• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Jawa Pada Zaman Purbakala

goesdun

IndoForum Junior A
No. Urut
32661
Sejak
7 Feb 2008
Pesan
3.022
Nilai reaksi
66
Poin
48
Jawa Pada Zaman Purbakala hingga Kerajaan Majapait

TANAH JAWA DALAM ZAMAN PURBA
* Penduduk asli dari Pulau Jawa,
* Animisme dengan pangaruh gaib,
* Asul Tanah Jawa,
* Brahmanisme,
* Budhisme,
* Orang Tionghoa yang pertama datang kemari,
* Orang Tionghoa menyebut penduduk Tanah Jawa “Orang dari Negeri Subur”

JAMAN KERAJAAN HINDU
PRABU JOYOBOYO
BERDIRI DAN RUNTUHNYA KERJAAN SINGOSARI
KERAJAAN MOJOPAIT

 
Sejarah Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan dari beberapa sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain.

Menurut keterangan yang didapat dalam Kitab Djojobojo, sebagian Tanah Jawa tadinya adalah sebuah pulau kosong yang angker dan sangar, dimana sama sekali belum ada penduduk manusianya.

Sementara menurut sejarah yang berdasarkan atas pendidikan, bahwa antara 2000 tahun yang telah lampau dipulau ini sudah ada penduduk aslinya, hanya pikiran mereka belum terbuka, hingga masih merupakan orang purba yang belum mengerti tata susila, belum mengerti caranya membuat rumah dan belum mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka masih menggunakan batu yang dipertajam guna senjata untuk memburu maupun untuk berkelahi.
Hidupnya adalah sangat sederhana dan selalu pindah kesana-kemari, hingga agak mirip dengan hidupnya burung atau yang didalam Kitab Djojobojo dikatakan Zman Kukilo.

Lain sumber juga mengatakan, bahwa pada zaman Chun Ch’lu, antara 500 – 600 tahun sebelum Christus, Tiongkok berada didalam keadaan yang luar biasa kacaunya. Mulai dari Ping Wang tahun ke 49 sehingga Chin Wang tahun ke 39, yang sama sekali meminta tempo 242 tahun. Api peperangan yang mendasyat senantiasa menimpa Tionkok hingga rakyatnya merasa hidup dalam terror. Oleh karena itu beberapa kelompok orang-orang disana berduyun-duyun menuju ke Tjempa. Ditempat inipun mereka merasa tidak aman karena gangguan terrorisme dari “The Reign of Terror” dilain pihak, maka mereka berduyun-duyung bersama menaiki perahu Djong untuk menuju keselatan dengan pikiran nekat dan kepercayaan mantap bahwa akhirnya mesti mendapat tempat guna berlindung.

Demikianlah akhirnya diantara ribuah perahu Djong tadi sebagian ada yang mendarat di Philipina, sebagian ada yang mendarat di Borneo, Malay Peninsula, Sumatera dan sebagian pula ada yang mendarat di Pulau Jawa dan Pulau Bali.

Di tempat-tempat tersebut, mereka segera tercocok tanam dan beternak, akan tetapi lambat lain pakaian mereka telah habis rusak, hingga terpaksa cara berpakaian mereka seperti pada waktu zaman purba di Tiongkok, sehingga setelah ditemukan kapas dan randu kapok di hutan-hutan yang mereka jadikan benang, barulah mereka dapat membuat alat tenun yang primitive sekali guna menenun dengan cara amat sederhana.

Menurut sumber itu, diterangkan juga bahwa asal-usul penduduk Tanah Jawa memang sebagian dari Hindu dan sebagian pula dari Tiongkok.

Untuk membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk asli dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari sua type yaitu disatu fihak typenya Hindustania, kulitnya agak hitam jengat / sawo matang dengan matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak sedikit yang berkulit kuning langsat, matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti orang Tionghoa, hingga dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara orang Indonesia sendiri menyangka bahwa orang yang berhadapan dengan dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya model pakaianya atau gigi pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna membedakannya.

Pada zaman itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa. Banyak orang suka memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali perihatin untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan kuat bertapa yang mempunyai pengaruh begitu mujizad.

Misalnya walaupun justru udara bersih, matahari bersinar terang gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba datang seorang yang telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri dibawahnya sinar matahari sambil mencakupkan kedua tangannya dan berdoa sambil kedua matanya dimeramkan dan mendongkakan kepalanya, maka tidak lama kemudian awan mendung sekoyong-koyong bergulung-gulung begitu tebal dan sebentar pula hujan turun dibarengi suara angin menderu dan suara petir menyambar-nyambar kian kemari, hingga seolah-olah dunia sedang kiamat.

Demikianlah apa yang dikejar orang dalam jaman itu adalah “kedikjayaan”, sedang hal kemajuan lahir atau kekayaan lahir sama sekali tidak dimengerti.

Masa itu Tanah Jawa merupakan suatu pulau yang amat kaya raya dengan kekayaan alam, yang sangat menarik perhatiannya perantau-perantau bansa Hindu, hingga kemudian berduyun-duyun datang kemari untuk berdagang dan untuk Bantu membuka pikiran rakyat yang masih diliputi oleh alam gelap, dan memimpin mereka untuk bercocok tanam, pertanian dan peternakan, sampai pula pada pemerintahan.

Oleh karenanya maka pengaruhnya kesopanan dan kebudayaan Hndu di Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya dapat disejajarkan denan pengaruh kesopanan dan kebudayaan dari bangsa Romeinen diseluruh Europe.

Antara rombongan bansa Hindu yang datang kemari, terdapat juga keturunan dari Warman Dynasty, yang selanjutnya diangkat menjadi Raja Hndu di Pulau Jawa yang pertama-tama, dengan memakai nama Kerajaan Tarumanegara, sedangkan Raja tersebut bergelar Purna Warman.

