• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Melongok bengkel Djubair, perakit pesawat swayasa pertama

galau adv

IndoForum Beginner A
No. Urut
281582
Sejak
25 Jun 2013
Pesan
1.172
Nilai reaksi
24
Poin
38
RU8hQ.jpg
Jangan dibayangkan bengkel itu berisi peralatan mutakhir atau dilengkapi semacam laboratorium canggih. Sebab yang ada di sana cuma beberapa kunci ring, potongan suku cadang pesawat terikat rapih berserakan serta beberapa alat lain. Debu pun sudah bersarang di segala penjuru ruangan. Namun dari tempat itu, puluhan pesawat buatan tangan (swayasa) lahir.

Pemilik bengkel di rumah itu bernama Djubair Oemar Djaya. Saat merdeka.com berkunjung ke sana, dia tampak keluar dari rumahnya dengan langkah pelan. Maklum, usianya tak muda lagi. Djubair memang dikenal sebagai salah satu perekayasa atau pencipta pesawat rakitan home build aircraft kebanggaan tanah air. Salah satu kebanggaannya pernah dianugerahi oleh Menteri Riset dan Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie dalam kategori penghargaan pembuat pesawat terbang swayasa terbaik pada 1987 silam.

Bagi Djubair, perjalanannya tidak singkat untuk bisa sampai menggeluti menjadi perekayasa pesawat terbang buatan rumahan. Dilahirkan di Desa Bungah, Gresik, Jawa Timur, Djubair kecil sudah bercita-cita mendalami dunia penerbangan. Tapi seperti nasib bocah-bocah sezamannya, cita-citanya menjadi penerbang gagal total karena himpitan ekonomi keluarga. Namun demikian, upayanya bergelut di dunia penerbangan tidak surut.

Sedari Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah menjadi anggota Pramuka Dirgantara. Sejak saat itu dia sudah mencoba merakit dan merancang pesawat dengan skala kecil. Dahulu di masa sekolah dia gemar memungut sampah-sampah pedagang kain hanya untuk mengambil kayu bekas gulungan benang dan kain. "Dulu untuk mencari bahan kayu diambil dari situ," ujarnya kepada merdeka.com di rumahnya, Tangerang, Banten, pekan lalu.

Selepas dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), otak encer Djubari membuatnya lolos masuk Sekolah Teknik Mesin (STM) di daerahnya. Namun sayang, sekolah itu tidak ditamatkannya sampai lulus karena masalah biaya.

Bakat Djubari di dunia penerbangan sebenarnya sudah bisa dilihat sejak di SMP. Di level pendidikan itu dia sudah berhasil membuat mainan pesawat kecil dari bahan sisa pedagang kain. Berbekal kayu bekas dan gulungan kain dia sudah bisa menciptakan mainan pesawat dengan baling baling.

"Masih ingat dulu sekitar tahun 1958, semua buku perakitan pesawat berbahasa Inggris, mencari kata is (bahasa Inggris) saja harus mengartikan satu per satu, setengah mati itu," ujarnya sambil menandaskan dia menggunakan literatur cetak biru perakitan pesawat dari buku-buku buatan tokoh asal Amerika Serikat.
CMewE.jpg
Meski tidak lulus STM, bakat dan kecerdasan Djubair membuatnya lolos masuk Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Waktu itu, untuk masuk AURI sudah bisa menggunakan ijazah SMP. Dengan ijazah itu, dia mampu menembus ketatnya proses seleksi dan pendidikan militer di Solo pada 1962. Dia senang bukan kepalang karena bakat dan cita-citanya masuk dunia penerbangan tercapai.

Di AURI, Djubair seperti kecanduan pesawat. Dia terus mengasah bakat dan pengetahuannya, hingga mampu merancang dan merakit burung terbang berdasarkan pengalaman semata tanpa melalui pendidikan khusus. "Langit tak memiliki batas, melihat pesawat rakitan saya bisa terbang di langit, kepuasaan tak terukur," ujar Pensiunan Sersan Mayor itu.

Sebenarnya dunia militer tak membawa Djubair Oemar Djaya pada dunia penerbangan seutuhnya. Ilmu merakit pesawat yang diperoleh Djubair justru hasil mencuri ilmu pada program penyebaran minat dirgantara bagi masyarakat umum di bawah naungan angkatan udara.

Bahkan, bakatnya lebih tersalurkan pada program itu ketimbang pendidikan militernya di lokasi sama. Menurut Djubair, justru program itu lah awal penempaan kemampuannya di dunia pesawat terbang.

