• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

[mohon maaf...promosi] yang suka cerita horor

harlock

IndoForum Newbie F
No. Urut
2728
Sejak
29 Jun 2006
Pesan
13
Nilai reaksi
0
Poin
1
maapin pak mod
saya mau promosi dikit

saya membuat online novel horor di blog saya

harlockwords.wordpress.com

mohon dikunjungi dan diberi saran saran kalau kurang serem


thanks sebelomnya
 
@harlock, bisa share salah satu ceritanya di sini, supaya ada komentar/saran-saran.
Nanti bisa jadi sinetron atau film layar lebar Horor. thanks.
 
Petaka Lereng Lawu

Oktober 30, 2008
Petaka Lereng Lawu
Diarsipkan di bawah: Horor, Novel, Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 4:36 am
Tags: Horor, Novel, Lawu


PROLOG



“ Kulo wangsul riyin pak “ (Saya pulang dulu)

“ Yo….eh Dar, jangan lupa bahan bahan untuk penyemprotan besok disiapkan subuh, Pak Peni mau kesini besok siang” ujar Marmo

“ Nggih pak “



Sore sudah menjelang maghrib, cuaca mulai gelap perlahan. Marmo menuju rumah panggung kecil di pinggir pematang untuk mengepaki bawaannya. Setelah semua siap, segera dia berjalan melewati pematang pinggiran kebun menuju sepeda motor yang dia parkir di ujung petak kebun teh untuk segera pulang.



Tiba-tiba dari arah hutan pinus di pinggir kebun, sekelebat bayangan putih meluncur tajam hampir meraih kepalanya. Dengan reflek cepat Marmo bergerak merunduk.



“ Astaghfirullah!!! Apa itu?”



Bayangan itu berhenti dan berdiri diatas pohon pinus sambil menatap Marmo. Matanya menyala merah tajam. Samar samar Marmo menghirup bau yang menyesakkan. Tak menunggu lama, Marmo berlari kencang menuju sepeda yang dia parkir sambil mengucapkan lafal-lafal yang dia hafal. Bayangan putih itu berterbangan sembari menimbulkan suara berdesing mengejar Marmo. Marmo tidak berani untuk menoleh kebelakang. Dia pacu kecepatannya berlomba dengan detak jantungnya yang berdegub keras.



Marmo merasa belum lama para anak buahnya meninggalkan tempat itu. Dia berharap bisa segera menyusul mereka. Tetapi Marmo merasa jarak yang biasa dia tempuh jadi lebih jauh dari biasanya. Langkah kaki yang dia rasa telah mencapai kecepatan maksimum, tidak bisa membuat dia segera mencapai motornya. Bayangan itu semakin mendekat ke arahnya. Marmo merasa jemari jemari mahluk itu telah berada dekat sekali dengan tengkuknya.



“AAARRGG!!!!…”



Marmo terjatuh berguling tepat di sebelah ban motor yang dia parkir. Matanya memejam sejenak, dan dia buka untuk melihat sekeliling. Dengan gugup dia menoleh searah barisan pohon pinus di seberangnya. Dia melihat sorot mata merah di atas dahan pinus yang bergoyang ditiup angin senja itu.

Seperti mengejek, mahluk itu hanya memandang Marmo tanpa ada tanda tanda untuk terbang ke arahnya.



“ Ya Allah…..jangan aku ya Allah…..jangan aku…” ujar Marmo



Seperti tersadar, Marmo bangkit dan segera menstater motornya untuk secapatnya enyah dari tempat itu. Dia pacu motornya tanpa menghiraukan jalanan makadam yang penuh dengan batu. Samar samar dia mendengar suara teriakan melengking dan menjauh dari arah belakangnya. Dia kebut hingga memasuki gapura desanya dan secepatnya menuju rumah tinggalnya tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Beberapa orang kampung yang melihat menampilkan ekspresi yang bermacam macam. Marmo tidak memperdulikan itu. Hanya nyawanya yang dia pedulikan. Marmo ingin secepatnya masuk rumah dan menguncinya.



Motor itu sampai di depan rumah. Marmo tidak peduli sandaran motornya sudah turun atau belum. Dia lemparkan motornya di tengah halaman lalu menghambur masuk. Dengan gugup Marmo mengunci pintu. Mulutnya yang bergetar hebat tak berhenti komat kamit. Peluh bercampur air mata menetes di seluruh mukanya.



“ Ada apa mas? “ Istinya yang baru keluar dari dapur bertanya kepadanya.

“ ………” Marmo diam seribu bahasa.

“……..Tini….walau ada apapun……jangan kau buka pintu ini…jangan sekali kali ! ….” Ucap Marmo kemudian dengan terbata bata



Marmo lari menuju kamarnya. Sang istri terbengong, lalu menyusulnya ke kamar. Tak diduganya, kamar itu terkunci dari dalam.



BRAKK!!..BRAK!!…BRAK!!!



“ Mas!!!….Mas!!! Buka pintu, Mas!! ” Tini berteriak sambil menggedor pintu.

