• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Siwa Buddha

roughtorer

IndoForum Senior A
No. Urut
44416
Sejak
24 Mei 2008
Pesan
6.755
Nilai reaksi
174
Poin
63
Saya dapat dari Wikipedia, semoga bermanfaat

-------------------------------------------------------------------
Agama Siwa-Buddha merupakan campuran (sinkretisme) agama Hindu dan Buddha.

Sejarah
Mereka yang pertama kali memperkenalkan budaya India di Indonesia adalah kaum brahmana, biarawan dan pendeta pelbagai sekte dan mazhab di India, yang mengikuti rute perdagangan maritime. Tetapi ketika mereka sudah mendapatkan sejumlah pengikut, sebuah gelombang gerakan lainnya terjadi dan orang-orang Indonesia yang sudah memeluk ajaran agama mereka lalu berlayar ke India sebagai peziarah dan mahasiswa kemudian kembali dengan kesan-kesan dan khazanah ilmu-ilmu baru.

Kebudayaan India diterima dengan senang hati. Seperti sudah sering dikemukakan, persamaan-persamaan antara kesenian Hindu-Jawa dan India tidak bisa dipisahkan. Demikian juga mengenai tradisi sastra Jawa Kuna dan Bali, baik sastra yang berhubungan dengan agama maupun yang sekular. Sementara untuk pengaruh agama, hanya ada satu aliran agama India yang jejaknya tak ditemukan di Jawa, Bali maupun di daerah lainnya di Nusantara, yaitu aliran Jainisme.

Meskipun mereka memiliki pengetahuan luas akan apa yang disajikan oleh India, hal ini tidak berarti bahwa orang Jawa dan Bali menerapkan ilmu pengetahuan mereka dengan cara yang sama seperti orang India, atau bahkan menerapkan semuanya. Bahkan bisa dikatakan bahwa meskipun mereka memiliki hampir semua bahan bangunan India, mereka tidak pernah membangun sebuah gedung India. Sementara hal ini kurang lebih benar apabila berhubungan dengan arsitektur, perumpamaan ini bisa pula diterapkan pada bidang agama. Tradisi Jawa-Bali juga meliputi banyak ajaran-ajaran dan cara-cara pemujaan yang secara keseluruhan terdiri dari unsur-unsur India, tetapi hal yang persis sama tidak bisa ditemukan di India. Pada saat penyeleksian dan kombinasi antar ajaran ini, ciri khas kebangsaan Jawa-Bali jelas sangat menentukan. Dan bagaimana seleksi dan kombinasi ini dilakukan, merupakan masalah-masalah yang sangat menarik bagi peneliti budaya Jawa dan Bali.

Agama Buddha sampai di Nusantara cukup awal dan banyak informasi mengenai hal ini kita dapatkan dari sumber-sumber Tionghoa. Fa Xien yang datang dari Sri Langka pada tahun 414, terdampar karena angin topan yang hebat ke Yeh p’o t’i (Yawadwîpa, entah ini Jawa atau Sumatra, kurang jelas), merasa agak kecewa terhadap situasi agamanya (=agama Buddha) di sana, apalagi apabila dibandingkan dengan kaum brahmana dan orang-orang ‘kafir’. Tetapi sebelum tahun 424, menurut sumber China lagi, agama Buddha tersebar di negara Shê p’o (=Jawa). Sang misionaris atau pendakwah yang menyebarkan agama ini konon adalah Gunawarman, seorang putra pangeran dari Kashmir. Ia datang ke pulau Jawa dari Sri Langka dan pada tahun 424 bertolak ke China, di mana beliau meninggal tujuh tahun kemudian. Beliau menterjemahkan sebuah teks dari mazhab Dharmagupta

