• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Dharma Wacana / Renungan

goesdun

IndoForum Junior A
No. Urut
32661
Sejak
7 Feb 2008
Pesan
3.022
Nilai reaksi
66
Poin
48
Dharma Wacana / Renungan

1. Pengertian
Dharma Wacana adalah methoda penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Terminologi Upanisada atau upanisad mengandung arti dan sifatnya yang "Rahasyapadesa" dan merupakan bagian dari kitab Sruthi. Pada masa lalu ajaran upanisad sering dihubungkan dengan "Pawisik" yakni ajaran rahasia yang diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat terbatas.

Dengan istilah dharma wacana dimaksudkan sebagai methoda penerangan Agama Hindu yang diberikan secara umum kepada Umat Hindu sesuai dengan sifat, thema, bentuk jenis kegiatan keagamaan yang di desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).

2. Tujuan
Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan dharma agama dan dharma negara.

3. Materi
Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan kedalam Sruthi, Smerthi, Purana, Itihasa dan Sang Sistha. Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema dan jenis kegiatan itu.

4. Bahasa
Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai bahasa daerah setempat.

Item Title :

 
Renungan

GENTA-GENTA SIWA-BUDDHA
[Gede Prama]

Pluralitas alias penghargaan atas perbedaan, itulah salah satu tiang utama masyarakat modern. Demokrasi yang menjadi salah satu barometer terpenting peradaban modern, juga berdiri di atas fundamen kokoh yang bernama pluralitas. Sulit sekali membayangkan ada demokrasi tanpa penghargaan atas perbedaan. Tidak saja kehidupan publik yang keajegannya berutang pada pluralitas, sejarah pengetahuan manusia juga berutang. Setelah lama sekali pemikiran Cartesian dan Newtonian melakukan pengabsolutan terhadap banyak sekali tesis, belakangan muncul kejenuhan akan hal-hal absolut. Dan, manusia-manusia seperti Lyotard, Foucault, Derrida datang membawa kesegaran melalui bendera-bendera merayakan perbedaan.

Agama sebagai serangkaian pengetahuan juga serupa. Teroris lengkap dengan bom dan darahnya, hanyalah sisa-sisa fanatisme yang dibawa oleh sejarah pemahaman yang absolut. Demikian absolutnya pemahaman di kepala sampai-sampai berani memusnahkan nyawa orang lain. Demikian kakunya gambar yang ada di kepala, sehingga seluruh gambar pemahaman yang lain tidak punya pilihan lain terkecuali dimusnahkan.
Dan, jejak-jejak pemahaman agama seperti ini pun sudah semakin minim pengikutnya.

Dikaguminya tokoh-tokoh Sufi seperti Jalaludin Rumi di Barat, demikian berwibawanya karya-karya Kahlil Gibran di banyak belahan dunia, dikutipnya doa Santo Fransiscus dari Asisi tidak saja dalam kalangan umat Katolik, dugunakannya Baghawad Gita sebagai acuan tidak saja dalam komunitas Hindu, didengarnya pesan-pesan Dalai Lama oleh banyak sekali manusia yang bukan beragama Buddha, hanyalah sebagian bukti kalau tembok-tembok fanatisme semakin kecil dan semakin kecil. Sehingga dalam totalitas, hanya manusia-manusia yang enggan bertumbuhlah yang masih memeluk erat-erat fanatisme dan absolutisme.

Sejarah Bali

Dengan tetap sadar akan perlunya kerendahatian di depan bentangan sejarah, sebenarnya sejarah Pulau Bali juga menyisakan tidak sedikit jejak-jejak pluralitas. Tokoh-tokoh yang dicatat rapi dalam sejarah Bali, sebagian adalah tokoh-tokoh pluralitas. Mpu Kuturan (seorang pendeta Buddha Mahayana) menyatukan banyak sekali sekte di abad ke-10-11 melalui konsep tri kahyangan. Kalau saja Mpu Kuturan seorang tokoh fanatik dan pengikut pendekatan absolut, mungkin ketika itu orang Bali akan dipaksa (atau setidak-tidaknya dipersuasi) untuk menjadi pemeluk Budhha Mahayana. Ternyata sejarah bertutur tidak.

Dang Hyang Dwijendra juga serupa. Kendati punya reputasi mengagumkan dalam bentuk mendampingi Raja Dalem Waturenggong membawa Bali ke zaman keemasan di abad ke-16, peninggalan Mpu Kuturan dalam bentuk Meru tetap dihormati, bahkan dilengkapi melalui bangunan baru ketika itu berupa Padmasana. Kendati beliau seorang pendeta Siwa-Buddha tetap saja pendekatan lain memiliki
ruangan untuk bertumbuh di Bali ketika itu.

Tempat ibadah adalah ruang-ruang sakral di Bali. Dan, tatkala berbicara tentang tempat ibadah, sulit sekali untuk tidak memulainya dengan Pura Rwa Bhineda (Pura Purusa di Besakih, Pura Pradana di Ulun Danu Batur). Dan, indahnya, di kedua tempat suci ini di ruang utamanya juga menghadirkan monumen pluralitas yang amat mengagumkan. Baik di Besakih maupun di Ulun Danu Batur, di ruang utamanya masih menyisakan tempat pemujaan untuk dua agama (Hindu dan Buddha). Di Besakih disebut Pura Syahbandar (lokasinya hanya beberapa meter dari Pura Sunaring Jagat), di Batur disebut Pura Ponco yang juga berlokasi di tempat yang sangat utama. Di Pura Ulunsiwi di Jimbaran ada dua pintu di bagian timur dari Meru, satu untuk Siwa satu lagi untuk Buddha.

Selain tokoh dan tempat ibadah, sastra tetua Bali juga banyak ditandai pluralitas. Suthasoma adalah salah satu sastra acuan yang utama. Melalui kalimat indah bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, sebenarnya tetua Bali sedang membukakan pintu-pintu pluralitas yang demikian indahnya.
Fred B. Eisman Jr. menerjemahkannya dalam Bali, ''Sekala & Niskala'' dengan sederhana: it is different, but it is one, there are not two truth. Sebuah pengakuan akan pluralitas Siwa-Buddha yang amat eksplisit. Siwa-Buddha itu satu, bukan dua.

Sarana upacara juga tidak kalah sakralnya bagi orang Bali. Dan, di antara sekian banyak sarana upacara yang disakralkan adalah genta. Meminjam argumen sebuah tesis di Universitas Gajah Mada tahun 1967 yang ditulis oleh IGN Anom, ternyata genta -- yang dipercaya sebagai kendaraan mantra yang sangat utama -- dibuat di atas pluralitas juga. Bagian bawah genta menyerepai Stupa, bagian atasnya sangat mirip dengan Lingga sebagai simbolik Siwa.

Potret-potret sejarah dalam bentuk tokoh, tempat ibadah, sastra, dan sarana upacara seperti ini, seperti sedang berbisik penuh kerendahanhatian: tidak saja di Barat pluralitas itu menjadi ladang-ladang subur pertumbuhan, Bali juga serupa.

Genta-genta Siwa-Buddha

Disinari cahaya-cahaya sejarah seperti di atas, layak direnungkan kembali perjalanan sejarah Bali yang sebagian juga berdarah karena absolutisme dan fanatisme. Setiap manusia di setiap sejarah sama-sama punya tugas yang sama: bertumbuh! Dan, Bali dalam bentangan sejarah ratusan tahun bertumbuh di atas pluralitas Siwa-Buddha. Dalam konstruksi genta, Siwa-Buddha memang dibaca dari atas (baca: Siwa) kemudian baru ke bawah (baca: Buddha). Namun, sebagaimana bangunan lainnya, semuanya dibangun dari bawah.

Kebenaran manusia mana pun memang hanya bisa sampai di tingkatan probabilistik. Sehingga bisa dimaklumi, kalau Buddha ditafsirkan secara berbeda-beda di Bali. Pandangan pertama mengatakan kalau Buddha kita di Bali adalah Buddha Bairawa. Sebuah sudut pandang yang layak dihargai. Pandangan kedua yang sama layaknya untuk dihargai adalah Buddha sebagai filsafat. Kembali ke konsep pluralitas sebagai lahan-lahan subur pertumbuhan, mungkin ada baiknya untuk saling menghargai.

Di Barat, ada jutaan manusia yang belajar Bhagawad Gita tanpa masuk agama Hindu.
Jutaan manusia tersentuh ajararan Sufi ala Rumi tanpa berganti agama menjadi Islam. Jutaan manusia mendengarkan saran-saran Dalai Lama tanpa berganti KTP menjadi Buddha. Hal serupa juga layak direnungkan ketika kita belajar membunyikan genta-genta Siwa Buddha di Bali.

Entah kekuatan apa yang membimbing, sejak belasan tahun yang lalu, tiba-tiba saja ada ketertarikan yang mendalam untuk belajar Buddha sebagai filsafat hidup.
Makin dipelajari, makin sejuk batin di dalam, makin kuat tanah-tanah Bali mengirim pesan-pesan kerinduan untuk sering pulang. Menyangkut getaran-getaran rasa, mungkin saja ada kekhilafan penafsiran, namun setelah belasan tahun menelusuri filsafat-filsafat Buddha, ada yang berbisik dari dalam sini: words make you come closer but jus till the gate, only actions bring you inside. Kata-kata memang bisa membuat manusia mendekat, tetapi hanya sampai di gerbang. Hanya tindakan yang bisa membawa manusia masuk ke dalam.

Dan, filsafat Buddha memberikan penekanan amat besar akan perlunya tindakan. Untuk itulah orang-orang Hinayana memberikan porsi sangat besar untuk sebuah bidang: disiplin diri! Ketika disiplin diri diikuti secara serius, cahaya-cahaya Mahayana muncul melalui sebuah kata: kebijaksanaan. Tatkala ini juga ditelusuri penuh cinta dan keikhlasan di depan Tuhan, ada sinar Tantrayana yang muncul: hening, sepi, damai.

Makanya bisa dimaklumi kalau Dalai Lama pernah berucap tentang esensi nilai-nilai ke-Buddha-an dalam sebuah bahasa sederhana: menghormati orang, mengkritik diri sendiri. Ini tentu saja terbalik dengan orang-orang fanatik yang absolut itu, di mana mereka hanya mengenal penghormatan diri yang tinggi, serta kritik yang menyakitkan terhadap orang lain. Ini juga sebuah pluralitas sebagai ladang pertumbuhan, sehingga keduanya layak dihargai. Entah seberapa banyak sahabat di Bali yang juga menaiki tangga-tangga ke-Buddha-an, untuk bisa meraih tongkat Lingga untuk sampai di tingkat ke-Siwa-an. Dan, di tingkat terakhir, seorang mistikus asli India bernama Ramakrishna pernah melafalkan doa seperti ini: Tuhan, Engkau memiliki baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, kaya-miskin, surga-neraka, hidup-mati, siang-malam. Ambillah semuanya! Biarlah hamba hidup dengan yang satu ini: cinta yang murni akan diri-Mu!

Sebuah percakapan suci antara Raja Janaka (ayahanda Dewi Sita) dengan gurunya bernama Asthavakra kemudian diberi judul ''Asthavakra Gita'' (diterjemahkan Thomas Byron menjadi ''The Heart of Awareness''), pernah bertutur nilai-nilai ke-Siwa-an seperti ini: when the mind desire nothing, grieve for nothing, without joy or anger, grasping nothing, turns nothing awaythen you are free. Ketika pikiran berhenti memilih, berhenti merindukan maupun menolak kemudian tersedia kebebasan. Ah, betapa indahnya kebebasan. Ia sama indahnya dengan salah satu bait kakawin tua di Bali yang berbunyi: magentha suara ning sepi. Ah, maafkanlah kata-kata yang hanya bisa mengantar kita manusia sampai di gerbang saja. Maafkan juga tulisan ini yang dibolak-balik juga hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja. Maafkan juga saya, yang hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja.(*)
 
Dharma Wacana

Makna Pelinggih Taksu di Merajan

Indriyani parany ahur
indriyebhyah param manah.
manasas tu para budhir
yo buddheh pratas tusah.
(Bhagawad Gita Gita IV.42).

Maksudnya:
Sempurnakanlah indriamu, tetapi kesempurnaan indria berada di bawah kesempurnaan pikiran, kekuatan pikiran berada dalam pencerahan kesadaran budhi. Yang paling suci adalah Atman.

MEMELIHARA kesehatan indria agar dapat berfungsi secara sempurna merupakan upaya hidup sehari-hari yang wajib dilakukan. Indria tersebut adalah alat untuk dapat kita merasakan adanya suka dan duka dalam kehidupan ini. Cuma indria yang sehat sempurna itu harus digunakan di bawah kendali pikiran yang cerdas. Kecerdasan pikiran itu dilandasi oleh kesadaran budhi yang bijaksana. Struktur diri yang demikian itulah yang akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam wujud perilaku.

Indria, pikiran dan kesadaran budhi yang mampu menjadi media kesucian Atman itulah yang menyebabkan orang disebut mataksu dalam hidupnya. Kata ''taksu'' berasal dari kata ''aksi'' artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah menyebabkan orang disebut mataksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisis oleh pandangan pikiran yang cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi. Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang mataksu.

Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan. Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama. Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut Pelinggih Batara Hyang Guru.

Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana barulah disebut Dewa Pitara.

Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.

Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.

Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut, karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.

Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan ibunya itu.

Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.

Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa, tua dan sampai meninggal.

Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara Hyang Guru.

Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi umat Hindu di Bali.

Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang semakin dinamis.

[Ketut Gobyah - nama yang dipergunakan oleh salah seorang Sabha Walaka Parisada untuk menulis di media massa]
 
Dharma Wacana

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka

Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin).

Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas.

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi.
Tujuan Hidup

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka



Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.
Pelaksanaan Upacara



Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.

Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

* Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
* Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
* Amati lelungan (tidak bepergian).
* Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).


Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana - Sabha Walaka Parisada, terbitan Pustaka Manikgeni)
 
Dharma Wacana

Menyikapi Arogansi Umat Beragama di Era Globalisasi

Yasmin sarvàói bhùtàni àtmaivà- bhùd vijànataá,
tatra ko mohaá kaá úoka ekatvam anupaúyataá.
Yajurveda XL. 7

‘Bilamana orang yang cerdas menjalan¬kan persatuan dengan
seluruh makhluk hidup (yang bernyawa) dan merasakan kesatuan dengannya,
lalu semua keterikatan dan malapetaka lenyap’.

Pendahuluan

Kehidupan manusia tidak terlepas dengan keyakinan yang dianutnya. Keyakinan itu umumnya berbentuk agama (organized religion), di luar itu sering disebut dengan kepercayaan atau juga agama asli (native religion). Apapun namanya semuanya itu berporos pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai nama. Keyakinan itu menjadi pegangan hidup seseorang dan atau bersama-sama kelompoknya. Ajaran agama memberikan pencerahan dan tuntunan hudup kepada penganutnya.

Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat terdapat berbagai agama dan atau kepercayaan dan masing-masing agama atau kepercayaan itu memiliki berbagai perbedaan terutama yang menyangkut keimanan (úraddhà), jalan menghubungkan diri kepada-Nya (àcàra/upàcàra/ritual) dan etika (suúìla). Perbedaan-perbedaan tersebut memberi rona dan mewarnai kehidupan beragama dalam masyarakat. Walaupun demikian, pada aspek tertentu memiliki kesamaan, misalnya menyangkut kemanusiaan (humanity).

Persamaan dan perbedaan antar agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan sasanti Bhineka Tunggal Ika dan sekali-sekali tampak pula adanya berbagai friksi yang bila tidak dieliminasi, bagaikan penyakit akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Tantangan bagi umat beragama dan juga bagi setiap cendekiawan untuk dapat mengeliminir hal-hal yang mengancam integrasi nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mewadahi keberagaman warga negaranya.

