Keberhasilan penandatanganan MoU damai Helsinki dan pelaksanaan perdamaian satu tahun terakhir di Aceh merupakan suatu contoh yang baik bagi dunia internasional terutama dengan banyaknya perdamaian dunia yang gagal beberapa waktu terakhir.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari pada konferensi internasional bertajuk "Membangun Perdamaian Kekal di Aceh: Satu Tahun Setelah Nota Kesepahaman Helsinki" di Jakarta, Senin (14/8).
"Saya akui perundingan di Helsinki tidak selalu mudah tapi saya dikelilingi orang-orang yang ingin menghentikan penderitaan rakyat Aceh," katanya.
Menurut dia, ada enam alasan di balik kesuksesan mewujudkan MoU Helsinki dalam waktu singkat yaitu keinginan politik, komitmen delegasi, waktu, kebutuhan menyelesaikan masalah dengan cepat, keterkaitan melalui jalur 'multitrack' dengan organisasi-organisasi lainnya yang memberikan kontribusi berharga untuk perdamaian dan adanya Aceh Monitoring Mission (AMM).
Pemerintah Indonesia dan GAM, kata dia, memiliki komitmen politik yang sangat serius untuk mewujudkan perdamaian di Aceh.
Kesepakatan damai, lanjut dia, bukanlah akhir tapi awal dari perdamaian, komitmen dari kedua belah pihak adalah kuncinya sedangkan fasilitator luar hanya membantu.
Oleh karena itu, kata dia, penting bagi kedua belah pihak untuk menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah dibuat.
"Saya sangat bahagia dengan apa yang telah dihasilkan" ujarnya.
Selama hampir tiga abad rakyat Aceh telah banyak menderita akibat ketidak-stabilan dan ketidak-amanan di wilayahnya. Banyak keluarga kehilangan sanak saudara, rumah dan harta benda, karena pertikaian yang berlangsung di beberapa wilayah propinsi tersebut.
Tsunami yang terjadi pada Desember 2004 telah menambah bencana bagi rakyat Aceh dan pada saat yang bersamaan telah menumbuhkan rasa solidaritas dari seluruh rakyat Indonesia untuk membangun kembali Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nota Kesepahaman yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 telah menciptakan babak baru dalam sejarah Aceh ke arah perdamaian yang membawa keadilan, kemakmuran serta bermartabat.
Sumber : Analisa
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari pada konferensi internasional bertajuk "Membangun Perdamaian Kekal di Aceh: Satu Tahun Setelah Nota Kesepahaman Helsinki" di Jakarta, Senin (14/8).
"Saya akui perundingan di Helsinki tidak selalu mudah tapi saya dikelilingi orang-orang yang ingin menghentikan penderitaan rakyat Aceh," katanya.
Menurut dia, ada enam alasan di balik kesuksesan mewujudkan MoU Helsinki dalam waktu singkat yaitu keinginan politik, komitmen delegasi, waktu, kebutuhan menyelesaikan masalah dengan cepat, keterkaitan melalui jalur 'multitrack' dengan organisasi-organisasi lainnya yang memberikan kontribusi berharga untuk perdamaian dan adanya Aceh Monitoring Mission (AMM).
Pemerintah Indonesia dan GAM, kata dia, memiliki komitmen politik yang sangat serius untuk mewujudkan perdamaian di Aceh.
Kesepakatan damai, lanjut dia, bukanlah akhir tapi awal dari perdamaian, komitmen dari kedua belah pihak adalah kuncinya sedangkan fasilitator luar hanya membantu.
Oleh karena itu, kata dia, penting bagi kedua belah pihak untuk menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah dibuat.
"Saya sangat bahagia dengan apa yang telah dihasilkan" ujarnya.
Selama hampir tiga abad rakyat Aceh telah banyak menderita akibat ketidak-stabilan dan ketidak-amanan di wilayahnya. Banyak keluarga kehilangan sanak saudara, rumah dan harta benda, karena pertikaian yang berlangsung di beberapa wilayah propinsi tersebut.
Tsunami yang terjadi pada Desember 2004 telah menambah bencana bagi rakyat Aceh dan pada saat yang bersamaan telah menumbuhkan rasa solidaritas dari seluruh rakyat Indonesia untuk membangun kembali Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nota Kesepahaman yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 telah menciptakan babak baru dalam sejarah Aceh ke arah perdamaian yang membawa keadilan, kemakmuran serta bermartabat.
Sumber : Analisa