Pada abad ke-7, ke-8, ke-9 para penganut Buddha Indonesia, atau paling tidak beberapa pusat agama Buddha di Sumatra dan Jawa sudah merupakan bagian dari sifat kosmopolitis agama ini. Kesan ini terutama didapatkan dari karya I Ching. Dalam buku kenangannya, ia menceritakan bahwa sang peziarah Hui Ning memutuskan perjalanannya selama tiga tahun di pulau Jawa (664/5 – 667/8) untuk menterjemahkan sebuah sutra, kemungkinan besar dari mazhab Hinayana, mengenai Nirwana yang agung. Penterjemahannya dibantu seorang pakar Jawa yang bernama Jñânabhadra. Sedangkan I Ching sendiri menghargai pusat-pusat studi agama Buddha di Sumatra secara tinggi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa ia tinggal selama enam bulan di Sriwijaya dan dua bulan di Malayu (Jambi) dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 dan setelah itu selama sepuluh tahun di Sriwijaya (685-695).

Selain itu ia juga meringkaskan bahwa agama Buddha dipeluk di negeri-negeri yang dikunjunginya dan sebagian besar, mazhab Hinayanalah yang dianut, kecuali di Malayu di mana ada pula beberapa penganut Mahayana.

Tetapi di pulau Jawa, kurang dari seabad setelah ini, bentuk agama Buddha yang paling banyak dianut merupakan sebuah kombinasi antara Mahayana dan Vajrayana. Candi Borobudur yang oleh beberapa orang tertentu dianggap sebagai sebuah mandala raksasa, pada ribuan bas-reliefnya menunjukkan pemandangan atau adegan yang dimuat dalam sejumlah teks-teks dalam bahasa Sansekerta yang bernafaskan atau dijadikan dasar dari paham Mahayana. Teks-teks ini adalah: Mahakarmawibhangga, Lalitawistara, Diwyawadana dan Gandawyuha.

Dengan candi Borobudur maka kita memasuki era berkembangnya budaya India-Jawa di Jawa Tengah (awal abad ke 8 – 929). Era ini merupakan era yang mewariskan kita candi-candi antara lain Candi Kalasan, Mendut, Sewu, Plaosan, Prambanan dan lain sebagainya. Kemungkinan besar, banyak candi pula yang telah musnah. Semua candi ini adalah candi Buddha atau candi Siwa. Agama Buddha sepertinya dianut oleh dinasti Sailendra dan agama Hindu-Siwa (di Bali dikenal dengan nama Siwa Sidhanta) dianut oleh dinasti Mataram I, yang mengikuti Sailendra dan kemungkinan besar mendahului mereka pula. Dinasti Sailendra kemungkinan besar merupakan sebuah intermezzo saja. Tetapi pasti kedua aliran agama ini ada dan berkembang secara berdampingan.

Sebenarnya tidak perlu dikemukakan lagi bahwa pasti ada lebih banyak aliran-aliran agama yang pernah ada pada masa yang disebut di atas ini selain yang bisa dilihat pada peninggalan-peninggalan candi-candi yang ada. Meskipun begitu ada sebuah aliran agama penting yang tidak ada bekasnya yaitu aliran Wisnuisme. Pada Prasasti Tarumanegara yang berasal dari kurang lebih tahun 450, menunjukkan bahwa prabu Purnawarman dari Tarumanagara di Jawa Barat menganut aliran Wisnuisme (Waisnawa). Tetapi di sisi lain, paham Wisnu dari dulu sudah dianggap kurang penting daripada paham Siwa maupun Buddha di Nusantara.

Lalu kemudian di jaman Majapahit agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu. Hal-hal persatuan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra:
Kakawin Sutasoma
Kakawin Arjuna Wijaya

[sunting]
Warisan Terakhir Agama Siwa-Buddha

Pada jaman sekarang, di pulau Bali dan Lombok, agama Siwa dan Buddha dianggap dua mazhab berbeda dari satu agama yang sama. Di Bali ada sebuah desa yang bernama Budakeling di Karangasem, di sini seluruh penduduknya menganut mazhab ini. Ajaran Siwa-Buddha di desa ini diwarisi oleh Dang Hyang Astapaka dari Keling (Kalingga), yang kemudian dilanjutkan oleh Mpu Tantular. Jejak-jejak warisan kedua pendeta ini masih bisa ditelusuri di Geria Budakeling.


