Rosetta
IndoForum Beginner C
- No. Urut
- 2047
- Sejak
- 10 Jun 2006
- Pesan
- 716
- Nilai reaksi
- 20
- Poin
- 18
”Bunda aku enggak mau sekolah, aku enggak suka sekolah!!!”
(Ilustrasi)
Hai bunda bagaimana perasaan bunda saat putra-putri kita berkata seperti itu, dibarengi dengan rengekan, menangis atau berguling-guling di teras sekolah? Pasti kita sebagai orang tua hati ini rasanya campur-campur kayak es campur, sedih, bingung, marah tapi tidak tahu harus bagaimana. Tidak tega melihat anak kita yang masih kecil harus bersekolah. Bunda, zaman kita dulu saat usia 3 tahun mana ada playgroup, apa itu playgroup? kita sedang asik -asiknya bermain dengan teman sebaya, main petak umpet, loncat karet, ibu2an, bebas tanpa orang tua kita menggiring kita ke sekolah atau menjejali dengan segala macam Les. Tetapi lain dulu, lain sekarang yah Bunda, kini telah menjadi keharusan menyekolahkan anak sedini mungkin, karena jika tidak maka akan tertinggal dengan teman-teman seusianya. Bisa kita lihat bersama playgroup tumbuh subur dimana-mana. Mulai dari tingkat kampung sampai elite, masyarakat sudah mengenal apa itu playgroup hingga kini berubah menjelma menjadi lifestyle.
Pengalaman yang sudah saya lihat dan rasakan, saat hari pertama menemani putri saya sekolah, yang baru berusia 3 tahun. Di sekolah saya menemukan anak-anak dengan perilaku penolakan terhadap sekolah (school refusal) menangis, berguling-guling di teras, berteriak (temper tantrum) minta pulang dan bahkan hanya mau sekolah jika ditemani mamanya atau baby sitternya masuk ke dalam ruang kelas. Puji Tuhan putri saya tidak demikian, tetapi lama kelamaan terlalu sering melihat temannya menangis seperti itu waduuhh..putri saya jadi ikutan menangis juga dan mencari-cari saya.
Bisa dipahami, memasuki masa sekolah pertama kali adalah saat-saat menegangkan bagi anak-anak, khususnya playgroup. Karena untuk pertama kalinya harus merasakan pengalaman berpisah sementara waktu dengan bundanya atau baby sitternya. Mereka mungkin saja tidak terbiasa menghadapi rutinitas sekolah dan merasa sangat lelah. Perubahan ini membuat anak-anak cemas, stres dan akhirnya merasa putus asa. Sekolah bagi anak adalah sebuah lingkungan baru, aneh, asing, menakutkan, membutuhkan waktu untuk penyesuaian diri hingga anak benar-benar merasakan nyaman dan aman berada di tempat itu. Dalam hitungan hari mungkin tak masalah, anak menunjukkan perilaku seperti itu, semua orang tuapun bisa memahaminya. Tetapi bagaimana jika kondisi itu berlanjut dari minggu ke minggu, bulan ke bulan sampai si anak memutuskan benar-benar tidak mau sekolah???
Teman saya memiliki putra yang sekelas dengan putri saya, sering mengeluh karena setiap hari adalah siksaan baginya, karena harus memaksa lebih dulu agar putranya mau berangkat ke sekolah. Di sekolah putra teman saya itu mendapat julukan “anak emas”, karena selalu minta ditunggui oleh baby sitter dan mamanya, praktis menuntut perhatian lebih dari guru pengajar. Tidak jarang, para guru harus berlarian ke luar pagar mengejar putra teman saya tadi yang melarikan diri sambil menangis mencari mamanya, mungkin saat itu sedang ada keperluan sehingga tidak bisa full menunggui putranya.
Bukankah sangat merepotkan Bunda? Kasihan si anak dan teman-teman lainnya menjadi terganggu dengan perilaku School refusal tersebut
Apa sih School Refusal itu Bunda??? Izinkan saya sedikit berbagi Psikologi Klinis yang sudah saya pelajari di bangku kuliah dulu. Bunda perilaku penolakan terhadap sekolah (school refusal) adalah perilaku yang ditunjukkan seorang anak ketika tidak mau pergi ke sekolah atau benar-benar menolak untuk pergi ke sekolah. Hal ini pasti sangat menyedihkan bagi orang tua dan maupun anak. Kita sebagai Bunda, biasanya disalahkan atas munculnya perilaku school refusal, dituding kurang telaten atau kurang pintar membujuk anak agar berminat sekolah.
