik, diatur dengan indah, bersih dan menarik; dia yang menikmati makanan seperti itu, yang terbuat dari nasi, berarti makan [daging yang membusuk, yang mengeluarkan] bau busuk.

3. O, brahmana, walaupun engkau mengatakan bahwa serangan bau busuk itu tidak berlaku bagimu sementara kamu makan nasi dengan unggas yang disiapkan dengan baik, tetapi aku bertanya padamu apa arti ini: seperti apa yang kau sebut bau busuk itu?

4. Buddha Kassapa: Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging.

5. Di dunia ini, para individu yang tidak terkendali dalam kesenangan indera, yang serakah terhadap yang manis-manis, yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak murni, yang memiliki pandangan nihilisme, yang jahat, yang sulit diikuti; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

6. Di dunia ini, mereka yang kasar, sombong, memfitnah, berkhianat, tidak ramah, sangat egois, pelit, dan tidak memberi apapun kepada siapa pun, inilah bau busuk . Bukan makan daging.

7. Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

8. Mereka yang memiliki moral yang buruk, menolak membayar utang, suka memfitnah, tidak jujur dalam usaha mereka, suka berpura-pura, mereka yang di dunia ini menjadi orang yang teramat keji dan melakukan hal-hal salah seperti itu; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

9. Mereka yang di dunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

10. Mereka yang menyerang makhluk hidup karena keserakahan atau rasa permusuhan dan selalu cenderung jahat, akan menuju ke kegelapan setelah kematian dan jatuh terpuruk ke dalam alam-alam yang menyedihkan; inilah bau busuk . Bukan makan daging.

11. Menjauhkan diri dari ikan dan daging, bugil, mencukur kepala, berambut gembel, melumuri diri dengan abu, memakai kulit rusa yang kasar, menjaga api kurban; tak satu pun dari berbagai penebusan dosa di dunia yang dilakukan untuk tujuan yang tidak sehat --termasuk jampi-jampi, persembahan keagamaan, pemberian korban maupun puasa musiman-- akan menyucikan seseorang yang belum mengatasi keragu-raguannya.

12. Dia yang hidup dengan indera yang terjaga dan terkendali, serta telah mantap di dalam Dhamma, akan bergembira dengan kehidupan yang lurus dan lemah-lembut; yang sudah melampaui kemelekatan dan mengatasi kesengsaraan; orang bijaksana itu tidak melekat pada apa yang dilihat dan didengar.

13. Demikianlah Buddha Kassapa mengkhotbahkan hal ini berulang-ulang. Pertapa yang pandai dalam syair-syair (Veda) itu memahaminya. Orang suci yang telah terbebas dari kekotoran batin, tidak melekat dan sulit diikuti, menyampaikan (khotbah) ini dalam bait-bait yang indah.

14. Maka, setelah mendengarkan kata-kata indah yang mengakhiri semua penderitaan, yang diucapkan oleh Sang Buddha yang telah terbebas dari kekotoran batin, dia memuja Sang Tathagata dengan segala kerendahan hati dan memohon untuk diterima masuk ke dalam Sangha di tempat itu juga.




 
@sinthung..

tolong dong dijelasin latar belakang Amagandha sutta..
Mengapa sampai se'orang' Buddha perlu menjelaskan seperti itu. apa konteks-nya waktu itu.
sehingga kita bisa juga tau apa sutta tersebut pantes dan boleh dipakai untuk menjawab urusan yang kita hadapi sekarang??

trim's
 
@sinthung..

tolong dong dijelasin latar belakang Amagandha sutta..
Mengapa sampai se'orang' Buddha perlu menjelaskan seperti itu. apa konteks-nya waktu itu.
sehingga kita bisa juga tau apa sutta tersebut pantes dan boleh dipakai untuk menjawab urusan yang kita hadapi sekarang??

trim's

kan sudah dijelaskan diatas

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:
1. Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
2. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
3. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
4. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, ---censored---, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
5. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.


Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.
 
Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

saya setuju sekali dengan kalimat ini, karna bukan dengan makan lantas kita menjadi org bermoral dan suci, akan tetapi semua tergantung dari pikiran kita sebagai pemimpin,pelopor dsbnya
 
saya merasa, tentu saja hanya merasa bahwa jawaban se'orang' Buddha seperti dalam sutta ini hanya bisa terjadi bila si penanya bertanya dengan nada yang memprovokasi. Itulah sebabnya sutta ini sangat berkesan defence.
 
saya kira tidak seperti itu, buat apa seorang buddha menjawab secara defensif terhadap ajaran yang dimana dia sendiri juga tidak memaksakan orang untuk mengikutinya, seperti pada cerita Upali dimana beliau adalah salah satu penganut brahmanaisme dan datang untuk berdebat dengan sang Buddha lalu merasa apa yang diberikan oleh Sang buddha lebih bermakna maka beliau memutuskan untuk bergabung dengan komunitas sangha namun awalnya sang buddha menolak dan memintanya berpikir kembali.

nah buat apa buddha harus memberikan jawaban yang defensif jika kalau memang hal itu tidak berguna.

che pei
 
(Sabda Sang Buddha) Lankavatara Sutra : "Jangan memakan daging. Memakan daging akan membiasakan manusia membunuh makhluk hidup. Keserakahan, kebencian dan kebodohan akan berkembang marak dalam batinnya. Kalian tidak dapat melenyapkan keserakahan bila makan daging. Bagi yang memakannya akan menciptakan dosa karma buruk yang tak terhingga."