“ Jangan, jangan……” Tini seperti ingat sesuatu “ Maaass….!!! Maaasss…!! “



Dari dalam kamar terdengar lenguhan. Dan….



“ AAKKHH…!! ..Ampuun….!! Ya Allaaaahh……”

“ Maaaaaaaasss..!!! Tooloooooooong….Tolonnnnngggg!!!!!!!! “ Tini berteriak histeris sehingga mengundang beberapa orang kampung datang kerumahnya.

“ Tolong pak….Mas Marmo didalam….”

“ Ada apa?? “

“ Mas Marmo, pak….”



“ HOEEKKK…!!!! HUKH….AAAARRGGHH!!! “ Lenguhan Marmo semakin keras terdengar



Tanpa basa basi lagi para penduduk kampung segera mendobrak pintu kamar Marmo



BRUAAK!!!!….



Penduduk kampung menghambur ke dalam kamar Marmo. Suatu pemandangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata orang normal. Darah berceceran di sekitar pembaringan. Marmo terlihat dalam posisi bersujud dengan tangan kiri memegangi perut sedangkan tangan kanan memegangi leher. Kepalanya menoleh kekiri. Matanya membeliak keatas. Darah segar menetes di sisi mulutnya. Sudah bisa dipastikan kalau nyawanya sudah tidak tinggal lagi di raganya.



Tini menggelosor kebawah setelah melihat keadaan suaminya yang seperti itu. Penduduk kampong tercengang. Sebagian menggeleng-gelengkan kepala.



“ Mbang, panggil pak lurah……Ya Allah….satu lagi…” ujar salah satu warga.

“ Mau sampai kapan……”



Komentar (0)
 
ini prolog dari novel saya
sekarang baru saja sampai di bab 7

kalau berkenan,
tiap saya post satu bab di blog saya,
saya juga posting disini
tapi,
sebelumnya saya minta komentar dulu dari rekan rekan

insya allah saya posting hari senin
 
Bab I



“ Ham…..Riham!! “



Seorang ibu paruh baya terlihat berjalan tergesa melintasi ruang keluarga sebuah rumah di pinggiran kota. Wajahnya tampak gusar. Kerutan tanda dimakan usia terlihat semakin jelas menghiasi raut sang empunya wajah. Dia menjelajahi setiap sudut rumah. Terlihat kecemasan yang hebat telah melanda perasaannya.



“ Rihaam!! Kamu dimana nak? “ teriaknya.

“ Yaa bu! “ seorang pemuda yang hanya berkain sarung keluar dari kamar mandi dan menjawab sambil menghanduki rambutnya yang panjang sebahu “ Ada apa pagi pagi kok teriak teriak, bu ? aku baru dari kamar mandi “ sahutnya.

“ Ham….budemu nak….Bude Darno….meninggal subuh tadi….”



Setelah memberi tahu Riham apa yang terjadi, sang ibu tak kuasa menahan emosinya. Tangisnya pecah. Ia jatuh bersimpuh dengan bersandarkan tembok rumah. Kedua telapak tangannya menutupi seluruh wajahnya. Riham yang sejenak terpukul mendengar berita itu, segera menghampiri ibunya yang tengah histeris.



“ Sudah bu, sabar, sabar bu, ingat kesehatan ibu…….”



Mulutnya mencoba menenangkan hati ibunya walaupun saat mengucapkan kalimat itu tenggorokannya terasa tercekat. Tampak buliran air mata merebak di sekitar kelopak mata Riham. Ia berusaha menahan perasaan duka, tetapi berita mendadak itu terasa memaksa dadanya untuk berguncang dan memompa aliran emosi hingga ke pelupuk matanya.



“ Semua sudah kehendak Allah, kita tak bisa menghindarinya….. “ ujarnya (“ Seperti saat kita kehilangan Ayah…”) Riham melanjutkan dalam hatinya. Tak tertahankan kesedihan itu hingga Riham mengingat saat Ayahanda meninggalkannya tiga tahun lalu. (“ Belum genap seribu hari Ayah…Bude Darno…..Ya Allah…ampunkanlah dosaku…”) benak Riham terus berjalan. Airmata yang semula hanya menggenang akhirnya terjatuh juga dipipinya. Tangannya tetap merangkul pundak ibundanya yang terus menangis histeris.



“ Sudahlah bu….tak baik kita terus berduka, lebih baik kita mendoakan agar amalnya diterima Allah Yang Maha Kuasa. Tentu bude tak ingin kita seperti ini bila beliau melihat. Kita serahkan saja pada Allah “



Riham berusaha menenangkan hati ibundanya yang gundah gulana. Ia terus menasihati ibundanya hingga sang ibu menghentikan tangisnya. Sang ibu yang sepeninggal suaminya, ayahanda Riham, telah mengidap penyakit hati kronis yang tidak memperbolehkannya untuk berpikir berat dan kecapekan.