Selain di Pulau Jawa, daerah lainpun seperti Kutai, Sukadana, Palembang dan lain-lain bagian dari kepulauan Indonesia mereka mengangkat juga raja-raja yang diangkat bangsa Hindu turunan dari Warman guna memerintah daerah-daerah yang dikunjungi.

Waktu itu agama Hindu yang berkembang pertama kali adalah Brahmanisme, dimana tingkat derajat profesi manusia terbagi menjadi empat golongan.
Golongan pertama adalah Brahmana, ialah terdiri dari kaum Pendeta yang dipandang sebagai kaum cardinal.
Golongan kedua adalah Satriya, ialah terdiri dari kaum Bangsawan.
Golongan ketiga adalah Wasea, ialah terdiri dari kaum dagang, petani, tukang dan pekerjaan yang agak tinggi.
Golongan keempat adalah Sudra, ialah tediri dari kaum buruh rendah dan kaum budak.

Jadi pada saat itu sudah terjadi system pendidikan yang professional untuk masing-masing profesi yang dibagi menjadi empat golongan profesi dalam masyarakat. Sama halnya dengan jurusan professional dalam pendidikan moderen sekarang ini.

Tapi system golongan professional ini tidak berjalan mulus karena golongan Sudra sering mendapat perlakuan tidak adil, yang begitu nyata membedakan tingkatan dan kaum.
Lantaran adanya penyelewengan pelaksanaan system golongan professional ini maka tidak heran Agama Buddha dapat disambut dengan hangat sekali dari penduduk di Pulau Jawa, hingga bergantinya Agama Brahmanism ke Agama Buddha yang terjadi dengan sangat damai.

Pada Masehi tahun 414, Fahian, perantau bansa Tionghoa yang termasyur, telah tiba di pulau ini bersama empat orang kawannya. Mereka selain menjadi orang-orang Tionghoa pertama menginjakkan kakinya di sini dan terus menurunkan keturunannya sehingga merupakan sebagian golongan Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing, kecuali bangsa Hindu yang pertama kali datang di pulau ini.

Menurut diary (catatan harian) dari Fahian, bahwa asal usulnya nama Pulau Jawa itu disatu fihak ada yang mengatakan berasal dari syairnya Ramayana, seorang Hindu (pendekar penyair) dalam bahasa Sanscrit yang telah hidup antara 300 tahun sebelum Christus, dimana antaralain dalam sjair itu telah menguraikan “Jawadwipa”, yang artinya : Jawa = Pahala, dan Dwipa = Pulau, sehingga “Jawa Dwipa” yang telah menjadi namanya pulau ini adalah membawa arti “Pulau dari Pahala” atau “Pulau Jasa”.

Sementara menurut fihak lain ada dikatakan, bahwa waktu pertama kali bansa Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut, semacam bahan makanan, juga dijual dipasar untuk bahan makanan burung perkutut piaraan, yang bumbuh begitu subur dan gemuk sekali dipulau ini, sehingga pulau ini dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan Juwana.

Kemudian oleh rombongan Tionghoa tadi, karena kata-kata Juwana mengandung suara huruf “Ju” = “Kasar” atau “Rendah kwalitasnya”, bahkan karena suara itu ditekan agak keras menjadi suara “Jao” = “Bau Busuk” atau “Orang yang rusak moralnya”, maka untuk menandai pelayaran Confucius tentang Tjiang Sim Pi atau teposeliro, orang Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang bukan saja menjadi kata lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi orang Tionghoa umumnya dan golongan lain-lain yang mengerti huruf dan bahasa Tionghoa.
Sebutan “Wana” terhadap penduduk Pulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya memiliki arti : Tanah yang subur; tetumbuhan yang tumbuh dengan subur; dan kaya raya.
Sebutan “Wana” terhadap penduduk asli dari Tanah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya itu jelas sudah bukan berarti ejekan atau hinaan, karena maksud yang benar dari kata-kata tersebut tak lain dan tak bukan adalah : Orang dari negeri yang tanahnya subur atau kaya.

Lebih jauh dari keterangan tersebut, bukan saja orang-orang Tionghoa dalam zaman itu tidak suka menghina golongan bangsa lain, bahkan sudah begitu hati-hati untuk menjaga agar supaya dalam kata-katanya tidak sampai menyinggung perasaannya golongan bangsa lain, yang mana terbukti dihapuskannya suara kata “Jao” yang diartikan kurang baik.

Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut Juwana, adalah dengan adanya nama kota Juwana, suatu tempat di daerah Jawa Tengah terletak antara Pati – Rembang.

Menurut penuturan dalam zamannya Dempoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menayakan kepada seorang penduduk asli nama tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat menyangka tamu yang datang menayakan kebangsaanya (maklum belum bisa bahasa Melayu yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta jarang ketemu orang Asing), maka dijawablah “Juwana”.
Oleh karena itu maka tempat tadi selanjutnya disebut Juwana hingga saat ini menjadi perkampungan Nelayan yang sukses di Kabupaten Pati.

-oOo-​
 
Caming SOON : Masa Kerajaan Hindu....
 
Jaman Kerajaan Hindu

Pada abad ke VI kembali serombongan bangsa Hindu datang kemari, dimana mereka telah mendarat di daerah Jawa Tengah.

Kemudian rombongan ini terpencar dan masing-masing mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, dimana tiap kerajaannya diangkatnya seorang Hindu yang dipandang pantas untuk menjadi raja.

Antara lain kerajaan-kerajaan tersebut berada di Dieng, Kedu, Juwangi, Proto, Jepara dan dibeberapa tempat lainnya.