Dalam Lankavatara Sutra, Sang Buddha bersabda : "Tak ada daging yang murni bebas dari tiga syarat : Tanpa disediakan, tanpa diminta, dan tanpa dipaksakan. Karena itu, hindarilah makan daging!"

Lankavatara sutra : Sang Buddha bersabda :"Demi dorongan cinta kasih sejati seorang Bodhisatva akan menjauhi makanan daging yang dilahirkan dari cairan mani dan darah. Seorang Bodhisatva yang mendisiplinkan dirinya membabarkan welas asih tidak akan menimbulkan ketakutan bagi makhluk lain. Karenanya dia akan menampik daging."

Maha Parinirvana Sutra :
Mahakasyapa bertanya kepada Sang Buddha :"Mengapa daging tidak boleh dimakan?"
"Sebab, makan daging memutuskan benih Cinta Kasih.", jawab Sang Buddha.

Kemudian ditanya lagi, "Mengapa dulu kami mendengar ada 3 syarat daging yang boleh dimakan?"
Sang Buddha kemudian bersabda :"Semua syarat itu hanya untuk sarana latihan agar orang berangsur-angsur melepaskan makanan daging. Mahakasyapa, mulai sekarang aku perintahkan bahwa para siswaku tidak boleh makan segala jenis daging makhluk hidup."

Dalam pandangan saya, meskipun tidak melihat pembunuhan, mendengar ataupun mengetahui pembunuhan hewan dari daging yg dibeli, tetapi bagi yang memiliki hati cinta kasih sejati, seperti seorang Buddha misalnya, maka seharusnya Dia sudah bisa merasakan hawa2 pembunuhan, penyiksaan, dendam, gelisah dll ketika melihat atau menyentuh daging tsb, yang mana akan timbul rasa kasihan dalam hatinya dan tidak akan tega memakannya.
Sekedar pendapat saya.

Salam kasih
 
(Sabda Sang Buddha) Lankavatara Sutra : "Jangan memakan daging. Memakan daging akan membiasakan manusia membunuh makhluk hidup. Keserakahan, kebencian dan kebodohan akan berkembang marak dalam batinnya. Kalian tidak dapat melenyapkan keserakahan bila makan daging. Bagi yang memakannya akan menciptakan dosa karma buruk yang tak terhingga."

Dalam Lankavatara Sutra, Sang Buddha bersabda : "Tak ada daging yang murni bebas dari tiga syarat : Tanpa disediakan, tanpa diminta, dan tanpa dipaksakan. Karena itu, hindarilah makan daging!"

Lankavatara sutra : Sang Buddha bersabda :"Demi dorongan cinta kasih sejati seorang Bodhisatva akan menjauhi makanan daging yang dilahirkan dari cairan mani dan darah. Seorang Bodhisatva yang mendisiplinkan dirinya membabarkan welas asih tidak akan menimbulkan ketakutan bagi makhluk lain. Karenanya dia akan menampik daging."

Maha Parinirvana Sutra :
Mahakasyapa bertanya kepada Sang Buddha :"Mengapa daging tidak boleh dimakan?"
"Sebab, makan daging memutuskan benih Cinta Kasih.", jawab Sang Buddha.

Kemudian ditanya lagi, "Mengapa dulu kami mendengar ada 3 syarat daging yang boleh dimakan?"
Sang Buddha kemudian bersabda :"Semua syarat itu hanya untuk sarana latihan agar orang berangsur-angsur melepaskan makanan daging. Mahakasyapa, mulai sekarang aku perintahkan bahwa para siswaku tidak boleh makan segala jenis daging makhluk hidup."

Dalam pandangan saya, meskipun tidak melihat pembunuhan, mendengar ataupun mengetahui pembunuhan hewan dari daging yg dibeli, tetapi bagi yang memiliki hati cinta kasih sejati, seperti seorang Buddha misalnya, maka seharusnya Dia sudah bisa merasakan hawa2 pembunuhan, penyiksaan, dendam, gelisah dll ketika melihat atau menyentuh daging tsb, yang mana akan timbul rasa kasihan dalam hatinya dan tidak akan tega memakannya.
Sekedar pendapat saya.

