@Divka HD
Command saya;
Hindu di Bali memang sangat terkait dgn banten. kalau menurut saya, itu memang warisan dari nenek moyang kita. Dijaman itu Weda hanya boleh dibaca oleh org2 bangsawan, karena mereka takut jika martabat bangsawannya akan jatuh. Karena Weda mengajarkan "kesamaan kodrat manusia." hanya dibedakan berdasarkan Karma untuk mencapai Brahman. Seni&budaya memang tiada duanya di dunia ini.
Saya bukan bermaksud melupakan hal ini, tetapi kita kan harus cerdas, setidaknya bisa membedakan Hindu&Budaya Bali. jangan ada Hindu Bali/india/jawa,dsbg.
Agama Hindu Dharma yang ada di Indonesia boleh dibilang lahirnya di Bali demikian juga tempat suci yang disebut Pura lahir di Bali. Sehingga bila ada pembangunan Pura / Padmasana di luar bali harus mengikuti tata upacara yang ada di Bali baca HIndu Dharma = Siwa Budha
Beranjak dari warisan itu, dikaitkan pula mitos2 di Bali. Kurangnya pemahaman membuat pemeluk Hindu di Bali selalu takut akan hal itu.(terutama yg minim ttg pemahaman kitabnya). Warisan itu bahkan masih dipahami saat ini. padahal bangsa sudah mengutamakan pendidikan.
Hindu Dharma yang ada sekarang ini adalah sama dengan Agama Siwa Budha yang ada pada jaman Majapahit dan satu-satunya yang masih bertahan di Nusantara adalah di Tanah Bali.
Justru Hindu Dharma seperti Bali bagi saya adalah suatu yang sangat sempurna, dari pada hanya menekankan jalan “Ilmu Pengetahuan”.
Karena Hindu Dharma seperti yang ada di Bali sudah melebur Konsep Catur Marga menjadi sesuai yang dengan kesadaran sendiri untuk melakukan Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya dan tidak melupakan untuk menjalankan Panca Sradanya yaitu meningkatkan Ilmu Pengetahuannya.
Catur Marga Yoga
- Bhakti Marga Yoga ; Menyatukan diri kepada Tuhan berdasarkan cinta kasih yang mendalam dengan mekakai sarana. Bhakti kepada Tuhan dalam wujud yang abstrak dengan mengandalkan fikiran dan Bhakti kepada Tuhan dalam wujud nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra , akan lebih mudah untuk mewujudkan rasa bahktinya (tetapi itu belum nyata).
- Karma Marga Yoga; Mengatukan diri kepada Tuhan melalui perbuatan mulia dan bermanfaat tanpa pamerih. Karma atau tindakan terdapat tiga macam bentuk sikap yaitu : (1) Karma yaitu perbuatan baik, (2) Akarma yaitu perbuatan tidak berbuat, (3) Wikarma yaitu perbuatan yang keliru. Apa yang diharapkan dari Karma Marga Yoga adalah tercapainya tujuan yang merupakan semua benua yaitu moksa atau siddhi (kesempurnaan). Karma dalam hal ini yang dimaksud adalah Karma dalam arti ritual atau Yadnya dan Karma dalam arti tingkah laku perbuatan.
- Jnana Marga Yoga; Mengatukan diri dengan Tuhan dengan mengamalkan Ilmu suci. Melalau jalan ini kita akan mengetahui ada dua hakekat, yaitu Purusa sebagai aspek transcendental (asal semua ciptaan) dan Prakrti (pradhana) sebagai aspek numena atau materi atau sifat empiris. Pada hakekatnya Prakrti dalam proses menjadinya sampai pada benda bateri dengan sifat dasarnya Bhumi (Prthiwi), Apah, Teja (Agni, Anala), Bayu, Khan (Akasa). Disamping itu Manah, Buddhi dan Ahamkara. Semua makhluk adanya berasal dari garba Tuhan. Tuhan adalah asal mula dan peleburnya alam semesta ini. Tuhan mengejawantah di dalam hukum-hukum alam, Hukum RTA yang mengatur alam dan Hukum KARMAPALA yang mengatur perbuatan manusia.