Pengaruh kesopanan/kesusilaan, dan kebudayaan Hindu di Tanah Jawa menjadi kian hari kian besar dan luas. Berbareng dengan itupun agama Buddha makin lama makin merata diantara rakyat jelata dari segala golongan dan lapisan.

Pada Masehi tahun 944 dari negeri Hindu telah mendarat kemari seorang menteri, ialah Empu Sindok, yang mendarat di Jawa Timur dan mendirikan Kerajaan Keuripan disebelah selatannya Surabaya, dimana ia mengangkat dirinya sendiri menjadi Radja dengan memakai gelar Raja Mataram.

Memang tadinya beliau adalah seorang perdana menteri yang cakap, adil dan bijaksana, maka tidak mengherankan kalau Kerajaan itu dalam tempo singkat saja telah mendapatkan kemajuan pesat, hingga daerah kerajaan Keuripan menjadi makin kuat, luas dan makmur. Kerajaan Keuripan itu ketimur sampai Bali, kebarat utara sampai Pasuruan dan kebarat selatan sampai Kediri.

Sementara itu kemajuan agama Buddha yang paling gilang-gemilang di Tanah Jawa adalah mulai dari Masehi tahun 1100-1400, yang merupakan masa emas (golden days) dari agama tersebut dikepulauan ini.

Dalam kurung waktu ini juga telah tecipta candi-candi : Prambanan, Mendut, dan Borobudur, yang sebagai kemajuan agama Hindu dan Buddha. Hal ini juga sebagai lambang kebesarannya architecture bangsa Timur pada jaman itu.

Kerajaan ini semakin makmur dan jaya setelah sampai pada Masehi tahun 1042, dimana Erlangga, keturunan dari Empu Sindok, memegang tachta. Raja ini bukan saja telah memajukan dan menyempurnakan tata tertibnya pemerintahannya, kesopanan, kebudayaan, agama, perniagaan, dan pengairan, serta memajukan/menghidupkan kesusastraan Jawa aseli. Saat ini orang mulai mencatat segala sesuatu, menulis surat-menyurat sampai menulis buku dan sebagainya dalam bahasa Jawa aseli.

Dalam jaman Raja Erlangga yang adil dan bijaksana ini orang telah menulis Mahabarata, Ramayana dan Arjunawiwaha dalam bahasa dan huruf Jawa.
-oOo-
 
PRABU JOYOBOYO


Hanya sayang setelah Raja Erlangga wafat, karena disebabkan oleh adanya pemberontakan, maka kemakmuran dan kemuliaan Kerajaan Keuripan menghadapi kemunduran yang hebat.

Kerajaan ini menjadi sama berdiri sendiri-sendiri, hingga merupakan kerjaan kecil-kecil.
Antara begitu banyaknya daerah yang sama berdiri menjadi kerajaan sendiri adalah Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala yang paling ternama.

Dalam Kerajaan Kediri ini sususastraan Jawa mendapatkan kemajuan yang pesat sekali, terutama setelah sampai pada jamannya Prabu Joyoboyo dalam abad ke XII, beliau telah menulis Kitab Joyoboyo yang begitu termashur dan menjadi jangkanya (periode jaman besar) Tanah Jawa hingga pada jaman modern ini, serta tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sekarang telah tercapai ini sedikit banyak pengaruh dari Kitab Joyoboyo yang ditulis oleh seorang pujangga dan raja dalam abad ke XII .

Dalam Masehi tahun 1104 didalam Istana Kerajaan Kediri telah terdapat dua orang pujangga yang pandai, ialah Triguna yang telah menulis kitab-kitab Sumasantana dan Krisnayana, dan Empu Darmaja yang telah menulis kitab Sinardahana.
Selain kedua pujangga tersebut pada Masehi tahun 1157 ada pula Empu Sindok dan Penuluh yang telah sama menulis Kitab Baratajuda dan Mahabarata dalam bahasa Jawa-kuna.

Berdasar dari sejarah tersebut serta mengingat pada abhad ke XX dimana banyak diterbitkannya kitab-kitab bahasa Jawa oleh Boekhandel Tan Khoen Swie, Kediri, beliau telah membantu perkembangan kesusastraan dan kebudayaan Jawa dengan pesatnya. Maka banyak orang dapat menarik kesimpulan bahwa Kediri adalah menjadi suatu tempat pusat perkembangan dan kemajuan kesusastraan Jawa !

Kerajaan Kediri itu makin berkuasa dan berpengaruh, sehingga sampai raja yang terakhir dari kerjaaan tersebut adalah Kertajaya.
Semantara Dynasty Empu Sindok telah habis sampai pada Masehi tahun 1222.

Ramalan PRABU JOYOBOYO : http://indoforum.org/showthread.php?t=24156
 
BERDIRI DAN RUNTUHNYA KERJAAN SINGOSARI


Dalam pada itu daerah Jenggala menjadi kian lama kian lemah sehingga akhirnya mesti dibawah perintahnya Kerajaan Kediri, dimana diberi wakil raja sendiri yang berkedudukan di Kertareja. Sedang daerah Malang diwakili oleh seorang wakil raja yang disebut Kuwu Tunggulametung.

Tapi etis politik dari Ken Angrok untuk mengasut rakyat telah berhasil, dan maksudnya untuk mendirikan pemerintahan sendiri di Jawa Timur telah tercapai.

Lalu nama dari Kertaraja dan Tunggulametung diganti menjadi Singosari. Demikian adanya sejarah yang singkat dari berdirinya Kerjaan Singosari.

Selama Raja-raja Singosari yang pertama hingga raja ke-empat boleh dikatakan tidak ada kejadian yang luar biasa pentingnya yang perlu dicatat didalam sejarah.