“ Ingat sakit ibu, jangan sampai kambuh lagi bu…” lanjutnya



Perlahan sang ibu menghentikan tangisnya. Riham bangkit menuju meja makan dan menuangkan segelas air putih. Ia membawa gelas itu kearah ibunya dan menyodorkannya dengan lembut.



“ Ini bu, diminum dulu…….kapan berita itu ibu terima? “

“ Si Tono tetangga Pakde Darno meng-SMS ibu tadi, ibu baru baca sepulang dari pasar. Ada miskol beberapa dari nomor Ngawi “ dengan sesenggukan ibu Riham menjelaskan.

“ Sakit apa bude..? “

“ Ibu ndak tahu nak…”

“ Ada kabar dimakamkan jam berapa ? “

“ Tidak ada…”

“ Baik, berapa nomor telepon mas Tono? Habis ini ku telepon dia “

“ Lihat di ha-pe ibu di meja kamar….”



Sang ibunda berdiri dan beranjak menuju meja makan. Ia menuangkan lagi segelas air putih dan meneguknya. Riham terlihat bergegas masuk ke kamar ibunya dan segera keluar menuju kamarnya sambil membawa sebuah ha-pe. Didalam kamar ia menuju sebuah meja kecil dimana ha-penya terlihat tersambung ke sebuah adaptor charger yang menempel di stopkontak dinding. Riham mengutak utik ha-pe ibunya. Ditujunya menu pembuka pesan pendek. Dilihatnya sebuah pesan terbaru yang memuat rangkaian nomor telepon pengirim. Lalu dia memijit beberapa tombol angka di ha-penya sendiri. Sesaat kemudian telepon tersambung.



“ Halo! ”

“ Ya halo, sopo iki ? “ sahut suara dari seberang.

“ Aku mas Ton. Riham, ponakane Bude Darno ? “

“ Oalah dik Riham, Iyo dik, bude sampeyan sedo mau subuh (budemu meninggal tadi subuh) “

“ Aku wes di kandani ibu mas, gerah opo ? (Aku sudah diberitahu ibu mas, sakit apa?) “

“ Ndadak iki dik, Pakde sampeyan pirsone pas bar sholat Subuh, wong wingi yo sehat (mendadak dik, pakdemu tahunya setelah sholat Subuh, orang sebelumnya juga sehat sehat saja) “

“ Yo wis mas, dimakamkan kapan ? “

“ Sebentar jam sembilan siang “

“ Dilut ngkas aku pe budal (sebentar lagi aku berangkat), tolong kabari pakde ya “

“ Yo dik, nanti pakde Darno aku kabari “

“ Suwun yo mas kabarnya “

“ Podo-podo dik (sama-sama), “



Riham menutup teleponnya. Ia bergegas memakai bajunya dan segera keluar kamar.
 
Bab II


Jauh di Lereng Lawu, di ujung perkampungan Desa Njamus berbatasan dengan perkebunan teh yang amat luas, sebuah rumah kuno dengan ukuran yang amat besar berdiri dengan megah. Dilihat dari tampak depan bangunan itu, terlihat sisa kejayaan arsitek arsitek negara seberang laut yang pernah lama tinggal di bumi nusantara ini jauh bertahun lampau. Tembok dan gerbang yang berukiran khas daratan Eropa menghias pintu masuk kawasan rumah bergaya viktoria ini. Halaman yang luas tampak dihiasi dengan barisan semak semak yang tertata rapi dan juga terawat. Pohon pohon kamboja berukuran raksasa tersebar di sekeliling halaman. Dahan dahannya yang terpencar di segala penjuru penuh dengan daun dan membuat suasana di sekitar halam menjadi agak redup. Di teras depan, tampak pilar pilar raksasa menyambut tamu yang datang mengunjungi tuan rumah sebelum para tamu tersebut mencapai pintu utama rumah ini. Semua terkesan elegan sekaligus angker.



Tersebutlah Tuan Djojobroto, sang empunya rumah ini. Dia adalah pemilik lahan maha luas disekeliling lereng Lawu yang tertutup oleh pohon pohon teh yang dirawat oleh pembantu pembantunya. Djojobroto mewarisi semua lahan serta rumah megah peninggalan penjajah Belanda dari bapak istrinya, anak dari mandor kepercayaan Tuan Mellviz van Roullt, tuan tanah perwakilan kerajaan Belanda yang mengelola lahan luas disamping Gunung Lawu untuk ditanami teh yang hasilnya dikirim ke negeri Belanda. Ketika Jepang menyerang Nusantara yang diduduki Belanda pada perang dunia II tahun 1942, dengan cerdik si mandor melobi tentara Jepang untuk tidak merampas harta dan membunuh juragannya. Tuan Mellviz amat berterima kasih kepada kakek dari Djojobroto, sehingga, pada saat akhir perang dunia II, tanah sekaligus harta benda Tuan Mellviz yang selamat dari jarahan tentara Jepang, diwariskan kepada kakek dari istri Djojobroto. Istri Djojobroto meninggal hampir lima belas tahun lalu. Kini dia sendiri yang mengelola perkebunan luas itu.