Tulisan ringkas ini mengetengahkan dampak globalisasi, pemahaman agama yang ekslusif, dasar-dasar teologi Hindu tentang kemanusiaan (humanity), perbedaan (plurality), dan bagaimana ajaran agama mengajarkan untuk berkomunikasi dengan sesama umat manusia (dialogis). Tulisan ini sifatnya deskriptif dengan berusaha menggali sumber-sumber ajaran tentang hal tersebut sebagai suatu yang normatif dan memadukannya dengan hal-hal yang bersifat empirik di lapangan.

Dampak Globalisasi
Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu dan budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat dirasakan oleh masyarakat Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi, transportasi, dan informasi yang sangat canggih memberikan peluang kepada masyarakat Bali yang memang sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja di belahan bumi ini. Wawasan masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal yang baik dari manapun berasal dan dengan kemampuannya yang selektif dan adaptif, menggunakan hal-hal yang baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu dan budaya Bali. Di balik dampak positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah dampak negatif budaya global tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang demikian maju memberi peluang masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke dalam rumah dan bahkan ke dalam kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat. Dampak negatif budaya global tersebut merupakan dampak dari kehidupan modern. Muncul berbagai masalah di antaranya masyarakat semakin individualis, kurangnya solidaritas. Berkembangnya penyakit sosial seperti prostitusi, penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba, ekstasi, dan sebagainya), pencurian, perampokan, dan bahkan pemerkosaan.

Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18).

Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian, mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004) seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya global.

The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern context.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa.

Pemahaman dan Implementasi Agama yang sempit, keliru, dan inklusif
Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni: (1) sangat toleran, humanis, dan inklusif. (2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif, dan (3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif. Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.

Toleran berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku yang rendah hati, toleran, tidak arogan. Moderat adalah sikap yang lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.

Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.

Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.

Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.

Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.

Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.

Solusi Mencegah Sikap Arogan Umat Beragama
Kitab suci Veda merupakan sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran agama Hindu. Dalam kitab suci Veda dapat dijumpai berbagai ajaran yang menyangkut pengembangan agama yang tidak arogan, di antaranya dengan mengembangkan agama Hindu yang toleran dan humanis. Di samping kitab suci Veda (termasuk kitab-kitab Upaniûad), susastra Hindu lainnya juga memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Berikut dikutipkan mantra-mantra Veda yang menguraikan tentang hal tersebut.

1) Kebenaran bermanfaat pada kemanusiaan.
Tàn satyaujàá pra dahatu agnir vaiúvànaro våûà.
yo no durasyàd dipsàc ca atho yo no aràtiyàt.
Atharvaveda IV. 36. 1
‘Semoga Sang Hyang Agni, yang memiliki kekuatan dan kebenaran yang bermanfaat pada kemanusiaan, pelimpah kebahagiaan, membinasakan semua yang berniat merugikan atau membahayakan kami dan yang memperlihatkan sikap seperti musuh kepada kami’

2) Hendaknyalah semua manusia dan makhluk sehat (sejahtra).
Dvipad catuûpad asmàkam sarvaý
astu-anàturam.
Ågveda X. 97. 20
‘Hendaknyalah semua umat manusia dan binatang bebas dari penyakit’

3) Bangsa ideal menghargai kemanusiaan.
Viúvabhåta stha ràûþradà ràstraý me datta.
Yajurveda X. 4
‘Para dewa, Engkau adalah para pe¬lindung seluruh dunia. Semoga Engkau menyediakan suatu bangsa ideal (idaman) semacam itu pada kami yang bisa memberi makan seluruh dunia’

4) Seharusnya tak seorangpun menderita lapar dan haus
Eûa vàý dyàvà- påthivì upasthe mà kûudhat mà tåûat.
Atharvaveda II. 29. 4
‘Langit dan bumi (sorga dan dunia), semoga kemanusiaan ini yang di bawah pengawalan-Mu, ti¬dak menderita lapar dan haus’

5) Kami memerlukan orang yang dermawan
Lokaåtnum ìmahe.
Ågveda IX. 2. 8.
‘Kami membutuhkan kepribadian yang dermawan
(filantropis)’

6) Hendaknyalah seluruh dunia berbahagia dan sehat
Yathà naá sarvam id jagad ayakûmaý sumanà asat.
Yajurveda XVI. 4
‘Sang Hyang Rudra, lakukanlah be¬gitu sehingga seluruh dunia bisa bebas dari penyakit, menjadi berbahagia’
Lokaý påóa, chidraý påóa.
Yajurveda XV. 59
‘Buatlah umat manusia berbahagia dan singkirkan kesukaran kesukaran mereka’

7) Kesejahtraan semua makhluk
Yathà úam asad dvipade catuûpade.
Yajurveda XVI. 48
‘Buatlah semua manusia dan binatang berbahagia’

8) Cintailah semuanya dan dicintai oleh semuanya
Priyaý mà kåóu deveûu priyaý ràjasu mà kåóu .
priyaý sarvasya paúyata uta úùdra utàrye.
Atharvaveda XIX. 62. 1
‘Ya, Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami dicintai oleh para dewata dan para pemimpin bangsa. Semoga kami dikasihi oleh semuanya, siapa pun yang memper¬hatikan (memahami) kami, apakah seorang pengusaha ataukah seorang pekerja’

9) Rasakan kesatuan dengan semua umat manusia
Yasmin sarvàói bhùtàni àtmaivà- bhùd vijànataá,
tatra ko mohaá kaá úoka ekatvam anupaúyataá.
Yajurveda XL. 7
‘Bilamana orang yang cerdas menjalan¬kan persatuan dengan seluruh dunia yang bernyawa (hidup) dan merasakan kesatuan dengannya, lalu semua keterikatan dan malapetaka lenyap’

10) Semoga kami memiliki keserasian dengan semua
Samjñànam naá svebáih saýjñànam araóebhiá.
Atharvaveda VII.54.1
‘Semoga kami memiliki kerukunan de¬ngan orang orang yang dikenal dengan akrab dan orang orang asingpun’

11) Orang orang yang dermawan memperoleh popularitas.
Naràúaýsaý sudhåûþamam,
apaúyaý saprathastamam.
Ågveda I. 18. 9
(Orang yang dermawan dan orang yang mau berusaha (dengan giat) segera memperoleh popularitas).
Di samping butir-butir mantra kitab suci di atas, di dalam kitab-kitab Upaniûad (yang kemudian menjadi sumber utama sistem filsafat Vedànta) dijumpai pula pandangan bahwa semua makhluk berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan akhirnya kembali lagi kepada-Nya. Lebih jauh dijelaskan bahwa pada diri semua makhluk terdapat àtmà (roh) yang menghidupkannya, dan àtmà merupakan percikkan sinar-Nya yang disebut Brahman dan Brahman sesungguhnya identik dengan Àtman sebagai sumber hidup alam semesta dan segala isinya. Di dalam kitab-kitab Upaniûad dikenal 5 ajaran yang melandasi pendangan tentang kemanusiaan yang disebut dengan Pañcamahàvàkya (the five great saying), yaitu Tat tvam asi (Thou art That), Ahaý Brahmàsmi (I am Brahman), Ayam àtmà Brahma (This Self is Brahman), Pràjñàm Brahma (Consciousness is Brahman), dan Sarvaýkhalvidaý Brahma (All indeed is Brahman)(Frawley, 1982:279).
Dalam doa sehari-hari umat Hindu dijumpai sebuah mantra (Trisandhyà mantra ke-5) yang menyatakan: sarva pràói hitaòkaraá, (semoga) semua makhluk sejahtra dan sebuah úubhaúita (adigium) yang menyatakan: Vasudevàya kutumbhakam, semua makhluk bersaudara. Di Bali hingga dewasa ini umat manusia bersaudara dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam sebuah doa mohon keselamatan dan kemakmuran bagi tumbuh-tumbuhan, yang dilaksanakan pada hari raya Tumpek Bubuh (25 hari sebelum Hari Raya Galungan) dinyatakan: kaki-kaki, nini-nini malih selai lemeng mangkin Galungan, elingang mabuah nged-nged (kakek-kakek dan nenek-nenek, dua puluh lima hari lagi Hari Raya Galungan, tolong berbuah yang lebat-lebat), menunjukkan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan dipanggil nenek-nenek dan kakek-kakek, menunjukkan bahwa manusia mempunyai pertalian saudara dengan pohon-pohon kayu demikian pula dengan binatang, seperti halnya sapi yang dipandang sebagai ibu, yang memberikan susu dan membantu melaksanan pekerjaan di sawah.
Dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan saja kita masih bersaudara, mengapa dengan sesama manusia kita saling bermusuhan? Pandangan tentang kesatuan semua makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau semua makhluk datang dan pada akhirnya akan menyatu dengan-Nya di dalam sistem filsafat Vedànta disebut dengan Advaita atau monistik (monism). Pandangan ini menjadi dasar ajaran cinta kasih yang sejati yang disebut Parama Prema.
Pandangan di atas lebih tegas dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (dalam Prabhu, 1987: 424) sebagai berikut. My goal is friendship to the world and I can combine the greatest love with the greatest opposition to the wrong. My ethics not only permit me to claim but requiere me to own kinship with not mereley the ape but the horse and the sheep, the lion and the leopard, the snake and the scorpion. Not so need these konsfolk regard them selves.
Pada kesempatan lainnya, pesan Mahatma Gandhi tentang kemanusiaan adalah: “Cintailah sesama. Carilah apa yang menyatukan, bukan apa yang memecah belah kalian, satu sama yang lain”(McCahill, dalam Ellsberg, 2004: 220).
Di lain pihak, Svami Vivekananda (Richards, 1996: 84) sebagai seorang humanis sejati menyatakan:
‘Lihatlah ke dalam diri semua orang, baik pria maupun wanita, dan semuanya sebagai Tuhan. Engkau tidak bisa menolong siapapun, engkau hanya bisa melayani: layanilah anak-anak Tuhan, layanilah Tuhan itu sendiri. Jika Tuhan bisa memberikan sebuah anugerah hingga engkau bisa menolong salah-satu dari anak-anaknya, maka engkau terberkati; jangan terlalu memikirkan dirimu sendiri. Terberkahilah dirimu karena memiliki semua ini saat dimana yang lainnya tidak memilikinya. Lakukanlah semua itu hanya sebagai pemujaan. Saya harus melihat Tuhan dalam diri orang miskin dan demi pembebasan sayalah saya pergi dan menyembah mereka. Orang yang malang dan menderita adalah untuk pembebasan kita, sehingga kita bisa melayani Tuhan, yang datang dalam wujud penyakit, dalam bentuk kegilaan, penyakit hati, dan pendosa! Saya berkata jujur; dan saya akan mengulangi apa yang telah saya katakan adalah sebuah kesempatan besar dalam kehidupan kita dimana kita diijinkan untuk melayani Tuhan dalam semua wujud ini’.
Di samping mengembangkan dan mengimplementasikan sikap yang toleran dan humanis, ajaran agamaHindu yang patut dikembangkan adalah ajaran yang menghargai perbedaan dan bersedia mengembangkan ajaran yang sifatnya dialogis, yang merupakan landasan atau dasar-dasar kerukunan hidup beragama yang sejati, seperti diamanatkan dalam mantra-mantra kitab suci Veda berikut.
1)Menghargai pluralisme (perbedaan) agama/kepercayaan dan budaya serta mewujudkan kemakmuran bersama.
Janaý bibhrati bahudhà vivàcasaý
nànàdharmanaý påthivì yathaikasam,
sahasraý dhàrà dravióasya me duhàý
dhraveva dhenuranapasphuranti.
Atharvaveda XII.1.45.
(Berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah, yang menganut berbagai kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargailah mereka yang tinggal bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberi keseimbangan bagaikan sapi yang memberi susunya kepada umat manusia. Demikian ibu pertiwi memberikan kebahagiaan yang melimpah kepada umat-Nya).
2)Mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan bersama (kedamaian, kemakmuran dan kebahagiaan)
Saý vo manàýsi saý vratà sam àkùtìr namàýsi,
amì ye vivratà sthana tàn vaá saý namayàmasi.
Atharvaveda III. 8.5.
(Aku satukan pikiran, dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat jahat menuju jalan yang benar).
Yena devà na viyanti no ca vidviûate mithaá.
tat kåómo brahma vo gåhe saýjñàna puruòebhyaá.
Atharvaveda III.30.4
(Wahai umat manusia! Bersatulah, dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugrahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu).
3)Mewujudkan kehidupan yang harmonis serta dialogis.
Saý gacchadhvaý saý vadadhvaý
saý vo manaýsi jànatàm,
devà bhàgam yathà pùrve saýjànànà upàsate.
Ågveda X.191.2.
(Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu, dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa, dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu)
4)Mewujudkan kehidupan yang demokratis dengan bermusyawarah dan menumbuhkan saling pengertian.
Samàno mantraá samitiá samàni
samànam manaá saha cittam eûàm,
samanam mantram abhi mantarey vah,
samanena vo havisa juhomi.
Ågveda X.191.3.
(Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama. Satukanlah hati, dan pikiranmu dengan yang lain.Aku anugrahkan pikiran yang sama, dan fasilitas yang sama pula untuk kerukunan hidupmu)
Samànì va àkutiá samànà hådayàni vaá,
samànam astu vo mano yathà vaá susahàsati.
Rgveda X.191.4.
(Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan)
5)Mengembangkan hati yang tulus ikhlas dan persahabatan yang sejati.
Sahådayaý saý manasyam avidveûaý kåóomi vaá,
anyo anyam abhi haryata vatsaý jàtam ivagh-nyà.
Atharvaveda III.30.1.
(Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus ikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu).
6)Mengembangkan keharmonisan yang sejati, baik kepada orang yang dikenal dan bahkan dengan orang asing sekalipun.
Saýjñànaý naá svebhiá saýjñànaý araóebhiá,
Saýjñànaý aúvinà yuvam ihàsmàsu ni yacchatam.
Atharvaveda VII.52.1.
(Hendaknya harmonis dengan penuh keintiman di antara kamu, demikian pula dengan orang-orang yang dikenal maupun asing. Semogalah dewa Asvina menganugrahkan rahmat-Nya untuk keharmonisan antar sesama).
Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama yang dilandasi dengan teologi yang humanis, pluralis dan dialogis, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, Amerika Serikat, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu yang sangat terkenal pada akhir abad yang lalu itu (sudah 108 tahun lewat) senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker, 1983: 580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut: “Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil” (Mumukshananda, 1992:24).
Di samping mantra tersebut di atas, dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup beragama dalam rangka integrasi nasional, kiranya perlu dipahami dasar-dasar teologis kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di amanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya.

Simpulan
1)Globalisasi memberikan dampak yang negatif dan positif terhadap kehidupan beragama. Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi berbagai tantangan dan dampak negatif dari globalisasi tersebut.
2)Arogansi penganut agama muncul karena pemahaman yang sempit dan keliru terhadap ajaran agama yang dianutnya. Bentuk-bentuk arogransi tersebut, antara lain berupa: sikap yang keras (ekstrem), radikal, tidak toleran, dan eksklusif yang menganggap agama yang dianutnya adalah yang paling baik, dan paling benar.
3)Solusi untuk menyikapi, mencegah dan meminimalisasikan berkembangnya sikap arogan umat beragama adalah dengan mengembangkan dan mengimplementasikan ajaran agama yang toleran, inklusif, humanis, mengakui adanya pluralitas (plurality), dan ajaran yang bersifat dialogis.
4)Dalam Agama Hindu, khususnya kitab suci Veda dan susastra Hindu banyak dijumpai ajaran yang mengamanatkan seseorang untuk mengembangkan sikap yang toleran, inklusif, humanis, mengakui pluralisme, dan ajaran yang bersifat dialogis baik intern umat beragama maupun antar umat beragama.
5)Tokoh-tokoh Agama Hindu seperti Mahatma Gandhi, Vivekananda, Tagore, dan sebagainya memberikan contoh bagaimana menyingkapi dan mencegah berkembangnya sikap arogan di kalangan umat beragama.

Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan, 1997. Bali dalam Sentuhan Budaya Global dalam Dinamika Kebudayaan Bali. Denpasar: Upada Sastra.

------. ‘Strategi Bali Mempertahankan Kearifan Lokal di Era Global’ dalam Kompetisi Budaya dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.

Bagus, I Gusti Ngurah .1993. Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dan Peranannya Dalam Pembangunan Nasional, Makalah pada 100 Tahun Parlemen Agama-Agama sedunia, dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia,Yogyakarta,11-12 Okt. 1993

Ermaya Suradinata, 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.

Frawley, David.1982.The Creative Vision of the Early Upaniûad, Udgìtà Adityasya, The Exalted Song of the Sun, New Delhi, India, and United States of America, Denver Colo: Motilal Banarsidass.

Muhammad, Afif. 2004. Radikalisme Agama Abad 21. Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.

McCahill, Bob. Mahatma dan Seorang Misionaris dalam Robert Ellsberg (Ed). 2004. Gandhi on Christianity. Yogyakarta: LKiS. Pelangi Aksara.

Mahadevan.T.M.P. 1984. Outlines of Hinduism, Bombay, India: Chetana.

Mumukshananda, Svami.1992. The Complete Works of Svami Vivekananda. I. Calcuta, India: Advaita Ashram.

Prabhu, R.K. & U.R.Rao. 1987.The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: Navajivan Publishing House.

Putra, Darma dan Widhu Sancaya.2005. Kompetisi Budaya Dalam Globalisasim Kusumanjali Untuk Prof.Dr.Tjokorda Rai Sudharta. (Editor). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.

Radhakrishnan, S.1990. The Principal Upaniûads. Bombay, India: Oxford University Press.

Richards, Glyn.1996. A Source-Book of Modern Hinduism. Great Britain: Curzon Press.

Sutapa, Pendeta Djaka. 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa. Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.


Titib, I Made. 2006. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Visvananda, Svami.1937. Unity of Religions dalam The Religions of the World. Calcuta, India: Sri Ramakrishna Centenary Parliament of Religions.
--------------------------
* Makalah pada acara Masayu 2006, diselenggarakan oleh BEM Fakultas Dharma Acarya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, tanggal 11 September 2006 bertempat di Auditorium Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar di Bangli..
** Seorang Teolog Hindu, memperoleh gelar Doktor (Ph.D) di Gurukula Kangri University, Haridvar, Uttar Pradesh, India, 1993, Lektor Kepala (IV/c) pada Institut Hindu Dharma dan Doktor pada Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar (2005). Pernah men jabat Direktur Urusan Agama Hindu, Ditjen Bimas Hindu dan Buddha Dep.Agama R..I. dan Ketua I Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonensia Pusat dan kini sebagai Dekan Fakultas Brahma Widya (Teologi dan Filsafat) Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Bali.
-oOo-​
 
Dharma Wacana

Kerja Sebagai Bentuk Bakti Kepada Tuhan Yang Maha

I Made Titib


bhagavadgita.jpg

"Wahai umat manusia ! Kewajibanmu hanyalah bekerja
tanpa kepentingan diri pribadi. Lakukanlah perbuatan
berdasarkan Dharma di dunia ini. Hal inilah yang akan
mengantarkan kamu mencapai umur panjang. Demikian
Karma (kerja), bukan memecah belah umat manusia.
Tidak ada jalan lain. Hal ini pula yang mengantarkan
mencapai kebebasan yang sejati".
Yajurveda XL.2



Disiplin nasional adalah kondisi dinamis yang di dalamnya terdapat kepatuhan untuk melaksanakan segala sesuatu norma, aturan atau hukum yang dilandasi kesadaran dan ketulusan bahwa dengan kondisi itu kehidupan dan hubungan antar manusia dan manusia dengan masyarakat dan alam sekitarnya berlangsung harmonis dan dengan demikian kesejahtraan hidup akan dapat pula diwujudkan.

Selanjutnya bila kita perhatikan dengan seksama di dalam masyarakat atau pada beberapa instansi pemerintah masih terjadi penyalah gunaan wewenang, pemborosan waktu dan dana, nepotisme tanpa memperhatikan kualitas yang diharapkan, berbagai bentuk penyimpangan lain yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Pelayanan umum belum mencapai sasaran yang diinginkan, sehingga masih terdapat berbagai keluhan dan pengaduan dari masyarakat. Bentuk-bentuk protes sosial juga diakibatkan tidak tegaknya aturan yang berlaku, saluran infomasi dan komunikasi yang kurang lancar serta keteladanan dari para pemimpin atau tokoh masyarakat.
Dari kondisi yang melemahkan disiplin nasional tadi dapat diproyeksikan disiplin nasional yang mantap yang diharapkan, yaitu seluruh rakyat Indonesia memahami arti dan makna disiplin baik pribadi, sosial dan nasional secara sadar dan tulus untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Dari disiplin diri dan sosial tercipta kondisi budaya kerja, budaya tertib dan budaya bersih yang melembaga pada setiap individu maupun masyarakat Indonesia yang mandiri dan berkualitas serta mampu berkompetisi dalam pergaulan antar bangsa-bangsa atu setidaknya sejajar dengan bangsa yang telah maju dibidang iptek dan kesejahtraan bangsanya.
Dalam ajaran agama Hindu baik dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu yang lain kita temukan banyak ajaran yang mendorong umat manusia bekerja keras yang dilandasi dengan keimanan atau Úraddhà dan Bhakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Kerja adalah suatu keharusan, sebab Tuhan Yang Maha Esapun tiada henti-hentinya menggerakkan hukum kemaha kuasaan-Nya. Perhatikanlah kutipan kitab suci Bhagavadgìtà berikut :

Jika sedetik saja Aku tidak bekerja alam semesta ini
akan hancur lebur.Kalau Aku berbuat demikian, ber-
arti Aku menyebabkan kehancuran umat manusia dan
menghancurkan kedamaian semua makhluk.
Bhagavadgìtà III.24.
Kerja sebagai kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap orang. Ajaran tentang kerja ini dijelaskan secara gamblang di dalam Bhagavdgita Adhyàya IV dengan topik Karma Yoga. Dalam kaitannya dengan budaya kerja yang dimaksud adalah kerja yang dilandasi pengetahuan, kesadaran, kebijaksanaan, etika dan mengerti hakekat kerja. Svami Vivekananda , seorang Yogi yang sangat mashur seratus tahun yang lalu mengatakan : Your hand on work but your heart on God. dimaksudkan apapun yang kita lakukan, pekerjaan apapun yang dikerjakan, semuanya itu disadari sebagai Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti dijelaskan dalam úloka Bhagavagìtà berikut :
Apapun yang kau kerjakan, kau makan
kau persembahkan, kau dermakan dan
disiplin diri apapun yang kau laksanakan,
lakukanlah wahai Arjuna sebagai bhakti
kepada Aku.
Bhagavadgìtà IX.27.

Dengan berkerja sebagai bhakti kepada Aku,
engkau terlepas dari belenggu Karma yang membawa
pahala baik dan buruk. Dengan pikiran terpusatkan
pada keikhlasan kerja,engkau akan bebas dan menca-
pai Aku
Bhagavadgìtà IX.28.

Selanjutnya ajaran tetang budaya kerja dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda berikut :
1. Orang hendaknya bekerja keras, tidak malas, tidak suka tidur dan omong kosong.
Orang yang tidak tidur dapat mengatasi kemalasan :
Tuhan Yang Maha Esa hanya menyayangi orang yang
bekerja keras
Ågveda IV.33.11.
Hendanya sifat penidur tidak mengusai kami, juga
kebiasaan omong kosong.
Ågveda VIII.48.14.

Mereka yang tidak tidur (berlebihan), mengurangi
kemalasan.
Ågveda VIII.2.18.
2. Tuhan Yang Maha Esa bersabda, hendaknya umat manusia menghindari perjudian :

Wahai umat manusia! Janganlah bermain judi, tanamilah
ladangmu, berbahagialah dengan harta yang kau miliki,
syukurilah.Oh Penjudi! Ingatlah ternakmu dan ingat pula
istrimu. Demikian sabda Tuhan Yang Maha Mulia)
Ågveda X.34.13.

3. Memperoleh kekayaan hendaknya bekerja dengan cara yang benar (berdasarkan
Dharma) dengan diserta doa dan ketulusan hati nurani :
Pari cin màrto dravióaý mamanyàd
åtasya pathà namasà vivàset,
uta svena kratunà saý vadeta
úreyàý saý dakûaý manasàjagåbhyàt.
Ågveda X.31.2.
(Seharusnya orang mencari kekayaan dan berjuang untuk
memperolehnya dengan cara yang benar dan diserta doa.
Seorang seharusnya memakai pertimbangan hati nuraninya
penuh semangat berusaha meningkatkan kemampuannya).

4. Diberikan umur yang panjang hendaknya dimanfaatkan untuk berbuat baik :
Viúvadaniý sumanasaá syàma
Ågveda VI.52.5.
(Hendaknya berbuat baik seumur hidup).

A no bhadràá kratavo yantu viúvataá
Ågveda I.89.l.
(Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru).
5. Kewajiban umat manusia hanyalah bekerja tanpa kepentingan peribadi dan
melakukannya atas dasar Dharma.Perbuatan baik mengantarkan orang mencapai
umur panjang (seratus tahun) dan membebaskan manusia dari keterikan :
Kurvanneveha karmàni jijìviúcchata'samàá,
evaý tvayi nànyatheto'sti karma lipyate nare.
Yajurveda XL.2.

(Wahai umat manusia ! Kewajibamu hanyalah bekerja tanpa
kepentingan diri pribadi. Lakukanlah perbuatan berdasarkan
Dharma di dunia ini. Hal inilah yang akan mengantarkanmu
mencapai umur panjang (ratusan tahun).Demikianlah Karma
bukan membelenggu manusia. Tidak ada jalan lain. hal inilah
yang mengantarkan mencapai kebebasan).

6. Orang hendaknya memahami hakekat pengetahuan dan kerja secara bersamaan
yang membebaskan dari kematian, karena dengan Karma dan pengetahuan orang
memperoleh keselamatan :
Vidyàý càvidyàý ca yaûþadvedobhaya'saha,
avidyàyàmåtyuýtirtva vidyàya'måtam asnute.
Yajurveda XL.14.
(Ia yang memahami hakekat pengetahuan dan perbuatan
secara bersamaam dapat mengatasi kematian karena perbuatan
(Karma) dan melaui pengetahuan (Vidyà) memperoleh kese-
lamatan).

Di dalam Mahàbhàrata dapat dijumpai ajaran tentang budaya kerja, yang sangat relevan pada jaman sekarang, sebagai berikut:
Àcàràllabhate hyàyuràcàràllabhate úrìyam,
àcàràt kìrtimàpnoti puruûaá pretyaccha ca.
Anuúàsanaparva 104.6.
(Tingkah laku yang baik menyebabkan umur panjang, kemak-
muran dan memperoleh kemashuran dalam hidup ini dan se-
telah meninggalkan badan)

Saddoûaá puruûeneha hàtvya bhùtimicchata,
nidrà tandra bhayaý krodham àlasya dìrghasùtrata.
Udyogaparva 33. 78.
(Orang yang menginginkan kesejahtraan di dunia ini, ia
harus meninggalkan enam sifat yang tidak baik, yaitu :
suka tidur, malas, takut, marah, tidak bersemangat dan
selalu mengulur waktu untuk menyelesaikan pekerjaan)

Lebih jauh di dalam kitab suci Bhagavadgìtà dijelaskan dalam uraian yang sangat gamblang ajaran tentang budaya kerja, diantaranya sebagai berikut :
1. Orang hendaknya melakukan kerja yang telah menjadi kewajiban dengan baik dan di
dalam melaksanakan seseorang tidak perlu terikat dengan hasilnya, sebab setiap
perbuatan yang baik akan memperoleh kebaikan :
Niyataý kuru karma tvaý
karma jyàyo hi akarmanah,
úarìrairayatrà'pi ca te na
prasidhyed akarmanaá.

Karmany evàdhikàraste
mà phaleûu kadàcana,
mà karma phala hetur bhùr
mà te saògo'stv akarmàni.
Bhagavdgìtà III.8, II.47.
(Bekerjalah sesuai dengan tugas dan kewajiban yang
telah ditentukan sebab bekerja jauh lebih baik dari pada
tidak bekerja dan tubuhpun tidak akan terpelihara bila
kita tidak bekerja.
Kewajibanmu hanyalah bekerja, tidak hasil pekerjaan
yang engkau pikirkan, jangan sekali-kali menjadi motif
dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri).

2. Lakukan kerja sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan lepaskanlah
diri dari pamerih, dengan demikian orang mampu mengatasi kesedihan :
Mayi sarvàói karmàói
saýnyàsadhyàtmàcetasà,
niràsìr nirmamo bhùtvà
yudhyasva vigatava araá.
Bhagavadgìtà III.30.
(Persembahkanlah segala kerjamu kepada Aku dengan
memusatkan pikiran kepada Aku. Lepaskanlah dirimu
dari pamerih dan rasa keakuan serta bangkitlah,engkau
akan terbebas dari pikiran yang susah).

Demikian antara lain ajaran atau nilai-nilai budaya kerja yang diajarkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Kini nyatalah bagi kita bahwa ajaran agama mempunyai peranan yang panting dalam meberikan motivasi untuk meningkatkan budaya kerja, mengingat agama adalah titik sentral dan basis kehidupan manusia.


-oOo-
 
Hubungan Agama Dan Budaya dalam Hindu

Hubungan Agama Dan Budaya
dalam Hindu
Sahnan Ginting, S. Ag

A. Pendahuluan
Agama merupakan kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan itu. Dengan demikian sembahyang, beryadnya, melakukan kewajiban kepada sesama manusia adalah merupakan hal yang termasuk ke dalam agama.

Walaupun kita tidak cepat percaya kepada sesuatu, tetapi percaya itu merupakan hal yang juga diperlukan di dalam hidup. Orang yang tidak memiliki kepercayaan pada sesuatu, akan selalu dalam keadaan, ragu, tidak aman, curiga dan tidak mempunyai pegangan yang pasti. Percaya merupakan suatu sikap yang perlu ditumbuhkan di dalam diridan kita berharap bahwa apa yang kita percayai itu memang benar seperti apa yang kita duga. Karena agama itu adalah kepercayaan, maka dengan agama kita akan merasa aman dalam hidup ini dan karena memiliki rasa aman, kita akan merasakan ketetapan hati dalam menghadapi sesuatu. Dengan memiliki suatu agama, orang merasa memiliki suatu pegangan iman tertentu yang menambatkan ia pada suatu tempat berpegang yang kokoh. Tempat itu tiada lain dari pada Tuhan itu sendiri. Yang menjadi sumber semua ketenteraman dan semangat hidup ini mengalir. KepadaNya lah kita memasrahkan diri, karena tiada tempat lain dari padanya tempat kita kembali.

Selanjutnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari budayanya sendiri, dalam arti manusia itu harus berperan dalam suatu proses kebudayaan. Kebudayaan tidak lain daripada hasil proses tindakan atau perlakuan akibat hubungan manusia dengan manusia dan alam lingkungannya sehingga dapat beradaptasi secara seimbang dan serasi. Pada suatu sisi, kebudayaan itu tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan dan kemampuan berpikir untuk terciptanya kreasi termasuk kemampuan kerja dan mengolah kemampuan untuk mengembangkan dan beradaptasi dengan budaya lain.

