• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Politik Pilpres 2014, Benarkah Islam Vs Non-Islam?

Adhyatmoko

IndoForum Newbie F
No. Urut
283445
Sejak
4 Jul 2014
Pesan
1
Nilai reaksi
0
Poin
1
Pilpres diusung oleh banyak partai, dan setiap partai memiliki kepentingan. Di negara yang menerapkan sistem demokrasi, kepentingan-kepentingan mereka dapat sejalan atau malah berseberangan. Mereka yang sejalan membentuk koalisi untuk mengusung jagoannya. Namun, tidak menutup kemungkinan antar partai dan anggota dari partai yang berbeda koalisi dapat berafiliasi atau menjalin hubungan. Buktinya, banyak anggota partai dari suatu koalisi yang menyeberang ke koalisi lain. Dan, partai-partai yang sebelumnya berkoalisi di parlemen pun pecah. Motivasi mereka beragam, mungkin atas dasar akal sehat, kekecewaan, karir politik, ideologi, balas budi, iming-iming materi, atau kamuflase.

Dari sekian motivasi yang menyebabkan seorang anggota dan sebuah partai tetap berada di koalisinya atau berpindah ke koalisi lain; hanya dua pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, yakni akal sehat dan ideologi. Kedua pertimbangan ini berkaitan, bahkan dapat dikatakan sebangun. Misalnya, partai yang memandang bahwa liberalisme ekonomi berbahaya, akan menentang para kapitalis untuk tumbuh subur di Indonesia. Mereka yang meyakini bahwa syariat Islam adalah hukum kehidupan satu-satunya yang benar, berpendapat bahwa berpihak dengan hukum selain itu adalah kafir. Lantas, sejauh apa keputusan partai-partai politik dan anggotanya untuk berbeda koalisi dapat dipertanggungjawabkan secara logis?

Gerindra dan PDIP

Kedua partai ini mengusung jagoannya masing-masing. Gerindra telah lebih dulu menetapkan Prabowo sebagai capres dan mengantongi perolehan suara pemilu legislatif 11,81%. PDIP menyusul kemudian dengan Jokowi dan berbekal perolehan suara pileg 18,95%. Agar mencapai presidential thresholdsebesar 20% kursi DPR atau 25% dari suara sah Pemilu Legislatif nasional, kedua partai memungkinkan untuk mengusung jagoannya dengan berkoalisi dengan partai-partai lain. Kontestasi pilpres akhirnya menjadi dua kubu setelah Golkar dengan perolehan suara pileg 14,74% batal mengajukan calonnya dan menyatakan bergabung dengan Gerindra. Tak ketinggalan Nasdem menyumbang 6,72% untuk PDIP.

Kehadiran partai-partai lain di kedua kubu mewarnai berbagai kepentingan dalam pilpres. Secara matematis jika sekedar mencalonkan presiden, keempat partai nasionalis (PDIP dan NASDEM, Gerindra dan Golkar) tidak perlu merangkul partai-partai Islam. Akan tetapi, Gerindra awalnya telah berkoalisi dengan PPP disusul oleh PAN dan PKS, lalu PBB. Gerindra mempertaruhkan ideologi nasionalismenya dengan berkoalisi dengan partai yang notabene memiliki kaitan sejarah dengan Masyumi - partai politik Islam yang terang-terangan menolak Pancasila, sehingga Dewan Konstituante yang terbentuk setelah pemilu 1955 gagal merumuskan dasar negara dan Undang-undang Dasar. PKS jelas-jelas mengakar pada Ikhwanul Muslimin yang menolak tatanan demokrasi di Mesir, meskipun turut dalam pesta demokrasi pertama di Mesir. Sedangkan, PAN yang awalnya tampak nasionalis mulai terbongkar watak aslinya, terutama pernyataan-pernyataan Amien Rais yang potensial menggoyang SARA.

Stigmatisasi Komunis

Gerindra sebagai partai nasionalis mempertaruhkan ideologinya. Apakah berarti partai ini berubah haluan menjadi salah satu dari sekian banyak parpol Islam? Tidak mungkin, karena problem besar jika Gerindra kehilangan pengikut dari golongan Kristen. Gerindra tidak memiliki basis massa dari kelompok Muhammadiyah dan Nahdliyin, sehingga otomatis bunuh diri jika partai ini berhadapan dengan parpol-parpol besar Islam yang secara historis telah mengakar dalam masyarakat, seperti PKB, PPP, dan PAN.

Karena itu, Gerindra memiliki manuver politik dengan menunggangi parpol-parpol Islam. Pertama, Gerindra butuh sebaran suara nasional pileg untuk memenuhi presidential treshold. Kedua, Gerindra butuh dukungan massa di luar basis PDIP. Ketiga, Gerindra memanfaatkan sentimen agama yang masih kental di masyarakat, baik golongan Kristen maupun Islam. Lihat saja sibuknya adik Prabowo, Hasyim bersafari politik ke gereja-gereja dan Prabowo-Hatta bertemu para kyai dan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Nyaris atau bisa dikatakan tidak ada polemik di antara Kristen dan Islam di kubu Prabowo-Hatta, kecuali desakan penghapusan kalimat dalam manifesto Gerindra menyoal pemurnian agama.

