goesdun
IndoForum Junior A
- No. Urut
- 32661
- Sejak
- 7 Feb 2008
- Pesan
- 3.022
- Nilai reaksi
- 66
- Poin
- 48
BELAKANGAN ini, media massa mengungkap beberapa kekerasan dalam dunia pendidikan. Mulanya kekerasan terjadi di sekolah calon birokrat Depdagri, sekolah pelayaran di Jakarta, akhirnya merambah sampai ke sekolah di lingkungan Depdiknas -- SD, SMP, SMA, dan SMK.
Sampai kini sejumlah guru masih menganggap hukuman fisik sebagai strategi dalam pembelajaran untuk menegakkan wibawa di mata murid. Guru sengaja membuat suasana agar murid takut. Setelah takut, si murid akan mau melaksanakan perintah gurunya. Menurutnya, yang penting si murid tidak berani berkutik di hadapan guru demi wibawa. Bahkan, ada guru yang bangga jika ditakuti murid. "Tanpa hukuman, murid tidak akan disiplin," kata guru yang masih menggunakan cara kekerasan dalam memberi pelajaran kepada siswa.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tampaknya dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, menyiksa fisik yakni menyakiti siswa dengan cara menjewer, menendang, memukul, menempeleng, sampai menjambak rambut. Konon strategi ini digunakan oleh guru zaman penjajahan sampai beberapa waktu kemudian.
Kini, guru membawa kayu atau alat pemukul lainnya untuk menyakiti fisik siswa bukan zamannya lagi. Mestinya hukuman menyehatkan fisik si anak atau yang bersifat mendidik -- membuat siswa lebih pintar dengan hukuman, bukan malah membuat si anak harus berobat gara-gara hukuman. Keberhasilan masa lalu dengan kekerasan bukan terletak pada cara kekerasan itu, melainkan motivasi peserta didik memang tinggi dalam belajar.
Kedua, membunuh karakter dengan meneror mental si anak. Misalnya, anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara terlambat, tanpa ditanyakan terlebih dahulu penyebab keterlambatan itu. Anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara belum bayar uang sekolah, padahal bayar uang sekolah menjadi urusan orangtua. Kalau belum bayar uang sekolah mestinya orangtualah yang dipanggil ke sekolah untuk memberikan keterangan soal keterlambatan pembayaran.
Cara tersebut telah menutup komunikasi berkait dengan kesalahan murid. Anak harus menerima hukuman padahal mereka ingin menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. Bahkan, bukan si anak saja yang dimaki, kadang orangtua pun disebut-sebut. "Begitu diajar sama orangtuamu?" atau "Saya tidak peduli walau orangtua kamu berpangkat tinggi!" Kondisi seperti ini menunjukkan guru itu sudah kehilangan kendali dan kehilangan akal dalam mendidik.
Posisi Lemah
Sebelum kekerasan terungkap di media massa, posisi anak (siswa) biasanya berada dalam posisi lemah di sekolah. Kalau si anak mendapat hukuman dari salah seorang guru, biasanya sejumlah guru ikut mengeroyok si anak tanpa bertanya terlebih dahulu apa masalahnya. Anak sepertinya tidak perlu lagi menyampaikan sejumlah alasan mengapa ia salah. Mentalnya sudah diteror dengan sebutan "pembohong" atau "anak susah diatur". Mereka sepertinya tidak boleh berargumentasi dengan guru. Kalau si anak berani berargumentasi, maka ia akan dicap anak yang "kurang ajar".
Cara mendidik seperti itu sudah waktunya diubah. Biarkan anak beragumentasi. Berikan siswa belajar mengemukakan permasalahan yang dihadapi. Jangan biarkan mereka takut berargumentasi jika mereka tidak bersalah. Tidak ada salahnya beberapa saat guru menjadi pendengar yang baik.
Mengamati fenomena kekerasan fisik maupun teror mental dalam dunia pendidikan kita, ternyata sering bertentangan dengan misi pendidikan yakni membangun sikap mandiri, jiwa demokratis pada anak. Bagaimana pun juga jiwa demokrasi pada siswa perlu ditumbuhkembangkan oleh para guru sebagai pendidik. Proses pendidikan demokrasi ditujukan kepada pengembangan pribadi yang mandiri dan memupuk rasa bertanggung jawab (Tilaar, 2006). Pendidikan pengembangan pribadi ini akan mengembangkan akal budi si murid untuk nanti berani mengambil keputusan sendiri jika ia menghadapi persoalan hidup.
