• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

FanFic.........

lanjut.... <---- ga bs bikin... cm jadi pembaca yg baik dan benar saja... /gg
 
lama yah buat chapter 4ny? panjang kah???
 
Chapter 4 > Hutang yang Takkan Pernah Terbayar

Akhir tahun itu, seluruh guild bersatu untuk menumpas organisasi Elang Hitam Morroc. Tiap-tiap guild mengadakan pemeriksaan yang ketat terhadap seluruh anggotanya. Di Valkyrie, bukan hanya Shiva yang ditangkap, tapi juga Reno dan Meida yang terbukti bersekongkol dengan Shiva untuk menyingkirkan Kai. Sayang, Lendall sang pemimpin organisasi yang bersembunyi di Britonniah, berhasil melarikan diri. Walaupun demikian, Ark Raiden, ketua guild Charioth yang menguasai istana tersebut, berhasil menangkap seluruh antek-antek Lendall yang menyusup di guildnya. Namun insiden ini bukannya tidak memakan korban. Seorang penyelundup di Greenwood berhasil membunuh Tetua Su. Penyelundup itu ditemukan Vio saat melarikan diri ke Morroc dan dibunuh oleh Vio sendiri.

Kini segalanya berjalan dengan normal. Kai kembali menduduki posisinya sebagai pengawal utama, Heath berangsur-angsur sembuh dan kembali memimpin Guild Grantgale. Sebenarnya Kai ingin pergi ke Greenwood untuk menemui Vio dan mengucapkan terima kasih, tapi dia terlalu sibuk membantu Heath dan Fresen mengadakan pemeriksaan di seantero Valkyrie. Mereka bahkan tidak sempat datang ke pemakaman Tetua Su, hanya melayangkan surat belasungkawa saja. Semua orang memakluminya, karena saat itu kondisi sedang sangat krusial.

“Sepertinya sekarang sudah saatnya kita pergi ke Greenwood,” kata Heath suatu hari. Saat itu dia, Kai, dan Cattleya sedang minum teh bersama-sama. “Kita harus mengunjungi keluarga Tetua Su.”

Kai mengangguk setuju. Selain untuk tetap menjaga hubungan harmonis dengan Greenwood, dia juga bisa menemui Vio. “Saya akan pergi menemani Anda.”

Heath mendesah. “Sebenarnya, Guild Minerva akan mengadakan pengangkatan ketua Guild Minerva yang baru. Cucu Tetua Su, yaitu Su Ren, akan menjadi ketua guild menggantikan almarhum kakeknya. Kalau tidak salah, upacara dan pesta pengangkatannya akan dilangsungkan minggu depan.”

“Su Ren…” gumam Kai. Dia tahu nama itu. Ya, Su Ren adalah laki-laki yang dijodohkan dengan Vio, tapi dibatalkan karena wajah Vio yang terluka.

Su Ren ? Tba-tiba Kai seperti teringat sesuatu. Entah kapan rasanya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Bukan saat pertama kali Vio menceritakan soal perjodohannya, tapi jauh sebelum itu. Kai mengingat-ingat, tapi dia tidak bisa mengingat seluruhnya. Ah sudahlah, mungkin hanya perasaan saja – begitulah pikir Kai.

“Bagaimana kalau aku dan Kai saja yang pergi ?” tanya Cattleya. “Bukankah minggu depan papa harus mengurus penerimaan anggota baru ?”

Heath berpikir sebentar. “Hmm… benar juga. Lagipula Fresen tidak bisa membantuku karena sedang cuti.” katanya. “Ya sudahlah, kalau begitu kalian saja yang pergi.”

Cattleya tersenyum lebar. “Terima kasih, Papa! Ah… akhirnya aku bisa pergi ke Payon lagi! Aku ingin minum jus buah-buahan lagi di sana!”

“Kau ini! Sudah hampir dua puluh tahun pun masih saja kekanak-kanakkan!” tegur Heath. Tapi kemudian dia mendehem, lalu memandang putrinya sambil tersenyum jahil. “Kalau pulang, jangan lupa bawakan satu atau dua botol jus untuk papa, ya.”

Cattleya mencibir. Kemudian dia memandang Kai. “Aku tidak sabar menunggu hari kepergian kita, Kai. Aku ingin jalan-jalan keluar kota. Rasanya bosan terkurung di balik dinding Valkyrie terus-menerus.”

Kai tersenyum. ”Sebaiknya kita pergi tiga hari lagi. Jadi Nona bisa menikmati perjalanan dengan santai.”

“Baiklah!”

Malamnya, Kai segera mempersiapkan apa yang akan dibutuhkannya dalam perjalanan nanti. Tapi ketika membongkar lemari, Kai menemukan sebuah kopor tua yang terbuat dari kayu. Bagian atasnya sudah berdebu karena tidak pernah dibersihkan. Ketika kopor itu terbuka, Kai langsung terbatuk-batuk karena baunya yang apek. Tapi matanya berbinar ketika melihat pakaian swordman yang terlipat rapi di dalam kopor tua itu.

“Wah… kangennya!” ujar Kai sambil mengambil pakaian swordman itu. Selama belajar di akademi militer Valkyrie, dia selalu mengenakan pakaian itu. “Rasanya sudah lama sekali!”

Tanpa sengaja Kai menyadari adanya noda darah yang cukup lebar pada bagian lengan pakaian swordman itu. Dia mengingat-ingat apakah tangannya pernah terluka hingga separah itu, tapi rasanya tidak. Apakah mungkin darah lawannya ? Kai mengingat-ingat lagi. Itu pun tidak mungkin. Saat dia masih menjadi swordman, dia tidak pernah bertarung dengan menggunakan pedang sungguhan. Dia tidak pernah melukai apalagi sampai membunuh teman latihannya.

Ah, tidak juga! Sekarang Kai ingat. Sesaat sebelum diangkat menjadi Knight, Kai pernah ikut dengan Heath ke medan perang. Saat itu Perang Emperium masih berlangsung dan banyak prajurit Guild Grantgale yang terluka hingga swordman-swordman seperti Kai pun harus ikut berperang. Ya, ya, itulah pertama kalinya Kai pergi ke Greenwood. Saat itu perjanjian damai dengan Greenwood gagal dicapai dan perang pun tak terelakkan lagi.

“Greenwood…?” gumam Kai. Dia berusaha mengingat sesuatu yang selama ini tidak pernah dipikirkannya. “Greenwood… Su Ren… perang…”

Tiba-tiba jantung Kai berdegup keras. Banyak hal yang berputar-putar dalam kepala Kai, namun perlahan, potongan-potongan ingatannya bersatu menjadi jalinan cerita. Detik berikutnya, Kai teringat apa yang terjadi lima tahun yang lalu. Keringat dingin membasahi keningnya, tangannya pun gemetar. Bukan karena udara malam yang dingin, tapi karena ingatan yang kembali setelah lama terkubur.

Hari itu, untuk pertama kalinya Heath mengajak Kai pergi ke medan perang. Usianya masih enam belas tahun, dan dia adalah salah satu prajurit yang termuda yang dibawa ke Greenwood. Kai ingin membuktikan bahwa dia juga mampu menyumbangkan sesuatu bagi guildnya, serta bagi Heath yang telah menghargai kemampuannya. Tapi begitu melihat dinding pertahanan Guild Minerva yang kokoh, rasa gentar menghantui perasaan Kai. Akibatnya, dia malah menjadi beban. Berulangkali Heath dan beberapa prajurit senior lain harus melindunginya dari serangan anak panah.