Genta-Genta Siwa-Buddha
Pluralitas alias penghargaan atas perbedaan, itulah salah satu tiang utama masyarakat modern. Demokrasi yang menjadi salah satu barometer terpenting peradaban modern, juga berdiri di atas fundamen kokoh yang bernama pluralitas. Sulit sekali membayangkan ada demokrasi tanpa penghargaan atas perbedaan. Tidak saja kehidupan publik yang keajegannya berutang pada pluralitas, sejarah pengetahuan manusia juga berutang. Setelah lama sekali pemikiran Cartesian dan Newtonian melakukan pengabsolutan terhadap banyak sekali tesis, belakangan muncul kejenuhan akan hal-hal absolut. Dan, manusia-manusia seperti Lyotard, Foucault, Derrida datang membawa kesegaran melalui bendera-bendera merayakan perbedaan.

Agama sebagai serangkaian pengetahuan juga serupa. Teroris lengkap dengan bom dan darahnya, hanyalah sisa-sisa fanatisme yang dibawa oleh sejarah pemahaman yang absolut. Demikian absolutnya pemahaman di kepala sampai-sampai berani memusnahkan nyawa orang lain. Demikian kakunya gambar yang ada di kepala, sehingga seluruh gambar pemahaman yang lain tidak punya pilihan lain terkecuali dimusnahkan. Dan, jejak-jejak pemahaman agama seperti ini pun sudah semakin minim pengikutnya.

Dikaguminya tokoh-tokoh Sufi seperti Jalaludin Rumi di Barat, demikian berwibawanya karya-karya Kahlil Gibran di banyak belahan dunia, dikutipnya doa Santo Fransiscus dari Asisi tidak saja dalam kalangan umat Katolik, dugunakannya Baghawad Gita sebagai acuan tidak saja dalam komunitas Hindu, didengarnya pesan-pesan Dalai Lama oleh banyak sekali manusia yang bukan beragama Buddha, hanyalah sebagian bukti kalau tembok-tembok fanatisme semakin kecil dan semakin kecil. Sehingga dalam totalitas, hanya manusia-manusia yang enggan bertumbuhlah yang masih memeluk erat-erat fanatisme dan absolutisme.



Sejarah Bali

Dengan tetap sadar akan perlunya kerendahatian di depan bentangan sejarah, sebenarnya sejarah Pulau Bali juga menyisakan tidak sedikit jejak-jejak pluralitas. Tokoh-tokoh yang dicatat rapi dalam sejarah Bali, sebagian adalah tokoh-tokoh pluralitas. Mpu Kuturan (seorang pendeta Buddha Mahayana) menyatukan banyak sekali sekte di abad ke-10-11 melalui konsep tri kahyangan. Kalau saja Mpu Kuturan seorang tokoh fanatik dan pengikut pendekatan absolut, mungkin ketika itu orang Bali akan dipaksa (atau setidak-tidaknya dipersuasi) untuk menjadi pemeluk Budhha Mahayana. Ternyata sejarah bertutur tidak.

Dang Hyang Dwijendra juga serupa. Kendati punya reputasi mengagumkan dalam bentuk mendampingi Raja Dalem Waturenggong membawa Bali ke zaman keemasan di abad ke-16, peninggalan Mpu Kuturan dalam bentuk Meru tetap dihormati, bahkan dilengkapi melalui bangunan baru ketika itu berupa Padmasana. Kendati beliau seorang pendeta Siwa-Buddha tetap saja pendekatan lain memiliki ruangan untuk bertumbuh di Bali ketika itu.

Tempat ibadah adalah ruang-ruang sakral di Bali. Dan, tatkala berbicara tentang tempat ibadah, sulit sekali untuk tidak memulainya dengan Pura Rwa Bhineda (Pura Purusa di Besakih, Pura Pradana di Ulun Danu Batur). Dan, indahnya, di kedua tempat suci ini di ruang utamanya juga menghadirkan monumen pluralitas yang amat mengagumkan. Baik di Besakih maupun di Ulun Danu Batur, di ruang utamanya masih menyisakan tempat pemujaan untuk dua agama (Hindu dan Buddha). Di Besakih disebut Pura Syahbandar (lokasinya hanya beberapa meter dari Pura Sunaring Jagat), di Batur disebut Pura Ponco yang juga berlokasi di tempat yang sangat utama. Di Pura Ulunsiwi di Jimbaran ada dua pintu di bagian timur dari Meru, satu untuk Siwa satu lagi untuk Buddha.

