asoybanget
IndoForum Beginner A
- No. Urut
- 52516
- Sejak
- 12 Sep 2008
- Pesan
- 1.375
- Nilai reaksi
- 47
- Poin
- 48
Apapun dalih yang menjadi latar belakang pembuatan film “Khalifah” yang dimaksudkan sebagai film layar lebar pertama di awal 2011, ada beberapa hal yang harus diwaspadai karena akan memunculkan bias persepsi masyarakat.
Film yang dirilis tanggal 1 Januari 2011 ini berjudul Khalifah. Diambil dari nama tokoh perempuan dalam film. Suaminya digambarkan sebagai seorang muslim radikal. Yang mewajibkan istrinya untuk mengenakan jilbab dan cadar. Tokoh perempuan dalam film ini digambarkan selain menerima kekerasan dari suaminya, juga mendapat tekanan dari masyarakat serta polisi karena dengan cadarnya ia dipandang sebagai bagian dari jaringan teroris.
Film besutan Nurman Hakim, yang katanya jebolan pesantren ini, nyatanya tidak sekedar membawa pesan tentang cinta dan pengabdian seorang perempuan kepada suaminya.
Pertama, penggunaan judul Khalifah sendiri telah memiliki pesan tersendiri. Sang sutradara mengakui bahwa, ia pernah ke Timur Tengah serta menemukan bahwa di Timur Tengah seorang perempuan tidak boleh memiliki nama khalifah. Bahkan seorang TKW asal Indonesia yang bernama khalifah terpaksa harus mengganti namanya. Pemilihan nama khalifah dalam film ini adalah menjadi bagian dari opini feminisme tentang kesetaraan hak pria-wanita, termasuk dalam hal nama. Tidak ada salahnya perempuan menggunakan nama khalifah. Barangkali akan lebih tepat untuk disampaikan kepada sutradara sekaligus penulis skenarionya (Nurman Hakim sendiri), bahwa mengapa tidak menuntut agar laki-laki menggunakan nama Hindun. Pemahaman secara bahasa arab sendiri yang menunjukkan bahwa khalifah merujuk pada sosok laki-laki, sama saja dengan hindun yang merujuk pada sosok perempuan.
Kedua, adalah upaya menyesatkan kata “khalifah” yang selama ini difahami dalam khazanah ilmu Islam sebagai imaratul muslimin atau kepemimpinan kaum muslimin, dengan laki-laki sebagai salah satu syarat pemilihannya. Kaum muslimin yang awam dengan istilah khalifah, karena telah lama kehilangan fakta dan gambaran tentang kepemimpinan kaum muslimin ini, akan lebih familiar dengan sosok “khalifah” yang diperankan oleh Marsha Timothy. Adapun Marsha Timothy, yang dalam film menampilkan sosok seorang muslimah “baik-baik” yang mengenakan jilbab dan cadar, dalam kehidupan aslinya jauh dari representasi seorang perempuan Islam sama sekali. Sehingga jilbab dan cadar yang ditampilkan dalam film, lebih terlihat untuk sekedar mengolok-olok Islam.
Ketiga stigmatisasi jilbab dan cadar yang lebih kepada pemahaman kaum muslim radikal (yang sering diidentikkan dengan ideologi teroris). Bahwa jilbab dan cadar adalah simbol kesadaran ketaatan kepada hukum-hukum syara’ sebagai seorang muslimah, barangkali jauh dari pesan film ini.
Keempat, pemetaan Islam menjadi radikal dan moderat itu sendiri, sebenarnya menjadi pesan terpenting dalam film ini. Islam yang ramah, Islam yang nyaman, Islam yang tidak menyiksa perempuan, Islam yang memberi kebebasan untuk mengenakan jilbab atau melepasnya, adalah Islam yang diinginkan oleh pembuat pesan. Dan Islam yang seperti itu, bukanlah Islam radikal. Maka jadilah Islam yang moderat, yang mampu berdampingan dengan siapa saja di alam demokrasi.
Islam radikal adalah Islam yang terlalu fanatik karena terikat dengan literal nash-nash al Qur’an dan Hadits. Jadilah Islam yang moderat, yang kontekstual, yang mampu menerjemahkan pesan-pesan keagamaan dalam sistem demokrasi sekuler.