Akhirnya dinding pertahanan Guild Minerva berhasil digempur. Karena terus-menerus menjadi beban, Heath menyuruh Kai bersembunyi di sebuah ruangan kosong di Istana Greenwood. Sepertinya ruangan itu digunakan untuk menyimpan jubah tamu yang datang berkunjung. Di sana Kai menangis, dia sangat kesal dengan kelemahannya. Tapi kemudian, samar-samar Kai mendengar suara langkah seseorang. Kai mengintip, dilihatnya seorang Acolyte berlari-lari di lobi istana, seperti dia sedang mencari seseorang.

“Su Ren!” Acolyte itu berseru-seru sambil melihat kanan-kiri.

Saat itu Kai berpikir, inilah saatnya dia bertindak. Ini adalah kesempatan bahwa dia pun bisa melakukan sesuatu. Dari emblem di lengannya, Kai tahu bahwa Acolyte itu adalah anggota Guild Minerva. Jika Kai membunuhnya, artinya Kai menyumbang sesuatu bagi Guild Grantgale. Saat Kai bimbang apakah dia harus keluar dari tempat persembunyiannya atau tidak, kesempatan itu datang. Acolyte itu berjongkok membelakanginya, sepertinya dia sedang memeriksa seorang prajurit yang terkapar di lantai lobi.

“Hisalla! Di kau tidak apa-apa ? Di mana Su Ren ?” tanya Acolyte tersebut tanpa tahu di belakangnya Kai sedang mengintai. Namun orang tergeletak itu tidak menjawab. “Hisalla, bangunlah!” tanya Acolyte itu lagi.

Kesempatan! Ini adalah kesempatan! Akhirnya keinginan untuk membuktikan bahwa dirinya pun mampu melakukan sesuatu mendorong Kai untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya, sisa air mata di pipinya, serta tangan yang gemetar, Kai menghunuskan pedangnya, kemudian berlari ke arah Acolyte itu tanpa ragu.

“Heaaaaah…!!!”

Acolyte itu menoleh, tapi semuanya terlambat. Kai sudah sangat dekat. Pedang Kai mengenai pipi sampai pelipis Acolyte yang tidak sigap itu. Acolyte itu pun menjerit kesakitan, apalagi ketika darah menyembur deras, mengenai pergelangan tangan Kai. Kai pun sangat kaget karenanya, apalagi karena kemudian Acolyte itu jatuh ke lantai dan menggelepar seperti ikan yang melompat keluar dari kolam. Darah mengalir ke mana-mana. Itulah pertama kalinya Kai melihat darah sebanyak itu. Kengerian itu membuat Kai membuang pedangnya, kemudian melarikan diri dari sana. Warna merah membuat Kai sangat ketakutan. Tapi sebelum pergi, Kai masih bisa mendengar Acolyte itu mengerang lemah, “Su Ren… Su Ren…”

Kai ingat semuanya. Bayangan masa lalu itu membuat Kai gemetar. Kini Kai pun kembali merasakan tangannya yang gemetar luar biasa. Dia tahu siapakah Acolyte itu. Acolyte itu tidak mati, dia selamat. Ya, dia adalah Vio lima tahun yang lalu. Menyadari hal itu, dia berjongkok, memegang kepalanya, dan menangis.

“Vio… Vio… maafkan aku, Vio…” tangisnya.

Kai sadar, dialah orang yang merenggut kebahagiaan dari tangan Vio. Dengan tangannya yang masih hijau dan hatinya yang penuh dengan nafsu untuk membuktikan kemampuannya, dia menjerumuskan Vio ke dalam lubang keputusasaan. Saat mengingat senyum Vio di Payon enam bulan yang lalu, rasa bersalah mencengkramnya semakin kuat. Tenggorokannya seperti tercekik, perutnya mual, namun kepalanya terasa lebih sakit lagi.

Malam itu, Kai tidak tidur sama sekali. Setiap kali dia mencoba memejamkan mata, yang muncul dalam bayangannya adalah sosok Vio yang terkapar di lantai bersimbah darah, dan bibirnya yang gemetar terus bergumam, “Su Ren…”

…….

Saat matahari masih meringkuk di ufuk timur, dengan mengendarai kereta peco-peco, Kai dan Cattleya memulai perjalanan ke Greenwood. Perjalanan itu mengingatkan Cattleya akan banyak hal, terutama insiden beberapa bulan yang lalu. Walaupun demikian, Cattleya cukup menikmati saat-saat itu. Tapi tidak dengan Kai. Banyak hal yang mengganggu pikirannya, terutama mengingat apa yang telah dilakukannya lima tahun yang lalu pada Vio. Perasaan bersalah yang menggerogoti dadanya terlalu besar hingga Kai tidak yakin dia bisa menemui Vio lagi. Setiap detik kereta itu semakin mendekati Greenwood; dan setiap detik pula perasaan cemasnya bertambah. Sepanjang jalan, Kai tidak banyak berbicara. Meskipun Cattleya berulangkali mengajaknya bercanda, tapi Kai hanya menjawab seperlunya.

“Kau sakit, Kai ?” tanya Cattleya setelah kehabisan bahan pembicaraan.

“Tidak.” sahut Kai.

“Lalu ? Kenapa kamu diam saja ?”

Kai menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Maafkan aku.” gumamnya pelan.

Cattleya mendesah dengan suara nyaring. “Kai, tidak tahukah kamu, sudah lama aku menunggu saat-saat seperti ini. Kenapa kau tidak bersikap lebih rileks sedikit ?” tanyanya. “Kamu tidak suka pergi bersamaku ?”

“Bukan begitu, Nona…”

“Aku senang pergi bersamamu, Kai.” tambah Cattleya.

“Aku juga. Aku senang dapat kesempatan untuk mengawal Nona.”

Cattleya mendesah lagi, tapi sekali ini terdengar kecewa. “Sejak kita masih kecil, kau selalu mengatakan hal itu. Ya, kau memang seorang pengawal yang hebat dan kau melaksanakan tugasmu dengan sangat baik.” ujarnya. Kemudian mendekatkan wajahnya pada Kai sambil mengernyitkan kening. “Tapi bukan itu yang kuharapkan, Kai!” katanya.

“Maaf.”

Kai dan Cattleya kembali membisu. Cattleya melemparkan pandangannya jauh ke luar jendela kereta, sedangkan Kai duduk termenung. Sesekali kereta bergoyang, tapi keduanya tetap tidak bergeming.

“Aku benar-benar bahagia saat bersamamu, Kai.” gumam Cattleya memecah keheningan. Dia memegang lututnya dengan erat, lalu memandang Kai lurus-lurus. “Aku mnyukaimu.” sahutnya dengan wajah memerah.

“Nona…?!” Kai memandang Cattleya dengan tidak percaya.

“Sejak dulu aku ingin mengatakannya padamu. Lega rasanya…” ujar Cattleya sambil menarik nafas dalam-dalam.

“…”

“Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku, Kai. Apakah kau merasakan hal yang sama… atau aku hanya bertepuk sebelah tangan ?” tanya Cattleya lagi.

“Aku…”

Lagi-lagi Kai terperangkap dalam kebisuan. Sejak dulu, dia selalu menganggap Cattleya sebagai seorang majikan, sebagaimana layaknya seorang pengawal menghormati tuan putrinya. Dia tidak pernah merasakan hal yang lebih. Tapi jika dia mengatakan hal itu, tentu saja Cattleya akan merasa sakit hati. Oleh karena itu, Kai diam saja. Dia menundukkan kepala dengan ragu.