Bunda, school refusal salah satu penyebabnya adalah kecemasan anak terhadap keterpisahan dengan objek lekatnya, seperti orang tua, baby sitter dan orang-orang yang memiliki kelekatan emosional dengan anak. Kecemasan ini biasanya bersifat irasional, berlebihan dan terjadi berulang. Kecemasan keterpisahan ini biasa disebut dengan istilah Separation Anxiety.
Separation Anxienty ini normal terjadi ketika anak berusia 3- 4 tahun. Apabila melewati usia tersebut, dan menetap hingga usia remaja maka anak akan menunjukkan perilaku abnormal dan bisa mengarah pada pobia sekolah.
Biasanya jika sudah parah, anak dengan school refusal menunjukkan gejala klinis seperti mendadak sakit kepala, demam, muntah atau sakit perut menjelang berangkat ke sekolah.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak perempuan dan laki-laki terhadap perilaku school refusal.
Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah timbulnya school refusal???
Bunda ada beberapa langkah yang menurut saya cukup efektif (manjur) untuk mencegah timbulnya school refusal pada anak. Langkah ini sudah saya bagikan kepada teman-teman saya yang akan menyekolahkan putra-putrinya usia datita (playgroup). Namun ini kembali lagi kepada karakeristik anak dan ketelatenan kita sebagai Bunda yah ^^
Berikut Langkah -langkah yang perlu dilakukan adalah :
Bunda itulah langkah-langkah yang sudah saya coba bagikan kepada teman-teman saya, ingat yah bunda, putra-putri kita masih berada di usia bermain biarkanlah bermain dan bernyayi, pendidikan formal bukan tujuan dan keharusan yang utama. Pola asuh asuh yang tepat sejak dini lah yang sangat menentukan tumbuh kembang serta kepribadian anak. Tentu semua langkah diatas membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Jangan mudah menyerah, sesungguhnya anak dengan school refusal membutuhkan dukungan emosional dan kepercayaan dari objek lekatnya dalam menghadapi lingkungan baru-sekolah.
Selamat mencoba bunda, tetap semangaaatt memberikan yang terbaik untuk tumbuh kembang putra-putri kita yah bunda ^^
Semoga bermanfaat
Salam terhangat untuk para Bunda
Sumber: pengalaman pribadi dan beberapa sumber lainnya.

(Ilustrasi)
Hai bunda bagaimana perasaan bunda saat putra-putri kita berkata seperti itu, dibarengi dengan rengekan, menangis atau berguling-guling di teras sekolah? Pasti kita sebagai orang tua hati ini rasanya campur-campur kayak es campur, sedih, bingung, marah tapi tidak tahu harus bagaimana. Tidak tega melihat anak kita yang masih kecil harus bersekolah. Bunda, zaman kita dulu saat usia 3 tahun mana ada playgroup, apa itu playgroup? kita sedang asik -asiknya bermain dengan teman sebaya, main petak umpet, loncat karet, ibu2an, bebas tanpa orang tua kita menggiring kita ke sekolah atau menjejali dengan segala macam Les. Tetapi lain dulu, lain sekarang yah Bunda, kini telah menjadi keharusan menyekolahkan anak sedini mungkin, karena jika tidak maka akan tertinggal dengan teman-teman seusianya. Bisa kita lihat bersama playgroup tumbuh subur dimana-mana. Mulai dari tingkat kampung sampai elite, masyarakat sudah mengenal apa itu playgroup hingga kini berubah menjelma menjadi lifestyle.
Pengalaman yang sudah saya lihat dan rasakan, saat hari pertama menemani putri saya sekolah, yang baru berusia 3 tahun. Di sekolah saya menemukan anak-anak dengan perilaku penolakan terhadap sekolah (school refusal) menangis, berguling-guling di teras, berteriak (temper tantrum) minta pulang dan bahkan hanya mau sekolah jika ditemani mamanya atau baby sitternya masuk ke dalam ruang kelas. Puji Tuhan putri saya tidak demikian, tetapi lama kelamaan terlalu sering melihat temannya menangis seperti itu waduuhh..putri saya jadi ikutan menangis juga dan mencari-cari saya.
