Handyplast
IndoForum Beginner D
- No. Urut
- 10814
- Sejak
- 29 Jan 2007
- Pesan
- 608
- Nilai reaksi
- 219
- Poin
- 43
Kecewa WHO, RI Produksi Vaksin Flu Burung
JAKARTA - Upaya penanggulangan penyakit flu burung di Indonesia justru dimanfaatkan pihak asing untuk mengeruk keuntungan. Spesimen virus H5N1 yang seharusnya untuk diagnosis, malah dikomersialkan dalam bentuk vaksin.
Terungkapnya praktik curang itu membuat Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kecewa. Vaksin yang dikirimkan ke WHO itu disebarkan ke pihak swasta tanpa sepengetahuannya.
Siti menjelaskan, ketika flu burung menjadi pandemi awal 2005, WHO memintanya mengirim spesimen H5N1 untuk diteliti di laboratorium WHO. "Saat itu tanpa MTA (material transfer agreement/perjanjian pengiriman spesimen), saya segera mengirimkan spesimen virus yang diambil dari dahak, cairan dalam paru-paru pasien suspect flu burung," ujar Siti di Kantor Depkes, Jl Rasuna Said, Kuningan, kemarin. Sesuai ketentuan internasional, pengiriman spesimen itu harus dilengkapi MTA. Tujuannya, agar spesimen virus tersebut tidak dipergunakan selain untuk kepentingan diagnosis
Saat itu Menkes mengaku, yang ada dalam pikirannya hanya mencari tahu seorang suspect dinyatakan positif atau negatif terinfeksi virus flu burung. Sebab, Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) Depkes belum bisa mendeteksinya. "Saya tidak tahu kalau akhirnya spesimen kita jatuh ke tangan laboratorium perusahaan obat swasta yang mengatasnamakan WHO," tegasnya.
Awalnya, Siti kaget ketika BBC (jaringan kantor berita asal Inggris, Red) menelepon untuk konfirmasi tentang keberhasilan sebuah perusahaan farmasi Australia membuat vaksin H5N1 yang ada di Indonesia. "Saya langsung berpikir mereka pasti dapat dari WHO karena virus flu burung di Indonesia sangat unik, khas, dan berbeda dengan virus yang berkembang di Vietnam," ujarnya berapi-api.
Dia mengaku sangat kecewa. Sebab, tak lama kemudian ada perusahaan dari Hongkong dan Amerika Serikat yang menawarkan vaksin serupa. "Ini kan lucu, masa spesimen kita yang sakit, vaksinnya harus beli dari mereka. Apalagi, harganya sangat mahal," ujarnya masih dengan nada tinggi.
Tak ingin kecolongan, ketika WHO kembali meminta Indonesia mengirim spesimen pada Desember 2006, Siti menolak. "Saya tidak ingin kejadian itu terulang," tegasnya. Gayung pun bersambut.
Sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Swiss menawarkan pembuatan vaksin H5N1 Indonesia. Perusahaan bernama Baxter Healthcare itu akan mendaftarkan vaksin yang dibuat sebagai lisensi Indonesia. Kemarin Menkes Siti Fadilah Supari dan Presiden Baxter Healthcare Kim C. Bush menandatangani MoU pengembangan vaksin flu burung. Bush mengatakan, dia ingin membantu Indonesia mengembangkan vaksin secara legal
JAKARTA - Upaya penanggulangan penyakit flu burung di Indonesia justru dimanfaatkan pihak asing untuk mengeruk keuntungan. Spesimen virus H5N1 yang seharusnya untuk diagnosis, malah dikomersialkan dalam bentuk vaksin.
Terungkapnya praktik curang itu membuat Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kecewa. Vaksin yang dikirimkan ke WHO itu disebarkan ke pihak swasta tanpa sepengetahuannya.
Siti menjelaskan, ketika flu burung menjadi pandemi awal 2005, WHO memintanya mengirim spesimen H5N1 untuk diteliti di laboratorium WHO. "Saat itu tanpa MTA (material transfer agreement/perjanjian pengiriman spesimen), saya segera mengirimkan spesimen virus yang diambil dari dahak, cairan dalam paru-paru pasien suspect flu burung," ujar Siti di Kantor Depkes, Jl Rasuna Said, Kuningan, kemarin. Sesuai ketentuan internasional, pengiriman spesimen itu harus dilengkapi MTA. Tujuannya, agar spesimen virus tersebut tidak dipergunakan selain untuk kepentingan diagnosis
Saat itu Menkes mengaku, yang ada dalam pikirannya hanya mencari tahu seorang suspect dinyatakan positif atau negatif terinfeksi virus flu burung. Sebab, Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) Depkes belum bisa mendeteksinya. "Saya tidak tahu kalau akhirnya spesimen kita jatuh ke tangan laboratorium perusahaan obat swasta yang mengatasnamakan WHO," tegasnya.
Awalnya, Siti kaget ketika BBC (jaringan kantor berita asal Inggris, Red) menelepon untuk konfirmasi tentang keberhasilan sebuah perusahaan farmasi Australia membuat vaksin H5N1 yang ada di Indonesia. "Saya langsung berpikir mereka pasti dapat dari WHO karena virus flu burung di Indonesia sangat unik, khas, dan berbeda dengan virus yang berkembang di Vietnam," ujarnya berapi-api.
Dia mengaku sangat kecewa. Sebab, tak lama kemudian ada perusahaan dari Hongkong dan Amerika Serikat yang menawarkan vaksin serupa. "Ini kan lucu, masa spesimen kita yang sakit, vaksinnya harus beli dari mereka. Apalagi, harganya sangat mahal," ujarnya masih dengan nada tinggi.
Tak ingin kecolongan, ketika WHO kembali meminta Indonesia mengirim spesimen pada Desember 2006, Siti menolak. "Saya tidak ingin kejadian itu terulang," tegasnya. Gayung pun bersambut.
Sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Swiss menawarkan pembuatan vaksin H5N1 Indonesia. Perusahaan bernama Baxter Healthcare itu akan mendaftarkan vaksin yang dibuat sebagai lisensi Indonesia. Kemarin Menkes Siti Fadilah Supari dan Presiden Baxter Healthcare Kim C. Bush menandatangani MoU pengembangan vaksin flu burung. Bush mengatakan, dia ingin membantu Indonesia mengembangkan vaksin secara legal