Sore itu terlihat Tuan Djojobroto yang berpakaian kemeja putih model Jawa timuran dipadu dengan celana putih sedang berada di halaman tengah rumah megahnya. Bagaikan sebuah villa tempat para eksekutip menghabiskan weekend, halaman rumah itu dihiasi dengan kolam renang bergaya modern yang sangat kontras dengan bangunan utama. Dia duduk di sebuah kursi besi berukir di sebelah meja bundar yang berpayung besar ditengahnya. Di depannya terlihat tumpukan kertas-kertas laporan dan piring berisi kue serta secangkir kopi panas yang terlihat masih mengepulkan asap di sela sejuknya udara lereng Lawu ini. Wajah Tuan Djojo terlihat tidak enak dan serius. Dia sedang berhadapan dengan seseorang yang berumur agak lebih tua darinya. Dia adalah mandor pengelola dari kebun tehnya. Namanya Supeni, penduduk Desa Njamus yang dipercaya olehnya untuk mengawasi kebunnya.



“ Bagaimana Marmo ni ? “

“ Mati pak “

“ Sakit ? “

“ Tidak itu pak “ jawab Peni “ Sebelum dia mati, penduduk melihat dia ngebut masuk kampung pak, kayak orang kesurupan “

“ Hmm….terus…? “

“ Dia masuk kamar, dikunci dari dalam, terus mati “

“ Dokter Puskesmas bilang apa ? “ Tuan Djojo terus bertanya

“ Katanya ada yang menyumbat saluran nafasnya, gejalanya seperti keracunan pak, kalo dilihat dari posisi matinya, posisi tangannya seperti orang mules “

“ terus….nggak di otopsi sama RSUD Ngawi ? “

“ nggak boleh sama istrinya pak “

“ kenapa ? “

“ itu yang saya ndak ngerti, pokoknya istrinya nggak mau “

“ hmm…………” Djojo seperti memikirkan sesuatu

“ Kamu sudah ada kandidat yang menggantikan si Marmo ? aku minta yang lebih rajin, minimal serajin si Marmo, ni “ Tanya Tuan Djojo nyerocos dengan nada agak tinggi.

“ Sudah pak, saya ngambil anaknya si Kabul yang masih muda, dia baru saja nyelesaikan proyek di Bojonegoro. Sekarang lagi habis proyek. Dia nggak berniat balik kota lagi. “ jelas Peni lengkap

“ Kamu atur lah sebaik mungkin “

“ baik pak “ ujar Peni mantap “ pokoknya beres “
 
Bab III



Riham keluar kamar dan menghampiri ibunya yang masih terpekur di sisi meja makan. Dia mengambil tempat di seberang ibunya yang duduk di sisi kiri meja.



“ Sudah bu, jangan terlalu banyak dipikir “ ujar Riham sambil mengambil gelas dan menuangkan air kedalamnya, “ Mas Tono sudah aku telpon bu, bude dimakamkan jam sembilan ini “

“ ….dia satu satunya keluargaku ham, sepeninggal ayahmu, ndak ada lagi tempat aku mengadu…sedangkan ibu ndak terlalu dekat dengan pakdemu……”

“ sudahlah bu, masih ada aku dan adik-adik, ibu jangan terlalu resah, biarkanlah aku yang menjadi tempat curahan hati ibu, aku akan siap selalu bila ibu perlukan “



Ibunya hanya mendesah tanpa menanggapi pernyataan Riham yang tulus. (“ tidak semudah itu… “) pikirnya . Perasaannya masih sangat kalut, pandangannya selalu kosong walaupun Riham yang sedang mengajak bicara tepat diseberang tempat duduknya. Riham tetap saja melanjutkan bicaranya. Walaupun apa yang terjadi, dia tahu benar hancurnya perasaan sang ibu. Dia maklum akan penderitaan sang ibu.



“ Aku berencana mau langsung berangkat ke Njamus bu, mungkin aku agak lama, sampai 7 harinya mungkin lebih, aku ingin menemani pakde, kasihan bu, pakde ndak ada siapa siapa lagi… “ lanjut Riham

“…Aku ikut…” tiba tiba ibunya menyahut sebelum Riham selesai bicara

“ Ndak usah bu, ibu sedang dalam kondisi yang ndak baik, lebih baik ibu kirim doa dari rumah saja, nanti pasti aku sampaikan ke pakde, pasti pakde akan memakluminya, percayalah ” ujar Riham meyakinkan

“ tapi le….” Ibunya kelihatannya akan membantah

“ sudahlah bu, wakilkan saja padaku, semua akan baik baik saja, ya bu…”



Ibu terdiam seribu bahasa. Dalam dadanya berkecamuk berbagai macam hal. Ingin rasanya ia ikut terbang menuju tempat kelahirannya untuk sekedar mengucapkan salam dan doa perpisahan kepada kakak tertuanya itu. Tetapi fisiknya berkata lain. Dengan usia sepertinya, untuk menahan serangan penyakitnya amatlah susah bila kondisinya sedang menurun. Apalagi didukung dengan suasana jiwa yang terguncang hebat seperti saat ini.