Tapi setelah sampai pada Raja Singosari yang ke lima ialah sampainya Raja Kertanegara, beliau sangat memperhatikan kesusastraan dan giat sekali memajukan Agama Buddha dan dapat dikata seorang raja yang cakap dalam soal pemerintahannya, tetapi bersamaan dengan itu ada seorang peminum arak yang termashur juga, maka telah menimbulkan rasa kurang senangnya seorang perdana menterinya.

Perdana menteri yang tidak setuju dengan Raja Kertanegara itu adalah bernama Wiraraja, beliau diam-diam bersepakat dengan seorang kawannya bernama Jayakatuang (seorang yang menjabat pangkat adi-pati di Doho), untuk mengadakan perserikatan mendurhaka kepada rajanya dan mengadakan Coup d’etat terhadap Kerajaan Singosari.

Rahasia ini sebenarnya telah diketahui oleh seorang pegawai Negara dan telah melaporkan kepada Raja Kertanegara, tapi rahasia ini rupanya tidak begitu diperhatikan oleh Raja tersebut, hanya Wiraraja dipindahkan dan dijadikan adipati di Madura.
Tidak lama kemudian Singosari mengadakan gerakan tentara ke Andalas.

Dengan menggunakan kesempatan dimana kerjaan Singosari lagi kosong, Jayakatuang telah menggerakkan tentara yang menjadi pengikutnya untuk melakukan Coup de’etat guna merebut pemerintahan Kertanegara dan membunuh raja tersebut.
Sesampai disitu tamatlah riwayatnya Kerajaan Singosari.
 
bro goesdun kayak tokoh peneliti sejarah aja :D
bagus bagus wacananya ;)
 
KERAJAAN MOJOPAIT

Sementara itu R. Wijaya, menantu dari Raja Kartanegara, karena dihianati oleh Ardharaja lain anak menantu dari Raja Kertanegara dan anak dari Jayakatuang.

Dalam pertempuran antara mertua dan ayah, Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya, maka R Wijaya telah menderita kekalahan hebat dan tepaksa melarikan diri ke Madura dan minta perlindungan kepada R. Wiraraja.
Kemudian atas nasehat dan muslihatnya R. Wiraraja, maka R. Wijaya bersedia diterima dengan senang hati oelh Jayakatuang yang pada waktu itu sudah menjadi Raja Doho.

Karena memang pandai, maka R. Wijaya lalu dapat kepercayaan dari Raja Jayakatuang dengan mendirikan sebuah kota yang pada waktu itu masih merupakan hutan-belukar. Pada suatu hari karena lelah dan lapar, seorang diantara itu orang yang bekerja keras, telah dapat memetik sebutir buah Maja dan segera dibuang karena buah Maja itu pahit rasanya.

Maka Negeri itu diberi nama Majapait.

Compromise antara Kubilai Khan, Raja di Tingkok dengan Singosari yang tadinya tidak membawa hasil telah menyebabkan Raja Tiongkok mengirim tentaranya ke Singosari, dan sesampainya di sini segera disambut dengan ramah-tamah dan sifat persaudaraan oleh Wiraraja yang pandai mengambil hati.

Raden Wijaya lalu menerangkan bahwa tidak berhasilnya compromise tersebut adalah karena membandelnya Raja Kediri, ialah yang waktu itu dipegang oleh Jayakatuang. Dengan demikian Raden Wijaya dengan mudah meminjam tenaga tentara dari Tiongkok untuk menjatuhkan Jayakatuang.

Kejadian tersebut adalah pada Masehi tahun 1293.

Demikianlah walaupun Kerajaan Kediri-Doho sudah terampas kedalam tangan Wijaya, tetapi Raden Wijaya dengan dibantu oleh tentara dari Tiongkok itu masih tetap melakukan pembersihan disekitar kerajaan Kediri-Doho berikut daerah-daerahnya, hingga sampai Masehi tahun 1295 R. Wijaya baru dinobatkan menjadi Raja Browijoyo ke I, dengan memakai gelaran Kertarejasa dan kerajaannya disebut Kerajaan Mojopait.
Waktu itulah tentara dari Tiongkok baru bertolak dari pesisir Pasuruan buat pulagn kandang. Semenjak itu courir dari Tiongkok jang diutus kemari selalu mendarat atau bertolak dari pesisir Pasuruan, yang berarti “pesuruh”, ialah orang yang disuruh atau diutus. Dengan demikian nama tempat tersebut telah menjadi Pesuruan.
Sementara sebagi seorang yang mengenal budi, Raja Browijoyo ke I ini lalu memberi anugrah kepada Aryawiraraja (seorang kawannya yang baik dan yang telah membantu banyak sekali sebelum Browijoyo menjadi Raja Majapait), daerah Lumajangdan dijadikan raja dari daerah tersebut.

Sesudah Kertarejasa atau Browijoyo ke I maka yang menggantikannya adalah Browijoyo ke II, ialah Jayanegara. Dalam tangan Jayanegara ini Kerajaan Majapait telah merebut daerah-daerah Sunda Kecil, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya, yang perlu dicatat atas jasanya seorang hulubalang Mojopait bernama Nala.

Tetapi berbarengan dengan itu juga, dalam Masehi 1334 dalam pemerintahan Jayanegara telah timbul pemberontakan sebagai synthesis pemerintahan raja tersebut.


Timbulnya pemberontakan itu dari daerah Lumajang, Tuban, Pasuruan dan beberapa tempat tempat kecil lainnya. Tetapi atas kebijaksaaannya Patih Gajahmada maka pemberontakan tadi dapat dipadamkan dengan mudah dan Kerajaan Majapait dapat dipertahankan dengan tegak.
Tetapi apa lacur Raja Jayanegara ini bertikaian dengan seorang Thabib juru bedahnya sendiri, yang berakhir dengan meninggalnya Raja Browijoyo ke II (Jayanegara).

