GoldenDragon
IndoForum Newbie F
- No. Urut
- 53122
- Sejak
- 20 Sep 2008
- Pesan
- 16
- Nilai reaksi
- 0
- Poin
- 1
Namo Buddhaya,
Buddha Bar sepertinya tidak dibahas di forum ini, padahal ini forum ummat Buddha dan ini adalah topik hangat di luar sana. Saya rasa hanya ada satu cara buat ummat Buddha memprotes dengan damai (bagi yang anti Buddha Bar) yaitu memboikot partai pemilik Buddha Bar (kebetulan ini jelang pemilu) dan saya rasa ini akan memberikan effek jera buat pemilik bar tersebut tanpa harus anarkis.
Berikut ini juga adalah kutipan yang saya dapat ketika browsing, ada juga yang sepertinya mengadu aliran Mahayana dengan Theravada dalam problemik Buddha Bar.
dikutip dari http://www.beritajakarta.com/V_Ind/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=32934
Kenapa musti miris ketika ummat Buddha protes? apakah ummat Buddha tidak boleh protes? Dikotomi Mahayana dan Theravada digunakan oleh saudara Lieus sepertinya sangat tidak beralasan. Ini justru sepertinya Saudara Lieus berusaha mengalihkan masalah dengan membawa problemik baru yaitu berusaha mengadu domba aliran Mahayana dan Theravada.
dan ini kutipan dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/17/opi01.html
Comment please dan maaf bila ada kata-kata yang kurang menyenangkan, semoga seluruh mahluk hidup berbahagia.
Buddha Bar sepertinya tidak dibahas di forum ini, padahal ini forum ummat Buddha dan ini adalah topik hangat di luar sana. Saya rasa hanya ada satu cara buat ummat Buddha memprotes dengan damai (bagi yang anti Buddha Bar) yaitu memboikot partai pemilik Buddha Bar (kebetulan ini jelang pemilu) dan saya rasa ini akan memberikan effek jera buat pemilik bar tersebut tanpa harus anarkis.
Berikut ini juga adalah kutipan yang saya dapat ketika browsing, ada juga yang sepertinya mengadu aliran Mahayana dengan Theravada dalam problemik Buddha Bar.
dikutip dari http://www.beritajakarta.com/V_Ind/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=32934
Restoran Buddha Bar Tetap Diizinkan Beroperasi
Setelah melalui perundingan yang alot, Direktorat Jenderal Bimas Buddha Departemen Agama (Ditjen Bimas Buddha Depag) memastikan restoran Buddha Bar di Jl Teuku Umar No 1, Menteng, Jakarta Pusat tetap diperbolehkan beroperasi tanpa ada penyegelan. Karena itu, dia mengimbau umat Buddha untuk bertindak arif, bijaksana, damai, dan tenang. Umat Buddha juga diminta tidak mudah terprovokasi oleh kepentingan kelompok tertentu menjelang pemilu tahun ini. Sebaiknya umat Buddha menyelesaikan masalah internal mereka sendiri.
Direktur Jenderal Bimas Buddha Depag RI, Budi Setiawan, mengatakan restoran Buddha Bar tetap diperbolehkan beroperasi. Dia meminta umat Buddha tidak mudah terprovokasi oleh kepentingan kelompok tertentu menjelang pemilu tahun ini. Sebaiknya umat Buddha menyelesaikan masalah internal mereka sendiri. "Saya mengimbau pemilik restoran Buddha Bar untuk merekomendasikan pergantian nama ke Perancis. Dan restoran Buddha Bar tetap doperbolehkan beroperasi," ujar Budi Setiawan, di gedung Ditjen Bimas Buddha Depag, Jakarta, Rabu (18/3).
