sabar yahh....
gw lupa, bertahun" ninggalin tugas....
hahaha....
Chapter 5 > A Man, A Woman, and A Smile
Beberapa hari kemudian, Kai dan Cattleya pun tiba di Greenwood. Mereka disambut langsung oleh Su Ren, pemimpin baru Guild Minerva. Itulah pertemuan pertama Kai dengan Su Ren. Dalam bayangan Kai, Su Ren adalah seorang prajurit yang bertubuh besar dan sangar, tapi ternyata dia adalah seorang Sage bertubuh kurus dan agak pendek. Kai merasa Su Ren tidak segagah Tetua Su, juga tidak terlalu pantas mengetuai guild sebesar Minerva. Su Ren terlalu sopan, dia berulangkali membungkukkan badan meski hanya sekedar berterima kasih – bahkan kepada pelayan sekalipun. Tapi dari sana Kai tahu bahwa Su Ren adalah seorang pria yang hebat, dia sangat menghormati orang-orang di sekelilingnya, tenang, dan berpikir positif.
“Pesta akan dilaksanakan malam ini. Silahkan Tuan Kai dan Nona Cattleya beristirahat dulu di kamar yang sudah kami siapkan.” kata Su Ren. Dua orang pelayan Greenwood kemudian menghampiri untuk menunjukkan kamar.
“Terima kasih.” kata Kai dan Cattleya bersamaan.
Masih ada waktu beberapa jam sebelum pesta dimulai, oleh karena itu Cattleya memilih mandi, kemudian tidur. Dia ingin tampil segar malam nanti. Tapi tidak halnya dengan Kai. Dia memilih berjalan-jalan di taman, menikmati indahnya warna hijau yang mendominasi seisi Istana Greenwood. Kai tertarik pada sebuah kolam di mana beberapa ekor ikan berenang dengan lincahnya, menari-nari di bawah daun teratai yang lebar. Dia berjongkok di tepi kolam, kemudian memasukkan tangannya ke dalam air. Beberapa ekor ikan mendekati, menggelitik tangan Kai dengan kulit mereka yang dingin dan licin.
“Halo Kai! Sedang apa ?”
Kai menoleh karena terkejut. Rupanya Vio yang menyapanya. Kai sama sekali tidak menyadari kehadiran Vio. “Hai…”
“Tadi kudengar rombongan dari Valkyrie sudah datang, dan aku cepat-cepat ke sini mencarimu.” kata Vio. “Di mana Nona Cattleya ?”
“Nona sedang beristirahat di kamarnya.” jawab Kai.
“Oh.” Vio mengangguk. “Bagaimana kabarmu, Kai ? Sudah lama kita tidak bertemu.” katanya.
“Aku… baik.”
Hari itu, tidak seperti biasanya, Vio mengenakan pakaian Monk. Biasanya dia menyamar menjadi novice, kadang-kadang Thief. Saat melihat topeng yang dikenakan Vio, Kai teringat lagi pada kesalahannya. Hal itu membuatnya agak kikuk, dia bahkan tidak sanggup melihat mata Vio. Dia lebih banyak menunduk atau mempermainkan jari-jarinya sambil memalingkan wajah. Tentu saja Vio heran karenanya, apalagi karena wajah Kai agak pucat.
“Hey, hey, ada apa denganmu, Kai ? Kau sakit ?” tanya Vio lagi.
Kai menggeleng. “Tidak.”
“Benarkah ?”
Kai semakin canggung. “A, aku tidak tahu…”
“Hey, hey, Kai… Sebenarnya ada apa sih ? Apa aku berbuat salah lagi padamu ?” tanya Vio lagi. Vio khawatir dia menyinggung perasaan Kai seperti dulu, wajahnya nampak heran dan ada sedikit kecemasan membayang di matanya.
Kai menggeleng. “Tidak Vio, bukan begitu… Kau tidak berbuat salah padaku. Aku…“
Kai berpikir, apakah sebaiknya sekarang dia mengaku pada Vio bahwa orang yang melukainya dulu adalah dirinya, atau tidak. Tapi, jika Vio tahu, apakah dia akan membenci Kai ? Kai ingin meminta maaf, tapi dia tidak tahu harus memulai dari mana. Tadi dari manapun dia memulai, tetap saja dia harus mengatakan sejujurnya pada Vio.