Opini menyesatkan memang bisa hadir dalam penampilan ramah dan seolah-olah bijak. Sebagaimana sosok iblis laknatullah alaih, ketika merayu dan menggoda Adam dan Hawa untuk melanggar larangan Allah SWT, yakni mendekati pohon dan memakan buah terlarang (QS al Baqarah: 36)
Opini menyesatkan hadir di abad ini, dalam pentas-pentas seni, karya-karya budaya, diskusi-diskusi berlabel cendekia. Film “khalifah” adalah bentuk stigmatisasi negatif Islam sekaligus pesan menyesatkan di awal tahun 2011 ini. Maka, waspadalah! [Lathifah Musa]
Film yang dirilis tanggal 1 Januari 2011 ini berjudul Khalifah. Diambil dari nama tokoh perempuan dalam film. Suaminya digambarkan sebagai seorang muslim radikal. Yang mewajibkan istrinya untuk mengenakan jilbab dan cadar. Tokoh perempuan dalam film ini digambarkan selain menerima kekerasan dari suaminya, juga mendapat tekanan dari masyarakat serta polisi karena dengan cadarnya ia dipandang sebagai bagian dari jaringan teroris.
Film besutan Nurman Hakim, yang katanya jebolan pesantren ini, nyatanya tidak sekedar membawa pesan tentang cinta dan pengabdian seorang perempuan kepada suaminya.
Pertama, penggunaan judul Khalifah sendiri telah memiliki pesan tersendiri. Sang sutradara mengakui bahwa, ia pernah ke Timur Tengah serta menemukan bahwa di Timur Tengah seorang perempuan tidak boleh memiliki nama khalifah. Bahkan seorang TKW asal Indonesia yang bernama khalifah terpaksa harus mengganti namanya. Pemilihan nama khalifah dalam film ini adalah menjadi bagian dari opini feminisme tentang kesetaraan hak pria-wanita, termasuk dalam hal nama. Tidak ada salahnya perempuan menggunakan nama khalifah. Barangkali akan lebih tepat untuk disampaikan kepada sutradara sekaligus penulis skenarionya (Nurman Hakim sendiri), bahwa mengapa tidak menuntut agar laki-laki menggunakan nama Hindun. Pemahaman secara bahasa arab sendiri yang menunjukkan bahwa khalifah merujuk pada sosok laki-laki, sama saja dengan hindun yang merujuk pada sosok perempuan.
Kedua, adalah upaya menyesatkan kata “khalifah” yang selama ini difahami dalam khazanah ilmu Islam sebagai imaratul muslimin atau kepemimpinan kaum muslimin, dengan laki-laki sebagai salah satu syarat pemilihannya. Kaum muslimin yang awam dengan istilah khalifah, karena telah lama kehilangan fakta dan gambaran tentang kepemimpinan kaum muslimin ini, akan lebih familiar dengan sosok “khalifah” yang diperankan oleh Marsha Timothy. Adapun Marsha Timothy, yang dalam film menampilkan sosok seorang muslimah “baik-baik” yang mengenakan jilbab dan cadar, dalam kehidupan aslinya jauh dari representasi seorang perempuan Islam sama sekali. Sehingga jilbab dan cadar yang ditampilkan dalam film, lebih terlihat untuk sekedar mengolok-olok Islam.
Ketiga stigmatisasi jilbab dan cadar yang lebih kepada pemahaman kaum muslim radikal (yang sering diidentikkan dengan ideologi teroris). Bahwa jilbab dan cadar adalah simbol kesadaran ketaatan kepada hukum-hukum syara’ sebagai seorang muslimah, barangkali jauh dari pesan film ini.
Keempat, pemetaan Islam menjadi radikal dan moderat itu sendiri, sebenarnya menjadi pesan terpenting dalam film ini. Islam yang ramah, Islam yang nyaman, Islam yang tidak menyiksa perempuan, Islam yang memberi kebebasan untuk mengenakan jilbab atau melepasnya, adalah Islam yang diinginkan oleh pembuat pesan. Dan Islam yang seperti itu, bukanlah Islam radikal. Maka jadilah Islam yang moderat, yang mampu berdampingan dengan siapa saja di alam demokrasi.
Islam radikal adalah Islam yang terlalu fanatik karena terikat dengan literal nash-nash al Qur’an dan Hadits. Jadilah Islam yang moderat, yang kontekstual, yang mampu menerjemahkan pesan-pesan keagamaan dalam sistem demokrasi sekuler.
Opini menyesatkan memang bisa hadir dalam penampilan ramah dan seolah-olah bijak. Sebagaimana sosok iblis laknatullah alaih, ketika merayu dan menggoda Adam dan Hawa untuk melanggar larangan Allah SWT, yakni mendekati pohon dan memakan buah terlarang (QS al Baqarah: 36)
Opini menyesatkan hadir di abad ini, dalam pentas-pentas seni, karya-karya budaya, diskusi-diskusi berlabel cendekia. Film “khalifah” adalah bentuk stigmatisasi negatif Islam sekaligus pesan menyesatkan di awal tahun 2011 ini. Maka, waspadalah! [Lathifah Musa]