L999
IndoForum Junior E
- No. Urut
- 44983
- Sejak
- 31 Mei 2008
- Pesan
- 1.587
- Nilai reaksi
- 38
- Poin
- 48
ADA cukup banyak alasan yang menjawab mengapa Pulau Gili Trawangan jauh lebih populer dibandingkan Gili Meno atau Gili Air di jajaran three Gili's yang legendaris itu.
Kapal motor yang saya tumpangi pagi itu diombang- ambingkan ombak yang lumayan besar, seakan-akan hampir terguling. Beberapa penumpang lainnya tampak pucat dan panik. Pria di depan saya, tak sedetik pun melepaskan cengkraman eratnya pada tiang kapal, sambil menahan mual.
Jelas sekali, kapal itu kelebihan muatan. Di dalamnya, ada kardus-kardus berisi makanan, kantong-kantong beras, galon-galon air minum, bahkan beberapa selonjor kayu yang akan dikirim dari Pelabuhan Bangsal, Lombok, ke Gili Trawangan, pulau mungil eksotis yang jadi tujuan saya.
"Ini normal kok mas. Lihat, kapten kapal tenang-tenang saja tuh.Jika penumpang panik, dia malah senang," pria di sebelah saya tiba-tiba berceloteh. Entah benar atau tidak, yang jelas adrenalin rush selama satu jam terbayar ketika Pantai Gili Trawangan mulai tampak di cakrawala. Terlihat indah dan cantik, seolah kaki ini tak sabar untuk segera bersua dengan pasir-pasir putih nan lembut.
Bagi para backpacker asal Eropa, pulau Gili Trawangan diberi nama party island. Label tersebut bukan tanpa alasan. Ketika matahari sudah tenggelam dalam peraduan, suasana pulau terpencil ini berubah drastis menjadi jalanan yang hiruk-pikuk laiknya Kuta di Bali. Papan-papan tulis mungil di depan kafe/restoran saling bersaing menawarkan menu. Lampu dan lampion berwarna-warni berlomba menerangi jalan, sementara kuping di manja dengan musik reggae, house, dan trance.
Wisatawan yang hampir seluruhnya berasal dari mancanegara itu larut dalam aktivitasnya sendiri-sendiri. Ada yang dinner sambil bercengkerama dengan rekan-rekannya, menonton "bioskop mini" di layar proyektor, hingga berdansa di bar sambil memegang bir atau spirits. Semuanya larut dalam kesenangan.
Sebagian lainnya menelusuri jalanan sambil melihat dan memilih. Apakah ingin bersantap di restoran dengan kursi beratap langit dan pemandangan pantai, atau di seberangnya, dimana restoran seperti Dream Divers, Blue Marlin, dan The Beach House menawarkan kolam renang pribadi serta sea food panggang.
Kebetulan, saya berada di sana saat peak season (Juli-Agustus atau Desember-Januari), di mana semua kafe dan restoran terisi penuh dengan harga-harga yang nyaris berlipat ganda. Memang, tidak setiap hari ada party, tapi beberapa kafe yang menggelar party malam itu lengkap dengan DJ, bisa bertahan hingga pukul 04.00 dini hari.
Inilah dua sisi Gili Trawangan, sebagai pulau yang sunyi dan terpencil dengan segala keindahan alamnya di siang hari, dan menjadi party island atau pulau pesta pada malamnya. Tak heran pula, jika para backpacker itu menganggap mereka sedang tersesat di surga (lost in paradise). Tertarik untuk membuktikannya?
Kapal motor yang saya tumpangi pagi itu diombang- ambingkan ombak yang lumayan besar, seakan-akan hampir terguling. Beberapa penumpang lainnya tampak pucat dan panik. Pria di depan saya, tak sedetik pun melepaskan cengkraman eratnya pada tiang kapal, sambil menahan mual.
Jelas sekali, kapal itu kelebihan muatan. Di dalamnya, ada kardus-kardus berisi makanan, kantong-kantong beras, galon-galon air minum, bahkan beberapa selonjor kayu yang akan dikirim dari Pelabuhan Bangsal, Lombok, ke Gili Trawangan, pulau mungil eksotis yang jadi tujuan saya.
"Ini normal kok mas. Lihat, kapten kapal tenang-tenang saja tuh.Jika penumpang panik, dia malah senang," pria di sebelah saya tiba-tiba berceloteh. Entah benar atau tidak, yang jelas adrenalin rush selama satu jam terbayar ketika Pantai Gili Trawangan mulai tampak di cakrawala. Terlihat indah dan cantik, seolah kaki ini tak sabar untuk segera bersua dengan pasir-pasir putih nan lembut.
Bagi para backpacker asal Eropa, pulau Gili Trawangan diberi nama party island. Label tersebut bukan tanpa alasan. Ketika matahari sudah tenggelam dalam peraduan, suasana pulau terpencil ini berubah drastis menjadi jalanan yang hiruk-pikuk laiknya Kuta di Bali. Papan-papan tulis mungil di depan kafe/restoran saling bersaing menawarkan menu. Lampu dan lampion berwarna-warni berlomba menerangi jalan, sementara kuping di manja dengan musik reggae, house, dan trance.
Wisatawan yang hampir seluruhnya berasal dari mancanegara itu larut dalam aktivitasnya sendiri-sendiri. Ada yang dinner sambil bercengkerama dengan rekan-rekannya, menonton "bioskop mini" di layar proyektor, hingga berdansa di bar sambil memegang bir atau spirits. Semuanya larut dalam kesenangan.
Sebagian lainnya menelusuri jalanan sambil melihat dan memilih. Apakah ingin bersantap di restoran dengan kursi beratap langit dan pemandangan pantai, atau di seberangnya, dimana restoran seperti Dream Divers, Blue Marlin, dan The Beach House menawarkan kolam renang pribadi serta sea food panggang.
Kebetulan, saya berada di sana saat peak season (Juli-Agustus atau Desember-Januari), di mana semua kafe dan restoran terisi penuh dengan harga-harga yang nyaris berlipat ganda. Memang, tidak setiap hari ada party, tapi beberapa kafe yang menggelar party malam itu lengkap dengan DJ, bisa bertahan hingga pukul 04.00 dini hari.
Inilah dua sisi Gili Trawangan, sebagai pulau yang sunyi dan terpencil dengan segala keindahan alamnya di siang hari, dan menjadi party island atau pulau pesta pada malamnya. Tak heran pula, jika para backpacker itu menganggap mereka sedang tersesat di surga (lost in paradise). Tertarik untuk membuktikannya?