Menurut para ahli Antropologi, suatu kebudayaan sedikit-dikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu: pertama adalah dalam wujud gagasan, pikiran, konsep dan sebagainya yang berbentuk abstrak; kedua dalam bentuk aktifitas yaitu berupa tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkrit. Dan yang ketiga, yakni dalam bentuk benda yang bisa merupakan hasil tingkah laku dan karya para pemangku kebudayaan tyang bersangkutan dan oleh para ahli disebut dengan kebudayaan fisik. Lebih jauh dilihat maka kebudayaan itu setidak-tidaknya mempunyai tujuh unsur yang universal, ketujuh unsur yang universal tersebut terdapat pada semua kebudayaan yang ada di sentra dunia ini, baik yang kecil, terisolasi dan sederhana, maupun yang besar, komplek dan maju. Ketujuh unsur yang dimaksud adalah; bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Ketujuh unsur tersebut juga terdapat pada kebudayaan Indonesia dan kebudayaan daerah yang ada.

B. Agama dan Budaya dalam Hindu
1. Agama Hindu merupakan agama yang diyakini oleh masyarakat Hindu, yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Weda merupakan kitab suci agama Hindu yang diwahyukan melalui pendengaran rohani para Maha Rsi. Oleh karena itu Weda juga disebut dengan kitab suci SRUTI. Umat Hindu yakin dan percaya bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena Cinta Kasih Beliau. Cinta Kasih Tuhan untuk menciptakan sekalian makhluk sering juga disebut dengan YADNYA.

Dalam kitab Yajur Weda XXIII,62 disebutkan: “Ayam yajno Bhuvanasya” yang artinya Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta. Penciptaan adalah karya spiritual dari Yang Maha Esa dan sebagai kridanya memperlihatkan kemulianNya.

Weda sebagai kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu. Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu sendiri. Weda mengalir dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab suci Weda lah mengalir nilai-nilai keyakinan itu pada kitab-kitab seperti; Smerti, Itihasa, Puruna, kitab Agama, Tantra, Darsana, dan Tattwa-tattwa yang diwarisi oleh umat Hindu sampai saat ini.

Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah itu. Weda menuntun tindakan umat manusia sejak ada dalam kandungan sampai selanjutnya. Weda tidak terbatas pada tuntunan hidup individu, masyarakat, kelompok manusia, tetapi ia menuntun seluruh hidup dan kehidupan seluruh makhluk hidup.

2. Budaya dalam Pandangan Agama Hindu
Dalam kenyataan hidup bermasyarakat maka antara adat/budaya dan agama sering kelihatan kabur dan bahkan sering tidak dimengerti dengan baik. Tidak jarang suatu adat-budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dianggap merupakan suatu kegiatan keagamaan, ataupun sebaliknya, suatu kegiatan keagamaan dianggap adalah kigiatan budaya.

Sesungguhnya antara budaya dan agama terdapat segi-segi persamaannya tetapi lebih banyak segi-segi perbedaannya. Segi persamaannya dapat dilihat dalam hal bahwa kedua norma tersebut sama-sama mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat agar tercipta suasana ketentraman dan kedamaian. Tetapi disamping adanya segi persamaan, terdapat juga segi-segi perbedaan. Segi perbedaan itu akan tampak jika dilihat dari segi berlakunya, dimana perwujudan adat-budaya tergantung pada tempat, waktu, serta keadaan (desa, kala, dan patra), sedangkan agama bersifat universal.

Kalau diperhatikan, maka agama dengan ajarannya itu mengatur rohani manusia agar tercapai kesempurnaan hidup. Sedangkan adat budaya lebih tampak pengaturannya dalam bentuk perbuatan lahiriah yaitu mengatur bagaiman sebaiknya manusia itu bersikap, bertindak atau bertingkah laku dalam hubungannya dengan manusia lainnya serta lingkungannya, agar tercipta suatu suasana yang rukun damai dan sejahtera.

Dalam agama Hindu, antara agama dan adat-budaya terjalin hubungan yang selaras/erat antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Karenanya tidak jarang dalam pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan setempat. Penyesuaian ini dapat dibenarkan dan dapat memperkuat budaya setempat, sehingga menjadikan kesesuaian “adat-agama” ataupun’budaya-agama’, artinya penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan budaya setempat.
Demikianlah terdapat didalam agama Hindu, perbedaan pelaksanaan agama Hindu pada suatu daerah tertentu terlihat berbeda dengan daerah yang lainnya. Perbedaan itu bukanlah berarti agamanya yang berbeda. Agama Hindu di India adalah sama dengan agama Hindu yang ada di Indonesia, namun kuliynya yang akan tampak berbeda.
Sedangkan budaya agama adalah suatu penghayatan terhadap keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk kegiatan budaya. Sejak munculnya agama Hindu, usaha memvisualisasikan ajaran agama Hindu kepada umat manusia telah berlangsung dengan baik. Para rohaniawan Hindu, para pandita, orang-orang suci mengapresiasikan ajaran yang terdapat dalam kitab suci Weda kedalam berbagai bentuk simbol budaya. Usaha ini telah terlaksana dari zaman ke zaman. Ajaran yang sangat luhur ini diwujudkan dan disesuaikan dengan desa, kala, dan patra pada waktu itu.
Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud budaya agama itu dari zaman ke zaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang konsisten. Artinya, prinsip-prinsip ajaran agama itu tidak pernah berubah yakni bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi Wasa. Kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa, menjadi sumber utama untuk tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi bentuk budaya agama. Variasi bentuk itu disesuaikan dengan kemampuan daya nalar dan daya penghayatan umat pada waktu itu. Budaya agama yang dilahirkan dapat muncul seperti “upacara agama”.
Upacara agama pada hakikatnya tidak semata-mata berdimensi agama saja, tetapi juga berdimensi sosial, seni budaya, ekonomi, manajemen dan yang lainnya. Melalui upacara agama, dapat dibina kerukunan antar sesama manusia, keluarga, banjar yang satu dengan banjar yang lain. Upacara agama juga melatih umat untuk bisa berorganisasi dan merupakan latihan-latihan manajemen dalam mengatur jalannya upacara. Lewat upacara agama ditumbuhkan juga pembinaan etika dan astetika. Upacara agama merupakan motivator yang sangat potensial untuk melestarikan atau menumbuhkembangkan seni budaya, baik yang sakral maupun yang profan. Bahkan upacara agama merupakan salah satu daya tarik pariwisata dan dapat menunjang kehidupan manusia. Keseluruhan budaya agama dalam bentuk upacara agama tersebut merupakan usaha manusia mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widi wasa untuk mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan yang abadi.

Seperti halnya manusia, tubuh merupakan hasil budaya agama itu sendiri, sedangkan agama Hindu merupakan jiwa atau rohnya agama tersebut. Satu contoh misalnya, budaya agama Hindu pada masyarakat Hindu di Bali dan budaya-budaya Hindu di daerah yang lainnya yang ada di Indonesia.

Kita mengetahui bahwa pada zaman dahulu dan mungkin pada saat sekarang di tanah jawa, bagaimana kitab sastra Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata telah disadur ke dalam bahasa Jawa kuno oleh para Empu atau Rsi pada masa itu. Bagaimana umumnya orang-orang Jawa banyak yang tidak tahu, bahwa kitab tersebut, sesungguhnya, adalah kitab-kitab agama Hindu, tetapi umumnya mereka mengenal bahwa, kitab tersebut atau cerita tersebut adalah cerita “pewayangan” milik orang Jawa.

Dari kitab suci Weda oleh para Rsi, Pandita atau orang-orang suci Hindu di Indonesia dengan mengambil jiwa atau idealisme yang dikandungnya kemudian dikodifikasi sehingga lahirlah kitab-kitab sastra yang pada hakikatnya adalah ajaran Hindu yang terdapat dalam kitab suci Weda.

Satu contoh tentang keyakinan akan gunung sebagai tempat suci, berstananya para Dewa dan para roh suci leluhur atau orang-orang suci. Dalam konsep keyakinan umat Hindu, terdapat keyakinan atau ajaran tentang penghormatan kepada roh suci leluhur.

Dalam kitab suci Weda Smerti (Manawadharma Sastra Bab II, 81) disebutkan:
Swadiyayanarcaret samsimnhomair dewa nya thawidhi,
Pitrcm craddhaicca nrrnan naibhutani balikarmana
Artinya:
“Hendaklah ia sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan Weda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan Sraddha, kepada manusia dengan pemberian makanan, dan kepada para Bhuta dengan upacara kurban”.

Seperti juga disebutkan dalam kitab Upanisad, maka seorang Rsi adalah seorang Acarya, yang patut dihormati seperti dewa. “Acarya Dewa Bhawa” (Tatirya Upanisad I, 11.1). Atas dasar sraddha inilah umat Hindu menghormati para Rsi, orang-orang suci, baik ketika ia masih hidup maupun setelah meninggal nanti.

Demikianlah misalnya umat Hindu di India memuja dan menghormati maha Rsi Vyasa, Agastya, Parasara, Sangkara Carya, Sri Rama Krama, Swami Wiwekananda dan lain-lain. Hal inilah yang melatar** **belakangi timbulnya pemujaan leluhur dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa terdapat pada suatu tempat suci atau pura di Indonesia.

Dalam kitab Ramayana yang umurnya mungkin lebih tua dari kelompok masyarakat Indonesia yang memiliki kepercayaan penghormatan kepada para leluhur. Pada kitab tersebut diceritakan bagaimana figur ideal orang Hindu yang taat beragama, yang ditokohkan sang Dasaratha bahwa Beliau ahli dalam weda, bhakti kepadda Tuhan dan tidak pernah lupa memuja leluhur.

Dalam kitab Rg Weda VIII.6.28 disebutkan:
“Di tempat-tempat yang tergolong hening, di gunung-gunung, pada pertemuan dua sungai, di*sanalah para Maha Rsi mendapatkan inspirasi yang jernih”.

Gunung bukanlah hasil karya manusia, namun merupakan buah karya dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tetapi gunung dipakai oleh umat Hindu sebagai arah atau kiblat penghayatan untuk mendapatkan kehidupan yang direstui Tuhan. Sesungguhnya yang dituju adalah “Amerta”. Amerta, artinya hidup yang sempurna umat Hindu yang dirasakan secara langsung. Gunung dapat memberikan kehidupan, gunung adalah waduk yang dapat menampung bermilyar-milyar kubik air hujan yang turun dari langit. Air itu lalu mengalir menciptakan sungai yang mengalirkan air sepanjang tahun untuk memberikan kehidupan kepada makhluk. Gunung dijadikan arah dan sebagai lambang singgasana Tuhan dan para roh suci leluhur.

Dalam ajatan Hindu antara budaya dan agama terdapat benang merah, yang satu sisi dapat saling mengisi satu dengan yang lainnya, budaya atau adat bukanlah musuh atau saingan yang haarus dibasmi dan dicurigai, dalam artian adat budaya yang positif dapat mendukung pelaksanaan acara agama dan ternyata prinsip Hindu yang merangkul budaya dan adat-istiadat lokal nampaknya sejalan dengan program pemerintah yang berusaha membangkitkan segala bentuk adat dan budaya daerah.

C. Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:

  • [*] Agama merupakan suatu keyakinan akan keberadaan Tuhan yang menjadikan sumber ketentraman dan semangat hidup serta kepadaNya jugalah kita akan kembali.
    [*] Agama Hindu dengan kitab suci Weda sebagai pegangan dan dasar hidup serta kehidupannya meyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Maha Suci telah menurunkan ajaran Weda melalui Para Maha Rsi, dan mengajarkannya kepada umat manusia melalui berbagai cara dan menyesuaikannya dengan tempat, waktu serta keadaan yang berlaku pada masa itu.
    [*] Dalam ajaran Hindu, agama dan budaya (adat-istiadat) yang berlaku pada suatu daerah terjalin hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sepanjang prinsip ajaran Hindu itu tidak berobah dan bertentangan, maka budaya agama yang berkembang dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran suci Weda kepada umat manusia.
    [*] Dalam pandangan Hindu, budaya daerah yang nilainya positif, yang mendukung kearah terciptanya ketentraman dan kedamaian didalam hidup akan dirangkul dan bukan dianggap sebagai suatu ancaman atau musuh yang harus dimusnahkan dan dicurigai. Dengan dimikan agama dan budaya (adat-istiadat) dapat hidup saling berdampingan, saling mengisi seperti apa yang diharapkan dan diprogramkan oleh pemerintah untuk tetap utuh dan bersatunya bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.


Daftar Pustaka:

Ayad Rohaidi, Lokal Genius, Jakarta, 1986
Bujur Sitepu, Cs, Pilar-Pilar Budaya Karo, 1996
DR. I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu, Surabaya, 2003
DR. I Made Titib, Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan
G. Pudja, SH, MA & Tjokord Rai Sudharta, MA, Manawadharma Sastra (Weda Smerti), Jakarta, 1995
G. Pudja, SH. MA, Reg Weda, Jakarta, 1985
PS. Heri Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mercia Eliade.
 
Perspektif Kerukunan Hidup Umat Beragama Menurut Hindu

Perspektif Kerukunan Hidup Umat Beragama
Menurut Hindu
Drs. I Wayan Wirta

PENDAHULUAN

Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk memungkinkan terjadinya gesekan antar umat beragama. Geseakan menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Seberapa jauh dampak yang ditimbulkan sangat tergantung pada tingkat kesadaran umat beragama.
Secara historis, kondisi kehidupan pada masa lampau telah terbina kearah terwujudnya kehidupan yang penuh toleransi, rukun dan damai antar penganut agama yang satu dengan yang lainnya.Antar Hindu dan Budha, suatu contoh kerukunan yang pernah terjadi dimasa lampau dalam bentuk sinkritisme konsep, yaitu luluhnya antara Siwa Siddhanta (dari Hindu) dan Budha Mahayana (dari agama Budha) di Jawa Timur. Penyatuan kedua konsep ini dikenal dengan nama “Siwa Budha”. Sampai saat ini masih banyak orang pada umumnya belum bisa membedakan antara hindu dan Budha, sebagai akibat pengalaman masa lampau.
Jalinan yang harmonis antara kedua konsep ini tertuang dalam cerita Bubuksah Gagangaking. Sampai pada puncaknya pada jaman Empu Tantular, dimana peleburan diantara kedua konsep itu tertuang dalam Lontar Sutasoma dengan petikan kalimat: Riweneka datu winuwus, siwa kelawan Budha. Bhineka tunggal ika tan hana Dharma mangrua. Yang artinya: konon ceritanya dikatakan antara Hindu dan Budha berbeda, namun sesungguhnya satu. Tidak ada kebenaran yang mendua.
Menyimak ilustrasi diatas, menggambarkan ada semacam sinyal adanya tali perekat 6yang menyatukan antara konsep agama masing-masing yang sesungguhnya secara theologis berbeda. Namun dalam aspek penerapannya di masyarakat bisa menyatu, duduk berdampingan satu sama lain dalam melaksanakan aktivitas tertentu, terutama dalam aktivitas sosial. Sikap positif yang perlu ditumbuhkan di kalangan umat masing-masing, untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur,sejahtera, gemah ripah lohjinawi salunglung sabayantaka, sehingga betul-betul menjadi kenyataan dalam hidup mengarah terwujudnya masyarakat yang madani.