- Raja Marga Yoga; Berusaha menyatu dengan Tuhan dengan melakukan Brata, Tapa, Yoga dan Semadi.
Dari semua Yoga diatas Tuhan sebagai poros dari semua ciptaan dan kebhaktian.
Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini, sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing, tidaklah mesti orang harus berpegangan pada satu marga Yoga saja, bahkan keempatnya itu hendaknya digerakkan secara harmonis seperti halnya seekor burung.
Kalau diumpamakan bahwa sayap kiri dari burung adalah Jnana Marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga. Seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan akannya seimbang.
Burung tidak akan bisa mencapai tujuanya yang dikehendaki walaupun memiliki daya dorong yang kuat.
Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.
- Bhakti Marga Yoga, mengutamakan penyerahan diri dan mencurahkan rasa;
- Karma Marga Yoga, mengutamakan kerja tanpa pamerih untuk kepentingan diri sendiri, dengan mengutamakan pengabdian sebagai motivator dari geraknya;
- Jnana Marga Yoga, mengutamakan akal yang membangkitkan kesadaran;
- Raja Marga Yoga mengajarkan pengendalian diri dan konsetrasi.
Manusia yang akalnya hebat tetapi tanpa rasa adalah sama dengan Komputer atau Mesin, sebaliknya orang yang rasa (emosinya) tinggi tanpa diimbangi dengan akal, akan menjadi “kedewan-dewan”, bhakti dan jnana sangat perlu hebat tetapi harus seimbang.
Akal yang hebat dan rasa yang kuat akan sangat berguna kalau dapat diarahkan ke suatu tujuan yang baik, sebab itu diperlukan konsentrasi supaya jangan menyimpang dari arah (Raja Marga Yoga).
Kalau akal dan rasa sudah seimbang arah sudah terpusat maka orang akan bisa mencapai prestasi yang sangat tinggi.
Prestasi yang tinggi kalau digunakan untuk kepentingan diri sendiri akan membahayakan, oleh sebab itu perlu kehebatan yang dimiliki oleh manusia itu diabdikan untuk kepentingan orang banyak (Karma Marga).
Demikianlah akal dan rasa dipadukan secara seimbang, tekad yang kuat dan terkendalikan serta terarah ditujukan untuk ‘Dharma’ (pengabdian).
Inilah tingkat kesucian, dia yang telah sampai ditingkat ini, walau maut tiga, tiada bingung lagi dan mencapai Nirwana bersatu dengan Brahman.
Sudah saatnya kita sebagai Hindu harus cerdas memahami apa tingkatan Bhakti yg harus kita pilih, bagaimana ajaran dari kitab kita, Seperti yg dijelaskan diatas intinya adalah "Ilmu Pengetahuan".
Justru Hindu Dharma sudah cerdas memberikan keleluasaan untuk umatnya melakukan jalan Bhaktinya sesuai kemampuannya.
Untuk mencapai maksud saudara semestinya lembaga umat atau dimulai dari lembaga masyarakat / ska taruna misalnya memberikan bingkisan Kitab Suci kepada generasi yang sudah memasukan berumah tanggal. Tentu harus didukung dengan penerbitan-penerbitan buku juga. Budaya membaca atau membentuk perpustakaan di Pura misalnya perlu dibangun.
Jika dulu nenek moyang kita memilih bhakti dengan banten ya wajar&benar sekali, karena mereka belum mengenyam pendidikan. Bahkan, Saya pernah mendpat mitos begini&menjadi pertanyaan besar saya;
Kebetulan Bapak saya meninggal skitar 3 bln yg lalu, ketika ditanya ke dasaran, katanya kakek dari kakenya bapak saya(udah gak kenal) pernah berhutang senilai telor, karena tdk dibayar ningkatlah jadi ayam, guling, lalu nyawa bapak saya yg diambil.
