yan raditya
IndoForum Addict E
- No. Urut
- 163658
- Sejak
- 31 Jan 2012
- Pesan
- 24.461
- Nilai reaksi
- 72
- Poin
- 48
Selama bertugas di Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Indriastuti (52) pernah menyaksikan beberapa orang tertipu saat hendak membeli tanah kosong di wilayahnya. Ia bahkan menjadi saksi seorang dokter jatuh lemas setelah membayar Rp 295 juta pada penjual tanah yang ternyata penipu.
Lurah Kalipancur itu bercerita, beberapa waktu lalu ada satu tanah warga yang dibiarkan mangkrak. Tiba-tiba, serombongan kuli bangunan datang dan membangun fondasi. Warga mengira pemilik tanah yang memfondasi tanah kosong itu. "Lalu, dipasang papan pengumuman untuk dijual," kata Indriastuti pada Tribun Jateng, pekan lalu.
Iin, sapaan akrabnya, mengatakan tidak lama kemudian ada seseorang yang membeli tanah tersebut. Sertifikat tanah dijanjikan oleh penjual palsu akan disusulkan.
Suatu hari, pemilik asli datang dan kaget tanahnya sudah difondasi. Kebingungan, ia pun mencari informasi ke warga sekitar dan berhasil menemui pembeli tanahnya.
"Akhirnya pengurus wilayah berhasil menemukan seluruh pihak. Untungnya, penjual tanah dikenal dan tidak lari. Masalah itu selesai dengan damai, penjual palsu bersedia mengembalikan uang," ucapnya.
Kejadian kedua masih bermodus sama. Seorang dokter yang sedang mencari tanah bertemu dengan penjual tanah yang ternyata penipu. Hanya bermodalkan menunjuk tanah, dan fotokopi sertifikat yang entah dapat darimana, penjual palsu berhasil meyakinkan sang dokter. Uang sebesar Rp 295 juta pun meluncur mulus ke kantong penipu.
Pada hari lain, si dokter kembali mengecek 'tanahnya'. Saat itu secara kebetulan korban bertemu dengan pemilik tanah asli. Rumah pemilik asli tidak jauh dari tanah kosong itu. Keduanya pun berdebat. "Setelah tahu faktanya, si dokter langsung jatuh lemas di jalan. Beberapa menit dia bengong, dan baru sadar setelah beberapa saat," kisahnya.
Penjual tanah itu ternyata seorang perempuan berinisial T yang juga warga sekitar. T sempat lari ke Pontianak untuk beberapa bulan. Akhirnya, saat pulang, T langsung disidang oleh pemilik dan pembeli. Karena tidak sanggup mengembalikan uang, T memilih untuk dilaporkan ke polisi. T pun dipenjara 3,5 tahun dan baru bebas beberapa waktu lalu.
"Saya tanya alasannya, bilangnya cuma butuh uang dan cari kerja susah. Nekat bener, tapi herannya kok bisa cepet cari pembeli lho. Ini kemarin udah mau beraksi lagi, modalnya fotokopi surat-surat. Untung pembelinya ketemu saya, tak ingatkan," ucapnya
Iin pun berinisiatif menemui T yang sudah memiliki anak. Ia minta agar T tidak mengulangi perbuatannya. Untuk mencegah kejadian kembali terulang, ia minta tiap ketua RT untuk mengecek rumah atau tanah yang dijual di sekitar mereka, lalu melaporkan ke dirinya.
Dua sertifikat
Kepala Sekolah sebuah SDN di Semarang, sebut saja Intan, langsung kaget begitu melihat sebidang tanah miliknya digarap orang lain, sekitar tiga bulan lalu. Pasalnya, ia tidak pernah merasa menjual tanah tersebut kepada orang lain.
Intan mengaku masih memegang sertifikat asli kepemilikan tanah. Ia berencana menjadikan tanah di tepi jalan itu untuk klinik anaknya setelah resmi menjadi dokter. "Tanah itu memang sudah lama tidak saya lihat. Tetapi pas kebetulan saya lewat, saya lihat tanah itu digarap orang lain untuk bercocok tanam," katanya, kemarin.
Adu mulut pun terjadi antara Intan dengan penggarap tanahnya itu. Keduanya bersikukuh mengklaim sebagai pemilik resmi tanah. Mereka pun kemudian saling menunjukan sertifikat kepemilikan tanah.