KERUKUNAN MENURUT AJARAN HINDU

Dalam ajaran Kitab suci Veda, masalah kerukunan dijelaskan secara gamblang dalam ajaran: tattwam asi, karma phala, dan ahimsa.
Tatwam asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakekat atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yangb menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat tattwam asi ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka akan tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama.
Sebagai ilustrasi penerapan ajaran tattwam asi dicontohkan sebagai berikut: Bila kita menunjuk orang lain dengan menggunakan jari tangan, ternyata spontanitas hanya 2 (dua) jari saja menunjuk orang lain, selebihnya 3 (tiga) jari lainnya menunjuk pada diri kita sendiri. Kesimpulannya perbandingan prosentase menunjuk orang lain dan menunjuk diri sendiri (40:60 %), lebih besar prosentase yang ditujukan kepada diri sendiri. Berarti bila kita mengatakan orang lain jahat, sesungguhnya diri kita sendiri jauh lebih jahat dari orang lain yang kita tuduh berbuat kejahatan. Demikian juga sebaliknya, bila mengatakan baik kepada orang lain tentu diri kita lebih baik dari mereka. Lebih parah lagi bila menunjuk dalam keadaan kesal, dongkol, dan emosional tinggi tentu akan menunjuk orang lain dengan tangan dikepal, maka sepenuhnya (100%) jari tangan menunjuk/ mengalamatkan apa yang diucapkan itu tertuju pada diri sendiri. Pandangan ini mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama yang berlandaskan pada prinsip kebenaran ajaran tattwam asi. Oleh karena itu, tiada alasan untuk menjelek-jelekkan/ menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang lain/ agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, tanpa terkecuali.
Ajaran tattwam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain sebenarnya ia telah bertindak menyakiti/menyikasa dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan itu juga.
Tattwam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, asuh” di antara sesama hidup. “Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Jangnanlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab oprang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri” (Sarasamuscaya 317).
Karma phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi. Umat Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini. Apapun yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja akan menimbulkan dampak. “Setiap sebab akan membawa akibat. Segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan. Segala karma (perbuatan) akan mengakibatkan karma phala (hasil atau phala perbuatan). Hukum rantai sebab dan akibat perbuatan (karma) dan phala perbuatan (Karma phala) ini disebut Hukum Karma” (Panca Sradha, 2002;54). Jadi setiap akibat yang timbul tentu ada penyebabnya. Tidak mungkin ada akibat tanpa sebab. Demikian juga sebaliknya setiap perbuatan yang dilakukan sudah pasti akan menerima akibat, baik atau buruk, cepat maupun lambat mau tidak mau hasil akan selalu mengikutinya. Ini merupakan dalil yang logis, yaitu setiap sebab pasti menimbulkan akibat dan setiap akibat yang ada pasti ada penyebabnya. Antara sebab dan akibat tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, diibaratkan diri kita dengan bayangannya, bayangan akan selalu mengikuti kemanapun kita akan pergi.
Karma phala adalah merupakan sradha (keimanan) ke tiga Panca Sradha. Karma berarti perbuatan, dan phala berarti hasil/ buah. Perbuatan yang baik yang dilakukan akan mendatangkan hasil yang baik, demikian juga perbuatan yang buruk pasti akan mendatangakan hasil yang buruk pula. Batu dengan batu, atau kayu dengan kayu bila digosok-gosok menimbulkan akibat yaitu panas. Hukum ini berlakum pada semua makhluk hidup, lebih-lebih pada kehidupan manusia sebagai makhluk utama tidak perlu disangsikan lagi dampak yang akan ditimbulkannya, cuman waktu untuk menerima hasil perbuatan berbeda-beda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat, dan bahkan bisa pula diterima dalam penjelmaan berikutnya. Oleh karena itu, berlandaskan pada keyakinan tersebut, dalam memupuk kerukunan hidup beragama senantiasa berbuat baik berlandaskan dharma. Yang dipuji adalah karma. Sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah perbuatannya yang baik, dan sebaliknya yang menjadikan orang berkeadaan buruk adalah perbuatannya yang buruk. Seseorang akan menjadi baik, hanya dengan berbuat kebaikan, seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya. “Subha asubha prawrtti yaitu baik buruk atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar dari pada karma phala dharma yang juga disebut subha karma akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bathin dan karma yang jahat hina dan adharma yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala berupa penderitaan dan kesengsaraan lahir bathin” (Panca Sradha,2002:60).
Ahimsa juga merupakan landasan penerapan kerukunan hidup beragama. Ahimsa berarti tanpa kekerasan. Secara etimologi, ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya. “Ahimsa parama dharmah” adalah sebuah kalimat, sederhana namun mengandung makna mendalam. Tidak menyakiti adalah kebajikan yang utama atau dharma tertinggi. Hendaknya setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan-perusakan, karena sifat merusak, menjarah, memaksakan, mengancam, menteror, membakar dan lain sebagainya sangat bertentangan de4ngan ahimsa karma, termasuk menyakiti hati umat lain dengan niat yang tidak baik, atau dengan berkata-kata kasar, pedas dan mengumpat. Keutamaan ahimsa karena nilainya yang begitu tinggi sebagaimana yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat lainnya sebagai berikut: Ahimsaayah paro dharmah, ahimsaa laksano dharmah, ahimsaa parama tapa, ahimsaa parama satya, maksudnya: Ahimsa adalah kebajikan tertinggi, perbuatan dharma, pengendalian diri tertinggi dan kebenaran tertinggi).
Ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan, termasuk tanpa menentang hukum alam. Jika melanggar hukum alam maka akan mengundang reaksi keras. Mereka harus belajar memelihara dan melindungi lingkungan sendiri, agar tercipta kehidupan yang harmonis dan selaras dengan lingkungannya sendiri. Jadi ahimsa, mengandung pengertian tidak melakukankekerasan dalam bentuk tidak membunuh-bunuh makhluk hidup apapun, ahimsa juga dimaksudkan tidak melakukan kekerasan agar tidak menyakiti hati orang lain. Bertentangan dengan ahimsa karma, perbuatan membunuh-bunuh adalah adharma, bertentangan dengan agama. Tan sayogya prihen, tidak pantas dilakukan oleh orang yang sedang mencoba mengamalkan ajaran dharma. “Ahimsa ngaranya tan pamati-mati sarwa prani, nguniweh janma manusa….” (Ahimsa berarti tidak membunuh-bunuh makhluk hidup, terlebih lagi manusia). Sebab dengan membiasakan dirimembunuh-buhuh binatang, hati orang menjadi keras. Lama kelamaan melihat pembunuhan manusia tidak akan merupakan hal yang aneh baginya. Darmayasa, Ahimsa dharma & vegetarian, 31). Karena sudah terbiasa dengan hidup kekerasan.
Bersahabat adalah merupakan suatu kebutuhan sosiologis bagi manusia. Tidak ada manusia normal yamg tidak membutuhkan persahabatn. Ciri-ciri kemanusiaan seseorang baru akan nampak apabila dia berada di tengah-tengah manusia lainnya. Jiwa manusia membutuhkan untuk diterima minimal oleh lingkungannya terdekat. Ada semacam anjuran yang perlu mendapatkan perhatian dalam membina hubungan erat dalam pergaulan hidup. Kalau merasa diri kurang kuat, bersahabatlah dengan yang kuat, dengan demikian tidak akan ada rasa cemas. Jika ajaran brata ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, kebingungan, iri hati, dan bahkan dapat menumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, sebagai musuh di dalam diri kita yang paling sulit diatasi.

PERSPEKTIF KERUKUNAN

Bagaimana pandangan (perspektif) kerukunan menurut ajaran Hindu ? menurut ajaran Hindu, dengan konsep kerukunan berupa ajaran tattwam asi, karma phala dan ahimsa sebagaimana diuraikan di atas, akan menjadi tali perekat yang sangat kuat mengarah terbinanya kerukunan beragama di Indonesia. Kerukunan sangat mutlak diperlukan di negara Indonesia yang kondisinya sangat majemuk/pluralistis dengan beraneka ragam agama yang ada. Justru dengan dasar negara Pancasila, sila 1 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, memungkinkan kehidupan beragama menjadi seamakin tumbuh subur, dan harmonis berlandaskan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Dan secara yuridis dengan pasal 29 (ayat 1 dan 2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur keberadaan agama di Indonesia. Ayat 1, mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk beragama, minimal menganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan ayat 2, bahwa negara menjamin kebebasan untuk memilih agama sesuai hati naruni, tidak dibenarkan adanya pemaksaan terhadap orang yang sudah beragama, serta adanya kebebasan dalam menjalankan ajaran agama sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Mengingat kebenaran agama adalah suatu kebenaran mutlak (bersumber pada wahyu Tuhan), yang ajarannya sepenuhnya didasarkan atas keyakinan/kepercayaan tersendiri, yang sudah barang tentu berbeda antara keyakinan agama yang satu dengan keyakinan agama lainnya, meskipun ada unsur-unsur persamaannya. Berdasarkan logika tersebut, wajarlah adanya perbedaan-perbedaan pandangan terhadap satu kebenaran antara agama yang satu dengan yang lainnya. Kita harus menghargai perbedaan-perbedaan tersebut ( disadari secara theologis memang berbeda), namun bagaimana kita mencari unsur-unsur persamaannya dijadikan sebagai tali perekat menjalin hubungan yang harmonis antara agama yang satu dengan yang lainnya. Dalam aktivitas sosial diharapkan bisa menyatu duduk bersama di antara umat yang berbeda agama.
Dalam konsep ajaran Hindu, Rig Veda I.164.46 menjelaskan: “Ekam sat viprah bahuda vadanti”, yang artinya hanya satu Tuhan akan tetapi orang bijaksana mentebut dengan banyak nama. Hindu memandang tuhan yang satu, dapat disebutkan dengan banyak nama seperti: Agni, Yama, Matariswa dan lain-lain. Dalam kitab suci veda bahkan disebut ribuan nama tuhan (sahasra nama Brahman). Namun sesungguhnya tuhan hanya satu adanya. Tuhan yang satu itu dapat dipandang dari berbagai sudut.sehingga timbul bermacam-macam nama, sesuai sudut pandang masing-masing.
Dalam upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan) melalui jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat beragama melalui wadah FKPA yang sudah cukup gencar mengadakan dialog dan juga pertemuan/musyawarah antara umat beragama dengan pemerintah. Melalui cara-cara seperti itu diharapkan semakain sering diadakan temu muka antara tokoh-tokoh agama, berkomunikasi langsung saling mengenal satu sama lainnya, duduk berdampingan satu sama lainnya membahas masalah kerukunan. Sehingga semakin dapat menghilangkan prasangka buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama penganut umat beragama. Semua ini dapat terwujud hanya melalui terbinanya kesadaran akan hidup bersama secara berdampingan, kesadarn saling membutuhkan, saling melengkapi satu sama lainnya, niscaya kerukunan hidup beragama dapat terwujud.
Kerukunan hidup beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini terwujud, maka kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Kerukunan perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama, sehingga terwujudnya rasa persatuan dab kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan lambang negara kita “Bhineka Tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini cocok dengan kondisi negara republik Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama, kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah pemuda.
Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in diversity). Seperti halnya saebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman membuat taman menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus menyadarai kondisi yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keberhasilan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat tergalangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kita mampu mewujudkan kemerdekaan.

KESIMPULAN

  • terwujudnya kerukunan hidup beragama dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia mutlak diperlukan, karena kondisi masyarakatnya yang majemuk. Melalui wadah FKPA (Forum Komunikasi antar Pemuka Umat Agama) memungkinkan terakomodasi kepentingan semua umat beragama untuk berdialog.
  • Konsep kerukunan hidup beragama menurut Hindu mencakup: ajaran tattwam asi, karma phala dan ahimsa. Tattwam asi mengajarkan kesosialan tanpa batas, menyadari hakekat dirinya bersumber dari yang satu yaitu Sanghyang Widhi Wasa berupa atman yang menghidupkan setiap tubuh makhluk hidup. Hukum karma phala memotivasi umat agar senantiasa berbuat baik kepada orang lain/umat beragama lain. Dan ahimsa menolak berbagai bentuk kekerasan yang akan dapat merusak terwujudnya sendi-sendi kerukunan antar umat beragama.
  • Adapun upaya untuk membina kearah terwujudnya kerukunan hidup beragama dapat ditempuh dengan pendekatan secara manusiawi, melalui musyawarah, berdialog, temu muka antar pemuka agama, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran akan hidup bersama, saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

  • Darmayasa, Ahimsa dharma & Vegetarian, Paramita Surabaya, 1997
  • Kajeng, I Nyoman dkk, Sarasamuscaya, Paramita Surabaya, 1999
  • Oka Punyatmadja, I B, Drs. Panca Sradha, Yayasan Dharma Sarathi, 2002
  • Parisada hindu Dharma, Upadesa, CV. Felita Nursatama Lestari, Jakarta, 2002
  • Pudja,G,MA,SH, Bhagawadgita pancama weda, Maya sari Jakarta, 1981
  • Pudja,G,MA,SH & sadia W, BA, Rg Weda Mandala I, Cetakan I, 1978/1979
  • Sdia Wayan, Drs. Panggilan Weda, Yayasan Dharma Sarati, jakarta, 1990
  • Siwananda, Sri Swami, Intisari Ajaran Hindu, Paramita surabaya, 1993
  • Titib, I Made, Veda Sabda Suci Pedoman praktis Kehidupan, Paramita Surabaya, 1996
  • Yayasan Dharma Sarithi, Upanisad Utama, Jilid I
 
Pola Pengembangan Kerukunan Berwawasan Multikultural Dari Sudut Pandangan Agama Hindu

POLA PENGEMBANGAN KERUKUNAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL DARI SUDUT PANDANGAN AGAMA HINDU

Sahnan Ginting, S.Ag.

Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersar dengan keanekaragaman dan kemajemukan agama dan budaya yang dianut, hidup berdampingan ditengah – tengah masyarakat. Pada waktu dahulu bangsa Indonesia pernah mendapat pujian dan sanjungan dari dunia Internasional dan dijadikan model dalam hal kerukunan bagi bangsa-bangsa lain. Hal yang demikian memberikan satu penilaian bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Namun kebanggaan itu, pada akhir-akhir ini seakan sirna dengan munculnya konflik di beberapa bagian wilayah Indonesiadalam bentuk kekerasan dan kerusuhan masa yang dibarengi dengan pengrusakan terhadap rumah – rumah ibadah. Sesungguhnyanya pemicu konflik/kerusuhan tersebut bukan dikarenakan perbedaan agama semata, melainkan lebih disebabkan oleh faktor non agama seperti faktor ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya.
Kita tahun bahwa semua agama-agama yang ada mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membuat kerusuhan dan kekerasan, nilai-nilai persatuan secara universal. Demikian juga apa yang diamanatkan Undang-Undang dasar negara kita di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 199 yang antara lain disebutkan tentang kebijakan pembangunan agama meliputi antara lain ; memamntapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spritual dan etika dalam penyelenggaraan Negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beraagama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama yang baik dan benar.
Banyak tokok-tokoh agama yang menghendaki bahwa untuk mewujudkan terjalinnya kerukunan tersebut diperlukan sikap toleransi, namun bukan hanya sekedar toleransi, tetapi lebih dikembangkan lagi pada tahap apresiasi yang artinya penghargaan dan penghormatan, bahkan mungkin pengakuan terhadap kebenaran dan keselamatan juga ada pada agama yang lain
Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu keadaan yang harmonis atau interaksi harmonis di dalam individu-individu pemeluk agama, dimana tiap-tiap individu penganut agama mau hidup saling hormat menghormati, percaya mempercayai sehingga dalam hubungan interaksi terciptalah suasana yang selaras, tenteram, rukun dan damai