Vio mendesah pelan, kemudian memandang Kai dalam-dalam. “Kai, aku benar-benar ingin menjadi temanmu. Kalau aku ada masalah, mengapa tidak kau ceritakan padaku ? Apa kau tidak percaya padaku ?”
“Aku sangat mempercayaimu, Vio! Sangat!” sembur Kai. Kai memejamkan mata, mengepalkan tangan, kemudian menatap Vio. Vio yang terus memandangnya dengan bingung. “Aku… bersalah padamu, Vio…” gumam Kai akhirnya. “Aku tidak sanggup memandangmu…”
“Bersalah padaku ? Mengapa ?”
Kai berusaha menatap Vio, kemudian membuka mulutnya meski terasa begitu berat. “Ada sesuatu yang harus kau tahu, Vio.” ujarnya. Dia sudah pasrah. Dia akan jujur pada Vio.
“…”
Kai menarik nafas lagi, tiap-tiap detik terasa begitu berat. “Hal ini berkenaan dengan dirimu, dan diriku. Tentang dosa yang kulakukan padamu… lima tahun yang lalu.” ucapnya tertahan.
“Lima tahun yang lalu…?” gumam Vio.
“Lima tahun yang lalu… aku adalah seorang swordman… aku diajak Tuan Heath untuk pergi berperang ke Greenwood. Aku ikut dengannya.” ujar Kai. “Tapi aku takut… aku ingin melakukan sesuatu, tapi tidak bisa. Aku kesal sekali. Aku lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku marah sekali pada diriku sendiri.”
Vio terdiam. Tapi jantungnya berdegup kencang sekali. Begitu juga dengan Kai.
“Kemudian aku melihat sebuah kesempatan. Aku melihat seorang gadis Acolyte, tidak bersenjata, dan tidak waspada. Aku ingin membunuhnya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku juga bisa membantu guild. Aku ingin pulang ke Valkyrie dan mengatakan bahwa aku berhasil membunuh satu orang anggota Guild Minerva.” lanjut Kai. Dia menarik nafas, kemudian berbicara lagi. “Lalu aku menghunuskan pedang…”
“Kai…” jantung Vio berdegup lebih kencang lagi. Dia memandang Kai tidak mata tidak percaya. Dia tidak ingin percaya bahwa apa yang didengarnya adalah nyata. “Itu kau, Kai…”
Kai mengangguk. “Ya. Aku melakukannya, Vio. Aku baru menyadarinya, dan aku…” ujar Kai terputus. “Akulah yang melakukannya…”
Vio menggeleng. “Tidak Kai, kau tidak tahu apa-apa tentang luka ini.” sangkal Vio sambil memegang topengnya. "Kau tidak tahu-apa-apa... Orang itu bukan aku, bukan kamu..."
“Hisalla, di mana Su Ren…?” gumam Kai, menirukan kata-kata Vio lima tahun yang lalu, tepat sebelum Kai menebaskan pedangnya ke arah wajah Vio. Kai mendesah.
Air mata menetes dari mata Vio. Kini dia tahu kalau swordman yang melakukannya memang benar-benar Kai. Menyadari hal itu, Vio tidak bisa menahan tangis. “Kai, kau… benar-benar…”
Kai mengangguk.
“Kukira kau sahabatku, Kai!” jerit Vio tiba-tiba.
“Aku memang sahabatmu, Vio. Maafkan aku…” Kai memohon. Dia hampir-hampir berlutut tapi tubuhnya terasa kaku. “Aku selalu ingin jadi sahabatmu…”
“Kalau begitu mengapa kau mengatakan hal ini padaku ? Mengapa kau tidak menyembunyikannya dariku ?” ujar Vio. “Padahal kau satu-satunya sahabatku. Mengapa kau membuatku membencimu ?”