Bisa dipahami, memasuki masa sekolah pertama kali adalah saat-saat menegangkan bagi anak-anak, khususnya playgroup. Karena untuk pertama kalinya harus merasakan pengalaman berpisah sementara waktu dengan bundanya atau baby sitternya. Mereka mungkin saja tidak terbiasa menghadapi rutinitas sekolah dan merasa sangat lelah. Perubahan ini membuat anak-anak cemas, stres dan akhirnya merasa putus asa. Sekolah bagi anak adalah sebuah lingkungan baru, aneh, asing, menakutkan, membutuhkan waktu untuk penyesuaian diri hingga anak benar-benar merasakan nyaman dan aman berada di tempat itu. Dalam hitungan hari mungkin tak masalah, anak menunjukkan perilaku seperti itu, semua orang tuapun bisa memahaminya. Tetapi bagaimana jika kondisi itu berlanjut dari minggu ke minggu, bulan ke bulan sampai si anak memutuskan benar-benar tidak mau sekolah???

Teman saya memiliki putra yang sekelas dengan putri saya, sering mengeluh karena setiap hari adalah siksaan baginya, karena harus memaksa lebih dulu agar putranya mau berangkat ke sekolah. Di sekolah putra teman saya itu mendapat julukan “anak emas”, karena selalu minta ditunggui oleh baby sitter dan mamanya, praktis menuntut perhatian lebih dari guru pengajar. Tidak jarang, para guru harus berlarian ke luar pagar mengejar putra teman saya tadi yang melarikan diri sambil menangis mencari mamanya, mungkin saat itu sedang ada keperluan sehingga tidak bisa full menunggui putranya.
Bukankah sangat merepotkan Bunda? Kasihan si anak dan teman-teman lainnya menjadi terganggu dengan perilaku School refusal tersebut
Apa sih School Refusal itu Bunda??? Izinkan saya sedikit berbagi Psikologi Klinis yang sudah saya pelajari di bangku kuliah dulu. Bunda perilaku penolakan terhadap sekolah (school refusal) adalah perilaku yang ditunjukkan seorang anak ketika tidak mau pergi ke sekolah atau benar-benar menolak untuk pergi ke sekolah. Hal ini pasti sangat menyedihkan bagi orang tua dan maupun anak. Kita sebagai Bunda, biasanya disalahkan atas munculnya perilaku school refusal, dituding kurang telaten atau kurang pintar membujuk anak agar berminat sekolah.
Bunda, school refusal salah satu penyebabnya adalah kecemasan anak terhadap keterpisahan dengan objek lekatnya, seperti orang tua, baby sitter dan orang-orang yang memiliki kelekatan emosional dengan anak. Kecemasan ini biasanya bersifat irasional, berlebihan dan terjadi berulang. Kecemasan keterpisahan ini biasa disebut dengan istilah Separation Anxiety.
Separation Anxienty ini normal terjadi ketika anak berusia 3- 4 tahun. Apabila melewati usia tersebut, dan menetap hingga usia remaja maka anak akan menunjukkan perilaku abnormal dan bisa mengarah pada pobia sekolah.
Biasanya jika sudah parah, anak dengan school refusal menunjukkan gejala klinis seperti mendadak sakit kepala, demam, muntah atau sakit perut menjelang berangkat ke sekolah.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak perempuan dan laki-laki terhadap perilaku school refusal.
Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah timbulnya school refusal???
Bunda ada beberapa langkah yang menurut saya cukup efektif (manjur) untuk mencegah timbulnya school refusal pada anak. Langkah ini sudah saya bagikan kepada teman-teman saya yang akan menyekolahkan putra-putrinya usia datita (playgroup). Namun ini kembali lagi kepada karakeristik anak dan ketelatenan kita sebagai Bunda yah ^^
Berikut Langkah -langkah yang perlu dilakukan adalah :
- Amati dan kenali kesiapan anak, apakah secara emosional sudah siap untuk menerima pendidikan formal di sekolah? Saya sarankan jangan terbawa tuntutan lingkungan dan ambisi kita sebagai orang tua misalnya anak tetangga usia 2,5 tahun sudah disekolahkan bahkan sudah les ini itu. Masa anak saya nggak sekolah juga sih? Padahal setiap anak memiliki kesiapan yang berbeda-beda. Usia bermain biarkanlah bermain, mengeksplorasi lingkungannya hingga memiliki kepercayaan atas lingkungannya. Sabarlah menunggu hingga anak menunjukkan kesiapan dan kebutuhan untuk bersekolah.