Dasar Dasar Kerukunan dalam ajaran Hindu
Weda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hidu maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hidu sebagai satu satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan. Diyakini sebagai kitba suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang Maha Suci. Dari kitab suci Weda, mengalirkan ajaran Weda kepada kitab-kitab Smerti (Manawadarmasastra), Itihasa, Purana, Kitab-kita Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang ada di Indonesia. Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah meninggalnya nanti. Weda menuntun hidup umat manusia, menuntut hidup manusia dalam bermasyarakat. Dalam kitab Manawadharmasastra disebut.
“Weda adalah sumber dar segala Dharma, yakni agama kemudia barulah Smerti, disamping sila (kebiasaan atau tingkahlaku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Amatusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggung jawabkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa”.
Bagaimana memupuk kerukunan hidup umat beragama menurut Hindu ? dalam konsep Hidup, ada beberapa nilai ajaran yang relevan dengan kerukunan hidup beragama yang diantaranya adalah ajaran : Tat Twan asi, Karmaphala dan Ajaran Ahimsa.
Tatawamasi adalah merupakan ajartan sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan sebaliknya kamu adalah saya dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara, anatara saya dan kamu sesungguhnya adalah bersaudara, hakekat atman yang menjadikan hidup antara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh mahluk hidup ada;ah merupakan percikan terkecil dari Tuhan, Kita sama-sama mahluk ciptaan Tuhan.
Ajaran Tattwamasi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Tattwamasi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah, asih dan asuh diantara sesama mahluk hidup.
“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap mahluk hidup lainnya, orang yang hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannnya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan mengahncurkan dirinya sendiri” (Sarasamuccaya 317)
Nilai kerukunan juga termuat dalam ajaran Tata Susila Hindu. Tata Susila merupakan ajaran pengendalian diri dalam pergaulan hidup. manusia sebagai mahluk sosial, ia tidak hidup sendian, ia selalu bersama – sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup bersama – sama dengan orang lain. Hanya dalam hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisuda yang artinya tiga prilaku manusia yang disucikan :
1. Manachika Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar
2. Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan benar
3. Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar
Jika ketiga hal diatas dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya kerukunan sesama mahluk ciptaan Tuhan itui dapat diwujudkan dalam hidup ditengah – tengah masyarakat yang majemuk.
Lebih lanjut, nilai kerukunan dapat dilihatdalam ajaran tentang karma Phala. Keyakinan tentang Karma Phala tertuang dalam Sradha yang kelima dari lima Sradha dalam ajaran hindu. Apa yang diperbuat oleh manusia akan menghasilkan akibat dari perbuatannya. Ada akibat yang baik dan ada akibat yang buruk. Akibat dari perbuatan yang baik memberikan rasa senang dan akibat yang buruk memberikan kesusahan ataupun penderitaan. Oleh karena itu ajaran hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat yang baik. Karma Phala sebagai hukum sebagai akibat dapat dijadikan suatu pedoman dalam menjalin kerukunan.
Ajaran Ahimsa merupakan salah satu bentuk penerapan nilai – nilai kerukunan antar umat beragama dari sisi pandang hindu. Ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti mahluk lain adalah kebajikan yang utama atau dharma yang paling tinggi . ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan. Jika melanggar hukum alam, maka akibatnya alam akan berbalik melanggar orang yang melangarnya. Prilaku yang bersifat pengrusakan, mengancam, membakar emosi dan semacamnya bertentangan dengan prinsip Ahimsa karma, termasuk didalamnya menyakiti hati orang lain atau atau agama orang lain yang niatnya tidak baik, maupun kata – kata yang kasar, pedas dan mengupat. Bila perbuatan ini terjadi maka terhambatlah usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama.

Pengembangan Kerukunan Yang Berwawasan Multikultural.
Weda sebagai kitab suci agama hindu diyakini bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diwahyukan melalui pendengaran suci para maba rsi pada zaman dahulu. Weda diyakini oleh umat hindu sebagai “ anadi – ananta “ yakni tidak berawal.atau tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang zaman. Agama hindu adalah agama yang mengajarkan ajaran yang universal. Ia memberikan kebebasan kepada penganut – penganutnya untyuk menghayati dan merasakan sari – sari ajarannya. Penganut hindu tidak hanya menghafalkan apa yang diajarkan kitab sucinya tetapi juga menerapkannya dalam aspek kehidupan sehari – hari. Dengan sifatnya yang universal, maka agama hindu bukanlah agama untuk satu golongan atau bangsa saja. Semua ajaran hindu bernafaskan weda., walaupun seringkali dalam bentuknya yang lain. Semangat ajaran weda meresapi seluruh ajaran hindu. Ia laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai – suangi yang panjang, sepanjang abad melalui daeraha – daerah yang sangat luas. Karena panjangnya masa, luasnya daerah yang dilalui, wajahnya dapat berubah namun intisari ajarannya selalu sama. Pesan – pesan yang disampaikan adalah kebenaran abadi yang berlaku kapanpun dan dimanapun berada.
Dalam agama hindu antara agama dan kultur ( budaya ) masyarakat terjalin suatu hubungan yang selaras dan saling mempengaruhi. Karena tidak jarang dalam dpelaksanaan agama terkait dengan pelaksanaan budaya masyarakat setempat. Apabila kita menoleh kembali pada awal masuknya hindu ke Nusantara, maka jelas bagi kita bahwa hindu membawa misi yang damai tanpa merusak budaya masyarakat yang dilaluinya, namun hindu dapat memperkaya nilai - nilai budaya setempat, sehingga ajaran hindu dengan mudah dapat diserap dan dapat berkembang serta mencapai puncak kejayaannya pada kejayaan kerajaan maja pahit di jawa timur. Tumbuh dan berkembangnya budaya suatu daerah dapat dijadikan sebagai warna tersendiri sebagai lapisan paling luar dari agama hindu, namun inti dari keyakinan hindu itu sendiri tetap sama pada setiap daerah. Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud dari budaya agama itu dari zaman ke zaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang konsisten artinya prinsip ajaran agama itu tidak berubah yaitu bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi Wasa itulah yang mengilhami tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi bentuk budaya agama. Penghayatan kepada tuhan dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai – nilai budaya. Dan salah satu pola yang dikembangkan adalah melalui budaya agama. Budaya agama dikembangkan lagi melalui pendalaman sastra – sastra yang dituli8s oleh para tokoh –tokoh agama ( Para Maha Rsi, para Rakawi, Bhagawan dll ) yang bersumber dari kitab – kitab weda. Budaya agama melahirkan upacara agama. Dengan pelakdsanaan budaya agama maka dapat dikembangkan nilai – nilai kerukunan, baik kerukunan intern umat beragama maupun kerukunan antar umat beragama.
Dalam kata sambutan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada pembukaan Pesta Kesenian Di Bali ( PKB 27 ) hari sabtu 17 juni 2005. Presiden mengingatkan para generasi muda untuk tidak merasa rendah diri dalam mewarisi dan mengembangkan nilai – nilai tradisional yang ada dimasyarakat. Lebih lanjut dikatakan “ jangan merasa rendah diri dengan warisan tradisi, meski kita tengah berhadapan dengan aneka perkembangan global belakangan ini “. Kesenian yang bersumber dari tradisi harus terus dapat diperthankan, digali dan dikembangkan ditengah – tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus melanda dunia. Namun presiden juga mengingatkan, dalam upaya mempertahankan nilai – nilai tradisional yang ada hendaknya hal itu tidak menjadi penghalang masyarakat Indonesia untuk berkembang kearah modern dan maju. Masyarakat hendaknya tetap bisa menjadi masyarakat modern dengan berpijak pada warisan tradisi yang tumbuh dan berkembang diseluruh Nusantara. Dengan cara itu kita dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia apa yang menjadikan cita – cita sebagai bangsa yang beradab yang menjunjung tinggi dan menghormati nilai – nilai taradisional sebagai warisan dari kemanusiaan sejagat.
Terakhir kami petikkan satu bait sastra hindu yang mengungkapkan bagaimana seorang pemimpin yang benar – benar menjadi suri tauladan ditengah – tengah rakyat dan bangsa. Kakawin ramayana sargah 1.3 yang artinya :
Amat budiman ( utama ) sang raja dasaratha

Memahami benar isi weda dan sangat bhakti kepada tuhan
Tak pernah lupa memuja leluhurnya.
Sangatlah mencintai ( sayang ) kepada seluruh keluarganya.
Dari petikan bait tersebut saja sudah banyak kita dapatkan nilai - nilai hidup yang bermutu tinggi dan bernilai universal. Seorang raja yang demikian sibuk dan besar tanggung jawabnya selalau meningkatkan mutu dirinya dengan mendalami kitab suci, melaksanakan sujud bhakti kepada tuhan dan para leluhur dan tidak kurang pula perhatiannya kepada pembinaan dan pendidikan kepada sekluruh keluarga dan rakyatnya. Demikian jugalah hendaknya yang harus dilakukan oleh seluruh umat manusia, sehingga kerukunan kita harapkan bukan hanya sekedar kerukunan yang semu dan hanya dimulut tetapi lebih diekspresikan didalam hidup dan kehidupan ini. Semoga dengan semakin meningkatnya kegiatan seperti yang kita laksanakan ini, kerukunan semakin dalam dan cita – cita bersama dapat diwujud nyatakan di dalam hidup ini.
 
Pola Pendidikan Multikultural dalam Keluarga Hindu

Pola Pendidikan Multikultural dalam Keluarga Hindu​
Pinandita M. Chandra Bosse​

Pendahuluan

Om Swasty astu

Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, betapa tidak negara ini dihuni oleh suku bangsa yang pluralitas dengan aneka ragaman agama/kepercayaan, suku (yang tersebar dilebihi dari 17 ribu pulau) bahasa daerah yang mencapai lebih dari 500 bahasa dan budaya. Setiap individu yang hidup dinegara ini pasti berhadapan dengan kebhinekaan, kemajemukan menyusup dan merasuk dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali dalam hal kepercayaan dan budaya.
Selama ini keaneka ragaman tersebut kurang di sahuti secara tepat dalam proses pembangunan bangsa dan tidak pula terapreasi secara proposional kedalam sistem pendidikan. Pada periode awal pemerintah orde baru, paradigma pembangunan cendrung menjustifikasi upaya untuk meleburkan budaya lokal kedalam satu budaya baru. Yang disebut budaya nasional. Akibatnya budaya penduduk mayoritas menjadi dominan dan budaya penduduk minorits harus menyesuaikan diri, Kemudian paradigma ini dikoreksi dengan munculnya semangat intercultural, dimana paradigma ini dikoreksi dengan munculnya semangat intercultural, dimana paradigma pembangunan diarahkan pada pengembangan wawasan terhadap budaya tetapi paradigma ini dirasakan pada pengembangan wawasan terhadap budaya. Tetapi paradigma ini juga tidak efektif, karena pemahaman terhadap budaya lain juga masih cendrung disalh artikan sebagai upaya untuk mengerti sifat-sifat negatif orang lain tanpa mengimbangi dengan pemahaman terhadap nilai-nilai positifnya. Akibatnya berbagai macam perasaan etnosentrisme, streotype, pelabelan negatif, dan prejudice cultural tetap menguat di tengah tengah masyarakat. Karena itu, banyak ahli yang berkesimpulan bahwa konflik sosial antar kelompok yang masih timbul di masyarakat berkaitan dengan paradigma pembangunan dan pendidikan yang dianut selama ini. Artinya, paradigma itu masih belum tepat untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Belakangan ini (terutama setelah reformasi di Indonesia) mulai menguat gagasan untuk mengadopsi multikulturalisme. Banyak ahli yang memandang faham ini sangat layak dijadikan paradigma dalam proses pembangunan di Indonesia. Paling tidak ada tiga alasan rasional yang dapat dijadikan dasar untuk menerima faham multikulturalisme sebagai paradigma Pembangunan : (1) bahwa dalam multikulturalisme, entigrits setiap budaya diakui eksistensinya dan harus terus dipertahankan dan dikembangkan untuk kemasyarakatan pemangku budaya itu sendiri, (2) bahwa dalam multikulturalisme ditanamkan suatu keyakinan bahwa di dalam budaya manapun terdapat kebaikan yang layak dicontoh, dan (3) bahwa dalam multikulturalisme tidak saja ditanamkan semangat saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain (seperti yang diharapkan dalam faham intercultural), tetapi juga ditanamkan seperti kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, saling membuka diri, dan saling menghargai persamaan dan perbedaan.
Bertolak dari semangat untuk menerapkan paradigma multikutural ke dalam sistem pembangunan, sekarang ini tampak mengedepan gagasan untuk menerapkan pola-pola pendidikan multikultural di sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Semangat ini dapat di pahami, karena melalui pendidikanlah faham dan sikap multikultural yang akan diterapkan di sekolah-sekolah tidak akan berhasil efektif bila mana pola pendidikan yang sama tidak diterapkan dalam keluarga. Sebab, keluarga adalah lembaga pendidikan yang paling depan dan penting, terutama dalam proses pembentukan pandangan hidup, sikap sosial, dan prilaku anggota keluarga.
Sejauh ini, cukup di sadari bahwa pengetahuan kita tentang pola-pola internalisasi nilai-nilai multikultural yang terjadi di dalam keluarga masih terbatas. Sebaliknya juga kita cukup menyadari. Bahwa setiap komunitas etnis, sesuai dengan budaya dan agama yang diwarisinya, sudah memiliki pola-pola pendidikan dalam keluarga yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pembentukan pandangan, sikap dan prilaku terhadap “orang lain”. Bagaimana Komunitas Etnis Karo, Batak Toba, Simalungun, Mandailing, Melayu dan sebagainya, melakukan pendidikan tentang hubungan antar budaya dalam keluarga belum banyak terungkap kepermukaan. Karena itu, menjadi amt layak bila semakin kentara keingin tahuan kita untuk mengetahui bagaimana keluarga melakukan proses internalisasi nilai-nilai kesadaran tentang pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agam-agama dan budaya (how to live dan work together with other). Informasi dan pemikiran bagaimana keluarga mewariskan pandangan , Sikap dan prilaku dalam berinteraksi atar budaya.