“Aku tak tahu, Vio. Tapi perasaan bersalah ini benar-benar menyesakkanku.” kata Kai. “Aku sangat takut kau membenciku. Tapi aku tidak bisa membohongimu atau pura-pura tidak tahu.”
Air mata terus menetes dari mata Vio. Dia tidak berkata-kata, hanya terpaku dengan tatapan setengah tidak percaya. Tapi kemudian Vio menarik nafas dalam-dalam, menghapus air matanya, dan menatap Kai.
“Aku tahu saat itu situasinya memang sulit. Aku mengerti, Kai,” kata Vio. “Tapi aku… aku… kehilangan banyak… karena hal itu…” air mata mengalir lagi di pipi Vio. “Aku kehilangan hidupku, Kai…”
“Maafkan aku…”
Saat itu Vio seperti berada di sebuah jembatan. Dia pernah jatuh dalam jurang keputusasaan, tapi dia berhasil keluar dari sana dan memulai hidup baru. Ketika bertemu Kai, dia seolah menemukan pegangan untuk meniti jembatan yang bergoyang itu. Tapi saat dia nyaris tiba di tujuan, tiba-tiba saja Vio tahu bahwa Kai adalah angin kencang yang dulu melemparkannya ke dalam jurang. Vio tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Marah ? Benci ? Semua sudah dikuburnya dalam hati sejak beberapa tahun yang lalu. Mengapa Kai harus menggali semua itu ?
…….
Pesta dimulai ketika bulan purnama sudah menduduki singgasananya. Di ruang pertemuan utama, Su Ren duduk di altar tertinggi Greenwood, didampingi beberapa petinggi Guild Minerva. Semua tamu undangan, yakni para petinggi guild, duduk berjajar di pinggiran ruangan. Di tengah, sekelompok dancer menampilkan tarian-tarian yang indah gemulai, diiringi oleh musik dari para bard yang memetik gitar dengan jari-jari mereka yang terampil. Pelayan berulangkali keluar-masuk ruangan untuk membawakan berbagai jenis makanan enak, buah-buahan, dan jus yang menjadi kebanggaan Payon.
Namun Kai sama sekali tidak dapat menikmati acara. Anggur terasa pahit, musik terasa sumbang. Sesekali Kai melihat sekelilingnya, dan dilihatnya Vio sedang duduk di sudut ruangan. Sepertinya dia sedang menjaga jalannya pesta. Vio diam saja, tidak makan dan tidak minum, wajahnya nampak sangat serius.
“Saudara-saudara…” ucap Su Ren di tengah acara. “Saya sangat berterima kasih atas kesediaan Anda untuk ikut merayakan pengangkatanku. Sejujurnya aku masih terlalu muda untuk posisi seberat ini, namun saya akan berusaha. Karena itulah, saya harap di masa mendatang kita akan terus menjaga kerjasama dan perdamaian. Sebagai seorang muda biasa, saya memohon bimbingan dari pada petinggi sekalian.” katanya.
Su Ren mengangkat cawan, diikuti tamu undangan, kemudian mereka bersulang. Semua pelayan dan prajurit yang ada di sana bertepuk tangan, merayakan diangkatnya pemimpin baru mereka.
“Dalam kesempatan yang baik ini pula, saya ingin mengumumkan sesuatu.” sambung Su Ren. “Hari ini, saya telah melamar seorang wanita untuk menjadi istri saya. Rose, kemarilah…”
Seorang wanita cantik berambut pirang dan panjang berdiri dari antara petinggi guild. Dia mengenakan gaun malam yang sangat indah. Rambutnya pun dihiasi bunga mawar yang besar, sangat cocok dengan namanya – Rose. Kai cukup terkejut, rupanya inilah ‘pengganti’ Vio. Imej wanita itu seperti ratu, sangat berbeda dari Vio yang terlihat keprajuritannya dengan pakaian monk. Walaupun demikian, wanita itu tidak memiliki mata seindah Vio. Bola matanya yang hijau terkesan angkuh. Tidak seperti bola mata Vio yang coklat terang dan memancarkan pesona misterius, mata yang memancarkan kelembutan sekaligus kekuatan.