“ aku sangat menyayanginya…dia yang selalu ada pada saat aku tenggelam…” setelah sekian saat ibu melanjutkan

“ iya bu, aku juga sangat menyayangi beliau “

“ dia sangat mengharapkan momongan, yang tidak pernah datang, dia amat sangat menyayangimu ham…amat sangat…”

“ aku sangat tahu hal itu bu…”



Riham mengucapkan kalimat terakhir itu dengan mata berkaca kaca. Tenggorokannya kembali tercekat. Dia amat sangat sadar bahwa budenya memang bagaikan ibu kedua baginya. Bude Darno adalah kakak tertua ibunya dari dua bersaudara. Dikarenakan sesuatu hal dalam kandungannya, Bude Darno tidak dapat mempunyai anak. Pada saat kelahiran Riham, Bude Darno yang telah menikah 5 tahun sebelum ibu Riham melahirkan Riham, sering sekali ke Surabaya untuk menengok Riham, si sulung anak adiknya. Hampir sebulan empat kali Budenya mondar mandir Ngawi Surabaya hanya untuk ikut merasakan menimang Riham kecil. Dan saat Riham sekolah di TK, Bude Darno meminta kepada orang tua Riham untuk menyekolahkan Riham SD di Ngawi. Saat itu, Riham telah mempunyai 2 orang adik. Tanpa bisa menolak, orang tua Riham pun menyetujuinya. Sejak usia 7 tahun hingga lulus SD Riham tinggal dengan pakde dan budenya di desa. Teringat saat dia dibawah asuhan budenya.



========================================



Dengan tulus kakak dari ibunda Riham itu menjaga, merawat dan selalu menasihati dengan kasih sayang. Bahkan dengan kenakalan Riham yang bergaul dengan anak anak desa sebayanya itu, seringkali pulang dengan tubuuh luka luka, entah terjatuh, berkelahi atau apapun, budenya merawatnya sambil menitikkan air mata. Tidak pernah sedikitpun budenya itu memarahi Riham yang kabarnya pada saat masih kecil nakalnya amat luar biasa.



“ Tole…” begitu Bude Darno selalu memanggilnya “ kamu boleh bermain kemana saja sesuka hatimu, tapi bude ingin kamu berhati hati. Setiap kamu pulang, selalu ada saja tubuhmu yang terluka. Bude tahu laki laki harus kuat, lahir batin, tapi kehati hatian itu juga bentuk kejantanan, bukan bertindak sembrono. Kesembronoan tanda bahwa laki laki itu belum dewasa “



Bude Darno menasehati sambil tangannya yang lembut membasuh lutut Riham yang tampak memar penuh goresan. Riham yang terlihat meringis ketika cairan obat dioleskan ke lukanya, merasa kata kata budenya bagaikan analgesic yang dengan cepat menghilangkan rasa perih di lututnya.



“ Bude sedih kalau melihat kamu terluka setiap hari, hati bude terasa remuk, le, bude tahu kalau kamu sudah besar, sudah kelas 5, tapi bagi bude kamu tetap anak bude, bude sayang sekali sama kamu, le “



Riham merasa kasih sayang bude dalam merawatnya secara total dan tulus itu membuat dia lupa akan rasa sakit, rasa pedih pada fisik dan psikisnya. Tak terasa Riham kecil yang bandel itu menitikkan air mata terbawa perasaan haru dan sayang pada budenya.



Melihat hal itu, Bude Darno tersenyum dan mengelus lembut rambut Riham. Lalu Bude Darno memeluk Riham penuh kasih sayang. Tak terasa Riham pun memeluk budenya dengan sesenggukan.



“ Janji, kamu akan lebih berhati hati selanjutnya, le “

“ inggih, bude “ jawab Riham sesenggukan. Airmatanya meleleh di kedua pipinya.



=========================================



Airmata yang meleleh itu menyadarkan lamunan Riham. Akhirnya dia beranjak kembali menuju kamar tidutnya untuk segera berbenah.
 
bagus 2 kok uda aq baca ....
 
BAB IV





Setelah membuka pintu kamar, dengan segera Riham mengambil tas ransel yang dia simpan di atas lemari pakaian. Dia masukkan beberapa pakaian bersih cukup untuk keperluan beberapa hari, tidak lupa segala perlengkapan hajatnya dia masukkan dalam tas itu. Setelah ia rasa cukup, Riham beranjak mencari Hape-nya. Ia cari nomor yang ia ingin hubungi.



“ Archidaya Selamat Pagi “

“ Halo, Chris “

“ Ya pak, Chrisma disini “



Riham menguhubungi kantor dimana ia bekerja. Terdengar suara sekretarisnya menjawab teleponnya dari seberang. Dalam usia yang masih tergolong sangat muda, 28 tahun, Riham sudah menjalankan dan memiliki perusahaan konsultan desain dan kontraktor sendiri, dimana dia sebagai direktur sekaligus pemilik saham bersama sama dengan beberapa koleganya.