Peranan dalam Keluarga
Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut, bila tidak disadari jangan-jangan dunia pendiikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial, oleh karena itu harus menyelinap dalam rasionalis kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan ilmu semata tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban dengan demikian tidak saatnya lagi lembaga pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut. Lembaga pendidikan perlu menyelenggarakan program pendidikan multikultural agar generasi muda Indonesia memiliki identitas nasional, nilai pendidikan multikultural seperti sikap toleransi menghargai perbedaan pendapat dan budaya orang lain menghormati hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi perlu dipraktekkan dalam hubungan didunia sekolah dan masyarakat umumnya dengan demikian bila generasi titik tolak strategis untuk menemukan toleransi pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat umum.
Keluarga justru menjadi tempat pertama bagi anak-anak menerima pendidikan sebelumnya ia menerima pendidikan dari sekolah dan masyarakat umum kesadaran, pendidikan keluarga merupakan media strategis untuk menumbuhkan kesadaran multikultural, orang tua harus mampu menanamkan pemahaman yang memiminimalkan prasangka yang disebabkan oleh pandangan antar kelompok, orang tua harus mampu menamakan sikap terbuka karena kontak antar manusia yang di sadari toleransi, saling menghargai dan menghormati, serta kebersamaan yang tulus adalah sangat penting.
Didalam keluarga orang tua adalah guru yang akan memberi materi pendidikan multikultural ini, oleh karena itu peran orang tua dalam pendidikan multikultural ini tidak bisa diabaikan begitu saja, tetap harus mendapat perhatian serius dan segera dapat di optimalkan. Menurut ajaran Hindu yang di uraikan dalam kitab suci Veda membangun kehidupan dalam keluarga umat beragama dapat di jelaskan secara gamblang dengan melaksanakan ajaran asi, Karma Phala dan Ahimsa.
Tattwam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti juga menyakiti diri sendiri (upadesa 2002:42) antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara, hakikat atman yang menjadikn hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu umber yaitu Tuhan, Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Dalam Upanisad dikatakan ‘Brahman atma aikhyam “ yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman adalah sama / tunggal sesungguhnya filsafat tatwam asi ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senntiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lain bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain , maka dari itu janganlah sekali kali menyakiti hati orang lain, bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan hidup (kerukunan hidup).
Karma Phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi Umat Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini, apapun yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja akan menimbulkan dampak / akibat yang harus dipertanggung jawabkan, setiap sebab akan membawa akibat, segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan, oleh karena itu berlandaskan pada keyakinan tersebut , dalam memupuk kerukunan hidup beragama senantiasa berbuat baik berlandaskan dharma yang dipuji adalah karma sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah perbuatan yang baik dan sebaliknya yang menjadikan orang berkeadaan buruk adalah perbuatan yang buruk seseorang akan menjadi baik hanya dengan berbuat kebaikan , seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya, subha asubha prawirtii yaitu baik buruknya ataupun amal dosa dari suatu perbuatan dari pada karma phala , dharma …..subha karma akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bhatin dan karma yang jahat hina dan adharma kesengsaraan lahir bathin.
Ahimsa juga merupakan landasan penerapan keharmonisan kehidupan beragama, ahimsa berarti tanpa kekerasan, secara etimologis ahimsa berarti tidak membunuh tidak menyakiti hati makluk hidup lainnya, hendaknya setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan perusakan karena sifat merusak menjarah memaksakan mengancam menteror membakar dan lain sebagainya sangat bertentangan dengan ajaran ahimsa: Ahimsyah Paramo dharma ; yang artinya ahimsa adalah kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma) tertinggi dan pengendalian diri ahimsa adalah kebajikan tertinggi kebenaran (dharma) tertinggi.
    • Visi dan Misi Pendidikan Multikultural Menurut ajaran Hindu
Visi adalah apa ingin kita capai, misi adalah apa yang harus kita lakukan untuk merealisasikan untuk mewujud-nyatakan visi tersebut, untuk mengantisipasikan perkembangan dunia yang serba cepat terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi dan informasi menyeluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, maka peningkatan kualitas mutu sumber daya manusia harus merupakan perencanaan strategis ini adalah mampu melaksanakan pendidikan multicultural yang mengantarkan anak menuju kedewasaan yang sejati.
Untuk menyamakan visi kita tentang pendidikan multicultural sebagai ekspresi pengalaman tata susila Hindu adalah untuk mendidik manusia menjadi bijaksana, berakhlak mulia cerdas dan berbudi luhur , visi atau tujuan pendidikan multicultural menurut ajaran hindu sebenarnya tidak jauh dengan tujuan pendidikan budi pekerti yakni mengantarkan seorang anak menuju kedewasaan , kata dewasa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya memiliki cahaya (devasya), seseorang yang sudah dewasa adalah orang yang telah membedakan yang baik dan buruk dan senantiasa mengikuti jalan yang baik dan benar untuk menuju kebenaran yang sejati (realitas mutlak).
Visi tersebut diatas dapat lebih diformulasikan sebagai berikut :
    • Menjadikan anak senantiasa mengembangkan Uradha dan bakti (beriman dan bertaqwa) kepada sang Hyang Widhi Wasa, para dewata dan leluhur.
      Berkepribadian mulia.
      Berwawasan budaya dan berkemampuan Iptek
      Berdisiplin tinggi dan penuh tanggung jawab
Berdasarkan uraian tersebut misi pendidikan multicultural pendidikan multicultural menurut ajaran Hindu dapat dirumuskan sebagai berikut :
    • Menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan visi pendidikan multikultural yakni mewujudkan pendidikan yang mampu mengubah sikap dan perilaku anak didik menjadi manusia yang cerdas dan berbudi pekerti yang luhur.
      Menanamkan disiplin yang tinggi, jujur dan penuh dengan tanggung jawab.
      Menumbuh kembangkan Uraddha dan sikap bakti kepada Sang Hyang widhi Wasa , para dewata dan leluhur para guru, orang tua dan masyarakat.
      Menumbuh kembangkan minat dan bakat untuk tekun belajar dan senantiasa suka bekerja keras, ihklas, dan siap sedia menghadapi berbagai tantangan.
      Penutup
Pelaksanaan pendidikan secara tradisional menurut konsep hindu dilaksanakan pada catur Asrama atau yang di sebut dengan empat jenjang (masa) kehidupan dalam masyarakat hindu berdasarkan petunjuk kerohanian yang tetrdiri dari :
      • 1. Brahmacari adalah masa belajar / menuntut ilmu pengetahuan di mulai dari usia sekolah yaitu mulai SD sampai dengan tamat pergruan tinggi.
        2. Grihastha adalah masa membentuk keluarga melalui perkawinan grihastha dilaksanakan setelah tamat sekolah pada usianya yang cukup dewasa , baik dewasa secara jasmani maupun rohani.
        3. Wanaprastha adalah masa hidup berada di dalam hutan dengan membuat pertapaan / pasraman , pada masa ini ia berperan sebgai guru spritual / penasehat .
        4. Bhiksuka adalah masa hidup membebaskan diri dari ikatan keduniawian pergi mengembara mengajarkan dharma sisa hidupnya sepenuhnya, diabadikan kepada Tuhan (sang Hyang Widhi Wasa).
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat kami sampaikan berkenaan dengan pendidikan multicultural sebagai ekspresi dari tata susila agama hindu yang tidak hanya merupakan tanggung jawab orang tua melainkan guru, tetapi semua komponen pendidikan lainnya yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan budi pekerti.
Medan, 2 Juli 2005
 
Empat Jalan Menuju Tuhan
*)Oleh: KS Arsana

PENDAHULUAN


Pertama penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pembaca tulisan ini atas waktu yang Anda luangkan untuk kita sama-sama belajar tentang ajaran-ajaran Hindu Dharma. Dengan segala kerendahan hati penulis perlu sampaikan bahwa tulisan kecil ini dibuat semata-mata karena keingintahuan penulis untuk mengetahui "setitik air dari dalamnya samudera pengetahuan yang terkandung dalam Weda".

Berbekalkan kekurangan dan keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis, penulis mencoba merangkum dari berbagai sumber tentang ajaran Catur Yoga. Penulis sangat yakin bahwa tulisan kecil ini masih terlalu dangkal untuk dijadikan bahan pengetahuan. Untuk itu, demi penyempurnaannya sebagai sebuah pengetahuan, mohon diuji dan ditelusuri kebenarannya pada pustaka-pustaka yang lebih representatif.

PENGERTIAN

Catur Yoga berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu: Catur yang berarti Empat, dan Yoga yang berarti Hubungan (yoga berasal dari akar kata yuj). Dengan demikian Catur Yoga secara sederhana dapat diartikan sebagai empat jalan untuk mengadakan hubungan atau menuju Tuhan (Hyang Widhi, Paramatma, God, Allah).

Ke empat jalan tersebut adalah:

Jnana Yoga

Bhakti Yoga

Karma Yoga

Raja Yoga

Agama Hindu memberi kebebasan kepada para penganutnya untuk memilih jalan manapun dari ke empat jalan utama yang ada untuk menuju Tuhan. Keempat jalan ini memiliki sifat dan kekhasan tersendiri, yang dapat dijalankan oleh setiap orang sesuai bakat dan kemampuan (swadharma) masing-masing. Ibarat naik untuk mencapai puncak sebuah gunung, kita dapat mendakinya dari sisi manapun. Sisi Utara, sisi Timur, sisi Selatan, dan sisi Barat dapat kita daki, hanya masing-masing sisi memiliki medan yang berbeda-beda. Kemampuan dan keterampilan masing-masing orang dalam mendaki juga berbeda-beda.
Ke empat jalan tersebut sama baiknya, asalkan diikuti dengan ketetapan dan keteguhan hati. Hal ini seperti digemakan dalam pustaka suci Bhagavad-Gita:


Bagaimanapun jalan manusia mendekati-Ku Aku terima sama, O Arjuna Manusia menuju-Ku dalam segala jalan.
(Bhagavad-Gita IV: 11)
Menurut analisis Hindu pada umumnya ada empat macam pribadi manusia. Beberapa orang pada dasarnya suka merenung. Yang lainnya amat emosional. Yang lainnya lagi adalah tipe orang aktif. Dan akhirnya, ada beberapa orang yang paling tepat dikategorikan sebagai orang yang lebih suka akan pengalaman atau percobaan. Masing-masing jenis kepribadian ini diberi jenis yoga (jalan) sendiri-sendiri. Tiap yoga itu dimaksudkan untuk memanfaatkan bakat yang dimiliki orang yang bersangkutan (Smith, 1985, p. 41).


DARI ILMU PENGETAHUAN SAMPAI LATIHAN PSIKOLOGIS

Berikut ini disajikan secara ringkas masing-masing yoga tersebut satu-persatu.

Jnana Yoga
Jalan Menuju Tuhan Melalui Ilmu Pengetahuan
Jalan ini dimaksudkan untuk para pencari kehidupan rohani yang mempunyai kecenderungan intelektual dan kemampuan spiritual cukup kuat. Bagi orang-orang yang mempunyai bakat, kemampuan, dan watak seperti ini, dengan mempelajari dan mendalami ajaran kerohanian ia akan mampu mencapai kesadaran ilahi yang religius (kesadaran atman).

Tujuan dari yoga ini adalah untuk "membelah bidang yang tak diketahui dengan pedang pembedaan". Bidang yang tak diketahui adalah bidang transendental, yang umumnya memang kurang diketahui oleh kebanyakan orang pada masa sekarang ini. Kemampuan untuk membedakan ini dapat diperoleh melalui tiga langkah, yaitu:

Mendengar Mendengarkan ucapan orang-orang bijaksana tentang Tuhan (srawanam) ataupun usaha mencari dan mendekati-NYA melalui pustaka-pustaka suci.
Berpikir Melakukan refleksi pikiran secara mendalam untuk mengerti adanya hakikat-hidup (atman). Di balik segala lapisan yang kita bangun untuk membentengi diri kita sendiri, martabat kita, gelar kita, status kita, dan kebutuhan kita untuk dipandang dalam cara-cara tertentu – di balik semua itu, tetap terdapat jati diri yang sejati, jati diri hakiki, sang jiwa (atman). Hal ini dapat dilakukan dengan menelaah bahasa yang sehari-hari kita gunakan dan merenungkan maknanya. Misalnya: "Ini bajuku". Di sini antara "baju" dengan "ku" adalah dua hal yang berbeda. Begitu juga bila kita telusuri perkataan "Ini tubuhku".
Samadhi
Melakukan perenungan untuk menyadari dan menghayati adanya atman sebagai pribadi-sejati. Yoga pengetahuan dianggap merupakan jalan tersingkat menuju kesadaran atman, namun jalan tersebut juga yang paling terjal. Maharsi, Rsi, filsuf dan sufiolog adalah para pengikut jalan ini.

Bhakti Yoga

Jalan Menuju Tuhan Melalui Cinta-Kasih
Bhakti Yoga adalah jalan untuk menuju Tuhan (mencapai kesempurnaan, moksa) dengan melaksanakan bhakti, cinta-kasih, dan penyerahan diri secara total kepada Tuhan.

Bhakti Yoga mempunyai pengikut yang sangat banyak, karena merupakan yoga yang paling populer di antara ke empat jenis yoga. Hal ini disebabkan umumnya hidup ini lebih banyak digerakkan oleh perasaan daripada akal; dan di antara demikian banyak perasaan yang menghimpit manusia, yang terkuat serta paling luas cakupannya adalah perasaan cinta.
Semua prinsip dasar bhakti yoga amat banyak contohnya dalam agama Kristen. Bahkan dari sudut pandangan agama Hindu, agama Kristen adalah suatu jalan raya bhakti menuju Tuhan, yang disinari oleh lampu-lampu cemerlang. Jalan-jalan lain bukannya diabaikan, akan tetapi tidak demikian menonjol (Smith, 1985, p. 46).
Seorang bhakta (orang yang menjalankan bakti, devotee) dengan sujud dan cinta menyembah dan berdoa, serta dengan penyerahan diri secara total mempersembahkan jiwa-raganya kepada Tuhan, dan memperbesar cinta-kasihnya menjadi cinta-kasih yang universal kepada semua mahluk. Dengan cara mencintai Tuhan seperti ini seorang bhakta akan mencapai kesempurnaan. Hal ini seperti dinadakan dalam Bhagavad-Gita:


Mereka yang memusatkan pikirannya kepada-Ku, menyembah Aku dengan rasa cinta yang teguh dan dengan kepercayaan tinggi, mereka Aku nilai sebagai yang tersempurna dalam yoga.
(Bhagavad-Gita XII: 2)
Ada tiga ciri pendekatan bhakta dalam menjalankan baktinya yang perlu disebutkan, yaitu:
Japam
Mengulang-ulang salah satu nama Tuhan dalam setiap aktivitas. Pendekatan diri dan pemujaan kepada Tuhan dengan cara mengulang-ulang nama Tuhan disebut juga smaranam. Sebagai bandingan, dalam terminologi agama Islam ada dikenal istilah dzikir, yaitu mengulang-ulang asma Allah. Japam juga sangat mirip dengan apa yang terdapat dalam aliran agama Kristen Klasik yang mengajarkan: "menyerukan Nama Yesus secara terus-menerus tiada henti-hentinya, dengan lidah, dalam roh dalam hati ..... selama kerja apapun, sepanjang waktu di segala tempat, bahkan di saat sedang tidur" (Smith, 1985, p. 49).
Mendengungkan Pergantian Cinta
Kemampuan manusia sepenuhnya untuk mencintai menunjukkan bahwa setiap model cinta perlu direalisasikan (misalnya, kepada anak, orangtua, teman, kekasih, dan sebagainya) dan agama Hindu mendorong para bhakta agar mengalihkan setiap kemampuan cinta ini kepada Tuhan.
Pemujaan Tuhan dalam Bentuk Ideal yang Dipilih Seseorang
Bentuk yang paling ideal bagi kebanyakan orang adalah penjelmaan Tuhan menjadi manusia. Tuhan lebih mudah dicintai di saat Ia menjelma menjadi manusia, karena kita sudah terbiasa untuk mencintai manusia. (Penjelmaan Tuhan ke dunia dalam terminologi Hindu dikenal dengan Avatara, misalnya Matsya Avatara, Rama Avatara, Khrisna Avatara, Buddha Avatara, dan sebagainya. Tentang penjelmaan Tuhan ke dunia ini baca Bhagavad-Gita IV: 7-8).

Karma Yoga
Jalan Menuju Tuhan Melalui Kerja
Karma Yoga adalah jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu menuju Tuhan, berdasarkan perbuatan baik (cuba-karma) dan tidak mengikatkan diri pada hasil kerja itu.

Kerja adalah pokok kehidupan manusia. Dorongan untuk bekerja bukanlah lagi motivasi ekonomis melainkan motivasi psikologis. Jika terpaksa menganggur, sebagian besar orang akan gelisah; dan orang cenderung kehilangan semangat bila terpaksa pensiun. Jalan menuju Tuhan melalui kerja dimaksudkan untuk orang-orang yang berwatak aktif. Jalan ini mempunyai rute-rute alternatif tergantung pendekatan kita, apakah secara filosofis atau dengan sikap cinta. Dalam rangka ke empat yoga, maka karma yoga bisa dipraktekkan dengan gaya yoga jnana (pengetahuan) atau gaya yoga bhakti (devosi).
Seorang karmin (orang yang menjalankan karma yoga) mengerjakan pekerjaannya sebagai persembahan kepada Tuhan, dan akan berusaha memberikan hasil kerja yang terbaik yang mampu ia lakukan. Dalam mengerjakan pekerjaannya, bahkan dalam setiap tindakannya sehari-hari, ia melakukannya dengan tidak mempertimbangkan untung-rugi bagi dirinya sendiri.


"Ia yang bekerja tanpa perasaan lekat pada pekerjaannya dan menyerahkannya untuk Tuhan, tidak ternoda oleh akibatnya, bagaikan daun bunga teratai tidak ternoda oleh air di sekitarnya"
Bhagavad-Gita (V: 10).
Raja Yoga
Jalan Menuju Tuhan Melalui Latihan Psikologis
Hipotesis yang mendasari ajaran Raja Yoga ini adalah ajaran agama Hindu tentang manusia. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa manusia terdiri dari empat lapisan, yaitu:

1.
Tubuh Jasmani (badan kasar atau sthula-carira).
2.
Alam pikiran dan pengalaman yang disadari (badan halus atau suksma-carira).
3.
Kawasan bawah-sadar pribadi (badan penyebab atau karana-carira).
4.
Hakikat-Hidup (roh, soul, atman/jiwatman).
Metode yang digunakan dalam raja yoga adalah sengaja melakukan mawas-diri, yaitu usaha untuk menyadari Hakikat-Hidup itu sendiri.
Untuk mencapai penghayatan Hakikat-Hidup ini ditempuh delapan langkah pengendalian dan pengembangan diri (dalam terminologi Hindu, delapan langkah ini disebut Astangga-yoga), yaitu:
• Langkah 1 dan 2 (Yama dan Niyama Brata):
Dua langkah ini berkenaan dengan pengantar moral.

