• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Travelling

roughtorer

IndoForum Senior A
No. Urut
44416
Sejak
24 Mei 2008
Pesan
6.755
Nilai reaksi
174
Poin
63
Solo Tambah Objek Wisata Batik​

Jumat, 22 Agustus 2008 | 11:13 WIB

SOLO, JUMAT - Kota Solo menambah lagi objek wisata batik yang terbuka untuk masyarakat umum. Di Jalan Slamet Riyadi, dengan luas sekitar 1,5 hektar, ada House of Danar Hadi (HDH) yang menempati bangunan bekas Ndalem Wuryaningratan. Pangeran Haryo Wuryaningrat pemilik bangunan tersebut adalah menantu Pakubuwono X.

Di masa hidupnya Pangeran Haryo aktif dalam pergerakan Budi Oetomo, seangkatan dengan Dr Wahidin Sudiro Husodo, Cipto Mangun Kusumo dan lain-lain. Sejak 1987 bangunan ini dibeli oleh pengusaha Batik Danar Hadi, Santosa Doellah.

HDH terdiri dari enam ruangan dengan konsep one stop of batik adventure yaitu Museum Batik Kuno Danar Hadi, Workshop Batik Tradisional, Show Room Batik Danar Hadi, Ndalem Wuryaningratan, Sasana Mangunsuka, serta Kafe dan Toko Souvenir. "Saya berharap HDH bisa mendukung pariwisata Solo," kata Santosa Doellah di Solo, Jumat (22/8).

Menurut rencana, sore nanti, Menbudpar Jero Wacik akan meresmikan HDH. Tempat ini dibuka mulai Senin-Minggu pukul 09.00 - 16.00 wib. Tiket masuknya Rp15.000 untuk orang dewasa dan Rp7.500 untuk pelajar dan mahasiswa .

Pusat wisata sekaligus belanja batik di Solo selain di HDH adalah Pasar Klewer yang letaknya tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Solo Balapan. Berikutnya adalah Kampung Batik Laweyan di Kawasan Laweyan, Kota Solo.


Turis Asing Banyak Mengeluh Soal Yogyakarta

CENTER]


Jumat, 22 Agustus 2008 | 21:18 WIB

YOGYAKARTA, JUMAT - Predikat Yogyakarta sebagai daerah wisata belum dipercaya wisatawan mancanegara. Kebersihan toilet, kenyamaan di jalan, perilaku membuang sampah, hingga membayar retribusi ke obyek wisata, ternyata dperhatikan benar oleh wisatawan asing. Hal ini menjadi intisari Dialog Tantangan Dunia Pariwisata, Jumat (22/8) di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

"Yogya kalah ketimbang Bali dalam kenyamanan di jalan. Di Bali, saya tidak menjumpai ada pengamen dan peminta-minta terlihat di perempatan jalan. Tapi coba lihat Yogya," ujar Marsono, Ketua Program Studi Kepariwisataan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Hotel yang selalu berhubungan dengan luar negeri, menurut E-comerce Officer Hotel Melia, M Akhirudin, sering mendapat kiriman via internet. Garis besarnya berisi keluhan kebersihan dan kenyamanan di Yogya, seperti toilet di kampung dan tempat wisata atau publik.

Wisatawan asing sangat tersiksa ketika mendapati toilet yang kotor dan bau. Padahal, banyak toilet stasiun, terminal, dan tempat wisata y ang begitu kondisinya. Karena tersiksa, mereka sering memilih batal ke kamar kecil. Tambah malas karena juga jalanan banyak sampah.

Karakter sumber daya manusia (SDM) di tempat wisata juga selalu dikeluhkan. "Teman saya, seorang pemandu wisata sering kesal karena turis asing yang dipandunya kecewa saat membayar retribusi. Sebabnya sepele, petugas loket tidak memberi uang kembalian yang Rp1.000. Bukan nilai uang yang dipermasalahkan, tapi karakter SDM itu," ujar Akhirudin.

Yuhastina Sinaro, Humas BKPBM mengatakan, kultur masyarakat yang senang nuthuk (meninggikan) harga jualan. Di Maliboro, misalnya, kalau turis asing tak bisa berbahasa Jawa, bisa menjadi korban. Kondisi seperti ini lambat laun jelas menjadi bumerang bagi pariwisata.
 
