• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Skandal Tiga Jaksa Agung di Kasus Djoko Tjandra

Angela

IndoForum Addict A
No. Urut
88
Sejak
25 Mar 2006
Pesan
41.622
Nilai reaksi
23
Poin
0
Spoiler for Kejaksaan Agung:
Skandal Tiga Jaksa Agung di Kasus Djoko Tjandra




Skandal pelarian Djoko Tjandra ternyata memiliki tiga klaster. Hal ini dibeberkan pihak Kepolisian yg menyebut ada tiga klaster kasus terkait Djoko Tjandra setelah mengerjakan gelar perkara dengan KPK pada hari Jumat 14 Agustus 2020.

1. Klaster perdana terjadi pada tahun 2008-2009. Pada Klaster yg terjadi di era Jaksa Agung Hendarman Supandji yg erat hubungannya dengan Demokrat ini diduga ada penyalahgunaan wewenang yg menyebabkan Djoko Tjandra dapat lari ke Papua Nugini sebelum vonis hakim dijatuhkan.

2. Klaster kedua soal tidak diperpanjangnya red notice Djoko Tjandra di tahun 2014. Klaster ini terjadi pada era Jaksa Agung HM Prasetyo dari NasDem. Tidak diperpanjangnya Red Notice akhirnya berujung pada pembuatan & penggunaan surat jalan palsu yg menyebabkan larinya Djoko Tjandra ke Malaysia di tahun 2020.

3. Klaster ketiga di tahun 2019 soal pengurusan fatwa & proses Peninjauan Kembali (PK). Klaster ini terjadi di era Jaksa Agung ST Burhanuddin yg dekat dengan PDIP. Kasus yg terjadi tahun 2019 ini amengungkap pertemuan antara Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki, & Pengacara Anita Kolopaking yg merencanakan pengurusan fatwa & proses PK.

Sumber :Detik [Kabareskrim: Ada 3 Klaster Kasus Terkait Djoko Tjandra]

Guna mengetahui secara detail, mari kita simak bersama tiap klaster tersebut.

Klaster perdana yg terjadi pada tahun 2008 2009 diduga berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang. Oktober 2008, diketahui Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan PK kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra.

Lalu pada 11 Juni 2009, Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menerima PK yg diajukan jaksa. Sehingga Djoko Tjandra diwajibkan membayar denda Rp 15 juta & uangnya senilai Rp 546 miliar di Bank Bali disita negara. Dengan dikabulkannya PK Kejagung, maka imigrasi mencekal Djoko Tjandra, ia tak boleh melarikan diri ke luar negeri. Namun pada 16 Juni 2009 Djoko Tjandra tak kunjung menghadiri panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi, sehingga Djoko pun dinyatakan buron.

Usut punya usut, ternyata Djoko Tjandra sudah melarikan diri ke Papua Nugini mengpakai pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma pada malam hari tanggal 10 Juni 2009, sehari sebelum vonis pada dirinya dibacakan.

Kemungkinan inilah yg dimaksud pihak Kepolisian akan adanya penyalahgunaan wewenang. Bagaimana dapat Djoko Tjandra kabur sebelum vonis terhadapnya dijatuhkan? Siapa pihak yg membocorkan putusan PK hingga menyebabkan terpidana kabur? Adakah andil Jaksa Agung yg menjabat di tahun 2009 & erat hubungannya dengan Demokrat dalam pelanggaran kewenangan tersebut?

Sumber :Detik [Kronologi Djoko Tjandra, Buron yg Kini Jadi Warga PNG]

Buronnya Djoko Tjandra ternyata membawa persoalan tersendiri di tahun 2014. Maka muncullah klaster kedua terkait Red Notice Djoko Tjandra. Klaster ini bermula dari hilangnya atau tak lagi diperpanjangnya red notice Djoko Tjandra yg kadaluarsa pada 2014.

Mantan Sekretaris NCB-Interpol Indonesia Setyo Wasisto menjelaskan kemungkinan penyebab hilangnya nama Djoko Tjandra dalam red notice. Menurut Setyo, sekitar 2014 atau 2015, Setyo ditanya Interpol pusat mengenai status red notice pemilik Mulia Group itu. Pasalnya pengacara Djoko Tjandra saat itu keberatan kliennya dimasukkan ke daftar red notice.