Selain tokoh dan tempat ibadah, sastra tetua Bali juga banyak ditandai pluralitas. Suthasoma adalah salah satu sastra acuan yang utama. Melalui kalimat indah bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, sebenarnya tetua Bali sedang membukakan pintu-pintu pluralitas yang demikian indahnya. Fred B. Eisman Jr. menerjemahkannya dalam Bali, ”Sekala & Niskala” dengan sederhana: it is different, but it is one, there are not two truth. Sebuah pengakuan akan pluralitas Siwa-Buddha yang amat eksplisit. Siwa-Buddha itu satu, bukan dua.

Sarana upacara juga tidak kalah sakralnya bagi orang Bali. Dan, di antara sekian banyak sarana upacara yang disakralkan adalah genta. Meminjam argumen sebuah tesis di Universitas Gajah Mada tahun 1967 yang ditulis oleh IGN Anom, ternyata genta — yang dipercaya sebagai kendaraan mantra yang sangat utama — dibuat di atas pluralitas juga. Bagian bawah genta menyerepai Stupa, bagian atasnya sangat mirip dengan Lingga sebagai simbolik Siwa.

Potret-potret sejarah dalam bentuk tokoh, tempat ibadah, sastra, dan sarana upacara seperti ini, seperti sedang berbisik penuh kerendahanhatian: tidak saja di Barat pluralitas itu menjadi ladang-ladang subur pertumbuhan, Bali juga serupa.



Genta-genta Siwa-Buddha

Disinari cahaya-cahaya sejarah seperti di atas, layak direnungkan kembali perjalanan sejarah Bali yang sebagian juga berdarah karena absolutisme dan fanatisme. Setiap manusia di setiap sejarah sama-sama punya tugas yang sama: bertumbuh! Dan, Bali dalam bentangan sejarah ratusan tahun bertumbuh di atas pluralitas Siwa-Buddha. Dalam konstruksi genta, Siwa-Buddha memang dibaca dari atas (baca: Siwa) kemudian baru ke bawah (baca: Buddha). Namun, sebagaimana bangunan lainnya, semuanya dibangun dari bawah.

Kebenaran manusia mana pun memang hanya bisa sampai di tingkatan probabilistik. Sehingga bisa dimaklumi, kalau Buddha ditafsirkan secara berbeda-beda di Bali. Pandangan pertama mengatakan kalau Buddha kita di Bali adalah Buddha Bairawa. Sebuah sudut pandang yang layak dihargai. Pandangan kedua yang sama layaknya untuk dihargai adalah Buddha sebagai filsafat. Kembali ke konsep pluralitas sebagai lahan-lahan subur pertumbuhan, mungkin ada baiknya untuk saling menghargai.

Di Barat, ada jutaan manusia yang belajar Bhagawad Gita tanpa masuk agama Hindu. Jutaan manusia tersentuh ajararan Sufi ala Rumi tanpa berganti agama menjadi Islam. Jutaan manusia mendengarkan saran-saran Dalai Lama tanpa berganti KTP menjadi Buddha. Hal serupa juga layak direnungkan ketika kita belajar membunyikan genta-genta Siwa Buddha di Bali.

Entah kekuatan apa yang membimbing, sejak belasan tahun yang lalu, tiba-tiba saja ada ketertarikan yang mendalam untuk belajar Buddha sebagai filsafat hidup. Makin dipelajari, makin sejuk batin di dalam, makin kuat tanah-tanah Bali mengirim pesan-pesan kerinduan untuk sering pulang. Menyangkut getaran-getaran rasa, mungkin saja ada kekhilafan penafsiran, namun setelah belasan tahun menelusuri filsafat-filsafat Buddha, ada yang berbisik dari dalam sini: words make you come closer but jus till the gate, only actions bring you inside. Kata-kata memang bisa membuat manusia mendekat, tetapi hanya sampai di gerbang. Hanya tindakan yang bisa membawa manusia masuk ke dalam.