Kecombrang

090418p.jpg


090518p.jpg


090627p.jpg

Di Medan, belum lama ini, saya mendapat kejutan menyenangkan lagi. Ini membuat saya semakin yakin bahwa Medan adalah salah satu kota di Indonesia dengan tradisi kuliner yang luar biasa. Perpaduan antara tradisi kuliner Melayu, Jawa, Tionghoa, Arab, dan India menjadikan kota ini sebagai belanga pemadu yang sungguh seronok.

“M&R” adalah sebuah restoran yang relatif baru, berlokasi di Jalan Taruma – sebuah kawasan yang juga dikenal sebagai Kampung Keling, Kampung Sendiri, atau Kampung Madras. Memasuki restoran kecil ini, saya seperti mengalami deja vu. Ini di Medan atau di Malaka, sih? Tempatnya ditata secara minimalis dengan perabotan Tionghoa peranakan.

Menunya pun menampilkan berbagai masakan Tionghoa maupun masakan fusion Tionghoa-Melayu yang dikenal dengan sebutan masakan peranakan atau nonya foods. Genre masakan ini populer di Malaka dan Penang di Malaysia, serta juga di Singapura.

Saya langsung tertarik pada satu menu yang dicantumkan dengan nama “gurame kencong”. Bunga kencong atau kincung di Sumatra Utara adalah sebutan untuk bunga kecombrang di Jawa. Orang Sunda menyebutnya honje. Di Bali disebut bongkot. Di Malaysia, bunga yang sama disebut bunga kantan. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tanamannya memang mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda.

Bunga kecombrang banyak dipakai dalam berbagai masakan Nusantara. Di beberapa tempat, buah kecombrang yang mirip nenas juga dipakai sebagai asam. Di Tatar Sunda, banyak yang memakai buah kecombrang untuk membuat sayur asam. Di Kebumen saya juga selalu melihat bunga dan buah kecombrang dijual di pasar. Di Sumatra Utara, buah kecombrang disebut asam tikala.

Di “M&R”, gurame kencong inilah yang mengejutkan saya. Penampilannya sederhana, namun citarasanya jauh melebihi apa yang tampak. What you get is much more than what you see. Guramenya digoreng utuh. Di atas gurame goreng ini disiramkan saus asam pedas yang dibuat dari rajangan cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan bunga kecombrang. Rasanya? Mak nyuss! Sulit menggambarkan sensasi rasa yang merekah di dalam rongga mulut ketika menyantapnya.

Harus saya akui, bunga kecombrang seringkali memberi efek kejut yang menyenangkan bagi saya.

Belum lama ini, di Baturraden, dekat Purwokerto, saya makan di sebuah rumah yang dioperasikan sebagai warung tanpa nama. Hidangan andalan di rumah ini adalah ayam goreng dadak. Artinya, ayam kampung yang sudah diungkep (direbus dalam bumbu) sampai empuk, lalu digoreng bila ada tamu yang memesan.

Ayam gorengnya enak. Tetapi, lauk-pauk pendampingnya yang enak lebih menggetarkan saya. Salah satunya adalah tempe yang terbuat dari kedelai kuning dan kedelai hitam, dan dibiarkan terus berproses setelah fermentasinya selesai. Orang Jawa menyebutnya sebagai tempe semangit alias setengah busuk. Bahkan pete gorengnya pun istimewa. Ada juga tumis daun pakis. Sebagai penyuka pakis atau paku, sayur ini tentu saja tidak akan saya lewatkan. Maka, saya pun langsung terkejut. Ternyata, pakisnya ditumis dengan berbagai bumbu, salah satunya adalah rajangan halus bunga kecombrang. Sungguh, sangat mengesankan!

Bunga kecombrang memang disukai warga Sumatra Utara – baik dari puak Melayu maupun Tapanuli. Di provinsi ini ada satu jenis sayur yang hampir selalu dapat ditemukan di semua warung dan rumah makan, yaitu: sayur daun ubi tumbuk. Sayur ini dibuat dari daun singkong yang ditumbuk, dimasak dengan sedikit santan, dengan bumbu bunga kincung. Selain daun singkong, juga diisi dengan rimbang atau cempokak yang membuatnya semakin menggigit. Kadang-kadang juga dicampur dengan sedikit teri nasi. Sayur sederhana ini sangat cocok untuk mendampingi hampir semua jenis lauk-pauk yang populer di sana. Di kalangan orang Tapanuli yang menyukai babi panggang, sayur ubi tumbuk dipercaya sebagai penetral kolesterol.