Putri saya saat menginjak usia 3 tahun, dengan sendirinya merengek minta bersekolah, awalnya karena dia sangat excited memakai seragam sailor seperti yang dikenakan keponakan saya. saya mencoba menyekolahkannya, Puji Tuhan ternyata secara emosional memang sudah siap dan di kelas cukup aktif mengikuti pelajaran.
- Bunda langkah berikutnya adalah ketepatan menentukan sekolah yang akan kita pilih. Kesesuaian karakter anak dan karakter sekolah sangat penting yah bunda. Pilihlah sekolah yang mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, sosial anak (child-centered kindergarten) Pembelajaran diorganisasikan sesuai kebutuhan-kebutuhan, minat, dan gaya belajar. Penekanan di sini adalah pada proses belajar, bukan apa yang didapat anak dan apa yang dipelajari anak. Kesesuaian karakter sekolah dan karakter anak mempengaruhi tingkat kecemasan, jika tidak sesuai dengan karakter anak, maka kecemasan anak meningkat. Anak mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan karakter sekolah. Kecemasan ini pula yang menyebabkan anak putus asa dan menolak untuk sekolah. Jika Bunda merasa telah salah memilih sekolah, jangan ragu memindahkan anak ke sekolah yang lebih sesuai dengan karakter anak.
- Bunda suka mendongeng untuk putra putrinya??? Jika Bunda sudah menemukan sekolah yang sesuai dengan karakter anak, usahakan mulai mengenalkan dunia sekolah lewat cerita. Tetapi Bunda jangan sampai berbohong, dalam arti mengada-ada. Sajikan Fakta-fakta yang telah bunda dapatkan di sekolah, lalu sampaikan namun dibungkus dengan kisah yang menarik yah bunda.
Sebelum hari H masuk sekolah saya mendongeng, betapa cantiknya guru-guru yang mengajar di sana nanti, di sana tempat bermainnya bagus-bagus, ada perosotan, ada gambar-gambar sama crayon warna-warni. Atau saya juga biasanya bercerita tentang Tuhan sayang sekali sama anak yang rajin ke sekolah.
- Ajak anak bermain ke sekolahnya, misalnya sore hari, perkenalkan lingkungan yang akan menjadi tempatnya belajar. Biarkan anak menjadi familiar dengan sekolahnya, gedung, halaman, dan tempat bermain sekolah. Lakukan dengan santai sambil bermain bersama anak.
Saat sore hari saya mengajak putri saya bermain ke sekolah, 2 minggu sebelum hari-H masuk sekolah. Di sana hanya berkeliling gedung, bermain ayunan bersama sambil bernyanyi.
- Komunikasikan karakter anak kepada guru-guru yang akan mengajar yah bunda, informasikan apa adanya, hal ini akan membantu guru memperlakukan anak kita secara tepat dan menghindari upaya generalisasi guru terhadap karakter semua anak didiknya.
Misalnya, saya menginformasikan kepada guru pengajar bahwa putri saya ini gampang trauma, dipukul sekali dengan teman pasti diingat terus siapa yang sudah memukulnya, dan putri saya tidak suka dengan kamar mandi manapun kecuali kamar mandi di rumahnya sendiri. Dia pasti menjerit jika masuk kamar mandi orang lain.
- Ketika mulai masuk sekolah, yakinkan pada anak bahwa bunda akan menjemputnya tepat waktu. Katakan padanya, di sana akan banyak guru-guru yang baik hati seperti yang bunda ceritakan lewat dongeng. Guru-guru baik yang siap membantunya dalam segala hal, termasuk akan membantunya ke toilet untuk pipis atau pup. Bunda harus konsisten, jika berjanji menjemput sekolah tepat waktu, tepatilah, jangan sekalipun anak dibiarkan menunggu bunda karena telat menjemputnya. Hal ini untuk menghindari munculnya ketidak percayaan anak terhadap bundanya dan kecemasan keterpisahan dapat muncul kembali.