“Aku mengerti, Kai.” gumam Cattleya lagi. “Antara kau dan aku, tidak pernah lebih dari hubungan yang spesial. Begitu ‘kan ?” tanyanya, seolah tahu isi kepala Kai.

“Maafkan aku, Nona.”

Cattleya tersenyum lembut. “Tak apa.” katanya. “Boleh aku bertanya, Kai ?”

“Ya. Apa saja.” kata Kai tegas.

“Apakah kau menyukai Vio ?” tanya Cattleya.

“Eh ?! Ke, kenapa Nona berpikir sampai situ ?” tanya Kai dengan nada tinggi. Wajahnya agak bersemu, dengan sekuat tenaga Kai berusaha bersikap seperti biasa.

Cattleya menggeleng. “Ah tidak, hanya penasaran saja.” katanya. “Bagaimana ? Kau suka dia ?”

“Entahlah.” ujar Kai kemudian. “Vio adalah wanita yang sangat menarik. Dia pandai, dan sebagai prajurit pun dia sangat hebat. Vio juga adalah seorang sahabat yang baik. Aku merasa sangat beruntung telah mengenalnya. Aku menyayanginya, tapi…”

“Tapi ?”

Kai terdiam sebentar, agak ragu untuk terus bercerita. Tapi karena Cattleya terus mendesaknya, akhirnya Kai berbicara juga. ”Tapi aku punya hutang padanya, hutang yang tidak akan pernah dapat kubayar…”

“Apa maksudmu ?”

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kai menceritakan apa maksud dari ‘hutang yang tidak terbayar’ itu. Cattleya cukup kaget ketika mengetahui kejadian itu, sebab pada saat perang itu terjadi, dia berada di Valkyrie dan tidak tahu-menahu. Apalagi sejak pulang dari perang, Kai tiba-tiba sangat rajin berlatih di akademi sampai-sampai mereka tidak ada waktu untuk ngobrol lagi. Waktu berlalu dan tiba-tiba kejadian itu sudah tenggelam dalam masa lalu Kai, terkubur dalam-dalam hingga seolah tidak pernah terjadi. Kai tidak pernah mengingatnya, apalagi membicarakannya, sampai malam dia melihat noda darah di pakaian swordmannya.

“Aku tahu kau merasa menyesal, Kai. Tapi kau pun tidak sepenuhnya bersalah.” kata Cattleya kemudian. “Bukankah saat itu para guild sedang berperang ? Siapapun bisa melukai Vio. Dan kau bisa saja melukai orang lain. Atau sebaliknya. Memang kenyataannya, kaulah yang melukai Vio. Tapi dalam perang, hal itu tidak bisa terhindar ‘kan ?”

Kai mengangguk. “Memang benar. Tapi dia pasti sedih sekali jika tahu bahwa akulah yang merenggut masa depannya. Akulah yang menyebabkan perjodohannya dengan Su Ren dibatalkan. Dia pasti membenci aku.” ujarnya sedih.

“Kai, yang terpenting adalah bagaimana kita hidup sekarang. Pada masa perang kau telah melukainya, tapi kini semua sudah berakhir. Yang harus kau pikirkan sekarang adalah apa yang dapat kaulakukan untuknya sekarang.” kata Cattleya lagi. “Aku memang tidak begitu tahu soal perang, tapi pada masa Perang Emperium, tentulah Papa pernah membunuh banyak prajurit dari Guild Minerva, bukan ? Tetua Su juga pasti pernah membunuh prajurit dari pihak kita. Pada masa itu, mereka adalah musuh. Tapi setelah perang berakhir, Papa dan Tetua Su adalah sahabat. Mereka bahkan merayakan ulangtahun bersama-sama.”

Kai mengangguk.

“Apa yang terjadi dulu, biar saja menjadi masa lalu.” tambah Cattleya lagi. “Kau bilang, kau punya hutang yang takkan bisa dibayar, bukan ? Soal luka itu kau memang tidak bisa melakukan apa-apa, tapi setidaknya kau dapat memberikan kebahagiaan yang lain padanya.”

Sekali ini, entah mengapa Kai merasa Cattleya sangat dewasa. Gadis itu biasanya bersikap sangat kekanak-kanakkan, tapi kali ini tidak. Kai baru menyadari, Cattleya pun telah tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik dan bijaksana.

“Dia akan mengerti, Kai.” kata Cattleya lagi. “Vio bukan orang yang bodoh. Kau tidak perlu khawatir.”

Kai mengangguk. “Kuharap begitu. Kuharap dia memaafkanku.” katanya. Kai menundukkan kepalanya, kemudian menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang dingin. “Aku tidak ingin dia membenci aku.”

Cattleya menarik nafas sedalam mungkin. Dia tahu hati Kai, dia tahu kalau sebenarnya Kai mencintai Vio. Itulah sebabnya Kai merasa sangat terpukul saat tahu bahwa dia telah menyakiti Vio. Mungkin Kai sendiri belum menyadari perasaannya sendiri, tapi insting Cattleya sebagai seorang wanita menyadarinya.

“Vio tidak akan membencimu, Kai.” kata Cattleya.

“Terima kasih, Nona. Sungguh. Terima kasih. Aku senang karena Nona mengatakan hal itu.” kata Kai.

“Dan jika kau ingin membahagiakannya…” Cattleya memandang Kai sambil tersenyum tipis. “…katakan padanya, Kai. Katakan kau mencintainya.”

“Nona…”

Cattleya tersenyum lebih lebar. Tapi tiba-tiba, ada setitik air mata yang meleleh di sudut matanya yang coklat. Saat itu Cattleya tidak sedang mengingkari perasaannya, tapi dia sedang berusaha menjadi seorang teman bagi Kai. Cattleya tahu bahwa dia tidak bisa menjadi kekasih Kai, maka setidaknya dia ingin mencoba menjadi sahabat bagi Kai seperti yang sudah dilakukan oleh Vio. Sangat sulit untuk mengucapkan kalimat terakhir itu, tapi itulah yang akan dikatakan seseorang pada sahabatnya.

Tapi Kai juga mengerti bahwa Cattleya benar-benar mencintainya. Dia melihat Cattleya yang sedang mati-matian menahan tangis hingga tangannya gemetar. Saat itu dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Mungkin lebih baik jika dia keluar dari kereta saja. Mungkin Cattleya akan merasa lebih lega.

“Kurasa… aku akan menemani kusir di luar.” kata Kai.

“Tunggu, Kai.” ujar Cattleya. “Maukah kau kabulkan satu permintaanku ?”

“Katakan, Nona. Apapun yang Nona minta, pasti akan kulakukan.” sahut Kai dengan wajah serius.

Cattleya mendesah. Dipandangnya Kai dengan mata berkaca-kaca. “Maukah kau… sekali saja… memanggilku dengan namaku ? Bukan dengan ‘Nona’ ?” tanyanya. “Satu kali saja…”

“Eh…”

“Satu kali saja, Kai… lupakan bahwa kau adalah pengawal, dan aku adalah majikanmu. Tolong sebut aku dengan namaku… sekali saja… ?”

Kai menghela nafas. Tapi kemudian dia mendekatkan duduknya kepada Cattleya, menatap gadis itu lurus-lurus, kemudian menyunggingkan senyum pertamanya setelah beberapa hari. “Cattleya…” ujarnya pelan, namun cukup jelas untuk didengar Cattleya.

