akiong
IndoForum Junior A
- No. Urut
- 41745
- Sejak
- 25 Apr 2008
- Pesan
- 2.971
- Nilai reaksi
- 47
- Poin
- 48
(1) - perjalanan spiritual mencari kebenaran
Nama saya Youfang, 46 tahun, berasal dari propinsi Yun Nan, Tiongkok, diangkat menjadi biksu di sebuah kuil di Mengla, Myanmar. Sudah 20 tahun lebih saya menjalani hidup sebagai biksu.
Agama Buddha merupakan agama utama, hampir setiap keluarga, setiap dusun dan desa menganut agama Buddha. Mereka akan sangat bangga jika salah satu dari anggota keluarga atau kerabat mereka menjadi biksu. Ibu saya pernah bercerita ketika saya baru berusia 1 bulan, saya sudah menjadi vegetarian dan menjadi murid sang Buddha. Saya resmi menjadi biksu pada usia 25 tahun, 1990, dan ketika itu putra saya berusia 8 tahun.
Ketika mereka mencukur habis rambut saya, semua orang di desa turut mengucapkan selamat, termasuk istri saya. Adat kebiasaan di sini adalah apabila terdapat salah satu anggota keluarga yang menjadi biksu, maka anak dan istri orang tersebut akan mendapatkan perlakuan yang baik.
Kuil ketika saya menjadi biksu sangat kecil, jumlah biksu termasuk saya tidak sampai 10 orang. Guru saya adalah seorang biksu tua yang jarang berbicara. Penduduk desa di sekitar kuil sangat menghormatinya. Di bawah bimbingan guru, saya mulai menjalani kehidupan kultivasi saya. Kuil kami termasuk agama Buddha aliran Theravada yang hanya memuja Buddha Sakyamuni sebagai Buddha Leluhur dan tidak mengakui Buddha atau Bodhisatva lainnya.
Kegiatan di kuil pada dasarnya bercocok tanam, makan, bermeditasi dan membaca sutera, selain itu tidak ada yang lainnya. Namun hal-hal tersebut bagi saya tidaklah mudah, karena saya buta huruf dan tidak bisa membaca sutera, maka saya tidak bisa melaksanakan pembacaan sutera dengan baik. Akan tetapi guru tidak memaksa saya belajar membaca, ia bahkan mengatakan buta huruf malah baik, tidak memahami sutera Buddha barangkali bukanlah hal buruk, ia hanya meminta saya agar berpantang dengan ketat dan bermeditasi, membaca sutera bisa dibebaskan. Tentu di kemudian hari saya akhirnya dapat membaca, tetapi hal itu lantaran oleh peluang dan jodoh yang sudah tiba.
Kami dari aliran agama Buddha Theravada ialah melalui berpantang (melaksanakan vegetarian) dan berpuasa hati (hawa nafsu), dari berpuasa hati untuk kemudian memasuki kondisi Ding (baca: Ting. Suatu taraf hening pada saat bermeditasi), dari Ding terbukalah kecerdasan spiritual. Dan tak tahu kenapa, kakak dan adik seperguruan, bahkan guru saya pun sulit memasuki kondisi Ding. Dalam kurun waktu 1 tahun, untuk betul-betul bisa Ding beberapa kali saja cukup sulit. Namun saya berbeda, setelah berkultivasi selama 3 bulan, saya sering kali bisa memasuki kondisi Ding ketika bermeditasi.
Saya tahu, banyak pengikut Budhhis yang awam pada saat bermeditasi di rumah juga belum tentu mampu memasuki kondisi Ding. Sebetulnya memasuki kondisi Ding adalah seperti ini, Anda mengambil posisi duduk bersila ganda, ketika pikiran carut marut secara bertahap lenyap, Anda bisa memasuki semacam kondisi sunyi-sepi di mana pikiran sekilas pun sama sekali sudah tidak eksis lagi. Dalam taraf keheningan seperti ini, daya penginderaan tubuh manusia seluruhnya lenyap, Anda merasa seolah hanya berlalu beberapa menit saja, bahkan beberapa detik, namun setelah keluar dari kondisi Ding, ternyata beberapa jam telah berlalu. Guru mengatakan bahwa saya mampu dengan cepat masuk kondisi Ding, sesungguhnya adalah berkat buta huruf.
Suatu ketika pada musim kemarau 1991, saya sudah menjadi biksu selama 1 tahun lebih. Malam itu, di bawah pimpinan guru, seluruh biksu di kuil membentuk formasi lingkaran duduk bersila bermeditasi di hadapan patung Buddha Sakyamuni, tak terasa sayapun memasuki Ding lagi. Namun Ding saya kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Saat itu saya sendiri merasakan mestinya baru Ding sekitar 1 jam. Akan tetapi, ketika keluar dari Ding, teman-teman mengatakan kepada saya bahwa saya sudah genap memasuki Ding selama 7 hari di depan patung. Dalam waktu 7 hari tersebut, di atas ubun-ubun saya senantiasa terdapat pusaran cahaya aneka warna yang terus bersinar. Meskipun orang awam pun dapat melihatnya dengan mata telanjang, namun dari mana datangnya cahaya itu, tak seorang pun yang sanggup mengatakannya.
