• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Tentang Pakem Wayang

micro

IndoForum Junior E
No. Urut
667
Sejak
20 Apr 2006
Pesan
1.648
Nilai reaksi
84
Poin
48
Dalam dunia pedalangan wayang purwa, yang disebut "pakem" ialah cerita "asli" yang, oleh karenanya, lalu dipandang sebagai "babon" atau "induk" semua lakon atau cerita. Dengan kata lain "pakem" lalu berperanan sebagai semacam tempat penyimpanan lakon (repertoar), sekaligus sebagai semacam waduk atau petandoan (reservoar) dari mana lakon-lakon terbit mengalir.

Sejatinya dunia pedalangan wayang Jawa itu bersumber pada, atau bahkan boleh dikata usaha penceritaan ulang atau pembayangan kembali tentang, kisah bertumimbalnya hidup — yaitu proses perulangan sekaligus perkembangan, baik hidup "jagad gedhe", atau dunia semesta, maupun "jagad cilik", atau dunia manusia. Dalam pandangan pewayangan Jawa, sekaligus Jawa pewayangan, tentang tumimbalnya dua "jagad" itu melalui perjalanan yang sama: lahir - tua - mati. "Lahir" ialah penjadian atau peremajaan "dumadi" ("titah" atau "makhluk"), yang sesudah melalui perjalanan menjadi "tua", akan diakhiri dengan "mati" sebagai jalan pelepasan dari perjalanan ketuaan itu. Begitu manusia atau jagad cilik, begitu jugalah semesta raya atau jagad gedhe. Menurut ajaran mitologi Hindhu "jagad gedhe" ini, dengan membawa serta "jagad cilik di dalamnya, ada dalam kekuasaan satu dewa yang dalam peranannya beraspek tiga: mencipta, memelihara dan memusna.

Tiga aspek kuasanya itu mewujud dalam pribadi tiga dewa - trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Brahma sebagai Dewa Pencipta, Wisnu sebagai Dewa Pemelihara, dan Siwa sebagai dewa Pemusna. Selanjutnya "jagad gedhe" itu, dengan "jagad cilik" terbawa serta, mengalami kisah tumimbal hidup sepuluh kali. Dalam pewayangan masing-masing babakan kisah itu disebut "babad". Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma sang pencipta dan Siwa sang penghancur, perlu bertumimbal hidup - lahir tua dan mati - bersama para "titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti.

Menurut mitologi Hindu-Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai "wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan "boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana.

Tiga babakan kisah itu ialah semasa penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika Wisnu menitis sebagai brahmana yang bersenjata kampak atau Parasurama; penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati.

Dalam dunia pedalangan wayang Jawa, yang tersebut pertama terhimpun dalam pakem lakon atau babad Lokapala, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Harjunasasrabahu; yang tersebut kedua dalam pakem lakon Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya; yang tersebut ketiga dalam pakem lakon Mahabharata, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber" lakon wayang itulah yang dinamai "pakem".

Dari pakem rangkaian lakon yang panjang ini (Bratayudha saja, misalnya, yaitu bagian akhir dari seluruh rangkaian lakon Mahabharata, memerlukan waktu pergelaran selama tujuh hari tujuh malam) bisa dipecah-pecah menjadi sekian banyak fragmen, yaitu cuplikan atau petikan lakon. Misalnya, dari Babad Lokapala, diambil fragmen "Sumantri Ngenger", yaitu ketika pemuda Sumantri berangkat meninggalkan desanya menuju ke kota untuk menghamba pada Raja Harjunasasrabahu. Atau fragmen "Rama Tambak" dari Ramayana misalnya, yaitu bagian lakon ketika balatentara monyet, di bawah pimpinan seekor monyet putih, Anoman, sebagai panglima, mereka membendung selat antara anak benua Jambudwipa dengan pulau Alengka.

Dengan demikian kita ketahui, dari satu "pakem" bisa lahir fragmen lakon yang tak terhitung banyaknya. Selain dari itu, juga atas dasar "pakem" tersebut setiap dalang mempunyai kebebasan untuk menciptakan lakon gubahan sendiri. Lakon-lakon baru gubahan dalang ini disebut lakon "carangan". Kata "carangan" berasal dari kata "carang", ialah cabang atau ranting dari satu batang bambu — "batang bambu" itulah "pakem", yang bisa dipenggal-penggal dalam seribu-satu penggalan; selain juga menumbuhkan "carang-carang" yang tak terbilang banyaknya.

Origin post by watercat
 
bukan dalang wayang ,tapi jualan wayang golek dia om =))=))=))
 
emang iya...

wah saya bukan ahli dalam masalah budaya dan kultural...
Tanyalah guru sejarah ato guru PLKJ saya... hehehe :)
 
bener kah cerita cerita yg ada d pewayanganitu nyata ada nya /? /? /? dan itu kan sepertinya klo wayang budaya jawa ya :-??
 
budaya jawa memang kok kalo masalah wayang
 
Ada yang benar ada yang cuma mitos (eg. Mahabharata).
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.