Cattleya tersenyum dan setetes lagi air mata jatuh di pipinya. “Terima kasih, Kai…”

Kai mengangguk, dan kemudian dia pun keluar dari kereta. Dia duduk di depan, tepat di belakang kusir kereta. Dinding kereta terbuat dari besi, kayu, dan bilik yang cukup tebal, tapi di sana, dia masih bisa mendengar Cattleya yang menangis tersedu-sedu. Kai memejamkan mata, tidak ada lagi yang dapat dia lakukan. Cattleya telah memendam cintanya hampir seumur hidupnya, tentulah tidak mudah untuk melepaskan perasaan itu begitu saja. Cattleya punya kuasa untuk memaksakan kehendaknya pada Kai, tapi dia tidak melakukannya. Bagi Cattleya, biarlah cintanya terpendam rapi dalam hatinya dan tidak dikotori oleh keegoisan. Biarlah hari ini dia menangis, namun besok, dia akan kembali seperti Cattleya yang dulu, Cattleya yang cerewet dan periang. Dia harus bangga karena dia telah menjadi seorang sahabat ketika Kai membutuhkannya. Bagi Cattleya, semua itu sudah cukup. Dia bahagia.


Bersambung >>Chapter 5
 
Weeeh...thread lama gw angkat lg gpp yaa...
mo tanya nih chapter 5 nya mana...??
gue udah nungguin lama bangt looo..../gg
 
sabar yahh....
gw lupa, bertahun" ninggalin tugas....
hahaha....

Chapter 5 > A Man, A Woman, and A Smile

Beberapa hari kemudian, Kai dan Cattleya pun tiba di Greenwood. Mereka disambut langsung oleh Su Ren, pemimpin baru Guild Minerva. Itulah pertemuan pertama Kai dengan Su Ren. Dalam bayangan Kai, Su Ren adalah seorang prajurit yang bertubuh besar dan sangar, tapi ternyata dia adalah seorang Sage bertubuh kurus dan agak pendek. Kai merasa Su Ren tidak segagah Tetua Su, juga tidak terlalu pantas mengetuai guild sebesar Minerva. Su Ren terlalu sopan, dia berulangkali membungkukkan badan meski hanya sekedar berterima kasih – bahkan kepada pelayan sekalipun. Tapi dari sana Kai tahu bahwa Su Ren adalah seorang pria yang hebat, dia sangat menghormati orang-orang di sekelilingnya, tenang, dan berpikir positif.

“Pesta akan dilaksanakan malam ini. Silahkan Tuan Kai dan Nona Cattleya beristirahat dulu di kamar yang sudah kami siapkan.” kata Su Ren. Dua orang pelayan Greenwood kemudian menghampiri untuk menunjukkan kamar.

“Terima kasih.” kata Kai dan Cattleya bersamaan.

Masih ada waktu beberapa jam sebelum pesta dimulai, oleh karena itu Cattleya memilih mandi, kemudian tidur. Dia ingin tampil segar malam nanti. Tapi tidak halnya dengan Kai. Dia memilih berjalan-jalan di taman, menikmati indahnya warna hijau yang mendominasi seisi Istana Greenwood. Kai tertarik pada sebuah kolam di mana beberapa ekor ikan berenang dengan lincahnya, menari-nari di bawah daun teratai yang lebar. Dia berjongkok di tepi kolam, kemudian memasukkan tangannya ke dalam air. Beberapa ekor ikan mendekati, menggelitik tangan Kai dengan kulit mereka yang dingin dan licin.

“Halo Kai! Sedang apa ?”

Kai menoleh karena terkejut. Rupanya Vio yang menyapanya. Kai sama sekali tidak menyadari kehadiran Vio. “Hai…”

“Tadi kudengar rombongan dari Valkyrie sudah datang, dan aku cepat-cepat ke sini mencarimu.” kata Vio. “Di mana Nona Cattleya ?”

“Nona sedang beristirahat di kamarnya.” jawab Kai.

“Oh.” Vio mengangguk. “Bagaimana kabarmu, Kai ? Sudah lama kita tidak bertemu.” katanya.

“Aku… baik.”

Hari itu, tidak seperti biasanya, Vio mengenakan pakaian Monk. Biasanya dia menyamar menjadi novice, kadang-kadang Thief. Saat melihat topeng yang dikenakan Vio, Kai teringat lagi pada kesalahannya. Hal itu membuatnya agak kikuk, dia bahkan tidak sanggup melihat mata Vio. Dia lebih banyak menunduk atau mempermainkan jari-jarinya sambil memalingkan wajah. Tentu saja Vio heran karenanya, apalagi karena wajah Kai agak pucat.

“Hey, hey, ada apa denganmu, Kai ? Kau sakit ?” tanya Vio lagi.

Kai menggeleng. “Tidak.”

“Benarkah ?”

Kai semakin canggung. “A, aku tidak tahu…”

“Hey, hey, Kai… Sebenarnya ada apa sih ? Apa aku berbuat salah lagi padamu ?” tanya Vio lagi. Vio khawatir dia menyinggung perasaan Kai seperti dulu, wajahnya nampak heran dan ada sedikit kecemasan membayang di matanya.

Kai menggeleng. “Tidak Vio, bukan begitu… Kau tidak berbuat salah padaku. Aku…“

Kai berpikir, apakah sebaiknya sekarang dia mengaku pada Vio bahwa orang yang melukainya dulu adalah dirinya, atau tidak. Tapi, jika Vio tahu, apakah dia akan membenci Kai ? Kai ingin meminta maaf, tapi dia tidak tahu harus memulai dari mana. Tadi dari manapun dia memulai, tetap saja dia harus mengatakan sejujurnya pada Vio.

Vio mendesah pelan, kemudian memandang Kai dalam-dalam. “Kai, aku benar-benar ingin menjadi temanmu. Kalau aku ada masalah, mengapa tidak kau ceritakan padaku ? Apa kau tidak percaya padaku ?”

“Aku sangat mempercayaimu, Vio! Sangat!” sembur Kai. Kai memejamkan mata, mengepalkan tangan, kemudian menatap Vio. Vio yang terus memandangnya dengan bingung. “Aku… bersalah padamu, Vio…” gumam Kai akhirnya. “Aku tidak sanggup memandangmu…”

“Bersalah padaku ? Mengapa ?”

Kai berusaha menatap Vio, kemudian membuka mulutnya meski terasa begitu berat. “Ada sesuatu yang harus kau tahu, Vio.” ujarnya. Dia sudah pasrah. Dia akan jujur pada Vio.

“…”

Kai menarik nafas lagi, tiap-tiap detik terasa begitu berat. “Hal ini berkenaan dengan dirimu, dan diriku. Tentang dosa yang kulakukan padamu… lima tahun yang lalu.” ucapnya tertahan.

“Lima tahun yang lalu…?” gumam Vio.

“Lima tahun yang lalu… aku adalah seorang swordman… aku diajak Tuan Heath untuk pergi berperang ke Greenwood. Aku ikut dengannya.” ujar Kai. “Tapi aku takut… aku ingin melakukan sesuatu, tapi tidak bisa. Aku kesal sekali. Aku lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku marah sekali pada diriku sendiri.”

Vio terdiam. Tapi jantungnya berdegup kencang sekali. Begitu juga dengan Kai.