Kejadian diatas ada pada Masehi tahun 1338, dimana karena putera mahkota masih kecil, maka pemerintahan dipegang oleh permaisuri Raja Jayanegara hingga tahun 1350, setelah Adiningkung (putra mahkota dari Kerajaan Majapait) menjadi dewasa dan segera dinobatkan menjadi Raja Browijaya yang ke III.

Semenjak Adiningkung memegang kendali Kerajaan Majapait, maka kekuasaan dan kebesarannya kerajaan itu menjadi makin besar dan luas sekali.

Waktu itu bendera dari Kerajaan Majapahit adalah Sang Merah Putih atau Gula Kelapa, sebagaimana Bendera dari Indonesia Merdeka yang sekarang ini.

Karena dewasa itu daerah Majapit bukan saja hanya terbatas diseluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi menyebrang lautan sampai di Andalas seluruhnya Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, Malaka dan Papua, maka Sang Merah Putih senantiasa berkibar diangkasa dari daerah-daerah tersebut.

Pada jaman itu Raja Adiningkung atau Browijaya ke III, telah bekerja sama dengan pendeta-pendeta (Hweeshio) untuk memajukan Agama Buddha. Kaum agama (Hweeshio) medapatkan tanah pradikan, gugur gunung untuk orang orang disekeliling tempat pendeta dan bantuan untuk mendirikan candi-candi yang pada waktu itu sudah ada banyak candi. Disamping itu jaman ini di Majapait terdapat seorang Pujangga Prapanda Panular atau yang dalam Sejarah sering disebut Tantular, yang telah menulis Arjuna Wijaya.

Kerajaan Majapahit menjadi makin jaya pada saat Hayamwuruk, Raja Browijaya ke IV.
Hubuangan perdagangan luar negeri pada jaman itu sangat luas dan berjalan sangat bait. Tuban, Gresik dan Surabaya sudah merupakan pelabuhan yang ramai. Disitulah sering mondar-mandir / pergi dan pulangnya perahu-perahu dari Tiongkok, Siam, Hindia dan Persia.

Barang-barang Tiongkok yang masuk kesini adalah thee, perselin, sutra, obat-obatan dan lain sebagainya. Tiongkok membeli barang-barang mutiara, intan, batu-batu permata dan beras dari sini. Dari perhubungan yang baik dan lancar ini, terutama karena mendapat mutiara yang sangat berkualitas bagus, maka akhirnya oleh Tiongkok Raden Alit, Raja ke VII dari Majapait diberi anugerah Puteri Tjempa, yang dalam sejarah biasanya dikenal dengan nama Darapetak.

Perkawinan antara Raden Alit dengan Darapetak itu tidak berjalan sangat lama, karena selagi Puteri Tjempa mengandung telah dikirim ke Palembang untuk diberikan sebagai anugerah kepada anaknya yang menjadi Raja di tempat tersebut.
Di Palembang Darapetak telah melahirkan seorang putera yang cerdas, pandai dan bijaksana.

Waktu itu karena Palembang sudah kemasukan Agama Islam, maka putera dari Darapetak yang telah diberi nama Raden Fatah itu dengan giatnya mempelajari keyakinan agama tersebut hingga ia faham benar akan kitab-kitab suci dari Agama Islam.

Sementara itu dunia terhampar, waktu tetap beredar.

Kekuasaan Kerajaan Majapait oleh Raden Alit telah diserahkan kepada seorang anak menantunya bernama Raja Wikrama Wardana, dan yang menjadi mangkumuminya Patih Kenaka.

Waktu itu di Kalimantan Barat dan Palembang sering timbul huru-hara, hingga banyak tenaga dari Kerajaan Majapait telah dicurahkan untuk memadamkan pemberontakan. Oleh karenanya maka perhatian untuk kemakmuran Negara menjadi makin kurang dan akhirnya menyebabkan Kerajaan Majapait makin lemah.

Melihat bahwa Kerajaan Majapait dalam tangan anak menantunya telah menghadapi keruntuhan maka buru-buru Raden Alit memegang kembali kendali pemerintahan, tetapi telah terlambat.
Waktu itu adalah Masehi tahun 1428.

Huru-hara didalam negeri dapat dipadamkan, tapi banyak daerah-daerahnya Majapait, terutama yang berada diseberang lautan, telah sama berdiri sendiri-sendiri. Kehidupan rakyat terkena dampaknya pemberontakan itu dengan hebatnya. Banyak rakyat yang sudah merasa hidup sedang / bahagia telah sama menderita.

Sementara itu dalam Masehi Tahun 1416 agama Islam sudah mulai berkembang di Tanah Jawa, Malaka, Perzie dan lain-lain tempat.

Paramaswara, seorang Raja Malaka keturunan dari Kerajaan Mojopait, setelah masuk Islam lalu memakai gelaran Iskandar Syah Raja ini selalu ingin meluaskan kekuasaannya. Ia amat mengandalkan kegagahan laksamananya seorang Tionghoa bernama Hiang Tua, dalam sejarah lain ditulisnya Hyang Toea, dan tidak disebut kebangsaannya.

Mulai waktu itu Tuban, Gresik, Surabaya dan lain-lain tempat pesisir di Jawa bukan saja merupakan tempat pelabuhan guna perdagangan, tapi juga merupakan tempat-tempat pusat untuk masuknya agama Islam.

Pemimpin agama Islam yang terkenal di Jawa Timur adalah Syech Malik Ibrahim, beliau telah wafat di Gresik pada Masehi tahun 1416 dan makamnya ditempat tersebut sampai saat ini masih dihormati oleh ribuan penduduk disana.


Mari kita kembali kepada Raden Fatah dan Kerajaan Mojopait.

