• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Ekonomi Lesu, Pria di Jepang Derita Penurunan Uang Jajan

yan raditya

IndoForum Addict E
No. Urut
163658
Sejak
31 Jan 2012
Pesan
24.461
Nilai reaksi
72
Poin
48
oE98Q.jpg

Lesunya ekonomi di Jepang sudah mulai dirasakan kalangan laki-laki pekerja maupun pebisnis skala kecil di Negeri Matahari Terbit itu. Kebanyakan mereka kini mengalami penyusutan uang jajan bulanan dari istri, yang rata-rata bertindak sebagai manajer keuangan rumah tangga.

Menurut survei yang dipublikasikan bulan ini oleh Bank Shinsei, yang juga dikutip oleh harian Financial Times. Menurut survei, uang saku bulanan yang diterima laki-laki pekerja kantoran maupun wiraswastawan di Jepang tahun ini rata-rata hanya 39.756 yen atau senilai hampir Rp5 juta.

Jumlah itu jauh lebih sedikit dari dekade-dekade sebelumnya. Dalam survei 1990 saja, uang saku kaum adam di sana masih sebesar 77.725 yen, sekitar Rp9,5 juta per bulan.

Di kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, uang saku Rp5 juta per bulan masih tergolong besar. Namun, untuk ukuran negara yang memiliki standar hidup sangat mahal seperti Jepang, punya uang sebesar itu sudah terbilang "pas-pasan."

Bahkan banyak pria pekerja di Jepang yang uang saku mereka masih di bawah rata-rata dari hasil survei Bank Shinsei. Ini yang dialami pria 36 tahun bernama Yoshihiro Nozawa.

Dia mengaku setiap tanggal 15 menerima uang jajan dari istri sebesar 30.000 yen (sekitar Rp3,7 juta). Sesuai kebiasaan di Jepang, walau berstatus pencari nafkah tunggal (breadwinner), para suami seperti Nozawa wajib menyerahkan seluruh gajinya kepada istri masing-masing, yang bertindak sebagai manajer keuangan rumah tangga - termasuk mengatur pengeluaran dan berbagai tagihan.

"Lima hari setelah tanggal 10 setiap bulan merupakan masa yang paling berat," kata Nozawa, ayah dari dua anak yang masih berusia 6 dan 8 tahun, kepada stasiun berita BBC. Bagi dia, uang 30.000 yen untuk 30 hari tidak bisa digunakan untuk bersenang-senang di Tokyo, kota yang tergolong paling mahal di dunia.

Itulah sebabnya, agar irit, istrinya setiap hari membekali Nozawa bungkusan makan siang untuk disantap di kantor. Dia mengaku kemewahan saat ini adalah membeli rokok, yang menguras sepertiga dari uang jajannya. "Mungkin saya harus berhenti merokok kalau harga naik lagi," lanjut pegawai kantoran itu.

Taisaku Kubo bernasib lebih baik. Dia menerima uang jajan bulanan dari istrinya sebesar 50.000 yen. Sudah 15 tahun dia menerima uang jajan sebesar itu sehingga suatu kali meminta istrinya agar ada kenaikan.

Namun, istrinya punya jurus jitu. "Dia membuat presentasi dengan menggambar diagram untuk menjelaskan mengapa saya tidak bisa mendapat uang jajan lebih," kata Kubo, yang berprofesi sebagai wiraswastawan.

"Pengeluaran terbesar kami adalah kredit rumah dari bank dan berbagai pajak. Kami pun tidak punya anak, sehingga harus dipastikan kami punya cukup dana setelah pensiun," ujar pria berusia 47 tahun itu. Mendengar penjelasan istrinya, Kubo pun menyerah.

Sejalan dengan situasi yang dihadapi kedua pria itu, survei dari Bank Shinsei mengungkapkan bahwa turunnya uang jajan bulanan kaum laki-laki pencari nafkah dibanding beberapa dekade sebelumnya itu terkait dengan lesunya ekonomi Jepang.

Gaji yang mereka terima pun cenderung lebih kecil dari masa-masa sebelumnya. Gaji bulanan yang diterima pekerja di Jepang per 2010 lebih rendah 15 persen menjadi 295.583 yen ketimbang data 1998, yang sebesar 348.750 yen, ungkap survei yang mengambil statistik dari badan pajak nasional.

Menurut Masaaki Kanno, ekonom JPMorgan di Tokyo kepada Financial Times, Jepang mulai mengalami penurunan daya saing global sejak awal dekade 1990an. Ini mengakibatkan lapangan kerja, dan juga lahan pendapatan, banyak yang pindah ke luar negeri.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.