• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Israel Besar, Amerika Kecil

al_hudzaifah

IndoForum Junior A
No. Urut
18915
Sejak
16 Jul 2007
Pesan
3.389
Nilai reaksi
60
Poin
48
Israel Besar, Amerika Kecil

Jumat, 30 November 2007

Dua professor terkemuka membongkar praktek “Lobi Israel”. Ternyata rakyat Amerika amat dirugikan. Baca edisi khusus bagian pertama dari 3 tulisan
Oleh: Amran Nasution *

israellobby.jpg


Hidayatullah.com--
Penampilan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad di Auditorium Roone Arledge, Columbia University, New York, 24 September 2007, jelas memancing kemarahan kelompok Yahudi fanatik atau garis keras. Ini bisa disebut sebuah kebobolan bagi Lobi Yahudi di Amerika yang selama ini begitu perkasa.

Berbagai kelompok Lobi sudah mencoba menggagalkan forum di salah satu kampus tertua di Amerika itu. The Jewish Defence Organization, salah satu di antaranya, mengecam rencana itu, sembari menjuluki Ahmadinejad sebagai Hitler dari Iran. Dewan KotaNew York turut mengimbau pembatalan acara. Juru Bicara Dewan Kota Christine Quinn berkata, ‘’Kedatangan Ahmadinejad ke kota ini hanya untuk satu keperluan: menyebarkan kebencian di panggung dunia.’’
Nyatanya, Ahmadinejad mendapat sambutan meriah. Itu luar biasa, bila diingat New York adalah ’’kota Yahudi’’, sebab di kota inilah orang Yahudi Amerika paling banyak tinggal. Ruang Auditorium penuh sesak 600-an undangan. Di luar, di sebuah taman disediakan pesawat TV monitor yang disesaki ratusan mahasiswa. Jawaban Ahmadinejad yang cerdas dan tangkas dalam forum diskusi itu menyebabkan ia berkali-kali mendapat tepukan dan applaus hadirin. Demonstrasi menentang acara itu oleh ratusan mahasiswa yang mengusung bendera Israel ‘’Bintang David’’ di lingkungan kampus, seakan kehilangan makna.
Agaknya kini mulai banyak orang Amerika yang sadar bahwa mereka tak bisa terus-menerus hanya mengurusi kepentingan orang Yahudi Amerika yang hanya 3% dari populasi negeri itu. Tak sedikit orang Amerika mulai bertanya secara terbuka, kenapa selama ini mereka terus-menerus seperti orang kena tenung, mengikuti saja semua kemauan Israel. Apalagi ternyata itu semua bukan karena alasan obyektif. Itu bukan karena besarnya pengaruh Israel. Bukan pula karena strategisnya posisi negeri itu di Timur Tengah. Semua berkat hasil kerja dari apa yang dinamakan Lobi Israel di Amerika.
Awal September lalu, terbit sebuah buku yang membongkar seluk-beluk Lobi Israel, ditulis dua akedemisi terkemuka, Profesor John Mearsheimer dan Profesor Stephen Walt. Buku itu berjudul: The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (Lobi Israel dan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat), 484 halaman, diterbitkan Farrar, Straus & Giroux.
Lobi Yahudi – atau disingkat Lobi -- memang sudah lama menjadi isu. Tapi tampaknya baru kali ini soal yang amat peka itu ditulis dalam sebuah buku yang utuh oleh dua profesor terkemuka pula. Maka kontroversi yang seru tak terhindarkan.
Serangan terhadap buku dan penulisnya meledak: mulai dari tuduhan anti-semit, ilmuwan gampangan, sampai bermacam boikot. Acara peluncuran buku yang sudah direncanakan di enam tempat di berbagai kota Amerika, awal September lalu, tiba-tiba dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Tapi semakin kuat tekanan kepada kedua penulis, semakin meyakinkan pula kebenaran yang mereka tulis. Apalagi sejauh ini tak ada satu pun bantahan yang kuat, yang menyangkut substantif.
Meski pun koran arus utama seperti the Washington Post dan the New York Times tampak memberi kesempatan luas kepada para penyerang. Yang muncul lebih banyak caci-maki dan sumpah-serapah. Itu terutama datang dari orang-orang Yahudi fanatik, kelompok Neocon, dan para pendukungnya.
Contohnya, serangan kasar dari Alan Morton Dershowitz dari HarvardLawSchool. Keturunan Yahudi yang menjadi Profesor termuda dalam sejarah Harvard ini bilang, buku itu banyak mengutip referensi dari situs teroris di internet. Jelas tuduhan itu ngawur dan emosional. Sebab semua referensi tercantum di dalam buku, bisa dicek oleh siapa saja. ’’Tak ada satu pun dari situs teroris. Semua jelas,’’ kata Stephen Walt.