Dengan meneror mental si anak, guru bukannya membuat anak berani mengambil sikap tetapi telah menjadikan anak seorang penakut, tidak berani mengambil keputusan. Anak tidak dibelajarkan untuk berani beragumentasi dengan siapa saja di alam demokrasi ini. Jika guru membungkam anak yang berani mengemukakan pendapatnya, maka secara tidak langsung guru sudah membunuh karakter anak yang sedang tumbuh kembang.
Menurut teori pembelajaran, anak yang berani menyampaikan pendapatnya mestinya mendapat pujian walau perlu disempurnakan karena mereka masih dalam proses belajar. Guru sebaiknya memuji jika ada anak yang berani menyampaikan kebijaksanaan sekolah yang kurang berkenan di hati mereka, misalnya soal pemilihan corak pakaian khas sekolah -- di luar pakaian resmi siswa secara nasional. Kalau ada anak malu memakai pakaian khasnya di luar lingkungan sekolah, ini menunjukkan bahwa jenis pakaian pilihan guru kurang berkenan di hati si anak.
Menambah Wawasan
Untuk mengurangi cara kekerasan dalam dunia pendidikan, guru hendaknya terus menambah wawasan keilmuwan. Bukan siswa saja disuruh belajar, guru pun seharusnya terus belajar; entah dengan cara membaca buku, mencari sumber di internet, sampai mengetahui informasi terbaru dari media massa tentang fenomena dunia pendidikan.
Guru di zaman global seperti sekarang bukan lagi serba tahu di depan anak. Guru memilih cara kekerasan, jangan-jangan sudah ketinggalan informasi terbaru berkaitan dengan ilmu yang diajarkan kepada murid sebab tidak sedikit guru hanya mengandalkan ilmu yang didapat waktu kuliah. Yang pasti ilmu terus berkembang. Guru hendaknya mempunyai kesiapan mengubah pola pikir yang sudah ketinggalan zaman di samping terus belajar.
Hanya guru yang kehabisan akal atau kekurangan idelah yang masih menggunakan kekerasan dalam mendidik siswanya. Pembelajaran dengan strategi kekerasan sudah waktunya untuk ditinggalkan sebab refresi (landasan teori) yang mendukungnya sulit ditemukan, malah tidak ada. Sebuah gagasan maupun strategi pembalajaran akan dianggap baik jika ada teori yang mendukung, seperti halnya dalam karya tulis ilmiah. Sekadar contoh pula, jika ada guru yang memilih topik karya ilmiah yang tidak ada landasan teorinya, siap-siaplah karya tulisnya untuk ditolak. (igk tribana*BP)
Sampai kini sejumlah guru masih menganggap hukuman fisik sebagai strategi dalam pembelajaran untuk menegakkan wibawa di mata murid. Guru sengaja membuat suasana agar murid takut. Setelah takut, si murid akan mau melaksanakan perintah gurunya. Menurutnya, yang penting si murid tidak berani berkutik di hadapan guru demi wibawa. Bahkan, ada guru yang bangga jika ditakuti murid. "Tanpa hukuman, murid tidak akan disiplin," kata guru yang masih menggunakan cara kekerasan dalam memberi pelajaran kepada siswa.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tampaknya dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, menyiksa fisik yakni menyakiti siswa dengan cara menjewer, menendang, memukul, menempeleng, sampai menjambak rambut. Konon strategi ini digunakan oleh guru zaman penjajahan sampai beberapa waktu kemudian.
Kini, guru membawa kayu atau alat pemukul lainnya untuk menyakiti fisik siswa bukan zamannya lagi. Mestinya hukuman menyehatkan fisik si anak atau yang bersifat mendidik -- membuat siswa lebih pintar dengan hukuman, bukan malah membuat si anak harus berobat gara-gara hukuman. Keberhasilan masa lalu dengan kekerasan bukan terletak pada cara kekerasan itu, melainkan motivasi peserta didik memang tinggi dalam belajar.
Kedua, membunuh karakter dengan meneror mental si anak. Misalnya, anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara terlambat, tanpa ditanyakan terlebih dahulu penyebab keterlambatan itu. Anak tidak diberikan ikut pelajaran gara-gara belum bayar uang sekolah, padahal bayar uang sekolah menjadi urusan orangtua. Kalau belum bayar uang sekolah mestinya orangtualah yang dipanggil ke sekolah untuk memberikan keterangan soal keterlambatan pembayaran.