Program yang rata-rata diikuti masyarakat sipil dengan hobi aeromodelling itu dimentori kalangan militer dengan spesialisasi olahraga udara. "Di sana saya lebih sering melirik ke kelas itu, secara resmi saya ikut pendidikan, tapi waktu senggang saya ikut kursus itu," kata bapak dua anak itu kepada merdeka.com di rumahnya, Tangerang, Banten, pekan lalu.

Selama bergaul bersama teman-teman sesama penghobi aeromodelling itu, dia menemukan jawaban-jawaban kunci dalam literatur tua tentang perakitan pesawat swayasa yang dia baca sejak mengikuti program tersebut. Pagi sampai siang mengikuti pendidikan militer, malamnya dia coba menerapkan ilmu program aeromodelling dengan mempelajari seluk beluk burung besi itu dengan leluasa.

Pada 1964, lulus dari pendidikan militer, Djubair hijrah ke Jakarta. Dia ditempatkan pada Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) di Pancoran dan menetap di rumah dinas di Halim Perdanakusuma.

Djubair tercatat sebagai salah satu inisiator berdirinya klub aeromodelling dengan anggota berasal dari berbagai kalangan. Klub ini juga didukung oleh kesatuannya dengan misi memasyarakatkan minat dan bakat sesuai dengan program dirgantara tadi. "Saya juga masih minim pengetahuan soal dunia terbang tadi," ujarnya.

Dari kegiatan olahraga terbang, Djubair melihat kekecewaan pada hobinya tersebut sebab banyak kendala, mulai dari rusaknya mesin pesawat sampai mahalnya tarif penerbang dan mekanik pesawat. "Bisa berjuta juta buat sekali reparasi sama bayar penerbang buat menarik pesawat layang," ujarnya dengan mimik kesal.

Tapi karena kendala-kendala itu membuatnya memutar otak dan belajar sendiri, hingga akhirnya mampu menggarap sendiri pesawat-pesawat yang rusak. "Itu masih perbaiki sendiri, belum merekayasa pesawat, dulu semua literatur dicari dari perpustakaan ke perpustakaan, kadang cari ke kedutaan besar juga sering," ujarnya.

Selepas pendidikan kedirgantaraan, Djubair yang lebih dikenal sebagai praktisi perakitan pesawat itu pernah tercatat sebagai instruktur di beberapa sekolahan, yakni Sekolah Instruktur Terbang Layang pada 1970, Sekolah Penerbang PPL PT Deraya pada 1974 serta Sekolah Penerbang Kelas III TNI-AU pada 1975.

Dari candu hobi pada dunia olahraga terbang itu, mengasah bakat dan kemampuan Djubair mengutak-atik pesawat sampai bisa merakit pesawat swayasa sendiri. "Dari situ saya bisa tahu bagaimana mesin pesawat, teknik merakit dengan pesawat berbahan dasar kayu," katanya.

Menatap langit sebentar, lalu kembali melanjutkan obrolan. Djubair Oemar Djaya mengaku sangat mencintai langit Indonesia. Karena langit itu memberinya banyak hal, termasuk membuatnya tertantang terus berinovasi dengan merekayasa pesawat buatan sendiri (swayasa) di bengkel rumahnya.

Di dunia perakitan pesawat swayasa, nama Djubair tidak terdengar baru. Bahkan dia sesumbar, dan mengukuhkan dirinya sendiri sebagai perekayasa pesawat pertama jenis buatan tangan itu di tanah air.

Bahkan, pesawat swayasa pertamanya telah menjadi barang antik dan diabadikan sebagai salah satu koleksi museum transportasi di Taman Mini Indonesia (TMII). Pesawat swayasa buatannya itu terbukti mampu terbang bolak-balik antara Jakarta-Denpasar tanpa halangan.

Ada yang bilang pesawat swayasa pertama di Indonesia dibuat pada zaman Belanda. Tapi hal itu dibantah oleh Djubair karena pesawat itu dibuat di hanggar dan sebelum terbang sudah dibom oleh Belanda. Oleh sebab itu dia mengklaim pesawat swayasa pertama adalah buatannya.

"Pesawat saya hasil rakitan dan sentuhan tangan manusia dan terdokumentasikan dengan jelas. Bandingkan dengan pesawat swayasa yang katanya pertama ada pada masa agresi. Itu dibuat di hanggar, sebelum diterbangkan sudah dibom Belanda," ujar Djubair.

Pesawat buah tangan pertama Djubari dibuat pada 1981. Pesawat itu dia rakit menggunakan tangan dengan bahan dasar kayu serta fiber. Master cetak biru dibelinya langsung dari majalah dirgantara dari Amerika Serikat. Butuh kurang lebih sepuluh tahun untuk bisa merancangnya.

"Dalam pembuatannya, ada tiga komponen terpenting dalam pesawat, rangka, sayap, dan instrumen elektronik di dalam ruang penerbangan," ujarnya.