Dia juga mengajak umat Buddha untuk melakukan perenungan dalam menyikapi setiap persoalan, termasuk penggunaan nama Buddha pada restoran Buddha Bar. “Dengan perenungan, masalah dapat diselesaikan dengan tidak menimbulkan emosi,” ujarnya. Budi mengharapkan kepada seluruh umat Buddha untuk tetap tenang dan dapat menjaga kerukunan hidup beragama di Indonesia, khususnya di Provinsi DKI Jakarta.
Pihaknya, kata Budi, juga telah memohon kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau ulang izin tetap usaha dagang Buddha Bar melalui surat pada 15 Januari 2009. “Dan itu telah dilakukan oleh Pemprov DKI,” terang Budi. Pemprov DKI menyatakan tidak ada kesalahan dalam proses izin tetap usaha dagang Buddha Bar karena telah terdaftar di Ditjen HaKI Departemen Hukum dan HAM. Lagian, nama restoran itu merupakan franchise dari perusahaan induk di Perancis yang juga sah ketetapan hukumnya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, mengatakan permasalahan Buddha bar tidak bisa ditutup atau dibubarkan begitu saja. Bahkan, Buddha Bar di Perancis tidak bisa dituntut juga untuk mengganti nama merek dagang usahanya. “Ya tidak boleh dong. Dia itu kan punya hak paten,” kata Prijanto di Balaikota DKI, Jakarta, Rabu (18/3). pemilu.
Gemabudhi Miris Unjuk Rasa Umat Buddha
Sementara itu, derasnya arus penolakan terhadap keberadaan restoran Buddha Bar justru membuat sebagian umat Buddha sedih. Sebab, aksi unjuk rasa yang dilakukan tersebut sangatlah tidak mencerminkan nilai-nilai Buddhisme. Apalagi, tidak ada ajaran agama Buddha yang melarang penempatan simbol-simbol Buddha di restoran.
Ketua Dewan Pembina Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi), Lieus Sungkharisma, justru melihat ada upaya mengkerdilkan umat Buddha yang dilakukan oleh kalangan Buddha sendiri. Pasalnya, kata Lieus, aksi demonstrasi yang dilakukan hingga ke Istana Negara tidak pernah terjadi sepanjang sejarah agama Buddha. Apalagi untuk masalah kecil seperti penggunaan nama Buddha pada restoran Buddha Bar.
Penolakan umat Buddha beraliran Theravada yang keberatan atas keberadaan patung Buddha di restoran Buddha Bar sangat tidak beralasan. Sebab, patung Buddha yang dipajang di restoran itu merupakan patung Buddha yang diagungkan umat Buddha beraliran Mahayana. “Jadi sangat tidak berdasar jika umat Buddha beraliran Theravada memprotes keberadaan patung-patung Buddha di restoran Buddha Bar itu,tegasnya, Rabu (18/3).
Apalagi, ungkap Lieus, ajaran agama Buddha tidak melarang penempatan simbol-simbol agama Buddha di sebuah restoran. Karena itu, dia menilai pemamahan pemuda Buddha yang berdemo itu sangat sempit. “Seharusnya, umat Buddha bangga simbol-simbol agama Buddha diterima masyarakat umum,” sambungnya. Dia juga menyayangkan sikap pemuda Buddha yang mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar jika Buddha Bar tidak ditutup. Karena ancaman seperti itu tidak mencerminkan ajaran Buddhisme yang penuh kasih dan menjauhi tindakan kekerasan.
Setidaknya, sebagai umat Buddha yang baik, isu yang berhembus haruslah dapat dijadikan acuan dalam meningkatkan pemahaman tentang Buddhisme. Misalnya, bagaimana Buddha mudah memaafkan seseorang, bagaimana Buddha mengajarkan untuk menggunakan akal sehat dalam bertindak. Dia mengungkapkan, jika kecaman penolakan restoran Buddha Bar itu terus berlanjut, dikhawatirkan akan ditunggangi kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab, terlebih menjelang pemilu. “Saya melihat aksi unjuk rasa ini sarat kepentingan politik terutama bagi para calon anggota legislatif serta umat Buddha yang ingin duduk di pemerintahan,” tandasnya.