Setelah manjadi dewasa Raden Fatah bersama ibunya lalu bertolak dari pelabuhan Palembang menuju ke Tanah Jawa guna menemui ayahnya.

Sesampai dipesisir Jawa mereka mendarat di Mara Demak, dimana kedatangan mereka disambut oleh pra wali dan alim ulama di Demak dan daerahnya.

Pada suatu hari dalam waktu Tahun 1478 Masehi setelah oleh para wali dan alim ulama dinobatkan menjadi Sultan Bintara (Demak), Raden Fatah sudah lama sekali ingin bertemu ayahnya, selanjutnya segera pergi mengunjungi Mojopait.
Tidak tahunya sesampai dikeraton Mojopait ternyata keadaan sudah begitu kacau sekali. Dalam istana tersebut tidak dijumpai perdana menteri maupun rajanya.

Ternyata waktu itu Raja dari Kerajaan Mojopait sudah enyah ke Bali, karena tak tahan melawan serangan Girindrawardono, Raja Kalingga (sebelah timur Kediri), yang pada saat itu sedang memimpin balatentaranya dan mendesak ke istana Mojopait yang runtuh.
Raden Fatah segera memimpin orang-orang yang telah mengikuti dari Demak untuk mengambil pusaka-pusaka Kraton Mojopait, yang menjadi haknya sebagai putera mahkota. Dilain fihak beliau pun memimpin balatentaranya untuk menghadapi pasukan dari Girindrawardono, hingga disitu terjadi peperangan yang mendasyat.

Karena kalah jumlah, maka balatentara Raden Fatah untuk sementara mundur diantara rakyat jelata, sampai akhirnya setelah rakyat sama megnetahui siapa sebenarnya Raden Fatah, disamping rakyat tidak suka dengan berdirinya Raja Girindrawardono, maka akhirnya Raden Fatah berhasil memimpin mereka untuk melawan Raja Girindrawardono. Dengan demikian bukan saja beliau dapat menuntut balas ayahnya yang sedang mengasingkan diri, tapi juga dapat merampas daerah-daerah Girindrawardono.

Sementara ayahnya yang dicarinya itu setelah dilakukan penyelidikan, bahwa Raja Mojopait (Raden Alit) dengan hulubalangnya dan rakya yang setia sekali kepadanya, telah bersama menuju ke Pulau Bali, sehingga akhirnya Raden Alit wafat ditempat tersebut.

Demikian akhirnya Raden Fatah telah pulang ke Demak dengan membawa dua macam perasaan. Disatu fihak ia merasa sedih karena sebagai seorang bangsawan, daerah dari kerajaan yang termasyur, dalam seumur hidupnya belum pernah melihat wajah ayahnya. Tetapi dilain fihak ia telah merasa dapat membalas dendam ayahnya, yaitu dengan dipukulnya Raja Girindrawardono dari wilayah Kelingga.

Susunan Raja-Raja dari Kerajaan Mojopait itu, dari awal sampai akhir yaitu mulai dari berdiri hingga keruntuhannya, hanya 7 kali turunan, ialah:
  • Raja Browijoyo I = Joko Sesuruh atau R.Wijaya
  • Raja Browijoyo II = Jayanegara atau Prabu Anom
  • Raja Browijoyo III = Adiningkung
  • Raja Browijoyo IV = Hyamwuruk
  • Raja Browijoyo V = Lembu Aminisani
  • Raja Browijoyo VI = Brotanjung
  • Raja Browijoyo VII = Raden Alit ayah dari Raden Fatah.
Sampai disinilah sinarnya Kerajaan Mojopait.
Dan Bali Dwipa sebagai tempat terakhir Raja Mojopait (Raden Alit).
 
Penyelamatan dan Kembalinya Mahkota Majapahit

Penyelamatan dan Kembalinya Mahkota Majapahit

DENGAN tetap memegang konsep negara kepulauan Nusantara bersatu, mau tidak mau, aura kejayaan Kerajaan Majapahit akan tetap mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Sebab, bentuk pemerintahan Kerajaan Majapahit telah menjadi inspirasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Puncak kemegahan Kerajaan Majapahit tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) saat didampingi Mahapatih Gajah Mada, terutama pada saat perwujudan Sumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara.

Setelah Gajah Mada wafat pada 1364, Majapahit mulai suram. Pada 25 tahun kemudian, Raja Hayam Wuruk mangkat (1389). Kerajaan Majapahit mulai retak. Pertikaian antar-ahli waris tidak terhindarkan. Kehidupan mewah akibat kesejahteraan yang telah dihasilkan Majapahit, telah membuat orang-orang Majapahit lemah dan agak lengah.

Di masa pemerintahan Raja Kerthabhumi, dengan mudah Majapahit yang telah berusia 148 tahun ditundukkan oleh penguasa Demak, Raden Patah yang kala itu berusia 23 tahun. Peristiwa ini disebutkan dalam tahun Saka sebagai "sirna ilang kertining bumi" yang bermakna 1400 atau 1478 Masehi. Raden Patah yang juga disebut Panembahan Jin Bun sebenarnya adalah putra Raja Kerthabhumi, setelah sang raja menikah lagi dengan putri saudagar Cina Muslim.

Dalam kronik Tionghoa disebutkan bahwa alasan penyerangan Demak ke Majapahit adalah karena raja Majapahit "tidak seiman" dengan penguasa Demak. Karena itulah ada upaya untuk menyatukan kepercayaan dan keyakinan raja Majapahit. Sunan Kalijaga (Raden Said) kemudian menjumpai Kerthabhumi (Brawijaya) di Blambangan, ketika mantan raja Majapahit ini hendak meminta bantuan kepada raja Bali.