Beginikah kualitas Umat kita??? atau bagaimana menurut anda, masa seh leluhur kita sekejam itu??
saya yakin inilah yg banyak dipahami oleh sebagian besar Umat kita. terutama yg minim pendidikan hindu.
Banten / Yadnya tidak ada kaitan dengan mitos, itu adalah murni sebagai bentuk Yantra dan terkait erat dengan Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya yang semuanya berdasarkan Weda.
Saya yakin Banten akan mengikuti perkembangan jaman.
Contoh: Seperti misalnya saat terjadi Tawur Kesangat, itu merupakan bentuk yadnya terhadap keharmonisan alam. Jadi upacara itu tidak memandang agama apapun. Jadi doa Brahmana dan Banten / persembahan yang dilakukan bersifat universal untuk keharmonisan alam semesta. Semua mahluk akan secara tidak langsung menikmati hasilnya tidak memandang agama apapun, walaupun hanya umat Hindu yang melakukan.
Jadi Banten bersifat universal.
Melakukan upacara-upacara / Nyadnya yang aneka ragam dan banyak dapat mengantarkan kearah kebahagiaan dan kekuatan.
Terkait Leluhur
Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta.
Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra.
Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara.
Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya.
Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.
Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa Sang .
Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru.
Atman menjadikan Hyang Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara.
Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Panca Maya Kosa.
Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
Pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.
Pemujaan leluhur dalam tradisi Hindu Dharma di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan.
Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya.
Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya, seperti yang dialami oleh Bapak saudara.
Karena Hindu Dharma percaya dengan Punarwaba / Hukum Karma (baca :
http://indoforum.org/showthread.php?t=37330)
Lalu apakah kita akan ikut seperti mereka dijaman ini?
saya rasa kita tidak harus tega membiarkan generasi pemeluk Hindu tidak cerdas.
Saya kira orang Hindu Dharma di Bali akan mengikuti, karena itu jalan yang paling sempurna dan sesuai dengan ruang dan waktunya.
Hindu Dharma sudah memiliki proses Check In dan Check Out yang jelas dan Weda selalu melandasinya.
Beragama tidak cukup hanya dengan;
Buat banten, Pakaian adat, Datang ke Pura, mebakti, selesai lalu pulang. Bahkan Judi di Pura (tajen) Inilah yang banyak saya temui pada Hindu di Bali saat ini.
Hindu Dharma di Bali sudah melakukan semua jalan yang ditentukan oleh Weda (Catur Marga), karena Panca Srada, Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya mereka jalankan.
Sementara kalau jalan ‘Ilmu Pengetahuan’ saja yang ditempuh tentu baru 1/2 saja yang dijalankan dari petunjuk Weda.
Lalu mengapa kita tidak berfikir andai saja dana jutaan untuk upakara itu diperuntukan membuat terjemahan dari kitab kita, menyebarkannya kepd msyarakat di pedesaan, mempelajari, mengambil filosofinya yg benar, lalu mulai mengamalkannya kepada masyarakat sekitar,seluruh desa, kecamatan, kabupaten, kodya, provinsi, negara dan dunia bukankah ini akan lebih bagus?. Bukankah belajar itu adalah ibadah/bhakti?? (saya rasa sloka diatas mengarah kesana dech bro..)
Jangan cuman pura yg dipercantik, upakara yg megah,habiskan ratusan juta, sedangkan umat Hindu minim dengan pendidikan,pengetahuan kitabnya, bahkan gak ada kitab dirumah kita, dan ketika bergaul dengan masyarakat yg plural, ketika ditanya masalah agamanya, maka terkadang dijawab "emang gitu" atau dengan emosional, atau bahkan berpaling ke agama lain. Dan ini banyak terjadi pada masyarakat disekitar saya di daerah saya di Sul-Bar. sayang kan...