“Kemudian aku melihat sebuah kesempatan. Aku melihat seorang gadis Acolyte, tidak bersenjata, dan tidak waspada. Aku ingin membunuhnya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku juga bisa membantu guild. Aku ingin pulang ke Valkyrie dan mengatakan bahwa aku berhasil membunuh satu orang anggota Guild Minerva.” lanjut Kai. Dia menarik nafas, kemudian berbicara lagi. “Lalu aku menghunuskan pedang…”

“Kai…” jantung Vio berdegup lebih kencang lagi. Dia memandang Kai tidak mata tidak percaya. Dia tidak ingin percaya bahwa apa yang didengarnya adalah nyata. “Itu kau, Kai…”

Kai mengangguk. “Ya. Aku melakukannya, Vio. Aku baru menyadarinya, dan aku…” ujar Kai terputus. “Akulah yang melakukannya…”

Vio menggeleng. “Tidak Kai, kau tidak tahu apa-apa tentang luka ini.” sangkal Vio sambil memegang topengnya. "Kau tidak tahu-apa-apa... Orang itu bukan aku, bukan kamu..."

“Hisalla, di mana Su Ren…?” gumam Kai, menirukan kata-kata Vio lima tahun yang lalu, tepat sebelum Kai menebaskan pedangnya ke arah wajah Vio. Kai mendesah.

Air mata menetes dari mata Vio. Kini dia tahu kalau swordman yang melakukannya memang benar-benar Kai. Menyadari hal itu, Vio tidak bisa menahan tangis. “Kai, kau… benar-benar…”

Kai mengangguk.

“Kukira kau sahabatku, Kai!” jerit Vio tiba-tiba.

“Aku memang sahabatmu, Vio. Maafkan aku…” Kai memohon. Dia hampir-hampir berlutut tapi tubuhnya terasa kaku. “Aku selalu ingin jadi sahabatmu…”

“Kalau begitu mengapa kau mengatakan hal ini padaku ? Mengapa kau tidak menyembunyikannya dariku ?” ujar Vio. “Padahal kau satu-satunya sahabatku. Mengapa kau membuatku membencimu ?”

“Aku tak tahu, Vio. Tapi perasaan bersalah ini benar-benar menyesakkanku.” kata Kai. “Aku sangat takut kau membenciku. Tapi aku tidak bisa membohongimu atau pura-pura tidak tahu.”

Air mata terus menetes dari mata Vio. Dia tidak berkata-kata, hanya terpaku dengan tatapan setengah tidak percaya. Tapi kemudian Vio menarik nafas dalam-dalam, menghapus air matanya, dan menatap Kai.

“Aku tahu saat itu situasinya memang sulit. Aku mengerti, Kai,” kata Vio. “Tapi aku… aku… kehilangan banyak… karena hal itu…” air mata mengalir lagi di pipi Vio. “Aku kehilangan hidupku, Kai…”

“Maafkan aku…”

Saat itu Vio seperti berada di sebuah jembatan. Dia pernah jatuh dalam jurang keputusasaan, tapi dia berhasil keluar dari sana dan memulai hidup baru. Ketika bertemu Kai, dia seolah menemukan pegangan untuk meniti jembatan yang bergoyang itu. Tapi saat dia nyaris tiba di tujuan, tiba-tiba saja Vio tahu bahwa Kai adalah angin kencang yang dulu melemparkannya ke dalam jurang. Vio tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Marah ? Benci ? Semua sudah dikuburnya dalam hati sejak beberapa tahun yang lalu. Mengapa Kai harus menggali semua itu ?

…….

Pesta dimulai ketika bulan purnama sudah menduduki singgasananya. Di ruang pertemuan utama, Su Ren duduk di altar tertinggi Greenwood, didampingi beberapa petinggi Guild Minerva. Semua tamu undangan, yakni para petinggi guild, duduk berjajar di pinggiran ruangan. Di tengah, sekelompok dancer menampilkan tarian-tarian yang indah gemulai, diiringi oleh musik dari para bard yang memetik gitar dengan jari-jari mereka yang terampil. Pelayan berulangkali keluar-masuk ruangan untuk membawakan berbagai jenis makanan enak, buah-buahan, dan jus yang menjadi kebanggaan Payon.

Namun Kai sama sekali tidak dapat menikmati acara. Anggur terasa pahit, musik terasa sumbang. Sesekali Kai melihat sekelilingnya, dan dilihatnya Vio sedang duduk di sudut ruangan. Sepertinya dia sedang menjaga jalannya pesta. Vio diam saja, tidak makan dan tidak minum, wajahnya nampak sangat serius.

“Saudara-saudara…” ucap Su Ren di tengah acara. “Saya sangat berterima kasih atas kesediaan Anda untuk ikut merayakan pengangkatanku. Sejujurnya aku masih terlalu muda untuk posisi seberat ini, namun saya akan berusaha. Karena itulah, saya harap di masa mendatang kita akan terus menjaga kerjasama dan perdamaian. Sebagai seorang muda biasa, saya memohon bimbingan dari pada petinggi sekalian.” katanya.

Su Ren mengangkat cawan, diikuti tamu undangan, kemudian mereka bersulang. Semua pelayan dan prajurit yang ada di sana bertepuk tangan, merayakan diangkatnya pemimpin baru mereka.

“Dalam kesempatan yang baik ini pula, saya ingin mengumumkan sesuatu.” sambung Su Ren. “Hari ini, saya telah melamar seorang wanita untuk menjadi istri saya. Rose, kemarilah…”

Seorang wanita cantik berambut pirang dan panjang berdiri dari antara petinggi guild. Dia mengenakan gaun malam yang sangat indah. Rambutnya pun dihiasi bunga mawar yang besar, sangat cocok dengan namanya – Rose. Kai cukup terkejut, rupanya inilah ‘pengganti’ Vio. Imej wanita itu seperti ratu, sangat berbeda dari Vio yang terlihat keprajuritannya dengan pakaian monk. Walaupun demikian, wanita itu tidak memiliki mata seindah Vio. Bola matanya yang hijau terkesan angkuh. Tidak seperti bola mata Vio yang coklat terang dan memancarkan pesona misterius, mata yang memancarkan kelembutan sekaligus kekuatan.

Rose berdiri bersandingan dengan Su Ren. Wanita itu tinggi sekali, kakinya panjang, Su Ren pun terlihat pendek di sampingnya. Dia tersenyum, menampilkan sederetan gigi yang putih sempurna.

“Kami bermaksud menikah tahun depan. Kami mohon doa restu saudara-saudara sekalian, menggantikan restu Kakek.” tambah Su Ren lagi.

Sekali lagi seluruh tamu undangan bertepuk tangan. Ruangan itu begitu riuh dengan tawa dan ucapan selamat. Mata Kai tertuju lurus pada Vio, gadis itu masih diam dengan wajah serius. Dia tidak terkejut, artinya dia sudah tahu sebelumnya bahwa Su Ren bermaksud menikahi Rose. Seandainya lima tahun yang lalu tidak pernah terjadi, mungkin yang berdiri di depan sana bukanlah Rose, melainkan Vio. Tapi kejadian lima tahun yang lalu memang berlaku dan yang berdiri di altar itu adalah Rose. Tempat Vio adalah di sudut ruangan, berjaga, menjadi seorang prajurit dan bukan lagi wanita terhormat yang menempati posisi kedua dalam Guild Minerva.

Namun di tengah hingar-bingar, tiba-tiba sesuatu yang berkilau melesat dari pintu utama yang berhadapan dengan singgasana. Vio yang pertama menyadarinya, dan dengan cepat, dia melompat ke arah Su Ren.

Slaaashh…

Sebatang anak panah menembus lengan kanan Vio. Gadis itu jatuh terduduk sambil memegangi lengannya sambil menyeringai.

“Siapa kau ?!”

Dari ambang pintu, muncul seorang bard yang wajahnya tersembunyi di balik hood. Dialah yang menembakkan panah itu – bukan dengan busur, tapi dengan senar gitarnya. Tapi bukan itu saja kejutannya, saat ‘pembokong’ itu melepaskan hood dan penyamarannya, yang berdiri di ambang pintu bukan lagi seorang bard, melainkan seorang monk yang memasang wajah sombong.