Dan, filsafat Buddha memberikan penekanan amat besar akan perlunya tindakan. Untuk itulah orang-orang Hinayana memberikan porsi sangat besar untuk sebuah bidang: disiplin diri! Ketika disiplin diri diikuti secara serius, cahaya-cahaya Mahayana muncul melalui sebuah kata: kebijaksanaan. Tatkala ini juga ditelusuri penuh cinta dan keikhlasan di depan Tuhan, ada sinar Tantrayana yang muncul: hening, sepi, damai.

Makanya bisa dimaklumi kalau Dalai Lama pernah berucap tentang esensi nilai-nilai ke-Buddha-an dalam sebuah bahasa sederhana: menghormati orang, mengkritik diri sendiri. Ini tentu saja terbalik dengan orang-orang fanatik yang absolut itu, di mana mereka hanya mengenal penghormatan diri yang tinggi, serta kritik yang menyakitkan terhadap orang lain. Ini juga sebuah pluralitas sebagai ladang pertumbuhan, sehingga keduanya layak dihargai. Entah seberapa banyak sahabat di Bali yang juga menaiki tangga-tangga ke-Buddha-an, untuk bisa meraih tongkat Lingga untuk sampai di tingkat ke-Siwa-an. Dan, di tingkat terakhir, seorang mistikus asli India bernama Ramakrishna pernah melafalkan doa seperti ini: Tuhan, Engkau memiliki baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, kaya-miskin, surga-neraka, hidup-mati, siang-malam. Ambillah semuanya! Biarlah hamba hidup dengan yang satu ini: cinta yang murni akan diri-Mu!

Sebuah percakapan suci antara Raja Janaka (ayahanda Dewi Sita) dengan gurunya bernama Asthavakra kemudian diberi judul ”Asthavakra Gita” (diterjemahkan Thomas Byron menjadi ”The Heart of Awareness”), pernah bertutur nilai-nilai ke-Siwa-an seperti ini: when the mind desire nothing, grieve for nothing, without joy or anger, grasping nothing, turns nothing awaythen you are free. Ketika pikiran berhenti memilih, berhenti merindukan maupun menolak kemudian tersedia kebebasan. Ah, betapa indahnya kebebasan. Ia sama indahnya dengan salah satu bait kakawin tua di Bali yang berbunyi: magentha suara ning sepi. Ah, maafkanlah kata-kata yang hanya bisa mengantar kita manusia sampai di gerbang saja. Maafkan juga tulisan ini yang dibolak-balik juga hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja. Maafkan juga saya, yang hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja.[]
 
info bgs. keren cuy..:-*

ada informasi tentang Mpu tantular gak, sipengarang Sutasoma?
dengar2 dia ini seorang penganut Budhis jg..
 
Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang bujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja Rājasanagara (Hayam Wuruk). Ia masih saudara sang raja yaitu keponakannya (bhrātrātmaja dalam bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.

Nama "Tantular" terdiri dari dua kata: tan ("tidak") dan tular ("tular" atau "terpengaruhi"). Artinya ia orangnya ialah "teguh". Sedangkan kata mpu merupakan gelar dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.
Empu Tantular
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Tantular adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil menjadi motto atau semboyan Republik Indonesia: "Bhinneka Tunggal Ika" atau berbeda-beda namun satu jua.

Kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.

Ikhtisar isi
Buddha berreinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina, prabu Mahaketu. Putranya ini bernama Sutasoma. Maka setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.

Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.

Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena beliau memang reinkarnasi raksasa. Kemudian beliau bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu beliaupun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.

Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika beliau bisa sembuh dari penyakitnya ini.

Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.

Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.

Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.

Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.

Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka beliau berhasil ditangkap.

Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat. Semua raja dilepaskan.