Masih banyak lagi masakan di Sumatra Utara yang menggunakan bunga kincung sebagai bumbu. Anyang, misalnya, sejenis urap sayur dengan parutan kelapa yang disangrai dengan bumbu, juga sering memakai bunga kincung. Rajangan halus bunga kincung pada umumnya memberikan aroma harum dan rasa asam yang sangat cantik.

Kebetulan atau tidak, masyarakat Penang (Malaysia) yang letaknya tepat di sebelah Timur Medan tetapi dipisahkan oleh Selat Malaka, juga penyuka bunga kecombrang. Sajian populer Penang yang disebut asam laksa dibuat dengan bunga kecombrang yang mereka sebut bunga kantan. Orang-orang Peranakan di Malaysia juga menyebutnya sebagai bunga siantan. Kuah asam laksa dibuat dari ikan sardin yang dimasak sampai hancur. Bunga kantan sebagai campuran masakan berfungsi untuk menetralkan aroma amis dari sardin, sekaligus memberi hint rasa asam yang pas. Ada pula yang menegaskan rasa asamnya dengan menambahkan nenas.

Di Penang juga ada sajian sederhana bernama kerabu beehoon. Ini adalah mihun kukus berbumbu asam pedas dari cabe, bawang merah, dan bunga kantan. Diberi taburan kacang tanah tumbuk, dan beberapa lembar daun mint. Terbayang ‘kan harum dan keindahan rasanya?

Pernahkah Anda mendapat seporsi nasi lemak yang diberi topping rajangan halus bunga kantan? Saya pernah mendapatkannya di sebuah rumah makan peranakan di Malaka. Harum santan berbaur dengan harum bunga kantan dan daun kemangi. Alamaaak!

Dalam masakan Thailand pun saya lihat bunga kecombrang sering digunakan. Di Thailand, bunga kecombrang disebut kaalaa. Dirajang halus, kaalaa sering dicampur dengan rajangan halus cabe rawit dalam nam prik – saus ikan yang banyak dipakai sebagai cocolan. Juga di Vietnam, bunga kecombrang jamak dipakai dalam saus serupa. Di pasar-pasar di Thailand dan Vietnam, saya sering melihat bunga kecombrang segar dijual dalam ikatan besar. Di India, bunga kecombrang juga disebut dengan nama kaalaa. Sedangkan di China, namanya adalah hung geongfa.

Di Bali, bongkot (sebutan mereka untuk bunga kecombrang) juga populer dipergunakan dalam masakan. Sambal matah menjadi lebih nendang bila dicampur dengan irisan bongkot. Harum bongkot meredam aroma trasi secara efektif dan memberi rasa asam yang lebih lembut dibanding jeruk nipis atau bawang merah.

Di halaman belakang rumah kami, selalu ada bunga kecombrang yang siap dipetik untuk membuat sambal matah kapan saja diperlukan. Saya pikir, kecombrang perlu lebih dimasyarakatkan manfaatnya. Selain bunganya yang telah mekar sangat indah untuk menjadi hiasan meja, bunganya yang masih kuncup juga sangat cocok sebagai bahan masakan. Banyak masakan tradisional yang dapat ditingkatkan mutunya dengan menambahkan sedikit irisan bunga kecombrang di dalamnya. :):D
 
Medan, Surga Kuliner

190031p.jpg


190152p.jpg


190330p.jpg

Ketika minggu yang lalu kami berada di Medan untuk pengambilan gambar “Wisata Kuliner” TransTV, saya tertawa ketika mengetahui Camelia, produser program ini, ternyata sudah menyiapkan program pribadi selama di Medan. Dalam kategori wajib termasuk sarapan soto udang di Jalan Kesawan, makan siang di RM “Jemadi”, dan nongkrong di Merdeka Walk. Dalam kategori harus, daftarnya semakin panjang.

Medan, tak pelak lagi, memang surga kuliner. Pengakuan ini tidak saja diberikan oleh warga Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Orang-orang Penang (Malaysia) dan Singapura banyak yang mengaku suka makanan Medan. Sebaliknya, seolah-olah memang harus terjadi imbal-balik (reciprocity), orang Medan pun menyukai makanan Penang dan Singapura.