“Lendall!” seru Ark Raiden, pemimpin Guild Charioth dari Britonniah. Dia mengenali wajah itu. Tentu saja – ‘pembokong’ itu adalah mantan wakilnya.

“Lendall ?!” yang lain berseru.

Lendall adalah pemimpin Elang Hitam Morroc. Sejak pembersihan organisasi itu akhir tahun lalu, orang yang awalnya menyusup ke Britonniah dan menjadi wakil ketua guild Charioth tersebut menghilang. Banyak yang mengira dia sudah tewas, tapi ternyata lagi-lagi dia menyusup ke dalam Guild Minerva di Greenwood. Dia memanfaatkan situasi Greenwood yang baru saja mengangkat ketua baru untuk mengumpulkan pasukan. Rupanya Lendall belum selesai dengan ambisinya untuk mengobarkan lagi Perang Emperium!

“Ketua Ark, rupanya Anda masih mengingatku.” kata Lendall. Dia tersenyum licik, kemudian memandang Su Ren. “Ketua baru, Tuan Su… maaf aku mengganggu pesta Anda. Kuharap Anda tidak keberatan.”

“Pengawal!!!” seru Su Ren. “Tangkap pengkhianat ini!”

Tapi pengawal yang berjaga hanyalah Vio. Dia pun terluka. Pengawal lain yang berjaga di luar ruangan sudah dibunuh di tengah acara. Tidak seorangpun menyadarinya, karena pada saat itu, semua mata tertuju pada Rose dan kecantikannya yang luar biasa.

“Apa maumu ?”

Lendall tertawa. “Tidak banyak. Aku hanya ingin mengangkut beberapa barangku ke sini. Roshi!”

Orang yang dipanggil Roshi tidak lain adalah seorang blacksmith. Dia menyamar menjadi salah seorang pelayan. Dia mengangkut kantong-kantong kecil ke dalam ruangan, kemudian menjejerkannya ke tepian ruangan.

“Ini…” gumam Seira Hall, wakil ketua Guild Odeus, sambil mengendus aroma kantong yang mengambang di seantero ruangan. “…mesiu ?!”

“Seira Hall dari Luina, sang alchemist terhandal di seluruh Midgard. Kau memang tidak bisa diremehkan. Kau benar sekali. Kantong ini adalah mesiu.” kata Lendall dengan senyum licik.

“Mesiu…? Apa yang kau rencanakan, hah ?!” tanya Ark.

“Tak mungkin…” gumam Su Ren. Dia mengerti rencana Lendall. “Kau ingin meledakkan ruangan ini, bersama seluruh petinggi guild terbesar di Midgard. Lalu kau menyebarkan gosip bahwa semua ini dilakukan oleh Guild Minerva!” serunya. “Kau ingin mengadu domba kami lagi!”

“BINGO!”

“Kurang ajar! Tidak akan kubiarkan!” seru Dave Clementine. Dia mencoba membaca spell magic pada Lendall, tapi tiba-tiba, spellnya terhenti. Dia muntah darah. “Ughhhh…!!!”

“Tuan! Tuan, kau tidak apa-apa ?” tanya Seira.

Dave Clementine memegang perutnya, kemudian roboh. “Racun...” rintihnya.

“Uhhhh….” Ark yang mencoba mengambil tombaknya dan menghunuskannya ke arah Lendall pun tiba-tiba roboh dan muntah darah.

Kini Su Ren bisa membaca semuanya. Lendall menaruh berbagai jenis racun pada tiap-tiap makanan petinggi guild yang hadir. Misalnya Dave Clementine yang adalah seorang wizard, dia diberi racun yang bereaksi jika Dave Clementine mengerahkan energi dalam untuk membaca spell magic. Atau kepada Ark Raiden yang adalah seorang Knight, dia membubuhkan racun yang bereaksi pada pergerakan otot secara cepat seperti untuk menebas tombak. Su Ren pun dapat merasakan ada sesuatu yang tidak beres ketika dia mencoba melakukan sesuatu.

“Jangan bergerak, semuanya… hati-hati! Makanan kalian telah dibubuhi racun!” ujar Su Ren.

Seira Hall mendesis kesal. “Maafkan aku Tuan Dave, aku yang seharusnya paham soal racun, malah tidak menyadari semua ini. Aku tidak berguna…”

“Sekarang bukan saatnya menyesal, Seira. Kita harus memikirkan sesuatu.” kata Dave Clementine.

Di sisi lain, Kai mencoba menggerakkan tangannya. Tadi dia tidak menyentuh makanan, kalaupun minum, hanya sedikit. Ternyata tubuhnya tidak terkena racun. Dia mencoba memikirkan rencana. Meskipun dia bergerak, tapi dia dalam posisi tidak menguntungkan.

“Baiklah, saudara-saudara…” ujar Lendall dengan senyum puas, ketika semua kantong mesiu telah disebar di seluruh ruangan. “Sebenarnya aku mengharapkan pesta yang lebih menarik, tapi terpaksa berakhir seperti ini. Tapi Anda jangan khawatir, di atap bangunan ini, sudah kutanam ratusan kembang api – semua orang di Payon akan mengira Anda masih merayakan pesta. Ledakan tidak akan diperhatikan, hanya percikan kembang api saja yang nampak. Kuharap Anda juga menikmati kembang apinya… dari surga. Ha..ha..ha…!”

“Kurang ajar kau, Lendall!” teriak Ark Raiden marah.

“Kuharap kau bersenang-senang di sini, Tuan. Ha…ha…ha…” tawa Lendall.

Lendall melemparkan korek api yang menyala ke lantai, tapi Kai yang kebetulan duduk di dekat sana segera melompat menangkap korek api itu. Ada panas yang menjalar di tangannya, tapi setidaknya korek api itu tidak mengenai sumbu mesiu. Lendall cukup terkejut, ternyata masih ada orang yang tidak terpengaruh racun. Kai berdiri, menghunuskan pedangnya, kemudian menangkap leher Lendall.

“Kau!” teriak Lendall.

“Mati kau, Len… Ugh!” Kai berteriak. Belum dia sempat menyakiti Lendall, Roshi menyerangnya dari belakang. Untunglah Kai mengenakan zirah di balik pakaiannya, tapi tetap saja terasa sakit.

“Bagus Roshi!” ujar Lendall. Lehernya masih terasa sakit karena cekikan Kai.

Tapi Lendall terlalu cepat menghela nafas. Dari depan, Vio melompat dengan bahu yang masih berdarah-darah. Lendall sangat terkejut, Roshi pun terpaku karena cepatnya gerakan Vio. Rupanya, selama perhatian Lendall terpaku pada omongan para petinggi, Vio memanggil spirit untuk melakukan Ashura. Sama seperti Kai, dia juga tidak makan dan tidak meneguk minuman, sehingga dia tidak terkena racun. Hanya tangannya yang terluka, tapi baginya itu bukan masalah.

“Ashura Strike…!!!”

Suasana menjadi hening. Vio berlutut dengan energi yang sepenuhnya habis. Namun tidak seperti yang dulu Kai saksikan ketika Vio melakukan Ashura di depan matanya untuk pertama kali, Lendall tidak menghilang menjadi debu. Dia masih berdiri meskipun mulutnya berdarah. Di perutnya, nampak tapak tinju bekas pukulan Vio.