Kakawin Sutasoma sebagai sebuah karya sastra Buddhis

Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernafaskan agama Buddha.


Penurunan kakawin Sutasoma

Lontar Sutasoma dari Jawa Tengah dalam aksara Buda.

Kakawin Sutasoma diturunkan sampai saat ini dalam bentuk naskah tulisan tangan, baik dalam bentuk lontar maupun kertas. Hampir semua naskah kakawin ini berasal dari pulau Bali. Namun ternyata ada satu naskah yang berasal dari pulau Jawa dan memuat sebuah fragmen awal kakawin ini dan berasal dari apa yang disebut "Koleksi Merapi-Merbabu". Koleksi Merapi-Merbabu ini merupakan kumpulan naskah-naskah kuna yang berasal dari daerah sekitar pegunungan Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah. Dengan ini bisa dipastikan bahwa teks ini memang benar-benar berasal dari pulau Jawa dan bukan pulau Bali.

Resepsi kakawin Sutasoma di Bali

Di pulau Bali kakawin ini merupakan salah satu kakawin yang cukup digemari. Hal ini berkat kiprah I Gusti Sugriwa, salah seorang pakar susastra dari Bali yang mempopulerkan kakawin ini. Ia sebagai contoh banyak menggunakan petikan-petikan dari kakawin ini dalam bukunya mengenai pelajaran kakawin.

Penerbitan kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Soewito Santoso. Suntingan teksnya diterbitkan pada tahun 1975.

Selain itu di Bali banyak pula terbitan suntingan teks. Salah satu contohnya yang terbaru adalah suntingan yang diterbitkan oleh "Dinas Pendidikan provinsi Bali" (1993). Namun suntingan teks ini dalam aksara Bali dan terjemahan adalah dalam bahasa Bali.

Antara tahun 1959 - 1961 pernah diusahakan penerbitan teks sebuah naskah yang diiringi dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.
 
Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, China dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Kemudian muncul Dua kerajaan besar pada zaman ini adalah Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Masuknya Islam pada sekitar abad ke-12 secara perlahan-lahan menandai akhir dari era ini.

Alur waktu
  • 300 - Indonesia telah melakukan hubungan dagang dengan India Hubungan dagang ini mulai intensif abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
  • 300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
  • 400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
  • 671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa Sansekerta, kemudian ia singgah di Melayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.
  • 685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.
  • 692 - Salah satu kerajaan Hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi besar dan pusat perdagangan yang dikunjungi pedagang Arab, Parsi, Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatera Utara, Sunda, Jambi termasuk kekuasaaan Sriwijaya. Pada masa ini perkembangan kerajaan Sriwijaya berkaitan dengan masa ekspansi Islam di Indonesia dalam periode permulaan. Sriwijaya dikenal juga sebagai kerajaan maritim.
  • 922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
  • 1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Aceh dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
  • 1345-1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
  • 1350-1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka sesuai dengan "sumpah Palapa" Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu.
  • 1570 - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di Nusantara dihancurkan oleh Kesultanan Banten.

Kerajaan Hindu/Buddha
  • Kerajaan Kutai
  • Kerajaan Tarumanagara
  • Kerajaan Sunda
  • Kerajaan Kalingga
  • Kerajaan Kediri
  • Kerajaan Singhasari
  • Kerajaan Majapahit
  • Kerajaan Pajajaran
  • Kerajaan Mataram (Hindu)
  • Kerajaan Melayu Tua - Jambi
  • Kerajaan Sunda
  • Kerajaan Sriwijaya
  • Kerajaan Tarumanagara
 
Buddha sebagai Awatara Wisnu

Buddha sebagai Awatara Wisnu adalah sebuah konsep dalam agama Hindu yang dimaksudkan untuk menghormati sang Buddha, Siddhartha Gautama, pendiri agama Buddha. Buddha Awatara atau sang Buddha merupakan seorang tokoh penting yang muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai Awatara kesembilan dari Dasa Awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima Awatara Wisnu. Kata Buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan". Buddha Awatara terlahir sebagai putera mahkota Raja Suddhodana di sebuah kerajaan Hindu bernama Kapilawastu di India Utara (sekarang merupakan wilayah kerajaan Nepal) dengan nama Siddharta Gautama yang berarti "Dia yang mencapai segala hasratnya".