Rose berdiri bersandingan dengan Su Ren. Wanita itu tinggi sekali, kakinya panjang, Su Ren pun terlihat pendek di sampingnya. Dia tersenyum, menampilkan sederetan gigi yang putih sempurna.
“Kami bermaksud menikah tahun depan. Kami mohon doa restu saudara-saudara sekalian, menggantikan restu Kakek.” tambah Su Ren lagi.
Sekali lagi seluruh tamu undangan bertepuk tangan. Ruangan itu begitu riuh dengan tawa dan ucapan selamat. Mata Kai tertuju lurus pada Vio, gadis itu masih diam dengan wajah serius. Dia tidak terkejut, artinya dia sudah tahu sebelumnya bahwa Su Ren bermaksud menikahi Rose. Seandainya lima tahun yang lalu tidak pernah terjadi, mungkin yang berdiri di depan sana bukanlah Rose, melainkan Vio. Tapi kejadian lima tahun yang lalu memang berlaku dan yang berdiri di altar itu adalah Rose. Tempat Vio adalah di sudut ruangan, berjaga, menjadi seorang prajurit dan bukan lagi wanita terhormat yang menempati posisi kedua dalam Guild Minerva.
Namun di tengah hingar-bingar, tiba-tiba sesuatu yang berkilau melesat dari pintu utama yang berhadapan dengan singgasana. Vio yang pertama menyadarinya, dan dengan cepat, dia melompat ke arah Su Ren.
Slaaashh…
Sebatang anak panah menembus lengan kanan Vio. Gadis itu jatuh terduduk sambil memegangi lengannya sambil menyeringai.
“Siapa kau ?!”
Dari ambang pintu, muncul seorang bard yang wajahnya tersembunyi di balik hood. Dialah yang menembakkan panah itu – bukan dengan busur, tapi dengan senar gitarnya. Tapi bukan itu saja kejutannya, saat ‘pembokong’ itu melepaskan hood dan penyamarannya, yang berdiri di ambang pintu bukan lagi seorang bard, melainkan seorang monk yang memasang wajah sombong.
“Lendall!” seru Ark Raiden, pemimpin Guild Charioth dari Britonniah. Dia mengenali wajah itu. Tentu saja – ‘pembokong’ itu adalah mantan wakilnya.
“Lendall ?!” yang lain berseru.
Lendall adalah pemimpin Elang Hitam Morroc. Sejak pembersihan organisasi itu akhir tahun lalu, orang yang awalnya menyusup ke Britonniah dan menjadi wakil ketua guild Charioth tersebut menghilang. Banyak yang mengira dia sudah tewas, tapi ternyata lagi-lagi dia menyusup ke dalam Guild Minerva di Greenwood. Dia memanfaatkan situasi Greenwood yang baru saja mengangkat ketua baru untuk mengumpulkan pasukan. Rupanya Lendall belum selesai dengan ambisinya untuk mengobarkan lagi Perang Emperium!
“Ketua Ark, rupanya Anda masih mengingatku.” kata Lendall. Dia tersenyum licik, kemudian memandang Su Ren. “Ketua baru, Tuan Su… maaf aku mengganggu pesta Anda. Kuharap Anda tidak keberatan.”
“Pengawal!!!” seru Su Ren. “Tangkap pengkhianat ini!”
Tapi pengawal yang berjaga hanyalah Vio. Dia pun terluka. Pengawal lain yang berjaga di luar ruangan sudah dibunuh di tengah acara. Tidak seorangpun menyadarinya, karena pada saat itu, semua mata tertuju pada Rose dan kecantikannya yang luar biasa.
“Apa maumu ?”
Lendall tertawa. “Tidak banyak. Aku hanya ingin mengangkut beberapa barangku ke sini. Roshi!”
Orang yang dipanggil Roshi tidak lain adalah seorang blacksmith. Dia menyamar menjadi salah seorang pelayan. Dia mengangkut kantong-kantong kecil ke dalam ruangan, kemudian menjejerkannya ke tepian ruangan.