Menjelang akhir tahun lalu, saya diundang menjadi juri lomba penulisan review kuliner di sebuah tabloid populer Medan, Aplaus. Kesan saya setelah membaca tulisan-tulisan peserta lomba, orang-orang Medan sendiri ternyata tidak cukup memiliki pengetahuan yang lengkap dan menyeluruh tentang kekayaan kuliner yang menjadi kekuatan daya tarik pariwisata Medan.

Medan memiliki keunikan lebih – antara lain – karena adanya pemengaruhan dari kultur kuliner India dan Tionghoa terhadap kuliner Melayu yang kaya dan unik. Sayangnya, sama dengan masakan Betawi yang kian terpinggirkan di Jakarta, masakan Melayu pun agaknya kurang mendapat platform yang pantas dan terhormat di Medan.

Untungnya ada RM “Serai Wangi” yang menyajikan masakan Melayu setiap hari. Masakan khas Melayu-Deli yang perlu dicicipi adalah bubur pedas yang dibuat dari sekurang-kurangnya 44 macam bahan dan bumbu. Juga anyang – masakan seperti urap di Jawa. Sayurnya jantung pisang, pakis, dan tauge. Sambal serainya sangat gurih, karena diisi udang basah dan udang kering, dengan kelapa bakar yang ditumbuk. Anyang kesukaan saya adalah yang dicampur dengan ikan pari bakar. Heavenly!

Jangan lupa memesan sambal janmuk (janda mengamuk), yaitu sambal terasi yang ditumis dengan jengkol, buncis, dan pare. Ada juga sambal raja berangkat (nama lainnya adalah sambal kerak kelapa) yang dibuat dari kelapa panggang kemudian ditumbuk dengan berbagai bumbu, dimakan dengan lalapan. Gulai masam ikan senangin-nya sangat bagus. Terasa berlemak, padahal tanpa santan, dengan tone rasa kincung (kecombrang) yang memesona.

Saya khawatir sudah tidak banyak lagi orang Medan yang kenal kue harum legit yang disebut tepung banda. Dessert yang memukau ini juga sering disebut bolu kamboja. Sebuah penamaan yang sebetulnya justru keliru karena kue ini jauh lebih lezat dibanding bolu.

Setiap kali berkunjung ke Medan, hampir tidak pernah saya sarapan di hotel, sekalipun sudah tersedia sarapan gratis yang termasuk dalam tarif sewa kamar. Siapa sih yang mau menukar kelezatan semangkuk Soto Medan dengan scrambled egg with toast sajian default di hotel-hotel?

Sudahlah, kita tidak perlu bergaduh untuk menetapkan mana Soto Medan yang paling juara di kota ini. Tapi, kesukaan saya adalah yang di Jalan Sungai Deli. Kelezatan kuah sotonya dan keempukan dagingnya sangat dipujikan. Tetapi, adalah rempeyek udangnya yang membuat saya memilih tempat ini sebagai favorit. Ada lagi Soto Udang di Jl. Kesawan (A. Yani) yang tidak boleh dilewatkan. Pemiliknya adalah orang Jawa. Soto udangnya dahsyat! Tiada dua!

Tempat sarapan favorit lainnya adalah RM “Tabona”. Dari pagi diantre orang. Jualannya adalah kari ayam dan kari lembu (sapi). Bisa dimakan dengan nasi atau bihun. Jangan coba-coba ke sana kalau tidak mau ketagihan!

Di kawasan Glugur ada kedai yang sangat populer dengan jualan Sop Sumsum khas Langsa. Sopnya encer dan segar – membuat kita merasa kurang bersalah. Padahal, isinya sungguh berlemak! Tulang kaki sapi dengan sumsum di dalamnya. Sumsum sapi lebih mudah menjadi encer ketika dipanaskan, sehingga dapat dihirup dengan sedotan minuman. Sluuuurrrrp!

Di kawasan Titi Bobrok juga ada jualan serupa, tetapi dari kerbau. Selain sop dan sop sumsum, juga tersedia daging kerbau panggang. Wuah, pada jam makan siang yang antre sampai melimpah ke luar warung. Ada juga warung yang buka sore hari dan menjual sop kepala kambing utuh.