Si penggarap tanah kemudian menawarkan jalan tengah. Yaitu tanah tersebut dijual dan hasilnya dibagi dua. "Saya tidak mau lah. Itu kan tanah saya. Kenapa saya harus membagi dengan dia," katanya kesal.
Keduanya kemudian sepakat menyelesaikan masalah itu di meja hijau. "Akhirnya di pengadilan, hakim menyatakan sertifikat tanah saya terbit terlebih dulu (lebih berhak, red). Namun, orang yang menggarap tanah saya itu tidak terima dan akhirnya mengajukan banding," tuturnya.
Karena tidak ingin sengketa tanah tersebut berlarut-larut, Intan kemudian menjual tanah itu kepada orang lain tanpa sepengetahuan si penggarap. Ia pun mengaku tidak mengikuti lagi perkembangan sengketa tanah tersebut.
Lebih lanjut Intan mengaku heran bagaimana bisa tanah warisan orangtua yang sudah sah menjadi miliknya bisa berpindah ke tangan orang lain tanpa ada proses jual beli. Bahkan, orang yang mengaku sebagai pemilik tanah tersebut juga mempunyai sertifikat.
"Katanya, orang tersebut juga membeli dari seseorang. Hanya saja saya tidak tahu dari siapa dia beli tanah itu. Kan saya sebagai pemilik resmi, juga tidak pernah menjualnya. Sertifikat tanah juga masih tersimpan di rumah," tegasnya.
Rumah kosong
Yudho, karyawan di wilayah Banyumanik juga punya cerita unik, kali ini tentang jual beli rumah kosong. Rumah milik saudaranya yang kosong nyaris dijual oleh orang lain. Belum lama ini, keponakannya jalan-jalan di sekitar wilayah Srondol. Di sana, sang ponakan melewati rumah saudaranya yang tidak ditempati. Ketika lewat, rumah saudaranya sudah dicat ulang dan ada tulisan dijual.
"Ada tulisan dijual layaknya makelar properti lengkap dengan nomor telepon. Ponakan saya langsung tanya pada ibunya apakah rumah di Srondol dijual? Eh ternyata tidak," ceritanya.
Saudaranya langsung naik pitam dan mendatangi rumahnya. Ia pun langsung menelepon nomor yang dipajang di rumahnya. "Pelaku pun langsung menutup telepon dan menonaktifkan nomornya," jelasnya.
Hal yang membuatnya heran adalah pelaku berani keluar modal untuk mengecat ulang rumah saudaranya, juga membersihkan rumah tersebut. "Wah.. keluar modalnya bisa jutaan tuh. Heran saya," katanya.
Lurah Kalipancur itu bercerita, beberapa waktu lalu ada satu tanah warga yang dibiarkan mangkrak. Tiba-tiba, serombongan kuli bangunan datang dan membangun fondasi. Warga mengira pemilik tanah yang memfondasi tanah kosong itu. "Lalu, dipasang papan pengumuman untuk dijual," kata Indriastuti pada Tribun Jateng, pekan lalu.
Iin, sapaan akrabnya, mengatakan tidak lama kemudian ada seseorang yang membeli tanah tersebut. Sertifikat tanah dijanjikan oleh penjual palsu akan disusulkan.
Suatu hari, pemilik asli datang dan kaget tanahnya sudah difondasi. Kebingungan, ia pun mencari informasi ke warga sekitar dan berhasil menemui pembeli tanahnya.
"Akhirnya pengurus wilayah berhasil menemukan seluruh pihak. Untungnya, penjual tanah dikenal dan tidak lari. Masalah itu selesai dengan damai, penjual palsu bersedia mengembalikan uang," ucapnya.
Kejadian kedua masih bermodus sama. Seorang dokter yang sedang mencari tanah bertemu dengan penjual tanah yang ternyata penipu. Hanya bermodalkan menunjuk tanah, dan fotokopi sertifikat yang entah dapat darimana, penjual palsu berhasil meyakinkan sang dokter. Uang sebesar Rp 295 juta pun meluncur mulus ke kantong penipu.
Pada hari lain, si dokter kembali mengecek 'tanahnya'. Saat itu secara kebetulan korban bertemu dengan pemilik tanah asli. Rumah pemilik asli tidak jauh dari tanah kosong itu. Keduanya pun berdebat. "Setelah tahu faktanya, si dokter langsung jatuh lemas di jalan. Beberapa menit dia bengong, dan baru sadar setelah beberapa saat," kisahnya.