Cara tersebut telah menutup komunikasi berkait dengan kesalahan murid. Anak harus menerima hukuman padahal mereka ingin menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. Bahkan, bukan si anak saja yang dimaki, kadang orangtua pun disebut-sebut. "Begitu diajar sama orangtuamu?" atau "Saya tidak peduli walau orangtua kamu berpangkat tinggi!" Kondisi seperti ini menunjukkan guru itu sudah kehilangan kendali dan kehilangan akal dalam mendidik.
Posisi Lemah
Sebelum kekerasan terungkap di media massa, posisi anak (siswa) biasanya berada dalam posisi lemah di sekolah. Kalau si anak mendapat hukuman dari salah seorang guru, biasanya sejumlah guru ikut mengeroyok si anak tanpa bertanya terlebih dahulu apa masalahnya. Anak sepertinya tidak perlu lagi menyampaikan sejumlah alasan mengapa ia salah. Mentalnya sudah diteror dengan sebutan "pembohong" atau "anak susah diatur". Mereka sepertinya tidak boleh berargumentasi dengan guru. Kalau si anak berani berargumentasi, maka ia akan dicap anak yang "kurang ajar".
Cara mendidik seperti itu sudah waktunya diubah. Biarkan anak beragumentasi. Berikan siswa belajar mengemukakan permasalahan yang dihadapi. Jangan biarkan mereka takut berargumentasi jika mereka tidak bersalah. Tidak ada salahnya beberapa saat guru menjadi pendengar yang baik.
Mengamati fenomena kekerasan fisik maupun teror mental dalam dunia pendidikan kita, ternyata sering bertentangan dengan misi pendidikan yakni membangun sikap mandiri, jiwa demokratis pada anak. Bagaimana pun juga jiwa demokrasi pada siswa perlu ditumbuhkembangkan oleh para guru sebagai pendidik. Proses pendidikan demokrasi ditujukan kepada pengembangan pribadi yang mandiri dan memupuk rasa bertanggung jawab (Tilaar, 2006). Pendidikan pengembangan pribadi ini akan mengembangkan akal budi si murid untuk nanti berani mengambil keputusan sendiri jika ia menghadapi persoalan hidup.
Dengan meneror mental si anak, guru bukannya membuat anak berani mengambil sikap tetapi telah menjadikan anak seorang penakut, tidak berani mengambil keputusan. Anak tidak dibelajarkan untuk berani beragumentasi dengan siapa saja di alam demokrasi ini. Jika guru membungkam anak yang berani mengemukakan pendapatnya, maka secara tidak langsung guru sudah membunuh karakter anak yang sedang tumbuh kembang.
Menurut teori pembelajaran, anak yang berani menyampaikan pendapatnya mestinya mendapat pujian walau perlu disempurnakan karena mereka masih dalam proses belajar. Guru sebaiknya memuji jika ada anak yang berani menyampaikan kebijaksanaan sekolah yang kurang berkenan di hati mereka, misalnya soal pemilihan corak pakaian khas sekolah -- di luar pakaian resmi siswa secara nasional. Kalau ada anak malu memakai pakaian khasnya di luar lingkungan sekolah, ini menunjukkan bahwa jenis pakaian pilihan guru kurang berkenan di hati si anak.
Menambah Wawasan
Untuk mengurangi cara kekerasan dalam dunia pendidikan, guru hendaknya terus menambah wawasan keilmuwan. Bukan siswa saja disuruh belajar, guru pun seharusnya terus belajar; entah dengan cara membaca buku, mencari sumber di internet, sampai mengetahui informasi terbaru dari media massa tentang fenomena dunia pendidikan.
Guru di zaman global seperti sekarang bukan lagi serba tahu di depan anak. Guru memilih cara kekerasan, jangan-jangan sudah ketinggalan informasi terbaru berkaitan dengan ilmu yang diajarkan kepada murid sebab tidak sedikit guru hanya mengandalkan ilmu yang didapat waktu kuliah. Yang pasti ilmu terus berkembang. Guru hendaknya mempunyai kesiapan mengubah pola pikir yang sudah ketinggalan zaman di samping terus belajar.
Hanya guru yang kehabisan akal atau kekurangan idelah yang masih menggunakan kekerasan dalam mendidik siswanya. Pembelajaran dengan strategi kekerasan sudah waktunya untuk ditinggalkan sebab refresi (landasan teori) yang mendukungnya sulit ditemukan, malah tidak ada. Sebuah gagasan maupun strategi pembalajaran akan dianggap baik jika ada teori yang mendukung, seperti halnya dalam karya tulis ilmiah. Sekadar contoh pula, jika ada guru yang memilih topik karya ilmiah yang tidak ada landasan teorinya, siap-siaplah karya tulisnya untuk ditolak. (igk tribana*BP)