“Apa…?” Vio melotot tidak percaya ketika melihat Lendall masih tetap berdiri.

“Kau terkejut, Violetta Kirran ?” tanya Lendall. Dia nampak kesakitan, tapi tidak sampai terluka parah. Dia menarik nafas, kemudian tertawa licik. “Pukulanmu hebat, tapi tidak mematikanku. Sayang sekali, bukan ? Ha..ha..ha…”

Bagaikan sihir, armor yang digunakan Lendall bagaikan diliputi asap hitam. Asap itu menyerap pukulan Vio dan hanya menyisakan sedikit luka di perut Lendall.

“Roh Ghostring… Armornya dirasuki roh iblis itu!” gumam Su Ren. “Sialan!”

Vio yang sudah kehabisan energi tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia terjatuh ke lantai karena lemas. Lendall nampak puas karenanya.

“Vio!” seru Kai. Dia merangkak menghampiri Vio, tapi Roshi menendang wajahnya kuat-kuat. Kai terpelanting dengan hidung berlumuran darah.

Kini harapan pupus sudah. Vio sudah tidak berkutik, Kai pun tidak dapat berbuat banyak. Para petinggi yang lain tidak bisa bergerak karena racun. Lendall pun tidak banyak mengoceh lagi. Dia menyalakan korek api kedua, kemudian melemparkannya ke tengah ruangan. Api mulai membakar karpet dan perlahan-lahan menuju kantong-kantong mesiu.

“Selamat tinggal, semuanya!” seru Lendall sambil melenggang hendak pergi, diikuti Roshi dan beberapa pengikutnya yang lain.

Tapi saat itu, Kai tidak ingin semuanya berakhir sesuai keinginan Lendall. Dia mengumpulkan kekuatannya yang terakhir untuk berlari mendahului Lendall, kemudian menutup pintu ruang pertemuan. Dia sengaja menutupnya dengan keras agar tuas pengunci di balik pintu itu terjatuh dan pintu terkunci dari luar. Kini ruangan itu menjadi ruang tertutup, sedangkan api pun mulai menyebar di tengah ruangan.

“Kau!!!” teriak Lendall marah. “Dasar Knight brengsek!”

“Jika kami mati, kau pun mati …” desis Kai.

Lendall sangat marah. Dia mengambil chain yang diselipkan di ikat pinggangnya, kemudian memukul Kai. Chain itu melukai wajah Kai, darah pun menetes hingga ke dagu. “Mati kau!” teriaknya. Dia tetap memukuli Kai dengan chain meskipun Kai sudah tengkurap di lantai. “Roshi! Bobol pintunya!”

“Ya!” Roshi mencoba membobol pintu dengan menggunakan kapak, tapi pintu ruangan itu cukup tebal. Butuh waktu untuk menjebol, dan selama menunggu itu, bisa saja api sudah mencapai kantong-kantong mesiu dan ruangan itu meledak.

“Cih! Aku sudah tidak peduli! Asal kau mati, aku puas! Waaaaaa…!!!” teriak Ark Raiden. Rupanya dia berserk. Seluruh urat di wajahnya mengejang, racun bergerak sangat cepat seiring laju darahnya, tapi Ark tidak peduli. Dia mengambil tombaknya, kemudian maju menyerang Lendall.

Lendall tidak diam saja. Dia melepaskan Kai, kemudian menghindari serangan Ark sambil menebaskan chain di tangannya ke arah dada Ark. Mereka bertarung, tapi racun di tubuh Ark sudah menyebar terlebih dahulu. Ark sudah mencapai batas kemampuannya. Ark berteriak kesakitan, muntah darah, dan roboh. Dia tewas.

“Tuan Ark…” seru yang lain.

Melihat kegigihan Ark, para petinggi yang lain tidak mau kalah. Mereka maju menyerang, tapi sayang, tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Roshi bisa mereka kalahkan, tapi tidak dengan Lendall. Dia terlalu kuat. Hanya dengan menggunakan serangan spirit dari ujung jarinya, satu per satu para petinggi dari keempat guild jatuh di tangan Lendall.

“Aku… belum habis, Lendall! Heahhh…!!!” teriak Kai.

Kaiberdiri lagi, kemudian menebas Lendall dari belakang. Karena pada saat itu Lendall sedang sibuk melawan para petinggi, dia tidak bisa meloloskan diri dari serangan Kai yang muncul tiba-tiba. Lendall berusaha menghindar, tapi pedang Kai berhasil menggores pinggangnya.

“Uhhhh….” erang Lendall. Detik berikutnya, darah merembes di pakaiannya. Dia menoleh, dilihatnya Kai memegang perang dengan tubuh terhuyung. “Cecunguk kecil! Matilah kau!”

“Kai!” jerit Cattleya, yang selama keributan itu terjadi, hanya bisa meringkuk di pinggir ruangan dengan ketakutan. “Awas…!!!”

Kini yang paling ditakuti Kai pun terjadilah. Lendall yang adalah seorang monk, juga bisa melakukan Ashura. Saat Lendall bersiap melakukan pukulan mengerikan itu, Kai sudah tidak punya tenaga untuk melarikan diri. Untuk menyerang pun dia sudah kewalahan. Kai hanya mengusungkan pedang dengan pasrah.

“Tidak, Kai! Pergi!” Cattleya masih menjerit ketakutan. Air matanya mengalir deras. Dia tahu apa yang akan Lendall lakukan, dan dia tahu Kai tidak akan selamat jika terkena pukulan itu. “KAI!!!”

Tiba-tiba waktu bergerak sangat lambat. Kai memejamkan mata, mempersiapkan diri menghadapi ajalnya. Dalam lamunannya, Kai melihat hidupnya dari sisi lain. Dia ingat ibunya, ayahnya, orang-orang yang dihormatinya termasuk Tuan Heath, Tuan Fresen, dan petinggi Guild Grantgale yang lain. Nona Cattleya juga muncul… namun yang terakhir dilihatnya… adalah Vio. Sekali lagi, sosok Vio yang tersenyum, tertawa, meragu, sedih, dan kesal muncul dalam angannya.

“Sampai saat terakhir pun, dirimu masih… menganggumkan.” gumam Kai dalam hati. “…maafkan aku, Vio…”

Kai dapat merasakan hembusan angin, entah dari mana datangnya. Hiruk pikuk bersatu dalam kekacauan. Panasnya api seolah membakar leher, jarak antara api dan mesiu sudah terlalu dekat. Orang-orang yang tersisa di sana mencoba mematikan api, tapi sepertinya sia-sia saja.

“Kai…”

Kai membuka mata, dan dalam beberapa detik, dia melihat Vio di hadapannya. Bukan! Bukan bayangan. Yang berdiri di hadapannya adalah Vio yang nyata. Gadis itu berdiri di antara Kai dan Lendall yang sedang melayangkan tinju. Gadis itu memandang Kai dan tersenyum. Dia melepaskan topengnya, dan itulah pertama kalinya Kai melihat wajah Vio tanpa topeng. Ada luka yang menggaris panjang di setengah wajah Vio. Luka itu… luka yang Kai torehkan lima tahun yang lalu… sungguh menyedihkan. Tapi Vio tidak nampak sedih. Dia tersenyum, dan Kai merasa tidak pernah melihat Vio secantik detik itu. Di antara bau mesiu, asap, dan kobaran api, Vio tersenyum seperti setangkai bunga matahari yang mekar sempurna. Dalam hitungan sepersekian detik, Kai benar-benar menyadari kalau dia telah jatuh cinta pada Vio.