Saya selalu menjemput putri saya tepat waktu dan tidak pernah meminta orang lain menggantikan saya untuk menjemputnya.
- Jika anak mulai mengeluhkan kecemasan yang dirasakan, terimalah dengan terbuka, jangan coba mengingkari munculnya rasa cemas itu. Tunjukkan rasa empati kepada anak, katakanlah bahwa bunda juga bisa merasakan apa yang dirasakan anak. Anak akan merasa dihargai dan ini adalah awal yang baik membangun keterbukaan komunikasi antara bunda dan anak. Tanyakan kesulitan-kesulitan apa saja yang anak rasakan di sekolah.
Saya selalu bertanya pada putri saya, “mbak Keisha senang di sekolah, temannya baik-baik kan? Nggak ada yang pukul-pukul kan, tadi berani nyanyi maju ke depan, senang nyanyi di depan kelas?” anak akan menceritakan kesulitan-kesulitan yang ditemui di sekolah, sehingga kita bisa melacak sumber kecemasan anak.
- Sepulang sekolah, biasakan bertanya kepada anak apa saja yang sudah diajarkan oleh gurunya, dan berilah reward manakala dia mampu menunjukkan keberanian atau keberhasilan di sekolahnya.
Seperti yang selalu saya lakukan terhadap putri saya, sepulang sekolah sambil rebahan minum susu (masih minum susu pakai dot, hehehe) saya bertanya “tadi diajarin apa aja sama bu guru, tadi bunda lihat mbak Keisha bisa melipat burung, hebat loh putrinya bunda ini?” biarkan anak melanjutkan bercerita walau cerita itu kadang bercampur dengan imajinasi anak.
- Undang beberapa teman baru sekolahnya ke rumah atau ke suatu tempat, biarkan anak berinteraksi, berkumpul dan bersosialisasi di luar lingkungan sekolah tetapi tetap bersama teman sekolahnya. Ini membangun rasa percaya diri dan kenyamanan anak kepada teman sekolahnya.
Awal sekolah, saya undang teman-teman putri saya sekedar kumpul-kumpul di rumah, sambil saling mengenal dan menciptakan rasa nyaman anak satu dengan yang lain. Hal ini menyenangkan juga loh bunda, kita bisa sharing dengan para bunda lainnya mengenai tumbuh kembang anak, atau bertukar informasi tempat belanja yang ok untuk kebutuhan datita kita^^
- Yakinkan pada anak bahwa bundanya tidak akan meninggalkan,dan selalu ada untuk anak. Tunjukkan bahwa bunda memberikan perhatian lebih semenjak anak masuk sekolah, jadilah pendengar yang baik atas segala keluhan yang anak rasakan,dan jangan menambahkan beban kepada anak dengan memberikan bermacam-macam les. Jika anak mengatakan lelah, maka berilah waktu untuk beristirahat dan biarkan anak memutuskan kapan mau belajar lagi.
Ketika putri saya mogok tidak mau menulis huruf A, B, C, D, dia bilang, tanganku capek bunda, saya tidak memaksanya, saya biarkan dia beristirahat atau saya putarkan musik, lagu-lagu kanak-kanak kesukaannya. Jika sudah relaks, saya arahkan dia belajar kembali.
Bunda itulah langkah-langkah yang sudah saya coba bagikan kepada teman-teman saya, ingat yah bunda, putra-putri kita masih berada di usia bermain biarkanlah bermain dan bernyayi, pendidikan formal bukan tujuan dan keharusan yang utama. Pola asuh asuh yang tepat sejak dini lah yang sangat menentukan tumbuh kembang serta kepribadian anak. Tentu semua langkah diatas membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Jangan mudah menyerah, sesungguhnya anak dengan school refusal membutuhkan dukungan emosional dan kepercayaan dari objek lekatnya dalam menghadapi lingkungan baru-sekolah.
Selamat mencoba bunda, tetap semangaaatt memberikan yang terbaik untuk tumbuh kembang putra-putri kita yah bunda ^^
Semoga bermanfaat

Salam terhangat untuk para Bunda

Sumber: pengalaman pribadi dan beberapa sumber lainnya.