“Ini…” gumam Seira Hall, wakil ketua Guild Odeus, sambil mengendus aroma kantong yang mengambang di seantero ruangan. “…mesiu ?!”
“Seira Hall dari Luina, sang alchemist terhandal di seluruh Midgard. Kau memang tidak bisa diremehkan. Kau benar sekali. Kantong ini adalah mesiu.” kata Lendall dengan senyum licik.
“Mesiu…? Apa yang kau rencanakan, hah ?!” tanya Ark.
“Tak mungkin…” gumam Su Ren. Dia mengerti rencana Lendall. “Kau ingin meledakkan ruangan ini, bersama seluruh petinggi guild terbesar di Midgard. Lalu kau menyebarkan gosip bahwa semua ini dilakukan oleh Guild Minerva!” serunya. “Kau ingin mengadu domba kami lagi!”
“BINGO!”
“Kurang ajar! Tidak akan kubiarkan!” seru Dave Clementine. Dia mencoba membaca spell magic pada Lendall, tapi tiba-tiba, spellnya terhenti. Dia muntah darah. “Ughhhh…!!!”
“Tuan! Tuan, kau tidak apa-apa ?” tanya Seira.
Dave Clementine memegang perutnya, kemudian roboh. “Racun...” rintihnya.
“Uhhhh….” Ark yang mencoba mengambil tombaknya dan menghunuskannya ke arah Lendall pun tiba-tiba roboh dan muntah darah.
Kini Su Ren bisa membaca semuanya. Lendall menaruh berbagai jenis racun pada tiap-tiap makanan petinggi guild yang hadir. Misalnya Dave Clementine yang adalah seorang wizard, dia diberi racun yang bereaksi jika Dave Clementine mengerahkan energi dalam untuk membaca spell magic. Atau kepada Ark Raiden yang adalah seorang Knight, dia membubuhkan racun yang bereaksi pada pergerakan otot secara cepat seperti untuk menebas tombak. Su Ren pun dapat merasakan ada sesuatu yang tidak beres ketika dia mencoba melakukan sesuatu.
“Jangan bergerak, semuanya… hati-hati! Makanan kalian telah dibubuhi racun!” ujar Su Ren.
Seira Hall mendesis kesal. “Maafkan aku Tuan Dave, aku yang seharusnya paham soal racun, malah tidak menyadari semua ini. Aku tidak berguna…”
“Sekarang bukan saatnya menyesal, Seira. Kita harus memikirkan sesuatu.” kata Dave Clementine.
Di sisi lain, Kai mencoba menggerakkan tangannya. Tadi dia tidak menyentuh makanan, kalaupun minum, hanya sedikit. Ternyata tubuhnya tidak terkena racun. Dia mencoba memikirkan rencana. Meskipun dia bergerak, tapi dia dalam posisi tidak menguntungkan.
“Baiklah, saudara-saudara…” ujar Lendall dengan senyum puas, ketika semua kantong mesiu telah disebar di seluruh ruangan. “Sebenarnya aku mengharapkan pesta yang lebih menarik, tapi terpaksa berakhir seperti ini. Tapi Anda jangan khawatir, di atap bangunan ini, sudah kutanam ratusan kembang api – semua orang di Payon akan mengira Anda masih merayakan pesta. Ledakan tidak akan diperhatikan, hanya percikan kembang api saja yang nampak. Kuharap Anda juga menikmati kembang apinya… dari surga. Ha..ha..ha…!”
“Kurang ajar kau, Lendall!” teriak Ark Raiden marah.
“Kuharap kau bersenang-senang di sini, Tuan. Ha…ha…ha…” tawa Lendall.
Lendall melemparkan korek api yang menyala ke lantai, tapi Kai yang kebetulan duduk di dekat sana segera melompat menangkap korek api itu. Ada panas yang menjalar di tangannya, tapi setidaknya korek api itu tidak mengenai sumbu mesiu. Lendall cukup terkejut, ternyata masih ada orang yang tidak terpengaruh racun. Kai berdiri, menghunuskan pedangnya, kemudian menangkap leher Lendall.