“ Chris, aku mau off, maksimal dua minggu, ada susulan mendadak “

“ Ada apa pak? “

“ Tanteku meninggal pagi ini “

“ Ya Tuhan…saya turut berduka cita sedalam dalamnya pak..”

“ Terima kasih, masalah kerjaan, tolong kamu koordinasikan sama si Brahman, selama aku ndak ada, dia yang mewakili aku, dia sudah mengerti siapa saja yang akan dihubungi minggu minggu ini dan pekerjaan apa saja yang harus di deadline, nanti dia aku hubungi sendiri “

“ Ok pak, kalo ada apa apa nanti saya SMS bapak, sesegera mungkin “

“ Thanks, Chris “

“ Hati hati pak “

“ OK “



Riham mematikan hape-nya dan segera mencari nomor yang akan dihubungi selanjutnya.



“ Halo pak “

“ Bram, kamu dimana sekarang? “

“ Sedang dalam perjalanan ke proyek, ada yang harus saya urus pak? “

“ Nggak, aku mau off, agak lama sih, maksimal dua minggu, tanteku meninggal “

“ He…! “ jawab Brahman kaget “ saya turut berduka cita pak “ lanjutnya

“ thanks Bram, kamu tahukan kan apa yang harus kau kerjakan? “

“ Saya mengerti pak “

“ Jangan lupa kontak PT. Jiwa Nala Perkasa, bilang gambarnya sudah jadi, gambar yang sudah jadi kemaren nanti suruh Handi ngirim, hari ini “ perintahnya “ besok kamu presentasikan di depan dewan direksi PT. JNP, ok? “

“ OK pak, semua sudah saya persiapkan kemaren, jangan kuatir pak “

“ tolong kamu handel semua yang kamu rasa ndak perlu persetujuan aku, kamu pasti paham “

“ Baik pak, sementara saya yang handel, bapak ndak perlu mikirin kantor dulu, kalo ada apa apa saya segera SMS bapak, sesegera mungkin “

“ OK Bram, kupercayakan semua sama kamu, aku mau berangkat sekarang “

“ Hati hati pak “

“ Thanks Bram “



Masih belum akan menaruh hape-nya, Riham kembali ngutak utik gadget miliknya itu. Lalu terlihat ia mengontak seseorang.



“ Halo “

“ Halo mas, tumben pagi pagi udah nelpon, ada yang penting, mas? “ suara seorang gadis menyahut diseberang. Suaranya terdengar lembut dan manja menjawab sapaan Riham.

“ Iya sayang, ada yang perlu aku sampaikan, kamu bisa kesini nggak sekarang? Sebelum ke kampus bisa mampir ke rumah bentar nggak? “

“ Nggak ke kantor mas? Kok aku disuruh kerumah? “

“ Begini, ada berita mendadak, aku harus ke Ngawi sekarang juga “

“ Kok mendadak mas? Ada yang penting banget? “

“ Sangat dik, bisa mampir? “

“ Bisa mas, aku udah di depan rumah kos, 15 menit lagi nyampe sana, tunggu ya “

“ OK deh dik, mas tunggu, jangan ngebut ngebut “

“ Iya mas “



Riham menutup telponnya. Dia menuju dimana tas ranselnya tergeletak. Setelah berfikir sejenak dan celingukan untuk melihat apa yang tertinggal, dia menuju stopkontak lampu untuk dimatikan. Dia menuju pintu kamar dan menutupnya lagi. Riham menuju ke meja makan dan menaruh tasnya di salah satu kursi sedangkan dia sendiri menarik salah satu kursi untuk didudukinya. Lalu dia menyiapkan sarapan sekedarnya agar di perjalanannya nanti tidak kelaparan dan masuk angin. Terlihat ibunya keluar dari kamar mandi. Sepertinya ibu baru saja mencuci mukanya yang sembab agar terlihat lebih segar.



“ Kamu sudah siap le? “ Tanya ibunya sembari menghampiri Riham yang sedang makan.

“ Sudah bu, masih mau nunggu Dhaniar, dia mau mampir kesini sebelum kuliah, maklum bu, mau aku tinggal agak lama, nanti nyariin “

“ Sudah kamu kabari kalau budemu meninggal? “

“ belum bu, nanti malah ngebut kesininya, entar kalau sampai sini saja aku kasih tahu “

“ Baiknya memang begitu “

“ Pokoknya ibu jangan sedih ya, semua sudah kehendak Allah, mungkin ini yang terbaik buat bude, ibu doakan saja, biar jalan bude lapang dan terang “

“ Iya le, ibu sudah pasrah, sebenarnya ibu kangen sama budemu….”