Kenapa musti miris ketika ummat Buddha protes? apakah ummat Buddha tidak boleh protes? Dikotomi Mahayana dan Theravada digunakan oleh saudara Lieus sepertinya sangat tidak beralasan. Ini justru sepertinya Saudara Lieus berusaha mengalihkan masalah dengan membawa problemik baru yaitu berusaha mengadu domba aliran Mahayana dan Theravada.
dan ini kutipan dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/17/opi01.html
Apa yang Terjadi Kalau Namanya ”Islam Bar”?
Oleh
Tjipta Lesmana
Andaikata hari ini di jantung Ibu Kota berdiri dan beroperasi sebuah bar bernama “Islam Bar” – apa pun kegiatan yang dilakukan di dalam bar itu, apa kira-kira reaksi umat Islam di negeri kita yang berfalsafah Pancasila ini? Protes keras, marah, demo besar-besaran, gedung diobrak-abrik, bahkan kalau yang berkuasa masih juga pura-pura “budek”, tidak tertutup kemungkinan tempat itu akan menjadi abu dalam sekejap…. Kita bayangkan para milisi Laskar Front Pembela Islam (FPI), Mujahidin, Hisbut Tahir, dan lain sebagainya dengan wajah sangar turun ke jalan menuju lokasi “Islam Bar” atau ke Balai Kota, dengan tuntutan tegas: tutup segera bar tersebut!
Beruntung, “Islam Bar” yang dimaksudkan tidak lebih hipotetikal saja. Yang terjadi sekarang adalah Buddha Bar, sebuah restoran elite di gedung yang masuk dalam kategori “cagar budaya nasional” di Jalan Teuku Umar 1, Jakarta Pusat. Karena umat Buddha di Indonesia termasuk “teri” dari sudut jumlah serta “lunak” dari segi militansi, tidak heran Gubernur Jakarta Fauzi Bowo dengan lantang masih berani berkoar bahwa pendirian Buddha Bar tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan arogansi tinggi ia mempersilakan pihak-pihak yang menolak untuk mengadukannya ke pengadilan.
Dengan alasan apa pun, Buddha Bar harus secepatnya ditutup. Apalagi Senin, 16 Maret 2009 merupakan awal kampanye arak-arakan massa dalam rangka pemilu. Jangan sampai ada gerakan massa yang tiba-tiba menuju ke Jalan Teuku Umar 1 dan melakukan tindakan-tindakan anarkistis yang tidak diharapkan. Kecuali jika memang pihak-pihak tertentu mempunyai kepentingan politis untuk sengaja membiarkan meledaknya insiden kekerasan yang kita utarakan itu.
“Playboy”
Melalui forum ini, saya menyerukan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), khususnya Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum, untuk secepatnya bertindak. Ini karena beberapa media di Ibu Kota sudah memberitakan bahwa restoran yang dikelola oleh PT Nireta Vista Creative (NVC) dimiliki oleh putri Megawati dan putri Sutiyoso, mantan Gubernur Jakarta. Jika sinyalemen ini benar, rusaklah citra PDIP, khususnya Megawati.
Megawati kini mempunyai obsesi besar untuk kembali berkuasa di Republik ini, rumor-rumor negatif harus secepatnya dibersihkan. Megawati harus cepat bereaksi. Bantah sekerasnya apabila benar Buddha Bar tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan bisnis keluarganya. Sebaliknya, jika sinyalemen itu benar, perintahkan juga kepada NVC untuk segera mengganti nama Buddha Bar dengan nama apa saja, kalau perlu sekalian saja diberikan nama “PDIP Bar”. Maka, persoalan pun selesai.