Penjual tanah itu ternyata seorang perempuan berinisial T yang juga warga sekitar. T sempat lari ke Pontianak untuk beberapa bulan. Akhirnya, saat pulang, T langsung disidang oleh pemilik dan pembeli. Karena tidak sanggup mengembalikan uang, T memilih untuk dilaporkan ke polisi. T pun dipenjara 3,5 tahun dan baru bebas beberapa waktu lalu.
"Saya tanya alasannya, bilangnya cuma butuh uang dan cari kerja susah. Nekat bener, tapi herannya kok bisa cepet cari pembeli lho. Ini kemarin udah mau beraksi lagi, modalnya fotokopi surat-surat. Untung pembelinya ketemu saya, tak ingatkan," ucapnya
Iin pun berinisiatif menemui T yang sudah memiliki anak. Ia minta agar T tidak mengulangi perbuatannya. Untuk mencegah kejadian kembali terulang, ia minta tiap ketua RT untuk mengecek rumah atau tanah yang dijual di sekitar mereka, lalu melaporkan ke dirinya.
Dua sertifikat
Kepala Sekolah sebuah SDN di Semarang, sebut saja Intan, langsung kaget begitu melihat sebidang tanah miliknya digarap orang lain, sekitar tiga bulan lalu. Pasalnya, ia tidak pernah merasa menjual tanah tersebut kepada orang lain.
Intan mengaku masih memegang sertifikat asli kepemilikan tanah. Ia berencana menjadikan tanah di tepi jalan itu untuk klinik anaknya setelah resmi menjadi dokter. "Tanah itu memang sudah lama tidak saya lihat. Tetapi pas kebetulan saya lewat, saya lihat tanah itu digarap orang lain untuk bercocok tanam," katanya, kemarin.
Adu mulut pun terjadi antara Intan dengan penggarap tanahnya itu. Keduanya bersikukuh mengklaim sebagai pemilik resmi tanah. Mereka pun kemudian saling menunjukan sertifikat kepemilikan tanah.
Si penggarap tanah kemudian menawarkan jalan tengah. Yaitu tanah tersebut dijual dan hasilnya dibagi dua. "Saya tidak mau lah. Itu kan tanah saya. Kenapa saya harus membagi dengan dia," katanya kesal.
Keduanya kemudian sepakat menyelesaikan masalah itu di meja hijau. "Akhirnya di pengadilan, hakim menyatakan sertifikat tanah saya terbit terlebih dulu (lebih berhak, red). Namun, orang yang menggarap tanah saya itu tidak terima dan akhirnya mengajukan banding," tuturnya.
Karena tidak ingin sengketa tanah tersebut berlarut-larut, Intan kemudian menjual tanah itu kepada orang lain tanpa sepengetahuan si penggarap. Ia pun mengaku tidak mengikuti lagi perkembangan sengketa tanah tersebut.
Lebih lanjut Intan mengaku heran bagaimana bisa tanah warisan orangtua yang sudah sah menjadi miliknya bisa berpindah ke tangan orang lain tanpa ada proses jual beli. Bahkan, orang yang mengaku sebagai pemilik tanah tersebut juga mempunyai sertifikat.
"Katanya, orang tersebut juga membeli dari seseorang. Hanya saja saya tidak tahu dari siapa dia beli tanah itu. Kan saya sebagai pemilik resmi, juga tidak pernah menjualnya. Sertifikat tanah juga masih tersimpan di rumah," tegasnya.
Rumah kosong
Yudho, karyawan di wilayah Banyumanik juga punya cerita unik, kali ini tentang jual beli rumah kosong. Rumah milik saudaranya yang kosong nyaris dijual oleh orang lain. Belum lama ini, keponakannya jalan-jalan di sekitar wilayah Srondol. Di sana, sang ponakan melewati rumah saudaranya yang tidak ditempati. Ketika lewat, rumah saudaranya sudah dicat ulang dan ada tulisan dijual.
"Ada tulisan dijual layaknya makelar properti lengkap dengan nomor telepon. Ponakan saya langsung tanya pada ibunya apakah rumah di Srondol dijual? Eh ternyata tidak," ceritanya.
Saudaranya langsung naik pitam dan mendatangi rumahnya. Ia pun langsung menelepon nomor yang dipajang di rumahnya. "Pelaku pun langsung menutup telepon dan menonaktifkan nomornya," jelasnya.
Hal yang membuatnya heran adalah pelaku berani keluar modal untuk mengecat ulang rumah saudaranya, juga membersihkan rumah tersebut. "Wah.. keluar modalnya bisa jutaan tuh. Heran saya," katanya.