“ Simpan bude disini bu “ timpal Riham sambil menunjuk dadanya sendiri “ bude akan lebih senang di alamnya “

“ Nanti Desta sama Rinai aku e-mail tentang kabar ini, bagaimanapun juga mereka juga harus kita kabari “

“ Kamu atur lah, le, kabari adik adikmu, kasihan, mereka jauh sekali, bilang nggak perlu bingung, butuh doa saja “

“ Iya bu “



Desta dan Rinai adalah adik adik Riham yang bersekolah di luar negeri. Mereka mendapatkan bea siswa dalam program pemerintah di bidang sains. Sejak lulus SMA mereka berdua berangkat ke dua negara yang berbeda. Desta di Jerman sedangkan Rinai di Inggris. Desta sudah hampir selesai masa belajarnya dan berencana pulang akhir tahun depan, sedangkan Rinai baru Empat tahun berangkat, pendidikannya harus ditempuh selama enam tahun. Riham, Desta dan Rinai adalah tiga bersaudara, dan kesemuanya adalah lelaki. Pada saat ayah mereka meninggal, Desta dan Rinai tidak bisa pulang. Mereka berdua hanya mendapat kabar dari Riham lewat E-mail saja, sehingga tak terbayangkan bagaimana kesedihan mereka di rantau.



“ aku harap mereka ndak terlalu sedih bu “ lanjut Riham, (“ Masih menyakitkan waktu ayah dulu….”) bayang Riham

“ Ya le, kamu selesaikan makanmu cepat, Dhaniar datang, lekaslah berangkat, biar ndak siang siang sampai sana “ ujar ibunya

“ iya deh bu “
 
BAB V





Pasar itu tidak seberapa besar, Tetapi cukup banyak pedagang yang berjualan disitu. Hampir di setiap los yang disediakan ditempati oleh bedak bedak pedagang yang berjualan beraneka ragam. Cukup lengkap untuk memenuhi segala macam kebutuhan warga kampung. Pasar yang terletak diujung sebelah timur Desa Njamus itu seakan menjadi tempat bertemunya hampir seluruh desa. Begitu juga pagi itu.



Warga kampong Njamus seakan berjanjian untuk berkumpul di pasar tersebut. Tidak hanya perempuan saja, tetapi banyak terlihat laki laki yang melakukan pekerjaan harian di tempat itu. Riuh rendah suara orang menawarkan dagangan, suara ibu ibu yang ngotot menawar barang yang diinginkan, suara angkutan ojek yang datang dan pergi silih berganti seakan menjadi sebuah simponi yang terbiasa didengar oleh semua pelaku kegiatan di tempat ini.



“ eeh…Mbak Menik…tumben kok siangan belanjanya, biasanya pagi pagi sudah kelar semua “

“ pagi Dik Yanti, iya, bangunnya kesiangan, tadi malam dirumah banyak orang ngumpul, jadi tidurnya sudah telat banget “

“ iya nih, tadi malem Mas Agus pulangnya dari rumah mbak malem banget, untung sorenya sudah kupeseni mbawa kunci sendiri, jadi aku nggak nungguin dia “ ujar Yanti

“ Yaah…biasa, namanya juga suami jadi carik, kadang kadang saja ketempatan rapat. Masak dirumah Ki Lurah terus, gantian, Mas tambah wortelnya seperempat saja “

“ kacang panjang sa’ ons piro mas? (kacang panjang satu ons berapa mas) Kalau sudah gitu, kita yang perempuan ini jadi repot ya mbak? Nyiapin camilan sama minum, hihihi “

“ sewu limangatus (seribu lima ratus) “ sahut sang pedagang sambil melayani pembeli lainnya tanpa mengacuhkan si penanya yang nyambi ngobrol.

“ Iya tho, emang siapa lagi yang mau masuk dapur? Hihihi, tapi kemarin aku nggak bisa tidur duluan bukan karena aku banyak nyiapin buat tamu tamu, tapi aku takut tidur sendiri “ lanjut Menik

“ loh, kenapa mbak? Walah, larange, sewu oleh ra? (mahalnya, seribu boleh tidak?) “

“ itu lho, topik pembicaraan kemarin serem banget, piro kabeh mas? (berapa semua?), dik Yanti kan sudah denger tentang kabar kematian orang orang di kampong kita “

“ waduh, ra oleh mbak, ra nyucuk kulak’e, sewu rongatus seket wis (nggak boleh mbak, nggak sampe kulakannya, seribu dua ratus lima puluh deh), mbak’e semua dua belas ribu “ sahut sang pedagang tidak mau rugi

“ iya mbak, belum satu bulan sudah tiga yang meninggal, ada apa sih mbak? “

Menik melanjutkan “ kemarin malem orang orang serius membahas masalah ini, mereka ndak tahu pasti sebabnya, katanya masih simpang siur “

“ masih mau belanja apa lagi mbak? Aku sudah selesai nih “ sahut Yanti

“ sudah kok, tinggal daging di sebelah sana “

“ lanjutin mbak, tak temeni beli daging di Wak Jo “



Lalu keduanya beranjak menuju pintu masuk pasar, dimana diujung pasar terdapat sebuah bedak penjual daging. Sambil berjalan keduanya melanjutkan pembicaraan