Beberapa hari setelah kejadian memasuki Ding tersebut, secara kebetulan saya menemukan, dalam keadaan memejamkan mata ternyata saya dapat melihat benda, bahkan melihat dengan lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan mata. Saya bertanya kepada guru mengenai apa yang telah terjadi. Ia mengatakan saya telah mengalami terbukanya Supranatural Mata Surgawi, itu merupakan hal baik. Sejak saat itu, saya ‘berolah jiwa’ dengan lebih giat.
Hingga pada awal 1992, pada suatu pagi hari ketika berdoa, saya tiba-tiba menemukan patung Sakyamuni memancarkan sinar cemerlang, sekaligus saya merasakan terdapat sebuah aliran panas bagaikan api mengalir dari ubun-ubun menggerojok ke dalam tubuh, dan secara perlahan menyebar ke seluruh tubuh, saya pun secara utuh telah memasuki semacam kondisi tercerahkan, seolah sang waktu telah berhenti berjalan. Perasaan itu begitu indah dan ajaib, bagaikan bermandi-ria dengan air panas di alam mimpi. Ketika keseluruhan proses itu berakhir, saya sekonyong-konyong merasakan diri saya ada sesuatu yang lain, saya bagaikan merasa semacam tercerahkan dan tersadarkan, sekaligus kemampuan supranatural mata surgawi saya mengalami kemajuan berarti. Dalam sekejap, saya dapat melihat Fa Shen (tubuh duplikasi) Buddha Sakyamuni dari patung tersebut. Tidak hanya sebatas itu saja, memori ingatan saya tentang kehidupan kali ini dan masa-masa kehidupan sebelumnya juga telah terbuka.
Ternyata, dalam 2 kali masa kehidupan saya sebelumnya, saya selalu dilahirkan sebagai biksu yang berkultivasi (olah jiwa). Tetapi oleh karena dosa yang terakumulasi sepanjang kehidupan bermasa-masa sebelumnya terlalu berat, segala halangan datang merintangi jalan saya, sehingga akhirnya tidak berhasil memperoleh buah sejati (kesempurnaan). Namun, setiap kali sebelum meninggal, saya selalu berikrar untuk melanjutkan kultivasi saya pada kehidupan selanjutnya. Itulah mengapa pada kehidupan kali ini lagi-lagi telah memasuki pintu aliran Buddha dalam rangka melanjutkan takdir pertemuan sebelumnya. Oleh karena hasil kultivasi pada 2 masa kehidupan sebelumnya, dosa saya yang berat telah terlunasi dan telah mengakumulasi pahala, maka itu kultivasi pada kehidupan kali ini terasa begitu mudah dan sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia awam pada umumnya.
Sesuai dengan bakat dasar dan ikrar akbar dalam 3 masa kehidupan, asalkan tetap teguh dalam tekad, mencapai kesempurnaan pada masa kehidupan kali ini adalah pasti. Namun yang menyedihkan ialah, saya baru saja dapat mengingat memori masa kehidupan yang lalu. Fa Shen Shakyamuni menyadarkan saya. Sang Buddha mengatakan hukum yang beliau ajarkan sudah tidak mampu lagi menyelamatkan umat manusia dan tidak mampu lagi menghasilkan buah sejati bagi umat-Nya, selain itu sang Buddha akan segera tidak mengurusi lagi dunia manusia serta tidak lagi peduli terhadap urusan dunia fana.
Mendengar kabar buruk itu, saya sangat pedih, saat itu juga saya menitikkan air mata. Saya bertanya, “Jika sang Buddha tidak lagi mengurusi dunia manusia, siapa yang akan melidungi dan menyelamatkan murid-murid yang percaya terhadap Anda?” Fa Shen Sakyamuni mengatakan, “Ada yang pergi, tentu ada pula yang datang. Dalam 84.000 aliran agama Buddha, tentu saja ada yang mampu menyelamatkan kalian menuju jalur nirwana.” selesai berbicara Fa Shen itu lenyap seketika. Saya menceritakan apa yang disampaikan Buddha leluhur kepada guru dan teman-teman seperguruan. Guru bertanya apa yang akan saya lakukan, saya merenung cukup lama dan berkata kepada guru bahwa saya akan berkelana, mencari hukum, dan mencari jalan penyelamatan menuju nirwana itu.
Pada Maret 1992, saya berpamitan kepada guru dan kakak seperguruan dan saya meninggalkan kuil sendirian. Saya tidak membawa bekal apapun, hanya membawa sebuah cawan untuk memohon sedekah, dan menapaki jalan pengembaraan. Pada serial selanjutnya baru akan saya kisahkan mengenai hikmah yang saya peroleh dari pengalaman kultivasi serta pengembaraan tersebut. (Biksu You Fang / The Epoch Times / whs)
bersambung