“Kau!” teriak Lendall.
“Mati kau, Len… Ugh!” Kai berteriak. Belum dia sempat menyakiti Lendall, Roshi menyerangnya dari belakang. Untunglah Kai mengenakan zirah di balik pakaiannya, tapi tetap saja terasa sakit.
“Bagus Roshi!” ujar Lendall. Lehernya masih terasa sakit karena cekikan Kai.
Tapi Lendall terlalu cepat menghela nafas. Dari depan, Vio melompat dengan bahu yang masih berdarah-darah. Lendall sangat terkejut, Roshi pun terpaku karena cepatnya gerakan Vio. Rupanya, selama perhatian Lendall terpaku pada omongan para petinggi, Vio memanggil spirit untuk melakukan Ashura. Sama seperti Kai, dia juga tidak makan dan tidak meneguk minuman, sehingga dia tidak terkena racun. Hanya tangannya yang terluka, tapi baginya itu bukan masalah.
“Ashura Strike…!!!”
Suasana menjadi hening. Vio berlutut dengan energi yang sepenuhnya habis. Namun tidak seperti yang dulu Kai saksikan ketika Vio melakukan Ashura di depan matanya untuk pertama kali, Lendall tidak menghilang menjadi debu. Dia masih berdiri meskipun mulutnya berdarah. Di perutnya, nampak tapak tinju bekas pukulan Vio.
“Apa…?” Vio melotot tidak percaya ketika melihat Lendall masih tetap berdiri.
“Kau terkejut, Violetta Kirran ?” tanya Lendall. Dia nampak kesakitan, tapi tidak sampai terluka parah. Dia menarik nafas, kemudian tertawa licik. “Pukulanmu hebat, tapi tidak mematikanku. Sayang sekali, bukan ? Ha..ha..ha…”
Bagaikan sihir, armor yang digunakan Lendall bagaikan diliputi asap hitam. Asap itu menyerap pukulan Vio dan hanya menyisakan sedikit luka di perut Lendall.
“Roh Ghostring… Armornya dirasuki roh iblis itu!” gumam Su Ren. “Sialan!”
Vio yang sudah kehabisan energi tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia terjatuh ke lantai karena lemas. Lendall nampak puas karenanya.
“Vio!” seru Kai. Dia merangkak menghampiri Vio, tapi Roshi menendang wajahnya kuat-kuat. Kai terpelanting dengan hidung berlumuran darah.
Kini harapan pupus sudah. Vio sudah tidak berkutik, Kai pun tidak dapat berbuat banyak. Para petinggi yang lain tidak bisa bergerak karena racun. Lendall pun tidak banyak mengoceh lagi. Dia menyalakan korek api kedua, kemudian melemparkannya ke tengah ruangan. Api mulai membakar karpet dan perlahan-lahan menuju kantong-kantong mesiu.
“Selamat tinggal, semuanya!” seru Lendall sambil melenggang hendak pergi, diikuti Roshi dan beberapa pengikutnya yang lain.
Tapi saat itu, Kai tidak ingin semuanya berakhir sesuai keinginan Lendall. Dia mengumpulkan kekuatannya yang terakhir untuk berlari mendahului Lendall, kemudian menutup pintu ruang pertemuan. Dia sengaja menutupnya dengan keras agar tuas pengunci di balik pintu itu terjatuh dan pintu terkunci dari luar. Kini ruangan itu menjadi ruang tertutup, sedangkan api pun mulai menyebar di tengah ruangan.
“Kau!!!” teriak Lendall marah. “Dasar Knight brengsek!”
“Jika kami mati, kau pun mati …” desis Kai.
Lendall sangat marah. Dia mengambil chain yang diselipkan di ikat pinggangnya, kemudian memukul Kai. Chain itu melukai wajah Kai, darah pun menetes hingga ke dagu. “Mati kau!” teriaknya. Dia tetap memukuli Kai dengan chain meskipun Kai sudah tengkurap di lantai. “Roshi! Bobol pintunya!”