Hal ini saya setuju, karena konsep yadnya untuk alam / lingkungan yang porsinya sangat besar, sudah semestinya mulai melakukan menjalankan rasa bhaksi / cita kasih dengan melakukan Yadnya untuk masalah social.
Selama saya merantau di Makassar, saya sangat kagum dengan seorang tukang tambal ban di pinggir jalan(non hindu). Sekalipun dia sebagai seorang tambal ban, namun dia juga memiliki sebuah kitab Suci, dan pada saat dia menambal ban dia pun sempat mengajarkan isi kitabnya kepada anaknya yg masih berumur sekitar 4 tahunan. Begitu pula ketika saya jalan2 kerumah teman saya, disetiap KK (kepala keluarga) pasti memiliki kitabnya.(begitulah umat lain mendidik umatnya)
Saya akui kegundahan saudara kita yang diluar Bali, bagaimana lingkungan/social dan jalan ‘Ilmu Pengetahuan’ bersaing ketat.
Untuk perkembangan selanjutnya masyarakat Hindu Dharma di Bali pun sudah mulai meningkatkan ‘Jalan Pengetahuan’, karena Bali sudah ‘bopeng’ akibat gempuran pengaruh asing.
Tapi saya yakin masyarakat Hindu Dharma di Bali akan mampu menyesuaikan diri terhadap perkembangan jaman.
Lalu apakah umat kita sudah memiliki kitab kita?
saya rasa belum. anda boleh cross check di Bali, jika anda tinggal di bali. terutama dipedesaan tuh bro..
Maka solusi seperti membentuk perpustakaan Pura dan mulai membangun budaya membaca, serta memberi bingkisan-bingkisan kitab/buku saat teman melangsungkan pernikahan misalnya adalah sebagin bentuk membudayakan untuk pada akhirnya setiap keluarga akan memiliki kitab suci / buku agama.
Oya, di pelosok2 daerah transmigrasi juga, kebetulan dulu saya ikut trans sama bapak saya(alm) di Mamuju.
Harusnya, ini menjadi hal yg perlu difikirkan olleh pemeluk hindu.
Kan buanyaaak tuh org2 hindu yg kaya di bali. Dibandingkan sumbang dana untuk ritual yg mewah/pura yg mewah, kan lebih baik dananya dialihkan untuk pendidikan / mencerdaskan Hindu berdasarkan ajaran Weda. Bukan adat bali. ingat Weda/Hindu yg sesungguhnya.
Sehingga Hindu dapat diterima oleh semua suku di indonesia/dunia, dengan berprinsip yaitu Weda. Tidak harus seragam seperti umat lain, tetapi benar2 mengetahui bagaimana Hindu&kitabnya, jadi tidak akan mudah di rekrut oleh umat lain. tetapi malah sebaliknya. Ini terbukti. mantan dosen saya juga demikian. So mart about Hinduism.
Hindu Dharma sudah memiliki Majelis Lembaga Umat yang tentunya sudah saatnya memprogram dan mengalokasikan biaya untuk hal-hal seperti ini, kira-kira gitu ya bro.
Ini bukan kecaman, tetapi adalah sebuah keresahan saya tyerhadap Hindu yg semakin minim, kurangnya pengetahuan Agamanya, semakin mudah berpindah ke agama lain, yg dirasa lebih praktis..
Saya rasa semua orang Hindu akan merasakan seperti ini, manakala mereka sudah asing dari system Hindu Dharma seperti yang ada di Bali. Maka jalan Jnana dan Yoga merupakan jalan yang harus ditempus.
Karena ruang dan waktu untuk melakukan proses Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya tidak memungkinkan.
Jadi Hindu Dharma sangat cerdas terhadap umatnya untuk melakukan Bhaktinya.
semoga pikiran baik datang dari segala arah