RM “Jemadi” di Glugur adalah sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Melayu dengan sentuhan Jawa. Hidangan andalannya adalah udang goreng yang besar-besar (udang laut maupun udang galah dari sungai), dan gulai kepala ikan yang lebih soft dibanding gagrak Aceh dan Melayu. Gulai kepala ikannya bernuansa segar karena dibumbui asam glugur dan daun jeruk. Tersedia pula berbagai masakan Jawa dengan citarasa yang otentik.

Jangan lupa bahwa Medan juga merupan kota tempat bermukim banyak sekali orang-orang Tapanuli dengan tradisi kuliner yang tidak kalah dahsyat. Kuliner Tapanuli tersaji dalam dua segregasi utama, yaitu: halal dan non-halal (mengandung babi, dan kadang-kadang juga anjing)

Gagrak masakan Tapanuli Selatan (halal) di Medan diwakili oleh dua rumah makan terkenal, yaitu RM “Padang Sidempuan” dan RM “Nasrul Sibolga” di Jalan Sisingamangaraja. Yang disebut terakhir juga mengkhususkan pada masakan Tapanuli Selatan gaya pesisir. Hidangan khasnya adalah gulai ikan salai (ikan lele asap), pale (pepes) isi teri dan daun singkong, ikan geleng (ikan kembung cabut duri), dan daun ubi tumbuk (sayur daun singkong yang ditumbuk halus, dicampur rimbang). Selain kedua rumah makan itu, banyak lagi rumah makan Tapsel Madina (Tapanuli Selatan Mandailing Natal) yang masing-masing punya andalan khas.

Untuk versi non-halal, pilihannya cukup beragam – termasuk begitu banyak lapo yang menghidangkan BPK (Babi Panggang Karo). Saya terpaksa menampilkan favorit saya, yaitu RM “Siagian” di Jalan Darat. Tetapi, sejak beberapa bulan lalu, ada sebuah rumah makan baru bernama “Onma Tabo” – menyajikan masakan Tapanuli, tetapi pemilik dan jurumasaknya orang keturunan Tionghoa. Saksang ayam-nya mak nyuss!

Berbagai makanan Tionghoa yang saya sukai bukanlah dari kios-kios di sepanjang Jalan Semarang dan Jalan Selat Panjang, melainkan terpencar di berbagai sudut kota. Bihun bebek, misalnya. Saya kenal dua tempat favorit untuk makan bihun bebek. Yang pertama di daerah Kesawan, dikenal dengan nama Bakmi Kumango. Yang lain lagi, Bihun Bebek Asuk, beralamat di Jl. Gandhi. Juga Bakmi “Hock Seng” yang sudah saya tulis dua minggu yang lalu.

Bila malam hari tiba, salah satu tempat favorit untuk mencari makan adalah justru sepanjang Jalan Semarang dan Selat Panjang yang membuat kita srasa berada di Hong Kong atau Singapura. Kalau mau makan ringan, pesan saja tau kua he ci yang juga populer disebut lap choy. Tau kua adalah tahu kuning padat. He ci adalah rempeyek udang. Hidangan ini juga memakai kangkung, tauge, cumi-cumi, dan kepiting, disiram kuah asam manis.

Untuk Kwetiauw Medan yang terkenal, saya justru lebih suka versi halal yang disajikan oleh Akuang di Jalan Pagarruyung. Mengikuti pakem tradisional, kwetiauw (atau disebut juga sebagai mie tiauw) ini dimasak di atas tungku arang agar kering dan tidak lengket. Isinya udang dan bakso ikan dalam porsi yang generous. Char kway teow Penang lewat, dah!

Di “sektor” India, ada satu tempat kecil dan terpencil yang saya sukai untuk makan pagi, yaitu Warung Ibu Manu di Jalan Kangkung. Hidangannya adalah sarapan a la India dengan putumayam, putu, kue mangkok, dan thosai. Untuk makan siang atau makan malam a la India, di Jalan Teuku Cik Ditiro berbaris beberapa rumah makan yang menyediakan masakan autentik India Utara dan Selatan, vegetarian maupun non-vegetarian. Di Jalan Pagarruyung juga berbaris berbagai pedagang makanan India maupun peranakan India.

Spektrum oleh-oleh Medan pun sekarang telah bertambah kaya – tidak lagi terbatas pada Bika Ambon dan Sirup Markisa. Tentu Anda sudah kenal Bolu Gulung Meranti yang selalu diantre orang. Tetapi, bagaimana dengan Risoles Agogo dan lemper ketan hitamnya yang sunggut legit?