Saban hari lima jam dibutuhkan buat mengerjakan pesawat bersama tiga asistennya. Buat si pemesan, kata Djubair, harus berperan aktif ikut mengetahui seluk beluk perakitan pesawat sejak pertama. Pembuatannya bisa memakan waktu tiga bulan dan paling lama sampai empat tahun.

"Si perakit (pemilik) mempunyai tanggung jawab penuh atas keselamatannya sendiri, seharusnya seperti itu," katanya. Apalagi selama ini aturan otoritas penerbangan terkait pesawat swayasa belum baku.

Buat fulus mengembangkan pesawat swayasa bisa menghabiskan dari puluhan sampai miliaran rupiah. Semua tergantung modifikasi keinginan si pemilik. Namun demikian, pemesan pesawat jenis ini tidak sedikit. Buktinya banyak kalangan telah memesan pesawat dari bengkel sederhana ini. "Hobi tak bisa diukur dengan nominal," ujarnya.

Namun Djubair tak memberikan detail harga pesawatnya secara gamblang. Namun demikian, proyek Djubair masih tetap berlanjut sampai sekarang. Salah satunya masuk sebagai Anggota Tim Peneliti dari IPB Bogor Tentang Penggunaan Kayu Indonesia sebagai rangka pesawat terbang 1992-1997 pimpinan Profesor Soerjono Surjokusumo.

Tidak jelas apa penyebabnya, tapi mata Djubair Oemar Djaya nampak sudah memutih. Tapi yang pasti, isyarat usia sudah tua nampak jelas dari kulitnya yang keriput dengan uban menutupi kepala. Hampir separuh umurnya, pria dua anak ini telah memberi sumbangsih bagi perkembangan teknologi pesawat terbang di Indonesia.

Konon, Djubair mulai disandingkan dengan para profesor di bidang penerbangan lainnya. Dia pernah dilibatkan oleh almarhum mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Profesor Said D Jennie dalam tim proyek pembuatan pesawat jenis Wings In Surface Effect (WISE).

Djubair mengaku sedikit minder karena dalam kontrak kerja cuma namanya saja tak memakai gelar dalam tim. Semua rata rata bergelar profesor dan insinyur.

"Cuma nama tengah dan belakang saya disingkat menjadi OD Djubair, NIP saya ditulis sesuai nomor telepon rumah. Beberapa menjadi guyonan gelar OD kepanjangan dari orang desa," ujarnya tertawa kepada merdeka.com di bengkel kerjanya, Tangerang, pekan lalu.

Di dalam perekayasaan tim yang dilaksanakan secara bersama oleh BPPT, ITS, ITB dan PTDI itu, konsep kapal bersayap memanfaatkan fenomena efek permukaan, yaitu bantalan udara dinamik yang timbul ketika wahana terbang sangat rendah di atas permukaan.

"Daya dorong terjadi di antara permukaan laut dengan kapal membuat daya dorong lebih cepat," ujar Djubair.

Namun perdebatan sengit muncul. Dua elit kampus mempertahankan dalilnya masing-masing. Di permukaan air tak bisa menyatunya antara aerodinamika dan hydrodinamika. Djubair coba merancang agar kapal bisa seimbang dan stabil saat meluncur.

"Ngotot keduanya. Mereka mempertahankan analisanya masing masing," katanya. Setelah berkali kali gagal Profesor Said pernah membawa prototipe WiSE ke bengkelnya buat merancangnya kembali.

WiSE memang dirancang untuk lepas landas dan mendarat di air sehingga hanya membutuhkan dermaga buat landasan. Pesawatnya juga digunakan antar pelabuhan ke pelabuhan.

Namun, sampai proyek pengembangan selesai Djubair tak pernah dilibatkan kembali. Dia juga tak berharap banyak bagi otoritas terkait. Namun kini ia merasa belum memberikan sumbangan berarti bagi bangsa ini.

"Saya tak pernah berharap negara memberi apa, namun apa yang sudah saya berikan untuk bangsa ini," ujarnya. Menurut Djubair, Profesor Jennie merupakan kaderan dari mantan Presiden B.J Habibie. Semuanya berorientasi pada inovasi.

Selain itu, Djubair bekerja buat BPPT dalam Penelitian Pembuatan dan Pengembangan Pesawat Tanpa Awak (PUNA) Srikiti, Alap-Alap, Gagak, Gelatik serta Wind Turbine bagi industri. Terakhir dia juga sedang merampungkan Membuat Hovercraft dan Airboat Bersayap, serta merancang dan membuat propeller untuk pesawat ringan.
 
luar biasa nih kalau disuntik modal
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.