Namun ajaran Siddhartha Gautama tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" [1] dan konsekuenskinya, agama Buddha termasuk bagian dari salah satu mazhab nāstika (heterodoks, harafiah "Itu tidak ada") menurut mazhab-mazhab agama Dharma lainnya, seperti Dvaita. Namun beberapa mazhab lainnya, seperti Advaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya.

Buddha menurut umat Hindu
Dalam tradisi Hindu, Sang Buddha tidak memiliki posisi istimewa dalam Veda. Menurut kepercayaan umat Hindu, pada masa Kali Yuga, orang-orang mulai melupakan ajaran agama dan tindakan mereka melenceng atau tidak sesuai dengan Veda. Maka dari itu, Sang Buddha muncul untuk menyempurnakan kembali tindakan yang melenceng dari Veda dan menolak untuk menerapkan pengorbanan hewan.

Pada mulanya agama Buddha dianggap sebagai sebuah sekte oleh umat Hindu ketika ajarannya disebarkan di daratan India. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (Awatara) Tuhan. Siddharta menolak diterapkannya lembaga kasta dan upacara-upacara dalam Veda, dan juga terdapat beberapa filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat Hindu, sehingga sekte yang didirikan Siddharta Gautama menjadi agama tersendiri.

Beberapa tokoh Hindu menganggap Buddha merupakan seorang tokoh yang memperbarui ajaran Veda. Dalam beberapa filsafat Hinduisme, Rama dan Krishna yang merupakan Awatara juga dipuja sebagai Dewa, namun Sang Buddha yang juga merupakan Awatara tidak dipuja dalam Hindu selayaknya Awatara yang lain.

Awatara
Awatara atau Avatar (Sansekerta: अवतार, avatāra, baca: awatara) dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.

Kresna sebagai perantara Tuhan Yang Maha Esa dalam Bhagawad Gita bersabda:

"Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmanam srjāmy aham paritrānāya sādhūnām vināśāya ca duskrtām dharma samsthāpanarthāya sambavāmi yuge yuge" (Bhagavad Gītā, 4.7-8)

Arti: manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia, wahai keturunan Bharata (Arjuna)

untuk menyelamatkan orang-orang saleh dan membinasakan orang jahat dan menegakkan kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman

Dasa Awatara, Sepuluh Awatara Dewa Wisnu
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.

Sepuluh Awatara dari zaman ke zaman
  1. Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
  2. Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
  3. Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
  4. Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
  5. Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
  6. Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
  7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
  8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
  9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
  10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga

Awatara-Awatara dalam Purana
Dalam kitab-kitab Purana, dikenal adanya 25 Awatara termasuk sepuluh Awatara yang terkenal. Awatara-Awatara tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Awatara-Awatara tersebut yakni:
  1. Catursana (empat putra Brahmana)
  2. Narada (sang orang bijak yang senang mengembara)
  3. Waraha (sang babi hutan)
  4. Matsya (sang ikan)
  5. Yajna
  6. Nara-Narayana (si kembar)
  7. Kapila (sang pujangga)
  8. Dattatreya
  9. Hayagriva (sang kuda)
  10. Hamsa (sang angsa)
  11. Prsnigarbha
  12. Rishabha (ayah Raja Bharata)
  13. Prithu
  14. Narasimha (sang manusia-singa)
  15. Kurma (sang kura-kura)
  16. Dhanvantari (ayah dari Ayurweda)
  17. Mohini (wanita cantik)
  18. Wamana (orang cebol)
  19. Parasurama (sang ksatria)
  20. Ramachandra (Raja Ayodhya)
  21. Vyasa (penulis Weda)
  22. Balarama (kakak Krishna)
  23. Krishna (sang gembala)
  24. Buddha (Siddharta Gautama)
  25. Kalki (sang penghancur)
 
Pada mulanya agama Buddha dianggap sebagai sebuah sekte oleh umat Hindu ketika ajarannya disebarkan di daratan India. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (Awatara) Tuhan. Siddharta menolak diterapkannya lembaga kasta dan upacara-upacara dalam Veda, dan juga terdapat beberapa filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat Hindu, sehingga sekte yang didirikan Siddharta Gautama menjadi agama tersendiri.