Di Medan, makan-makan memang tidak ada matinya. Mengutip kata-kata Jenderal McArthur, terhadap kota ini saya selalu berkata: I shall return!
 
Sentuhan Tionghoa pada Kuliner Lokal

103247p.JPG


103340p.JPG


103420p.JPG

Di Medan, belum lama ini saya mendapat kejutan menyenangkan dengan kehadiran sebuah rumah makan baru. Namanya dalam bahasa Tapanuli: “Onma Tabo”. Kurang lebih artinya: ini lezat!

Sudah dapat diduga, rumah makan ini menyajikan masakan khas Tapanuli. Tetapi, ketika tiba di sana, saya dapati di langit-langit rumah makan yang cukup luas ini bergantungan banyak lampion merah seperti layaknya yang kita temukan di restoran-restoran Tionghoa.

Ternyata, rumah makan ini memang dicerminkan oleh nama dan lampion itu. Masakannya khas Tapanuli, pemilik dan jurumasaknya adalah orang keturunan Tionghoa. Sangat boleh jadi, ini adalah satu-satunya restoran yang seperti itu. Mudah-mudahan akan muncul lainnya.

Saya mulai mengenal kuliner Tapanuli pada awal tahun 1980-an dari teman saya Ben Nahot Marbun. Lapo favoritnya adalah “Dalian Natolu” yang awalnya berlokasi di dekat bundaran Pancoran. Rumah makan ini berpindah-pindah tempat beberapa kali karena pembangunan Jakarta yang begitu pesat, sebelum kemudian lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Beberapa tahun setelah “Dalian Natolu” hilang, muncullah “Lapo Ni Tondongta” yang kini sudah punya beberapa cabang di Jakarta.

Ketika pertama kali muncul, pelanggan “Lapo Ni Tondongta” kebanyakan adalah orang-orang Tapanuli saja. Tetapi, lama kelamaan mulai tampak hadirnya pelanggan dari suku-suku lain – khususnya kaum keturunan Tionghoa. Hal ini mengikuti kecenderungan serupa yang sudah terjadi sebelumnya di Medan. Lapo BPK (Babi Panggang Karo) yang berserakan di Medan dari dulu merupakan tempat makan favorit kaum keturunan Tionghoa pula.

Karena itu, menurut saya, munculnya lapo batak yang dimiliki orang Tionghoa seperti “Onma Tabo” ini sudah kesiangan alias terlambat. Kenapa tidak dari dulu-dulu? Bukankah sudah banyak rumah makan masakan Padang, Jawa, dan Sunda yang dimiliki kaum keturunan Tionghoa?

Yang lebih mengejutkan adalah bahwa kualitas masakan “Onma Tabo” sungguh-sungguh pantas diacungi jempol. Mungkin juga karena saya bukan orang asli Batak, maka selera saya lebih dapat memberi apresiasi pada masakan yang tidak orisinil. Saya belum tahu apa pendapat orang asli Batak terhadap kualitas masakan “Onma Tabo”.

Pesanan saya adalah saksang ayam dan beberapa jenis masakan lain. Saksang biasanya dibuat dari daging babi atau lomok-lomok (babi kecil, suckling pig). Saya tidak pernah mendengar sebelumnya bahwa ternyata ada saksang yang terbuat dari ayam. Jangan salah sangka, saksang tidak selalu harus dimasak dengan darah yang dalam bahasa Batak disebut gota (getah).

Wuih, rasa saksang ayamnya luar biasa. Terasa sangat berempah, namun seimbang. Di “Onma Tabo”, saksang ayamnya dapat dipesan dengan gota atau tanpa gota, karena semua masakan di rumah makan ini dimasak secara individual dan fresh setiap kali ada yang memesan. Citarasa andaliman-nya (bumbu khas Batak yang mirip merica, dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai Chinese pepper) muncul dengan indahnya dalam keseimbangan bersama bumbu-bumbu lainnya. Yang terpekik dari mulut saya ketika mencicipinya adalah: mak nyuss! Tak perlu diperdebatkan lagi!

Kepuasan mencicipi makanan “Onma Tabo” membuat saya tiba-tiba ingin singgah ke rumah makan “Pondok Krakatau” yang kebetulan letaknya tidak jauh dari situ. Sudah agak lama saya mendengar reputasi “Pondok Krakatau” yang baru buka sekitar dua tahun lalu dan selalu ramai diantre penggemar-penggemar fanatiknya.