Akibat protes yg terus menerus dilakukan, maka Interpol pusat mengirimkan pertanyaan resmi ke Kepolisian terkait status perkara Djoko Tjandra. Apakah penggelapan atau korupsi.

Kejagung kemudian menggelar rapat internal yg menghasilkan kesimpulan bahwa kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra masuk ke dalam kategori tindak pidana korupsi. Dengan mengatakan lain dapat dikenakan red notice.

Sumber :Kompas [Terungkap! Red Notice Djoko Tjandra Masih Aktif hingga 2015]

Tapi pertanyaannya, apakah setelah 2015 red notice benar-benar masih melekat di Djoko Tjandra? Apakah setelah rapat di internal Kejagung saat itu mereka terus memantau pergerakan Djoko Tjandra termasuk status red notice-nya?

Apabila benar Jaksa Agung HM Prasetyo yg berasal dari NasDem memperpanjang red notice, mengapa pada tahun 2019, Djoko Tjandra dapat melenggang dari Papua Nugini ke Malaysia? Logikanya, apabila red notice itu masih ada di database interpol, tentu saja PNG & Malaysia sudah memberitahukannya ke Indonesia.

Lagi pula apabila benar red notice itu tetap ada, bagaimana dapat istri Djoko Tjandra yg mengaku cuma sebagai Ibu Rumah Tannga memenangkan MK di tahun 2016 yg menciptakan jaksa tidak dapat lakukan PK? Bukankah kita dapat menduga bahwa sebenarnya Djoko Tjandra dapat bebas masuk ke Indonesia sejak 2016 guna memperjuangkan proses hukumnya?

Sumber :Detik [Istri Djoko Tjandra Menang di MK Tahun 2016, Bikin Jaksa Tak Bisa PK]

Sepertinya guna memulihkan nama baiknya supaya benar-benar bersih dari segala perkara hukum, Djoko Tjandra harus mengajukan PK sendiri. Kemungkinan itu lah alasan Djoko Tjandra yg sudah jadi warga negara PNG kembali ke Jakarta selama tiga bulan sebelum mendaftarkan PK-nya pada 8 Juni mengpakai KTP Jakarta yg akhirnya menciptakan Indonesia geger.

Kabar bahwa Djoko Tjandra sudah 3 bulan berada di Indonesia ini dibantah oleh Kemenkumham. Kepala Bagian Humas & Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Arvin Gumilang mengatakan bahwa pada 4 Mei 2020, ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terhapus dari basis data sejak 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejagung. Hal ini menyebabkan Ditjen Imigrasi menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Sistem Perlintasan pada 13 Mei 2020. Ditjen Imigrasi kembali menerima permintaan DPO dari Kejagung pada 27 Juni 2020.

Di sinilah peran dari pengusaha Tommy Sumardi & oknum Kepolisian yakni mantan Karo Korwas PPNS Brigjen Prasetijo utomo serta mantan Kadiv Hubungan Internasional Irjen Napoleon Bonaparte. Dalam laporan MAKI, Tommy Sumardi diduga meminta Brigjen Prasetijo memperkenalkannya dengan pejabat Divisi hubungan internasional yg membawahi NCB Interpol Indonesia. Selanjutnya, NCB Interpol Indonesia memberi tahu imigrasi Indonesia bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terhapus sistem. Akibatnya Ditjen Imigrasi menghapus status DPR dari Djoko Tjandra.

Celah terhapusnya sistem tersebut dimanfaatkan Djoko Tjandra sebagai cara legal untuk masuk ke Indonesia & mendaftarkan PK perkaranya. Tapi kehadirannya di Indonesia ternyata diketahui. Ia pun meminta pengacaranya Anita Kolopaking mengurus surat jalan ke teman-nya di Kepolisian yakni Prasetijo Utomo supaya dapat terbang dengan pesawat Lion Air ke Pontianak. Dari sana, ia masuk ke Malaysia melalui jalur darat.