Berbeda dengan PDIP, partai ini tidak menarik massa atau relawan atas dasar sentimen agama. Masuknya PKB memang mampu mengundang simpati warga Nahdliyin, tetapi PKB bukan parpol Islam yang getol memprakarsai pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Bagaimanapun juga konflik internal yang dialami oleh PKB, sosok Gusdur masih kuat di kalangan Nahdliyin yang mencerminkan semangat kebangsaan ketimbang sektarian. Kondisi demikian membuat PDIP dijadikan sasaran untuk stigmatisasi komunis. Wajar saja karena sejarah politik Indonesia menempatkan komunisme bersanding dengan nasionalisme. Apalagi, banyak masyarakat yang awam dengan paham komunisme, dan cenderung mempercayai bahwa komunis itu anti-Tuhan, atau komunis itu anti-agama. Peribahasa “memancing di air keruh” berhasil diterapkan oleh kubu Prabowo-Hatta.

Bernada sama, beberapa kelompok Islam mulai terpancing dengan isu komunisme, dibumbui gagasan penghapusan perda syariat oleh PDIP. Mereka berpendapat bahwa PDIP selama ini berseberangan dengan usulan perundang-undangan yang mementingkan mayoritas Islam. Tak main-main, fatwa haram pilih Jokowi digelontorkan oleh FUUI di Jawa Barat.

Parpol Islam tendensius

Agitasi banyak beredar di masyarakat, yakni pilih Jokowi sama saja membiarkan Ahok jadi Gubernur DKI. Praktis mudah dipahami kepentingan parpol-parpol Islam di kubu Prabowo-Hatta tidak menampik bahwa mereka tidak mau Ahok jadi gubernur menggantikan Jokowi. Cuma sebatas inikah atau ada kepentingan lain di luar akal sehat dan ideologi?

Bila parpol dan kelompok Islam mengira bahwa hanya PDIP yang berseberangan dengan kepentingan mayoritas Islam, mereka keliru. Gerindra turut menolak usulan perundang-perundangan yang bernuansa syariat. PDIP pernah pula bersanding dengan PPP saat Hamzah Haz menjabat wapresnya Megawati. Hasyim Muzadi yang cenderung konservatif juga pernah mendampingi Megawati di Pilpres 2004.

Maka, sentimen agama yang ditunjukkan parpol dan golongan Islam terhadap PDIP (Jokowi) sama sekali tidak berdasar, kecuali seputar polemik Ahok jadi Gubernur DKI. Ataukah karena JK yang sempat menyentil kelompok Islam radikal, laskar jihad misalnya? Yusuf Kalla merupakan figur bagi masyarakat Indonesia timur, khususnya Makassar. Tak diragukan lagi bahwa Makassar adalah basis Islam yang kuat. Apakah terjadi penolakan hebat terhadap sosok Jokowi-JK dalam pencapresan yang mengandalkan sentimen agama di Makassar?

Politik oligarki ancam demokrasi

Penulis mencuplik pendapat Mahfud bahwa politik oligarki di Indonesia harus dihapuskan.

”Dari oligarki melahirkan transaksi, transaksi melahirkan oligarki, kata Mahfud dalam acara seminar bertajuk? Meluruskan Reformasi Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Konstelasi Politik, di? IAIN Syeh Nurjati Cirebon. - Republika.co.id (18/2/2014)

Tanpa ia sadari Mahfud mengingkari pernyataannya sendiri. Oligarki adalah batu sandungan terciptanya demokrasi karena melahirkan faksi-faksi di kancah perpolitikan. Faksi-faksi terbentuk dengan pengelompokkan kepentingan partai/golongan dan bukan demi rakyat. Salah satu indikasinya, perilaku berpindah kubu politik hanya lantaran kepentingan pribadi. Ini telah dibuktikan Mahfud karena ia merasa dicurangi oleh manuver politik Muhaimin.

Sehubungan dengan uraian sebelumnya, perilaku yang menggunakan sentimen agama (SARA) sama sekali tidak mendidik, tidak sehat, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan ideologis. Bukan saja antar kelompok agama yang diadu domba, namun juga kalangan internal agama itu sendiri. Bangsa ini pernah terluka sejak isu antikomunisme di era 60-an. Korbannya bukan orang lain saja, melainkan sanak saudara dari masing-masing pihak yang bertikai. Isapan jempol semua itu demi kemaslahatan umat, persatuan, dan keadilan.

Perhelatan Pilpres sekarang dengan memunculkan sentimen agama tidak dapat disimpulkan menjadi pertarungan antara Islam dan Non-Islam. Politik oligarki sesungguhnya sedang terjadi. Tarik-menarik kepentingan antar parpol secara tidak sehat dan kamuflase politik yang dipergunakan sebagai aksi tipu-tipu seolah-olah terjadi perseteruan antar agama dengan romantisme komunis kembali dihembuskan. Kita mesti belajar untuk menerapkanmerit system dalam memilih sosok pemimpin. Pilihlah mereka yang teruji kecakapan dan prestasi kerjanya, bukan berdasarkan sentimen pribadi/golongan dan janji-janji politik.
 
Terakhir disunting:
ya bagus deh asal gak ribut aja
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.