“Pondok Krakatau” juga dimiliki orang keturunan Tionghoa dan menyajikan masakan Melayu-Minang. Hidangan andalan yang banyak dipesan adalah gulai kepala ikan. Tetapi, seperti biasa, saya justru tidak memesan hidangan populer itu. Sudah terlalu umum. Yang saya pesan adalah ayam lado mudo, yaitu ayam goreng yang ditaburi sambal dari cabe muda yang berwarna hijau. Saya pun segera terpukau dengan makanan sederhana ini. Dalam kesederhanaannya ia memunculkan citarasa yang sungguh kompleks.

Beberapa jenis hidangan lain dari “Pondok Krakatau” yang sempat saya cicipi juga menghadirkan citarasa yang sangat unggul. Dengan cepat para tamu rumah makan ini akan dapat menyimpulkan sendiri bahwa keunggulan “Pondok Krakatau” terletak pada pilihan bahan yang segar dan berkualitas, serta masakannya sendiri yang selalu segar. Mereka tidak memasak makanan dalam volume sangat banyak dan dijual sepanjang hari, melainkan memasak dalam batch kecil. Setiap kali hampir habis, mereka memasak lagi, sehingga terus-menerus fresh.

Di Medan juga ada rumah makan terkenal lain yang dimiliki orang keturunan Tionghoa dan menyajikan masakan Melayu-Minang dengan kualitas juara, yaitu Rumah Makan “Bintang” dengan bawal kukusnya yang legendaris. Ada lagi satu rumah makan seperti itu, tetapi dengan tekanan pada seafood, yaitu Rumah Makan “Waringin”. Di sini, salah satu sajian jagoannya adalah ikan pari goreng saus tauco.

RM “Daun Pisang” di Medan adalah contoh lain. Restoran milik orang keturunan Tionghoa yang menyajikan masakan Melayu-Minang ini lebih berciri masakan peranakan Melayu. Menu yang tidak boleh dilewatkan di sini adalah gulai bibir ikan. Bibir ikan banyak dipakai dalam menu Tionghoa, tetapi dalam versi gulai Melayu baru saya cicipi sekali itu. Bibir-bibir ikannya berinteraksi dengan lembut dan cantiknya di mulut kita. Sungguh-sungguh mak nyuss!

Ada satu rumah makan di Medan yang secara khusus ingin saya tampilkan di sini, yaitu RM “Tabona” yang hanya berdagang kari – kari ayam dan kari lembu (sapi). Karinya dapat dimakan dengan nasi atau dengan bihun. Wah, ini adalah satu menu sarapan yang dahsyat – sekalipun tetap cocok untuk disantap siang maupun malam hari. Setiap pagi rumah makan ini ramai dikunjungi pelanggannya. Menjelang sore sudah habis. Jangan heran, penjual nasi kari ini adalah keturunan Tionghoa. Di Glodok, Jakarta, ada “Kari Lam” yang sangat mirip kualitas “Tabona”.

Di Pontianak, hampir semua pedagang nasi kari juga orang Tionghoa. Nasi kari di Pontianak dijajakan dengan berbagai lauk lain, dan lebih encer dibanding kari “Tabona” di Medan. Sayangnya, di Pontianak sebagian besar pedagang nasi kari juga berjualan nasi campur yang mengandung babi, sehingga tidak dapat dikunjungi oleh kaum Muslim.

Tahun lalu saya pernah menulis berjudul “Papi Tiong” – Padang Tapi Tionghoa. Yaitu tentang rumah-rumah makan yang menyajikan masakan padang milik warga keturunan Tionghoa. Rumah-rumah makan yang saya sebut itu menyajikan masakan minang dengan citarasa yang sedikit diadaptasikan dan diperkaya dengan sentuhan Tionghoa, sehingga menciptakan nuansa yang khas pula.

Di Jawa juga banyak orang-orang Tionghoa yang berdagang masakan khas daerah. Selat Solo yang paling enak di Solo adalah dari kedai “Mekar Sari” di dekat Pasar Kembang, milik seorang keturunan Tionghoa. Jangan lupa, gudeg yang paling enak dan populer di Solo adalah dari RM “Adem Ayem” yang juga dimiliki orang keturunan Tionghoa. Lha wong penjual sate buntel paling terkenal di Solo juga keturunan Tionghoa, yaitu “Sate Tambaksegaran”.