Salam kasih

Vegetarian tidak pernah dianjurkan oleh Sang Buddha.
“"Para Bhikkhu, saya mengijinkan kamu untuk memakan ikan dan daging yang murni dalam tiga hal yaitu : jika mereka tidak terlihat, terdengar atau dicurigai telah dibunuh untuk Bhikkhu"Vinaya Pitaka (Mahâvagga, VI, 31-2; the conversion of General Siha)

Coba perhatikan yang di bold. Jika kita membeli daging dipasar apakah kita melihat hewan itu dibunuh untuk kita atau tidak ? jika ya maka kita tidak diperkenankan untuk memakannya. Berbeda jika kita tidak melihat, mendengar, curiga. Coba kita tanya tukang daging di pasar apakah daging yang ia jual khusus untuk kita? Jawabannya tentu saja tidak. Kecuali kalau kita ke pasar dan ke tukang ayam yang masih hidup dan kita minta: “bang saya mau ayam yang pahanya montok”, kemudian tukang ayam tersebut membunuhnya, barulah kita ikut terlibat dalam pembunuhan.
Jadi bedakan antara daging ayam yang sudah mati dengan ayam hidup, dan juga lihat proses keterlibatan kita di dalamnya.

Mengenai Lankavatara Sutra atau nama lengkapnya Saddharma-Lankavatara-Sutra. Konon isi sutra ini adalah kotbah Sang Buddha ketika Ia secara mistis datang ke negara Lanka (Sri Lanka). Meskipun konon dikatakan sebagai kotbah yang dibabarkan oleh Sang Buddha namun para ahli sepakat bahwa sutra ini tidak lain adalah literatur yang baru selesai disusun pada sekitar tahun 350 s/d 400 Masehi. Dan menurut H. Nakamura (Indian Buddhism, 1987), terdapat beragam versi dari Lankavatara Sutra. Lankavatara Sutra ada 2 versi, versi panjang dan versi pendek. Mengenai vegetarian hanya ada pada versi panjang. Lalu mana yang “asli”? Menurut para ahli termasuk Master Zen D.T. Suzuki (“The Lankavatara Sutra - A Mahayana Text, 1931), Bab mengenai vegetarian bukanlah perkataan autentik dari Sang Buddha, tetapi merupakan penambahan oleh seseorang. Jadi sebenarnya tidak ada mengenai vegetarian dalam Lankavatara Sutra versi aslinya.

Mengenai kisah mengharukan tentang bervegetarian ini hanyalah bersifat kasus-perkasus tidak selalu terjadi pada semua orang.
Kalau kita cari kebijaksanaan orang-orang dulu dari kisah masa lampau yang tertera dalam relief salah satu candi di Indonesia, kita akan menemukan relief yang menceritakan tentang Gagang Aking dan Bubuksah. Sebuah kita yang menekankan bahwa tidaklah penting apa yang dimakan tetapi apa yang diperbuat.

Jadi silahkan saja yang mau vege ya vege, jika tidak ya tidak masalah. Ini adalah jalan tengah dari polemik yang tidak ada habis-habisnya ini.
 
Salam Damai untuk dunia.. agama gua islam...dulu waktu kuliah gua bertekad untuk tidak makan2 makanan bernyawa termasuk telur. dulu hampir tiga bulan gua jadi vegetarian...tapi gak tahu kenapa yah kayanya ada yang hilang dan berkurang dalam diri gua....badan gua kayanya lesu ...terus kalau buat mikir kayanya jadi lambat...? akhirnya gua tiba pada satu kesimpulan "mungkin"karena badan gua ini biasa terima Proteiin daging dan masih butuh protein daging karena kebutuhan aktivitas gua yang tinggi....akhirnya gua nyerah...dan gua makan lagi daging..."salah gak sih kesimpulan gua? karena jujur aja gua punya keterbatasan informasi ttg bagaimana menganti makanan agar tetap memenuhi kebutuhan gizi gua....terutama penganti protein daging...ada solusi gak buat gua...kalau ada PM gua yah....karena gua jarang main keforum agama budha....
 
Salam Damai untuk dunia.. agama gua islam...dulu waktu kuliah gua bertekad untuk tidak makan2 makanan bernyawa termasuk telur. dulu hampir tiga bulan gua jadi vegetarian...tapi gak tahu kenapa yah kayanya ada yang hilang dan berkurang dalam diri gua....badan gua kayanya lesu ...terus kalau buat mikir kayanya jadi lambat...? akhirnya gua tiba pada satu kesimpulan "mungkin"karena badan gua ini biasa terima Proteiin daging dan masih butuh protein daging karena kebutuhan aktivitas gua yang tinggi....akhirnya gua nyerah...dan gua makan lagi daging..."salah gak sih kesimpulan gua? karena jujur aja gua punya keterbatasan informasi ttg bagaimana menganti makanan agar tetap memenuhi kebutuhan gizi gua....terutama penganti protein daging...ada solusi gak buat gua...kalau ada PM gua yah....karena gua jarang main keforum agama budha....

Sekarang kan banyak produk-produk protein dari nabati alami.
 

Sekarang kan banyak produk-produk protein dari nabati alami.

kalau itu gua juga tahu misalnya tempe juga bisa dijadikan penganti daging...tapi takarannya seberapa untuk bisa menyamai protein gading..karena sepertinya susah jadi vegetarian dengan pola hidup dijaman seperti ini.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.