Memata-matai Amerika

Penulis buku ini bukan ilmuwan kacangan. Profesor John Mearsheimer, adalah ahli ilmu politik internasional dari University of Chicago, dan temannya, Profesor Stephen Walt, ahli hubungan internasional dari Kennedy School of Government, Harvard University. Keduanya sudah menulis banyak buku, dan mengantongi sejumlah penghargaan ilmiah. Mearsheimer, 60 tahun, meraih Ph D dari Cornell University, dikenal luas karena teori relasi internasional yang dikembangkannya, antara lain, melalui bukunya, The Tragedy of Great Power Politics. Stephen Walt, 52 tahun, memperoleh Ph D dari University of California, Berkeley, mengembangkan teori keseimbangan ancaman (balance of threat theory).
Sebetulnya, buku ini adalah pengembangan -- elaborasi dan up-dating -- dari esei berjudul The Israel Lobby, yang ditulis keduanya dan dipublikasikan London Review of Books, Maret 2006. Angle esei dan buku masih sama, mempertanyakan kenapa Amerika Serikat begitu menganak-emaskan Israel, dengan risiko merugikan kepentingan 300 juta rakyatnya sendiri.
Duit habis, nama rusak, wibawa jatuh, pengaruh menurun, malah tak sedikit pemuda Amerika yang tewas di medan perang Iraq, semata-mata demi kepentingan Israel, bukan Amerika. Presiden Bush menjadi manusia paling dibenci di muka bumi. Kemana saja ia pergi selalu disambut ribuan demonstran, termasuk ke Inggris, sekutu terdekatnya.Israel sebagai klien tak pula loyal pada sang patron. Sejumlah bukti yang diajukan kedua Profesor itu menunjukkan Israel sering bertindak semau gue, berlawanan dengan kemauan Pemerintah Amerika. Malah ia berani mematai-matai kekuatan militer atau kecanggihan teknologi negeri super power itu. Amerika tak bisa berbuat apa-apa. Ajaib.
Dimulai dari bantuan luar negeri. Sejak Perang Oktober 1973, Washington sudah memberi bantuan langsung ekonomi dan militer kepada Israel sebesar 140 milyar dollar. Ini bukan jumlah uang sedikit. Tak satu pun negara lain yang pernah menerima bantuan sebesar itu, tidak juga sekutu Eropanya. Sejak 1976 sampai sekarang, setiap tahun Amerika memberi Israel bantuan langsung 3 milyar dollar, seperenam dari budjet bantuan luar negerinya. Bantuan terus diberikan walau Israel sudah menjadi negara industri dengan income per capita lebih-kurang sama dengan Spanyol atau Korea Selatan.
Untuk mengembangkan sistem persenjataan Israel, Amerika membantu lagi 3 milyar dollar. Israel diberi akses informasi ke sejumlah peralatan canggih seperti heli tempur Blackhawk dan jet F-16. Begitu pula akses intelijen, yang justru ditutup Amerika kepada sekutu NATO-nya di Eropa. Amerika pura-pura tak tahu Israel membuat ratusan senjata nuklir di dekat Dimona, Gurun Negev, tak jauh dari perbatasan Jordania.
Washington menjadi pelindung konsisten dalam urusan diplomatik. Sejak 1982, negeri itu sudah memveto 32 resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang menyerang Israel. Jumlah itu lebih banyak dari veto yang dikeluarkan empat anggota DK-PBB lainnya. Amerika, misalnya, menyetop upaya negara-negara Arab untuk memasukkan sistem persenjataan nuklir Israel ke dalam agenda badan atom dunia, IAEA (International Atomic Energy Agency). Amerika betul-betul munafik, bila kasus nuklir Dimona dibandingkan dengan proyek nuklir Iran yang diributkannya sekarang.
Berkat veto-veto itulah sampai sekarang Palestina tetap menjadi negeri jajahan Israel.Terakhir, Pemerintahan Bush merencanakan peta baru Timur Tengah, utamanya demi kepentingan strategis Israel. Untuk itu Iraq dihancurkan, Libanon dikacaukan, kini Suriah dan Iran menunggu giliran.
Bagi kedua Profesor, tindakan Amerika Serikat dapat dipahami bila Israel memang merupakan aset strategis yang vital bagi Amerika, atau ada alasan moral yang memaksa.’’Tak satu pun alasan itu yang bisa ditunjukkan dengan meyakinkan,’’ tulis mereka. Padahal menjadi beking Israel tak murah harganya. Hubungan Amerika dengan negara Arab penghasil minyak jadi bermasalah. Arab Saudi, konco Amerika terdekat di Timur Tengah, dan dari sinilah Amerika menggantungkan impor minyak mentahnya, belakangan mulai sewot. Negeri itu bergerak mendekat ke China.
Bantuan militer darurat senilai 2,2 milyar dollar yang diberikan Washington guna menyelamatkan Israel ketika negeri itu terdesak dalam Perang Arab – Israel, Oktober 1973, menyebabkan OPEC melakukan embargo minyak. Akibatnya ekonomi negara Barat rusak parah. Sudah begitu, militer Israel tak bisa diharap untuk melindungi kepentingan Amerika di kawasan. Lihat saja ketika pecah revolusi Iran, 1979. Militer Israel tak bisa dimanfaatkan, sehingga Amerika harus mengerahkan pasukan dengan gerak cepat untuk mengamankan suplai minyak dari Teluk Parsi.
Pada Perang Teluk I, Israel tak bisa dijadikan basis pasukan karena akan menyebabkan koalisi pimpinan Amerika dimusuhi negara Arab. Malah Amerika justru direpotkan, harus menyediakan rudal Patriot guna menyelamatkan kota-kota Israel dari terkaman peluru kendali Scud Saddam Hussein. Hal serupa terjadi dalam Perang Teluk II. [bagian pertama dari tiga tulisan/www.hidayatullah.com]
* Penulisadalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.