Sekarang bahkan tampak pula kecenderungan baru kaum keturunan Tionghoa membuka rumah makan masakan Sunda dengan sentuhan yang khas pula. Jelas perbedaannya, namun jelas pula kepatuhannya dalam memegang “pakem” masakan Sunda, sehingga sajian-sajiannya tetap memenuhi syarat disebut masakan Sunda.

Di Manado, sejak lama hadir orang-orang keturunan Tionghoa yang berusaha di bidang masakan khas Minahasa. Cuma, di Manado orang-orang keturunan Tionghoa tampaknya tidak memberikan sentuhan khusus untuk melakukan semacam fusion yang menghasilkan kuliner tersendiri.

Kemampuan kuliner orang Tionghoa dan keturunan mereka memang tidak perlu diperdebatkan lagi. Penggabungan kekayaan kuliner Tionghoa dan kuliner lokal di Indonesia hanya akan menambah indahnya pelangi budaya kita.
 
Melihat Si Cantik Anggrek Hitam

101938p.jpg


SENDAWAR - Jika Anda melakukan perjalanan wisata ke Kalimantan Timur, jangan lupa sempatkan datang ke Cagar Alam Kersik Luway, Sekolaq Darat, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Cagar alam ini termasuk unik meski berada di perbukitan pedalaman Kalimantan Timur, karena yang kita lihat adalah hamparan pasir putih seperti layaknya di tepi laut.

Setiap pengunjung yang datang mengidolakan anggrek hitam (Coeloegyne pandurata). Lahan seluar 5.000 hektar itu pernah terbakar hingga nyaris punah. Sisa lahan yang selamat tidak lebih dari 45 hektar dengan beragam tanaman khas perbukitan Kaltim.

Toni Imang, Kabiro Binsos Kutai Barat, yang mendampingi Kompas.com dalam kunjungan ke lokasi itu beberapa waktu lalu mengajak keliling cagar alam. Meski tidak bisa mencapai seluruh lahan karena terburu gelap, beruntung Kompas.com masih bisa menyaksikan sisa-sisa anggrek hitam.

Kelelahan setelah tertatih-tatih di lahan berpasir akhirnya terobati setelah beberapa pucuk anggrek hitam ditemukan. "Ini memang belum musim mekar, jadi sedikit saja yang bisa kita lihat," kata Toni sambil menunjukkan beberapa tangkai anggrek hitam yang juga menjadi ikon di kabupaten Kutai Barat itu.

Memang agak sedikit susah untuk mencapai lokasi tumbuhnya anggrek hitam. Kita harus sering berjalan merunduk-runduk menyelinap di antara gelayutan akar-akar pohon. Meski di lokasi itu tidak ditemukan pepohonan dengan diameter besar, namun rimbunnya hutan cukup menantang bagi penggemar adventure.

Setelah keluar masuk hutan-hutan kecil, bisa ditemui sisa-sisa kebakaran berupa tetumbuhan perdu yang mulai tumbuh. Jika tidak terbakar, di sini inilah istananya anggrek hitam. Anggrek hitam memang bunga primadona dan hanya bisa berkembang di Kersik Luway. "Bagi yang belum melihat, dikiranya anggrek hitam itu berwarna hitam. Padahal kelopak bunganya putih kehijauan. Yang agak kehitaman hanyalah putik bunganya saja," kata Toni.

Mau ke sana? Perjalanan yang paling mudah melalui jalur udara. Bisa ditempuh dari Balikpapan atau Samarinda menggunakan penerbangan perintis. Setibanya di Bandara Melalan, Kutai Barat, Anda bisa mempergunakan jasa mobil sewaan atau ojek yang siap mengantar Anda. Soal harga sewa, jangan membayangkan seperti menyewa kendaraan di Jawa. Meski ongkos perjalanan akan terhitung mahal, namun kepuasan di Kersik Luway akan menjadi jaminan pengalaman hidup Anda sepanjang masa.
 
wah travelling ttg indonesia nih om....

skrg borobudur kayak apa sih??
pengen kesana nanti
 
Wisata Kuliner om...... Kenapa yah Cowok lebih gak bisa nahan lapar?....
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.