Apa yang dikemukakan oleh Lieus Sungkharisma bahwa orang-orang yang datang ke restoran itu merasa nyaman dengan patung Buddha, sungguh, aneh. Kita tidak tahu apakah Lieus berbicara sebagai seorang Buddist atau politisi PDIP. Kalau dikatakan Buddha Bar tidak ada kaitan dengan agama Buddha, tapi semata-mata merupakan “franchise restaurant” yang berasal dari Prancis, itu jelas sebuah pandangan dan sikap yang ngawur. Bahwa di Prancis, Beirut, Kairo, London, New York, Sao Paolo, Shanghai dan Makau, “Buddha Bar” juga ada, maka sah-sah saja hadir di Indonesia, itu juga pandangan yang ngawur. Apa sesuatu yang ada di luar negeri, otomatis tidak usah dipersoalkan kalau juga hadir di negeri kita? Dengan logika sama, Kepala Dinas Pariwisata DKI, Arie Budhiman, mestinya juga berani membela kehadiran majalah Playboy di Indonesia: Bukankah Playboy bisa dijumpai di banyak negara? Kenapa tidak boleh ada di sini?
Indonesia bukanlah negara sekuler, meskipun juga bukan negara agama. Indonesia negara Pancasila. Negara memang tidak mencampuri pelaksanaan akidah seluruh umat beragama yang ada di negara kita. Namun, negara dalam batas tertentu turut mengatur kehidupan beragama. Kalau negara lepas tangan sepenuhnya, “perang agama” sudah lama pecah di Indonesia, dengan skala yang amat dahsyat. Bangsa kita multietnis, multi-agama, multikultur dan adat-istiadat, multibahasa. Jika tidak pandai-pandai dikelola yang “serbamulti” ini sehingga satu sama lain bisa hidup harmonis, minimal hidup berdampingan secara akur, Indonesia sudah lama hancur lebur.
Pemprov DKI Melawan
Sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa — mengandung makna bahwa negara mengakui eksistensi agama, negara memberikan jaminan kepada rakyat untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya masing-masing. Sila ini mengandung makna bahwa masing-masing agama diberikan otoritas mengatur dirinya sendiri. Otoritas itu antara lain ditandai dengan berdirinya MUI untuk umat Islam, misalnya, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) untuk umat Kristen Protestan, Konperensi Wali-Gereja Indonesia (KWI) untuk umat Kristen Katolik, WALUBI untuk umat Buddha dan lain-lain. Instansi-instansi ini kemudian menjadi mitra pemerintah dalam urusan agama. Di Departemen Agama juga ada beberapa direktorat jenderal yang mengurusi kepentingan berbagai agama.
Logikanya, ketika timbul masalah yang terkait dengan umat satu agama, pemerintah mendengar dan betul-betul memerhatikan aspirasi umat agama tersebut yang biasanya disampaikan melalui dewan-dewan tersebut. Maka, polemik mengenai Buddha Bar takkan muncul jika Pemerintah DKI mau mendengar suara umat Buddha yang dikumandangkan oleh berbagai organisasi seperti Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Sangha Theravada Indonesia dan WALUBI.
Ketika Arie Budhiman selaku Kepala Dinas Pariwisata DKI meminta rekomendasi WALUBI sebelum mengeluarkan izin operasional Buddha Bar, dan ketika WALUBI menjawab “menolak tegas penggunaan nama Buddha Bar sebagai merek dagang usaha di Indonesia”, mestinya Pemprov DKI berpikir 10 kali. Apalagi ketika Departemen Agama yang diwakili Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha dalam suratnya (15 Januari 2009) juga meminta Gubernur DKI “meninjau ulang izin tetap usaha pariwisata Buddha Bar”, Gubernur Fauzi Bowo mestinya berani menolak permohonan PT NVC. Kenapa Pemerintah Provinsi DKI berani melawan perintah pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Agama RI? Isu Buddha Bar memang penuh misteri. n
Penulis adalah widyaiswara Lemhannas, mantan Penatar P4.
Comment please dan maaf bila ada kata-kata yang kurang menyenangkan, semoga seluruh mahluk hidup berbahagia.