“ kata orang orang yang rapat, ketiga tiganya matinya mendadak, ndak pake sakit, muntah darah lagi “

“ kenapa ya? Kok jadi ngeri aku “

“ takutnya ada wabah, Bu Dokter Johanna kemaren kan juga dateng, tapi kata beliau, ndak ada apa apa tuh, laporan dari laboratorium di Ngawi ndak menunjukkan adanya penyakit, semua normal “ lanjut Menik

“ loh kok tahu? “

“ contoh darah dari yang meninggal dikirim ke kota sama dokter, ya itu tadi, takutnya wabah, soalnya semua muntah darah, lagian matinya juga kehabisan nafas, kayak ada yang nêkêk (mencekik)“



Tak berapa lama mereka sampai di bedak penjual daging



“ iihhh….ngeri, terus, terus mbak….. “

“ Wak Jo, dagingipun seprapat (dagingnya seperempat), nah itu dia, orang orang bingung, ada apa dikampung kita ini, pinten Wak? “

“ pitungewu jeng Carik (tujuh ribu jeng carik) “ ujar Wak Jo pedagang daging

“ malah ada banyak cerita yang beredar di kampong, ngeri ngeri dik, hii…”

“ aku pernah denger mbak, yang katanya penunggu……”

“ sudah ah dik, ndak usah dilanjutkan, takut aku “ Menik menyela perkataan Yanti

“ Iya lho jeng hati hati kalau bicara, bahaya, “ Wak Jo ikutan menimpali

“ iya mbak, katanya yang ngerasani (nggosip) bisa ikutan mati “

“ ini pagebluk jeng, goib, hati hati kalau bicara “ lanjut Wak Jo

“ alah Wak Jo ini, malah nakut nakuti “ sahut Yanti

“ sudah ah…pulang yuk, jadi serem “

“ ayuk “



Lalu keduanya beranjak pulang. Tak sedikitpun mereka berani melanjutkan topic pembicaraan tadi. Dalam hati mereka merasa kecut, setelah ingat beberapa kemungkinan tentang kematian warga Desa Njamus tersebut. Banyak yang yakin itu adalah suatu awal dari kematian berturut turut yang panjang yang disebabkan karena pagebluk (wabah penyakit yang disebabkan oleh goib) untuk tumbal.



Di seberang bedak Wak Jo agak ke barat sedikit, sebuah warung kopi tempat mangkal para sopir ojek dan kusir dokar (andong) nampak penuh sesak. Beberapa orang nampak asik dengan hidangan yang mereka pesan.



“ he, awakmu weruh ra, jarene wong wong seng mati wingi ditekek seng mbaurekso alas? (kamu tahu tidak, katanya yang mati kemaren dicekik penunggu hutan?)” salah satu sopir membuka bicara.

“ hush, jangan bicara hal itu, takut aku “

“ halaah…. Kamu itu penakut, ndol, masak percaya gituan bisa bunuh orang “ yang lain menimpali

“ lah buktinya, salah satu korban, si Toha, abis omong omong soal matinya Parni, ikutan nyusul, hayo, gimana? “ ujar Bendol

“ masak sih? “

“ iya, waktu itu dia bilang bilang katanya arwah istri tuan Djojo balas dendam “

“ Nyi Lastri? “

“ iya “

“ yang hilang 15 tahun lalu? Yang katanya suaminya lihat dia nyemplung (nyebur) jurang jasad’e ra ketemu? “

“ betul, halah..lek tekok nrecel (kalau tanya bertubi tubi), dia balas dendam soalnya dituduh selingkuh, terus bunuh diri ” cerita Bendol

“ kamu kok tahu? “

“ ya iya, pas Toha cerita, aku ndenger di sebelahnya “

“ Lha.., katanya yang mbaurekso alas pinus itu “

“ ndak tahu Jo, apa Nyi Lastri jadi penunggu alas pinus? Orang jasadnya ndak ketemu “ Bendol balas nanya

“ Kalau aku denger, Ki Branggong minta tumbal, Merapi batuk batuk, biar Lawu ndak ikut batuk ” jelas Tarjo

“ ……….berarti……masih mau minta lagi….?? “ ujar Bendol sambil berpikir “..hii…udah ah…, wedi tenan aku, Jo (takut beneran aku) ….wes ah, kalu urusan sama Ki Branggong, whueediii tenan aku “ lanjutnya menggigil.

“ kowe iki ndol, jireh (penakut)! “

“ babah wes (biarin),…omong lainnya saja ”



Lalu suasana jadi senyap. Mereka menebak nebak apa yang sebenarnya terjadi di desa mereka. Yang pasti sudah tiga korban yang jatuh. Mereka berpikir, mau berapa lagi orang yang dikorbankan kalau memang penunggu gunung Lawu yang kabarnya masih kerabat penunggu Merapi meminta korban.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.