“Ternyata aku… jatuh cinta padamu…” ujar Vio tanpa berkedip, dan tanpa melepaskan senyumnya. “…Kai…”

“Vio…”
Saat itu Kai merasa segalanya berjalan dengan gerak lambat. Dia tidak mendengar suara Cattleya, dia tidak mendengar hiruk-pikuk, hanya suara Vio yang menembus hatinya.

“ASHURA STRIKE…!!!”

Pukulan Lendall mengenai punggung Vio, begitu telak. Vio memejamkan mata dan detik berikutnya, tubuh Vio bagaikan melebur bersama udara. Dia menjadi debu. Semua itu disaksikan Kai di depan mata-kepalanya sendiri. Kai masih merasa seperti berada dalam mimpi. Senyum Vio yang membekas, berikut sirnanya sosok di hadapan Kai, semuanya berlalu begitu saja.

“Vio… Vio…” Kai jatuh berlutut. Dia mencoba menggenggam tumpukan debu yang jatuh ke lantai, yang tidak lain adalah debu dari tubuh Vio. “Aku… aku… mencintaimu Vio. Vio…” Air mata mulai membasahi pipi Kai. “Vio…”

Lendall nampak kehabisan tenaga setelah melakukan pukulan itu. Keputusannya untuk melakukan Ashura adalah kesalahan besar dan hanya didasarkan ada emosi belaka. Kini dia tidak punya sisa tenaga untuk membobol pintu dan melarikan diri dari ruangan yang nyaris terbakar sepenuhnya itu.

“Bangun kau, anak muda!” dirasakannya seseorang menarik tubuh Kai. Rupanya Seira. Dia masih hidup meskipun tubuhnya nampak berdarah-darah karena luka. “Tidak ada waktu untuk menangis! Kita harus hidup demi Midgard!” teriaknya.

“Tidak! Aku tidak ingin hidup! Aku ingin mati bersama Vio!” tangis Kai.

“Jangan manja! Kalau kita semua mati di sini, rencana Lendall akan berhasil!” bentak Seira.

Ucapan Seira menyadarkan Kai dari tangisnya. Kemudian Kai sadar bahwa di ruangan itu masih ada beberapa yang hidup. Dengan berat hati, Kai melepaskan debu dalam genggemannya, kemudian menarik Cattelya menuju pintu. Semua yang masih bisa bergerak berusaha membobol pintu yang sudah setengah jebol karena dirusak oleh Roshi.

Tapi terlambat. Semua sudah terlambat. Api sudah mencapai kantong mesiu dan ruangan itu meledak. Kai tidak ingat pasti apa yang terjadi saat itu. Dia merasakan ada dorongan dasyat yang mendorongnya. Tubuhnya terpelanting ke arah pintu itu dan pintu itu pun roboh akibat kuatnya ledakan. Kai terlempar keluar sambil tetap memeluk Cattleya. Kai masih sempat merasakan tubuhnya yang terhempas ke tanah, kemudian ditimpa potongan kayu dan atap. Tubuhnya terasa remuk, namun kemudian segalanya tidak terasa lagi. Kai menutup matanya dan jatuh pingsan.

…….
Bersambung...
 
Epilog > To See You Again - Sunflower in Full Blossom

Tragedi di Istana Greenwood menjadi bahan perbincangan di Midgard sampai beberapa tahun berikutnya. Hampir semua orang yang ada di ruangan itu tewas, termasuk Ark Raiden dari Britonniah dan Dave Clementine dari Luina. Su Ren selamat meskipun koma selama beberapa bulan. Selain Kai dan Su Ren, hanya dua orang yang selamat, yakni Cattleya yang dilindungi oleh Kai, serta Seira Hall dari Luina. Dia mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya, tapi setidaknya dia menjadi saksi hidup bahwa tragedi itu disebabkan oleh Lendall, bukan oleh Guild Minerva. Rencana Lendall pun gagal. Memang dibayar mahal, yakni dengan nyawa banyak petinggi guild, tapi setidaknya mereka yang tidak terlibat dalam insiden itu tahu bahwa Elang Hitam Morroc masih harus diwaspadai.

Bagaimana dengan Lendall, sang pemimpin Elang Hitam Morroc ? Lendall ikut terpelanting keluar ruangan sama seperti Kai, dan dia jatuh pingsan. Dia ditangkap dan diserahkan pada Tuan Heath, satu-satunya pemimpin aliansi perdamaian yang masih hidup. Atas voting para petinggi yang tersisa, Lendall dihukum mati – yakni dilemparkan dari menara tertinggi di Desa Umballa. Kini rohnya bersemayam di Niffleheim, membusuk bersama ambisinya yang hina. Tewasnya Lendall tidak berarti lenyapnya Elang Hitam Morroc dari Midgard, itulah sebabnya para guild semakin memperkuat hubungan untuk mengantisipasi penetrasi selanjutnya.

Kai sendiri berhasil diselamatkan, tapi kakinya sudah tidak bisa digunakan lagi. Dia pincang, dan itu berarti karirnya sebagai pengawal harus berakhir. Meskipun Tuan Heath memintanya untuk tetap tinggal di Valkyrie, Kai menolak. Dia pergi dan menghilang dari Prontera. Hingga akhirnya Cattleya menikah dengan ketua baru dari Luina, yakni putra sulung Dave Clementine, Kai tidak muncul lagi. Dia benar-benar menghilang dari perpolitikan Midgard.

Beberapa orang mengatakan bahwa Kai meninggal dunia karena luka-lukanya. Ada juga yang berkata bahwa Kai bunuh diri karena frustasi, entah karena kakinya yang pincang atau karena kehilangan Vio.

Namun Bibi Adela, pemilik Bar SunFlower, menepis semua isu itu. Dia berkata Kai hidup hingga usia tiga puluh tahun sebelum akhirnya meninggal dunia karena sakit. Dia membangun rumah di lereng gunung, tak jauh dari Payon, di dekat ladang bunga matahari. Di sana dia mendirikan makam bagi Vio, dikelilingi bunga matahari yang sangat disukai Vio. Namun yang tertidur di bawah makan itu bukanlah jasad Vio, sebab tubuh Vio sudah hancur akibat Ashura yang dilayangkan oleh Lendall. Kai menguburkan topeng Vio, satu-satunya kenangan tentang Vio yang tersisa setelah kematiannya.

Nama Kai Riverwine tidak pernah menjadi pahlawan Midgard, kisah hidupnya pun tidak pernah didokumentasikan sebagai sejarah. Namun Kai akan selalu dikenang oleh orang-orang yang mengenalnya, terutama tulisannya yang diukir pada nisan Vio :

Dalam hidup ini, tidak ada yang lebih indah daripada senyum yang dilontarkan oleh orang yang kau cintai. Aku bahagia, karena takdir masih memberiku kesempatan untuk melihat senyum itu pada detik-detik akhir hidupmu. Namun aku ingin bertemu denganmu sekali lagi, masih banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Oleh karena itu, biarlah bunga-bunga matahari ini tetap berkembang sampai kita bertemu lagi di kehidupan berikutnya.

Kepada yang terkasih, Violetta Riverwine.


Fin


Makasih dah baca fan & fic nya....
Walaupun dah ketunda selama 2 tahun...
Tapi gw terharu ada yg setia nungguin selama 2 tahun tertunda....
hahaha.....
sekarang dah selesai....

Dan sekarang gw lagi lanjutin yg laen

By Harushame - Ricky
 
Yeeehhhh...
horee...akhirnya selesai jg...blom bca sih...masih pagi nih..hahha...
ntr bca di skul aja...
critanya seru sih..!
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.