Sumber :Detik [Pengusaha Tommy Sumardi Juga Jadi Tersangka di Kasus Suap Djoko Tjandra]

Klaster ketiga terkait rencana pengurusan fatwa & proses PK yg melibatkan pertemuan Pengacara Anita Kolopaking & Jaksa Pinangki dengan Djoko Tjandra di tahun 2019. Dalam kasus ini, Pinangki diduga menerima 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar guna menolong Djoko Tjandra bebas dari perkara hukum. Namun uang tersebut cuma beberapa kecil dari imbalan yg jauh lebih akbar bila Djoko Tjandra berhasil lolos dari pedang Justicia. Jaksa Pinangki diduga akan mendapatkan imbalan sebesar 10 juta dollar AS atau sekitar Rp 145 miliar.

Imbalan itu rencananya akan diberikan dalam bentuk kamuflase dimana Djoko Tjandra seolah-olah membeli sebuah perusahaan tambang.

Sedangkan uang 500 ribu dollar AS dipakai untuk melaksanakan sejumlah rencana yg sudah disusun. Sebanyak 50.000 dollar AS sudah diserahkan kepada Anita Kolopaking selaku pengacara Djoko Tjandra. Pinangki pula yg turut ditengarai berperan mengenalkan Djoko ke Anita sekitar November 2019.

Sumber :Kompas [Jaksa Pinangki Diduga Dijanjikan Imbalan yg Lebih Besar]

Dari hasil pemeriksaan Kejagung, Pinangki sebelumnya dikabarkan sudah sembilan kali mengerjakan perjalanan ke luar negeri tanpa izin tertulis dari pimpinannya, yakni ke Malaysia & Singapura. Komisi Kejaksaan (Komjak) menyangsikan kepergian Pinangki ke luar negeri untuk berjumpa Djoko Tjandra atas inisiatif sendiri.

Apalagi ada pihak Kejagung yg diduga sempat berkomunikasi dengan Djoko Tjandra saat masih buron & berada di Malaysia pada akhir Juni 2020. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah dana yg diterima Jaksa Pinangki dinikmati secara pribadi atau ada oknum petinggi Kejaksaan yg turut terima bagian? Adakah keterlibatan Jaksa Agung sekarang yakni ST Burhanuddin yg erat hubungannya dengan PDIP dalam perjalanan Pinangki ke Malaysia?

Pertanyaan lain yg tak kalah pentingnya adalah, apakah jaksa Pinangki memiliki rekanan dengan oknum di Mahkamah Agung? Sebab ia dapat menjanjikan bantuan fatwa hukum ke Djoko Tjandra.

Sumber :CNN Indonesia [Komjak Akan Panggil Oknum Jaksa Diduga Telepon Djoko Tjandra]

Dugaan keterlibatan pihak lain dalam klaster pengurusan fatwa & proses PK makin diperkuat dengan diagendakannya pemeriksaan kepada dua pihak swasta pada 10 Agustus 2020 lalu. Yakni Irfan & Rahmat. Keduanya dipanggil karena diduga mengetahui peristiwa yg terjadi terkait upaya hukum PK yg diajukan Djoko Tjandra secara diam-diam. Namun keduanya tak hadir. Saksi dengan nama Irfan disebut tengah sakit, & saksi bernama Rahmat berhalangan hadir.

Sumber :Kompas [Kejagung Sidik Dugaan Pidana Jaksa Pinangki]

Kita semua sudah mengetahui bahwa Rahmat adalah pria berkepala plontos yg berfoto bersama dengan Anita & Jaksa Pinangki. Ia pula yg diduga turut serta mengantarkan Anita & Jaksa Pinangki menemui Djoko Tjandra ke Malaysia. Sebagai informasi, Rahmat merupakan Pengawas Koperasi Nusantara (Kopnus) yg juga disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Wapres RI.

Tapi siapakah Irfan? Kabar yg beredar di media sosial mengatakan bahwa ia adalah seorang politisi yg diduga memiliki kedekatan dengan Jaksa Agung 2014 2019 HM Prasetyo yg berasal dari NasDem.










Hari ini 18:00
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.