“Ya!” Roshi mencoba membobol pintu dengan menggunakan kapak, tapi pintu ruangan itu cukup tebal. Butuh waktu untuk menjebol, dan selama menunggu itu, bisa saja api sudah mencapai kantong-kantong mesiu dan ruangan itu meledak.
“Cih! Aku sudah tidak peduli! Asal kau mati, aku puas! Waaaaaa…!!!” teriak Ark Raiden. Rupanya dia berserk. Seluruh urat di wajahnya mengejang, racun bergerak sangat cepat seiring laju darahnya, tapi Ark tidak peduli. Dia mengambil tombaknya, kemudian maju menyerang Lendall.
Lendall tidak diam saja. Dia melepaskan Kai, kemudian menghindari serangan Ark sambil menebaskan chain di tangannya ke arah dada Ark. Mereka bertarung, tapi racun di tubuh Ark sudah menyebar terlebih dahulu. Ark sudah mencapai batas kemampuannya. Ark berteriak kesakitan, muntah darah, dan roboh. Dia tewas.
“Tuan Ark…” seru yang lain.
Melihat kegigihan Ark, para petinggi yang lain tidak mau kalah. Mereka maju menyerang, tapi sayang, tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Roshi bisa mereka kalahkan, tapi tidak dengan Lendall. Dia terlalu kuat. Hanya dengan menggunakan serangan spirit dari ujung jarinya, satu per satu para petinggi dari keempat guild jatuh di tangan Lendall.
“Aku… belum habis, Lendall! Heahhh…!!!” teriak Kai.
Kaiberdiri lagi, kemudian menebas Lendall dari belakang. Karena pada saat itu Lendall sedang sibuk melawan para petinggi, dia tidak bisa meloloskan diri dari serangan Kai yang muncul tiba-tiba. Lendall berusaha menghindar, tapi pedang Kai berhasil menggores pinggangnya.
“Uhhhh….” erang Lendall. Detik berikutnya, darah merembes di pakaiannya. Dia menoleh, dilihatnya Kai memegang perang dengan tubuh terhuyung. “Cecunguk kecil! Matilah kau!”
“Kai!” jerit Cattleya, yang selama keributan itu terjadi, hanya bisa meringkuk di pinggir ruangan dengan ketakutan. “Awas…!!!”
Kini yang paling ditakuti Kai pun terjadilah. Lendall yang adalah seorang monk, juga bisa melakukan Ashura. Saat Lendall bersiap melakukan pukulan mengerikan itu, Kai sudah tidak punya tenaga untuk melarikan diri. Untuk menyerang pun dia sudah kewalahan. Kai hanya mengusungkan pedang dengan pasrah.
“Tidak, Kai! Pergi!” Cattleya masih menjerit ketakutan. Air matanya mengalir deras. Dia tahu apa yang akan Lendall lakukan, dan dia tahu Kai tidak akan selamat jika terkena pukulan itu. “KAI!!!”
Tiba-tiba waktu bergerak sangat lambat. Kai memejamkan mata, mempersiapkan diri menghadapi ajalnya. Dalam lamunannya, Kai melihat hidupnya dari sisi lain. Dia ingat ibunya, ayahnya, orang-orang yang dihormatinya termasuk Tuan Heath, Tuan Fresen, dan petinggi Guild Grantgale yang lain. Nona Cattleya juga muncul… namun yang terakhir dilihatnya… adalah Vio. Sekali lagi, sosok Vio yang tersenyum, tertawa, meragu, sedih, dan kesal muncul dalam angannya.
“Sampai saat terakhir pun, dirimu masih… menganggumkan.” gumam Kai dalam hati. “…maafkan aku, Vio…”
Kai dapat merasakan hembusan angin, entah dari mana datangnya. Hiruk pikuk bersatu dalam kekacauan. Panasnya api seolah membakar leher, jarak antara api dan mesiu sudah terlalu dekat. Orang-orang yang tersisa di sana mencoba mematikan api, tapi sepertinya sia-sia saja.