Kerthabhumi akhirnya pindah agama tanpa meminta pertimbangan abdi setianya, Sabda Palon dan Naya Genggong.

Akibatnya, Sabda Palon dan Naya Genggong tersinggung, merasa sudah tidak diperlukan lagi. Akhirnya meluncurlah kata-kata yang kemudian dikenal sebagai ramalan atau semacam "kutukan". Kata-kata ramalan yang terkenal dari Sabda Palon dan Naya Genggong adalah akan mengembalikan keyakinan Hindu-Buddha 500 tahun setelah sang raja beralih keyakinan. Jika tidak mau, maka akan diambil jalan kekerasan, dengan tanda-tanda bencana alam.

Milik Kolektor

Entah karena sudah sesuai dengan kehendak Sabdo Palon dan Naya Genggong, setelah 500 tahun lenyap dari bumi Nusantara, rupanya sudah ada upaya-upaya untuk merekonstruksi peninggalan Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah mencari lokasi Kerajaan Majapahit dan membuat Pusat Informasi Majapahit, setelah bukti-bukti sejarah dan peninggalan Majapahit dikumpulkan.

Ide ini ternyata kemudian menjadi sebuah kontroversi di pengujung 2008. Sebab, situs Kerajaan Majaphit rencananya akan diberi tutup kaca tebal untuk memudahkan pengunjung bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan Majapahit di dalam kotak kaca (semacam etalase) di area Pusat Informasi Majapahit. Tentu saja para ahli arkeologi, sejarah dan budaya tidak bisa menerima ide ini. Sebab, penggalian dan pembangunan etalase kaca di dalam tanah justru bisa merusak situs Majapahit itu sendiri.

Akhirnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memerintahkan untuk menghentikan kegiatan tersebut, serta membentuk Tim Evaluasi Pusat Informasi Majapahit. Lantas, menjelang perhelatan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, awal 2009 ini sebuah media cetak terbitan Surabaya memuat artikel tentang mahkota Kerajaan Majapahit. Apakah mahkota ini nantinya akan dapat memberi aura kepemimpinan Majapahit bagi presiden terpilih?

Sejak Majapahit ditundukkan oleh Kerajaan Demak, banyak benda-benda pusaka dan tanda-tanda kebesaran Majapahit diangkut ke Demak. Namun setelah Kerajaan Demak runtuh, benda-benda pusaka dan tanda-tanda kebesaran Majapahit itu tercerai-berai serta sebagian tak diketahui keberadaannya. Tetapi kini, salah satu benda pusaka Majapahit yang menjadi simbol kepemimpinan Majapahit, diberitakan telah berada di Bali sejak 30 Mei 2008.

Mahkota tersebut sempat menjadi milik seorang kolektor di Singapura. Namun karyawan di tempat menyimpan mahkota tersebut silih berganti kesurupan, meminta mengembalikan mahkota itu kepada keturunan Majapahit. Berita ini kemudian didengar oleh Way Ching Lee, seorang keturunan Raja Tumasik (Singapura). Dia kemudian berusaha mengumpulkan dana untuk menebus mahkota tersebut agar dapat dikembalikan kepada yang berhak. Setelah dana terkumpul dari beberapa dermawan di beberapa negara, mahkota Majapahit bisa ditebus.

Mahkota ini kemudian dibawa ke Bali karena Bali diyakini sebagai penerus budaya Majapahit.

Meski sempat dibawa ke Puri Ubud, mahkota ini akhirnya dibawa ke lokasi Puri Surya Majapahit, yang baru dibangun di Perum Puri Gading, Banjar Bhuwana Gubuk, Jimbaran. Puri ini dibangun oleh Hyang Suryo yang telah dinobatkan (abhiseka) sebagai Sri Wilatikta Brahmaraja XI. Di tempat ini pula telah dibangun tempat suci pemujaan leluhur raja Majapahit dan pemujaan Siwa-Buddha, yang dipuja pada masa Kerajaan Majapahit.


KekuatanGaib
Disebutkan bahwa mahkota ini pernah diteliti. Menurut penelitian para ahli, mahkota yang terbuat dari emas dan bertahtahkan permata tersebut telah berumur ratusan tahun. Bentuk tatahan dan bahannya disebutkan khas Majapahit. Tetapi tiga permata mahkota ini telah dicongkel dan dijual oleh kolektor yang sempat memiliki mahkota ini. Disebutkan pula, permata jenis rubi ada di Amerika, yang jenis safir ada di Inggris dan permata jambrud ada di Hongkong.

Meski desainnya terlihat sederhana, tetapi mahkota Majapahit ini diyakini memiliki kekuatan gaib yang tidak sembarang orang bisa mengenakannya. Ide untuk mengujinya adalah dengan cara mencoba di beberapa kepala bangsawan dan rohaniawan. Ternyata mahkota ini ukurannya bisa membesar dan mengecil ketika dikenakan pada orang yang tidak dikehendaki. Akhirnya, disaksikan utusan donatur yang menebus mahkota, mahkota itu ternyata pas dikenakan oleh Hyang Suryo yang telah ber-abhiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI.

Bersamaan dengan itu, disebutkan terjadi tanda-tanda alam. Langit yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap dan hujan disertai kilat, kemudian angin bergemuruh. Selain itu, terlihat pula cahaya keemasan dari langit mengarah ke Puri Surya Majapahit, Jimbaran.

Di zaman Majapahit, mahkota raja disebut makuto hamangkoro. Orang yang berhak mengenakan mahkota ini adalah orang yang benar-benar sosok pilihan. Yang dipilih adalah orang yang memiliki "kemampuan" di alam nyata dan alam supranatural, sehingga bisa sukses memimpin Kerajaan Majapahit.