Dlm Hindu tidak dibenarkan membedakan manusia berdasarkan keturunan, harta, status, ras, agama, dll...
sebenarnya kasta adalah istilah yg diberikan penjajah Portugis terhadap struktur sosial masyarakat India yg vertikal...
kasta merupakan penyimpangan yg dilakukan oleh bangsa Arya untuk mecegah terjadinya pencampuran dgn bangsa Dravida (penduduk asli India) demi menjaga kemurnian ras-nya dgn menggunakan ajaran Hindu yg disebut Catur Warna...padahal Catur Warna adl mengelompokkan manusia berdasarkan profesi/karyanya...Dewa Wisnu turun ke dunia sebagai Sang Budha Gautama utk meluruskan penyimpangan2 ini...

Beberapa tokoh Hindu menganggap Buddha merupakan seorang tokoh yang memperbarui ajaran Veda. Dalam beberapa filsafat Hinduisme, Rama dan Krishna yang merupakan Awatara juga dipuja sebagai Dewa, namun Sang Buddha yang juga merupakan Awatara tidak dipuja dalam Hindu selayaknya Awatara yang lain.

Ada bro...pemujaan kpd Budha ad dalam agama gw..
mantra pemujaannya disebut "Budha Astawa"...
bahkan ad sebuah mantra ilmu kanuragan/kebatinan yg disebut "Geni Werocana" yg di dalamnya terdapat pemujaan kpd Budha...
tapi kayaknya pemujaan ini hanya sebatas di Jawa, Bali, dan Lombok...di India mungkin gak ad...
ntar dech gw postingin mantranya...
mantranya panjang banget!
 
oiya, kebetulan ini di thread Buddha Siwa..
Pgn nanya donk, gmn pendapat aliran Buddha ini, mengenai konsep Anatta ?
 
Mantra Geni Werocana :

"om Siwa Buddha, Krodhante Dwyanksara Maharodram ....
...
...
Sakwehning Kawisesaning Leyak Pejah Ketadah Denira Sang Hyang Agni Werocana"


Buddha Astawa :

"om Bajra Mandalam Aswatam, Dipta Daruna....
...
...
Om Brahma Mahadewa Namastute, Om Siddhi Ari Tur Astu".

Buddha Astawa 2 (pemujaan Kpd Bhatara Buddha) :
"om Buddha Murti Sapta Lokam, Mahadewa Pita Warnam, Sarwakanakabhu Atitam...
...
...
Guru Dewa Buddha Lokam, Suddha Suksma Lingga Lokam, Kalagni Rudra Dewatam Sarwa Praja Pratistanam.
Basundari Sri Patnyam, Jaya Sari Wesnawi Dewi, Ung Mapati Tungga Dewi, Durga Masariram Dewyam."


Pengaksama (doa Mohon Ampun) :
"om Pengaksaman Nghuulun Ring Bhatara Siwa Ditya Bhaskara, Wwang Ring Ida Bhatara Paduka Buddha Wisesa,
Makadi Hyang Durbali, Sanghyang Tiga Wisesa Paduka Bhatara Panguluning Sang Mantuk Ring Buddha Loka...
...
...
Om Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang, Ang Ung Mang Nama Siwaya, Siddhir Astu."
 
iya Bro semua,waktu ini saya kan tangkil ke pura,tepatnya pura penataran Pucak Tedung,disana ada gedong baru,yang dihaturkan oleh para pengayah dari Pucak Bukit Gede,gedongnya baru jadi,dan berisi pahatan seorang pendeta memegang genta,duduk diatas bunga teratai emas,ukiran papan kayu itu diprada,dan katanya melambangkan wujud dari ida Bhatara yang melinggih di pucak Tedung,wew,Budha lagi hehe
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.