“Kai…”
Kai membuka mata, dan dalam beberapa detik, dia melihat Vio di hadapannya. Bukan! Bukan bayangan. Yang berdiri di hadapannya adalah Vio yang nyata. Gadis itu berdiri di antara Kai dan Lendall yang sedang melayangkan tinju. Gadis itu memandang Kai dan tersenyum. Dia melepaskan topengnya, dan itulah pertama kalinya Kai melihat wajah Vio tanpa topeng. Ada luka yang menggaris panjang di setengah wajah Vio. Luka itu… luka yang Kai torehkan lima tahun yang lalu… sungguh menyedihkan. Tapi Vio tidak nampak sedih. Dia tersenyum, dan Kai merasa tidak pernah melihat Vio secantik detik itu. Di antara bau mesiu, asap, dan kobaran api, Vio tersenyum seperti setangkai bunga matahari yang mekar sempurna. Dalam hitungan sepersekian detik, Kai benar-benar menyadari kalau dia telah jatuh cinta pada Vio.
“Ternyata aku… jatuh cinta padamu…” ujar Vio tanpa berkedip, dan tanpa melepaskan senyumnya. “…Kai…”
“Vio…”
Saat itu Kai merasa segalanya berjalan dengan gerak lambat. Dia tidak mendengar suara Cattleya, dia tidak mendengar hiruk-pikuk, hanya suara Vio yang menembus hatinya.
“ASHURA STRIKE…!!!”
Pukulan Lendall mengenai punggung Vio, begitu telak. Vio memejamkan mata dan detik berikutnya, tubuh Vio bagaikan melebur bersama udara. Dia menjadi debu. Semua itu disaksikan Kai di depan mata-kepalanya sendiri. Kai masih merasa seperti berada dalam mimpi. Senyum Vio yang membekas, berikut sirnanya sosok di hadapan Kai, semuanya berlalu begitu saja.
“Vio… Vio…” Kai jatuh berlutut. Dia mencoba menggenggam tumpukan debu yang jatuh ke lantai, yang tidak lain adalah debu dari tubuh Vio. “Aku… aku… mencintaimu Vio. Vio…” Air mata mulai membasahi pipi Kai. “Vio…”
Lendall nampak kehabisan tenaga setelah melakukan pukulan itu. Keputusannya untuk melakukan Ashura adalah kesalahan besar dan hanya didasarkan ada emosi belaka. Kini dia tidak punya sisa tenaga untuk membobol pintu dan melarikan diri dari ruangan yang nyaris terbakar sepenuhnya itu.
“Bangun kau, anak muda!” dirasakannya seseorang menarik tubuh Kai. Rupanya Seira. Dia masih hidup meskipun tubuhnya nampak berdarah-darah karena luka. “Tidak ada waktu untuk menangis! Kita harus hidup demi Midgard!” teriaknya.
“Tidak! Aku tidak ingin hidup! Aku ingin mati bersama Vio!” tangis Kai.
“Jangan manja! Kalau kita semua mati di sini, rencana Lendall akan berhasil!” bentak Seira.
Ucapan Seira menyadarkan Kai dari tangisnya. Kemudian Kai sadar bahwa di ruangan itu masih ada beberapa yang hidup. Dengan berat hati, Kai melepaskan debu dalam genggemannya, kemudian menarik Cattelya menuju pintu. Semua yang masih bisa bergerak berusaha membobol pintu yang sudah setengah jebol karena dirusak oleh Roshi.
Tapi terlambat. Semua sudah terlambat. Api sudah mencapai kantong mesiu dan ruangan itu meledak. Kai tidak ingat pasti apa yang terjadi saat itu. Dia merasakan ada dorongan dasyat yang mendorongnya. Tubuhnya terpelanting ke arah pintu itu dan pintu itu pun roboh akibat kuatnya ledakan. Kai terlempar keluar sambil tetap memeluk Cattleya. Kai masih sempat merasakan tubuhnya yang terhempas ke tanah, kemudian ditimpa potongan kayu dan atap. Tubuhnya terasa remuk, namun kemudian segalanya tidak terasa lagi. Kai menutup matanya dan jatuh pingsan.
…….
Bersambung...