Akankah aura kepemimpinan Majapahit dapat memberi "transfer energi" bagi pemimpin bangsa, yang merupakan sosok pilihan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan Nusantara? Paling tidak, semoga keberadaan mahkota ini dapat memberi ketentraman dan keselamatan bagi penduduk Pulau Bali. (Gede Mugi Raharja *BP)

source : BaliPost / 090315
 
wow....
mungkin bs dilengkapi dgn sumber2 bro.....
 
ada pertanyaan saya tentang sumber valid yang menyebutkan pengganti Jayanegara adalah Adiningkung
setahu saya beliau digantikan oleh saudara tirinya Tribuwana TunggaDewi yg sebelumnya menjadi Bhre Kahuripan, pada masa inilah Gajah Mada diangkat menjadi Patih Majapahit.
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. dengan Suami Cakradhara Atau Shri Kertawardhana yang menjadi Bhre Tumapel, mereka adalah orang tua dari Prabu Hayam Wuruk
 
ada pertanyaan saya tentang sumber valid yang menyebutkan pengganti Jayanegara adalah Adiningkung
setahu saya beliau digantikan oleh saudara tirinya Tribuwana TunggaDewi yg sebelumnya menjadi Bhre Kahuripan, pada masa inilah Gajah Mada diangkat menjadi Patih Majapahit.
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. dengan Suami Cakradhara Atau Shri Kertawardhana yang menjadi Bhre Tumapel, mereka adalah orang tua dari Prabu Hayam Wuruk

Terima kasih sudah melengkapi dan dapat kita diskusikan lebih lanjut.
Dan dari sumber yang saya gunakan adalah "Sejarah Indonesia" dalam hal ini sudah ada beberapa pelurusan penulisan sejarah, mengingat banyak terjadi penyimpangan sejarah pada masa Belanda yang masih ada unsur adudombanya.

Dalam sumber yang saya dapat ini, memang tidak menyebutkan nama Tribhuwana Wijayatunggadewi tetapi mungkin yang dimaksud adalah sama bahwa yang melanjutkan pemerintahan Raja Browijoyo ke II (Jayanegara) adalah permaisuri Raja Jayanegara hingga tahun 1350. Hal ini karena putera mahkota masih kecil.

Dalam sumber ini menyatakan bahwa Adiningkung (putra mahkota dari Kerajaan Majapait) setelah menjadi dewasa dan segera dinobatkan menjadi Raja Browijaya yang ke III.
 
Siapa Pembuat Peta Nusantara? Majapahit

Sejarah mencatat kegiatan survei dan pemetaan di Nusantara dilakukan sejak delapan abad lalu dimana peta paling awal justru dibuat oleh bangsa Nusantara sendiri pada masa Majapahit.

"Itu menurut CJ Zandvliet dari Belanda dalam jurnal Holland Horizon tahun 1994," kata Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Rudolf W Matindas pada Peluncuran Buku "Survei dan Pemetaan Nusantara: 40 Tahun Bakosurtanal" di Jakarta, Kamis.

Peta administratif pernah dibuat pada masa Raden Wijaya memerintah Kerajaan Majapahit dan diserahkan kepada tentara Yuan, asal China yang menaklukkan kerajaan tersebut pada tahun 1292, ujarnya.

Namun, sejarah juga mencatat peta tentang Indonesia yang pertama adalah peta navigasi yang dibuat pada abad ke-15 ketika Laksamana Cheng Ho dari China melakukan pelayaran di wilayah negeri ini.

Pemetaan Indonesia yang lebih maju, ujarnya, dilakukan oleh bangsa-bangsa kolonialis yang awalnya datang sebagai pedagang dari mancanegara untuk mencari rempah-rempah.

Pada penjajahan Belanda selama 3,5 tahun itulah Belanda melakukan survei dan pemetaan ke berbagai wilayah dan menginventarisasi kekayaan hayati Nusantara sehingga muncul berbagai peta wilayah Nusantara yang karena keterbatasan teknologi memiliki akurasi rendah.

Empat abad kemudian ketika Indonesia telah lahir, pemetaan secara lebih detail masih belum ada, bahkan berapa jumlah pulau di Indonesia belum juga diketahui dan baru dirintis pertama kali oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melibatkan tokoh Bakosurtanal, ujarnya.

"Sejak beberapa tahun terakhir, Bakosurtanal tengah merintis pembuatan peta berskala besar dengan akurasi tinggi yang dimungkinkan oleh teknologi yang semakin canggih dari mulai teknologi penginderaan jauh, teknologi digital, teknologi GPS, dan teknik pemrosesan data dengan sistem komputer," katanya.

Sementara itu, Pakar Sejarah LIPI Dr. Asvi Warman Adam menegaskan pentingnya peta, yang disebutkannya sebagai satu dari tiga faktor yang membentuk suatu bangsa, selain Sensus dan Museum.

"Peta merupakan tulang punggung bagi pembentukan suatu negara dan identifikasi suatu bangsa," katanya.

Sedangkan Sosiolog Imam Prasodjo di tempat sama mengeluhkan tersebarnya berbagai peta di berbagai institusi, seperti peta hutan gundul di Kementerian Kehutanan, peta tata ruang kota di Badan Pertanahan Nasional (BPN), peta fertilitas di Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

"Negara kita terlalu senang membuat pengkotak-kotakan. Seharusnya Bakosurtanal mengintegrasikan semua peta di berbagai institusi ini, dan menjadikan semua pemetaan Nusantara sebagai data digital yang bisa diakses semua orang," katanya.

Buku "Survei dan Pemetaan Nusantara" yang tebal dan hanya dicetak 1.000 eksemplar tersebut selain berbicara mengenai peran survei dan pemetaan juga membahas peran Bakosurtanal dalam melakukan survei dan pemetaan nasional. *Antara
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.