• Langkah 3 (Asana):
pengaturan sikap badan agar tidak mengganggu konsentrasi (pikiran).

• Langkah 4 (Pranayama):
Pengaturan jalannya nafas, juga agar tidak menggangu konsentrasi (pikiran).

• Langkah 5 (Pratyahara):
Penarikan indria dari objek-objek duniawi agar konsentrasi pikiran tidak terganggu.

• Langkah 6 (Dharana):
Memusatkan konsentrasi pikiran hanya pada satu objek, yaitu alam pikiran itu sendiri.

• Langkah 7 dan 8 (Dhyana dan Samadhi):
Perenungan yang mendalam pada suatu objek untuk mencapai kesadaran yang tertinggi, yaitu kesadaran akan Hakikat-Hidup (kesadaran ilahi, kesadaran atman).


PENUTUP
Demikian uraian singkat tentang Catur Yoga. Semua jalan (marga) dari ke empat jalan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menuju kesempurnaan dalam arti kesatuan jiwatman dan Paramatman. Jnana Yoga diperuntukkan bagi manusia yang kuat mendalami ilmu pengetahuan, Bhakti Yoga bagi mereka yang kuat dalam cinta-kasih, Karma Yoga bagi mereka yang kuat dalam kerja, dan Raja Yoga bagi mereka yang kuat dalam latihan psikologis.
Ke empat jalan ini sama baiknya, tidak ada yang bertentangan, bahkan saling melengkapi. Ini menunjukkan bahwa Hindu memberi kebebasan dan kemerdekaan pada setiap individu untuk mendekatkan diri pada Tuhan sesuai dengan sifat bawaan dan kemampuan masing-masing, dan pada saat yang sama juga memberi penghargaan dan rukun satu sama lain sehingga harmoni dalam kehidupan sosial beragama tetap terpelihara.
Sebetulnya, masih banyak hal yang dapat diuraikan dalam kaitannya dengan Catur Yoga ini. Terlebih lagi karena ajaran Catur Yoga ini sangat menarik untuk dibahas dan didalami bila dikaitkan dengan ajaran "catur" lainnya dalam Hindu Dharma, seperti:
Catur Warna:
Brahmana, Ksatrya, Wesia, dan Sudra.

Catur Ashrama:
Brahmacari, Grahasta, Wanaphrasta, dan Bhiksukka.

Catur Yuga (Empat Jaman):
Sath-Yuga (Jaman Emas), Dwapara-Yuga (Jaman Perak), Tretya-Yuga (Jaman Perunggu), dan Kali-Yuga (Jaman Besi).

Harapan penulis, semoga rangkuman kecil ini ada gunanya untuk menambah wawasan pengetahuan kita tentang Hindu Dharma, paling tidak dapat menambah semangat kita untuk lebih tertarik dan mendalami ajaran-Nya.
Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu atas waranugraha-Nya.

Sumber Bacaan:

1. Bhagawadgita. Terjemahan G. Pudja MA, SH; 1985/1986. Jakarta: Mayasari. 2. Huston Smith, 1985. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 3. IKN Natih dan IW Winda Wirawan, 1975. Pokok-pokok Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 4. Swami Sivananda, 1991. Yoga Asanas. Diterjemahkan oleh Kwee Liong Tian. Semarang: Penerbit Mandira.

*) Penulis adalah seorang psikolog, Ketua Bidang Pengembangan Swadaya Masyarakat DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (PERADAH-INDONESIA), Indonesia Representative of ASEAN Hindu Youth Council (AHYC).
 
Hari Raya Hindu di Indonesia dan India : Sebuah perbandingan Pintas

Hari Raya Hindu di Indonesia dan India : Sebuah perbandingan Pintas

Oleh : Bpk. I Made Titib

Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi , Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani, Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan ketiga adalah hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa(Puasa) misalnya Sivaratri, Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.

Citra Purnima jatuh pada hari purnama bulan Chaitra, yakni bulan pertama dari penanggalan Saka, pemujaan ditujukan kepada dewa Yama, dewa maut dengan mempersembahkan sesajen berupa nasi berisi bumbu (sejenis “bubur pitara” di Bali) yang kemudian setelah dipersembahkan makanan atau prasadam (di Bali disebut “lungsuran”) dibagikan kepada mereka yang mengikuti upacara.

Durgapuja atau Navaratri disebut juga Dussera atau Dasahara jatuh pada tanggal 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuja atau Asuji (September-Oktober) untuk memperingati kemenangan Dharma terhadap Adharma, Upacara ini adalah untuk menghormati kemengangan Sri Rama melawan Rawana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil jaya oleh karena anugerah Dewi Durga, karena itu sebagian umat Hindu memuja -Nya pada hari ini sebagai Durgapuja. Versi lain menyebnutkan sebagai kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura, Upacara yang berlangsung 10 hari, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasani. Hari raya yang disebut juga Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.

Dipavali, artinya persembahan lampu, disebut juga Divali, jatuh dua hari sebelum Tilem ( bulam mati) kartika ( Oktober-November), beliau disambut dengan penyalaan lampu-lampu, kembang api dan mercon semalam suntuk. Pagi hingga siang hari dilakukan persembahyangan keluarga di pura-pura terdekat di samping kunjungan keluarga, suasananya seperti Ngembak Agni di Bali.

Gayatri Japa, jatuh sehari setelah purnama Sravana (Kasa) bulan Juli atau agustus, sebagai peringatan turunya mantram Gayatri yang kini populer menjadi mantra Japa yang sangat penting dan sangat dikeramatkan oleh umat Hindu.

Guru Purnima jatuh pada hari purnama Asadha (bulan Juli-Agustus), hari ini disebut juga Vyasa Jayanti, hari lahirnya maharesi Vyasa. Makna hari raya ini mirip dengan Pagerwesi. Sejak purnama ini selama 4 bulan ( Caturmasa) para Sanyasin tidak lagi mengembara (karena musim hujan), mereka tinggal di asram-asram mendiskusikan Brahmasutra dan melakukan meditasi.

Holi, hari ini jatuh pada purnama Phalguna ( Kawulu), bulan Februari-Maret, dirayakan diseluruh India sangat meriah , maknanya untuk menyambut musim panas dikaitkan dengan raksasa perampuan bernama Holika yang akhirnya mati terbakar dikalahkan oleh kenbenaran yang dimanifestasikan oleh Prahlada. Upacaranya mirp dengan mecaru di perempatan-perempatan desa di Bali dan membuat api unggun yang dinyalakan pada saat menjelang malam.

Makara Sankranti jatuh pada pertengahan januari, pada saat itu matahari mulai bergerak ke arah utara Katulistiwa, sebagian besar umat Hindu menyucikan diri di sungai Gangga atau sungai sungai suci lainya di India, pemujaan ditujukan kepada dewa Surya.

Raksabandha jatuh pada hari purnama Sravana(Kasa), Juli- Agustus hari untuk menguatkan tali kasih sayang antara suami-istri, anak orang tua, kemenakan dengan paman/bibi, murid dengan guru dan sebaliknya, mengingatkan cintanya dewi Sachi kepada Indra. Pada hari ini pagi-pagi benar umat Hindu menyucikan diri ke sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan pengikatan benang pada pergelangan tangan masing-masing, tanda memperteguh ikatan kasih sayang.

Vasanta Panchami jatuh pada hari kelima paro terang ( Suklapaksa Magha masa), yakni bulan Januari-Februari dalam menyambut musim semi (Vasanta), seperti halnya hari-hari suci lainya, pada hari ini juga umat hindu mandi suci di sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya di India, disamping melakukan meditasi atau yoga Sadhana.

Hari-hari lainya yang berkaitan dengan peringatan kelahiran tokoh seperti Ganesa Caturti jatuh pada tanggal 4 paro terang Badrapada ( Agustus - september ) memperingati kelahiran Ganesa putra Siva. Para pemuja Ganesa melakukan japa, bermeditasi mengingat nama-Nya.

Gita Jayatri adalah memperingati turunya sabda suci Bhagawandgita, jatuh pada Ekadasi Suklapaksa Margasirsa yakni hari ke sebelas paro terang bulan margasirsa (Desember-Januari), seperti dimaklumi Bhagawadgita disampaikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di padang Kurusetra, tepat terjadinya peristiwa rohani ini kini disebut Jyotisara, sekitar 3 kilometer dari tempatnya rsi Bhisma terbaring menunggu matahari bergerak keutara.

Valmiki Jayanti jatuh beberapa hari menjelang Dipavali adalah untuk memperingati tokoh hindu, penyusun Ramayana sedang Hanuman Jayanti jatuh pada purnama Chaitra ( Bulan Maret-April) bersamaan dengan hari Chaitra Purnama, untuk memuja Yama, Kresna Janasthami jatuh pada hari ke 8 paro petang bulan Bhadrapada ( Agustus-September) untuk memperingati kelahiran Sri Kresna di kota Mathura, sebuah kota suci ditepi sungai Yamuna.

Sankara Jayanti jatuh pada tanggal 5 paro terang bulan Vaisaka ( Mei-Juni) untuk menghormati tokoh spiritual India peletak dasar ajaran Advaita Vedanta. Sri Sankara dikenal sebagai gurudeva dari para Sanyasin di seluruh India.

Ramanavani Jayanti adalah peringatan hari kelaiharan Sri Rama yang jatuh pada tanggal 9 paro terang bulan Chaitra ( Maret-April) . Sri Rama lahir di kota suci Ayodya, di Uttar Pradesh, India Utara.

Hari yang berkaitan dengan Brata atau Upavasa adalah Sivaratri hari ini jatuh pada tanggal 14 paro gelap bulan Maghadan Phalguna ( yakni bulan januari dan Februari ). Umat Hindu di Indonesia melaksanakannya pada bulan Magha ( sasih Kapitu), sedang umat Hindu di India melakukan pada bulan Phalguna ( Kawulu). Hal ini mungkin disebabkan saat itu merupakan bulan mati paling gelap di India.

Satya Narayana Vrata umunya dilakukan pada hari-hari purnama seperti Kartika ( Kapat), Vaisaka ( Kadasa), Sravana(Kasa), dan Chaitra ( Kasanga) dapat juga dilakukan pada saat bulan terbit ( tanggal 1 paro terang/penanggal). Bentuknya sangat sederhana yakni berupa persembahan dana punia kepada para pandita dan pemberian / pembagian makanan kepada orang-orang miskin.

Ekadasi atau Vaikunta Ekadasi Vrata jatuh pada tanggal dab panglong dan penanggal 11 bulan Margasisra ( Desember-Januari), 2 kali sebulan berupa puasa tidak makan nasi pada hari itu. meraka yang melakukan Ekadasi Vrata terbebas dari segala dosa.

Vara Laksmi Vrata , dilakukan pada hari Jumat bulan Sravana ( kasa) bulan Juli - Agustus untuk memohon kesejahteraan lahir dan bathin. Masih banyak kita jumpai informasi tentang Brata atau Upavasa di dalam kitab-kitab Ithiasa dan Puranba yang rupanya beberapa diantaranya dipetik dan diabadikan dalam lontar lontar tentang Bratha di Bali.

Telah dijelaskan di depan bahwa hari raya keagamaan yang mirip dengan galuingan dan kuningan adalah hari Durgapuja atau Navaratri yang diakhiri dengan Vijaya Dasani dirayakan hampir diseluruh India.
menurut Svami Sivananda dalam bukunya Fasts & Festivals of India (1991) India bahwa permulaan musim panas dan permulaan musim dingin, dua hal yang sangat penting adalah pengaruh matahari dan Iklim. Pda kedua perioda ini adalah kesempatan yang baik memuja iklim. Durga ( manifestasi Tuhan Yang Maha Esa segabai seorang Ibu) yakni dilakukan bertepatan dengan Ramanavani pada bulan Chaitra ( April-Mei) dan pada Durga Navarartri atau VijayaDasami pada bulan Asuji (September - Oktober) . Sri Rama dipuja pada saat Ramanavami sedang dewi dewi Durga di puja pada Navaratri. Durgapuja ini dirayakan secara besar-besaran dengan menghias altar ( tempat pemujaan keluarga, biasanya dalam kamar suci, tidak mempunyai pemerajan seperti kita di Indonesia). Tiga hari pertama pemujaan ditujukan kepada dewi Durga, tiga hari selanjutnya kepada dewi Laksmi dan tiga hari berikutnya kepada dewi Sarasvati.

Pada Pucak perayaan, hari ke sepuluh ( Vijaya Dasami) sejak pagi hari umat telah melakukan sembahyang dirumah ditujukan kepada ketiga dewi tadi, didahului dengan pemnujaan kepada Ganesa dan diakhiri denan pemujaan kepada dewa Siva atau Istadevata lainya. Selesai pemujaan dilanjutkan denan Dhyana atai meditasi dan pembacaan kitab-kitab suci khusunnya Dewi Sukta dari Rgveda, Dewi Mahatya, Bhagavadgita, Upanisad, Brahmasutra atau kitab Ramayana. Umat pada umumnya sejak pagi sudah mengucapkan Bhajan atau kidung-kidung memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa . Berbagai jenus makanan dipersembahkan dan akhir dari persembahyangan bersama dalam keluarga atau di pura ( Mandir ) selalu dibagikan Pradasam atau lungsuran untuk dinikmati bersama. Dewasa ini resepsi perayaan Durgapuja atau Wijaya Dasami dilakukan puladi kantor-kantor pemerintah dan swasta, juga disekolah-sekolah , selesai persembahyangan pada umumnya umat melakukan Dharmasanti, yakni kunjungan kepada keluarga terdekat, para guru pandita maupun sahabat atau tetangga. Saat ini semua keluarga berkumpul, karena itu beberapa hari kota-kota besar seperti mati, karena suasananya sepi, Ketika malam tiba, mulailah dilaksanakan pembakaran patung patung rawana yang digambarkan berkepala sepuluh, juga adiknya kumbakarna dan putranya meghananda, di India Timur dan selatan dilanjutkan dengan mengarak arca atau patung Durga, seorang dewi yang amat cantik bertangan sepuluh. Pembakaran atau terbunuhnya Rawana dan pengikutnya selalu dudahului dengan drama tari Ramayana dan keesokan harinya umat datang ke sungai-sungai suci untuk mandi menyucikan diri. Demikianlah pelaksanaan Vijaya Dasami, sedang peringatan tahun Baru Saka yang kita kenal dengan hari raya Nyepi tidak dikenal/dirayakan oagi di India, walaupun pada jaman dahulu hampir seluruh India mengenal dan menggunakan tahun Saka. Kini di India hanya pemerintah yang menetapkan tahun baru Saka setiap tanggal 22 Maret bila tahun biasa dan 21 maret bila Tahun Kabisat dan masyarakat umum kurang memperhatikan hal itu. Di India selain tahun Saka, dikenal juga tahun Harsa ( Harsa Sampat), tahun Vikrama ( Vikrama Sampat) dan lain-lain. Informasi yang saya terima tahun yang lalau di Nepal umat Hindu juga merayakan tahun baru Saka bersamaan denan hari raya Nyepi kita di Indonesia. Untuk dimaklumi Nepal adalah satu-satunya kerajaan hindu di dunia yang tempatnya di pegunungan Himalaya. Arsitektur pura di Neval bentukya sama denan Meru di Bali ( Indonesia), manunjukkan hubungan yang erat pengaruh Hindu ( India) terhadap Indonesia. Rupanya karena perbedaan musim dan tidak ada raja yang menjadikan Sri Rama sebagai Istadevata maupun karena sistem kalender yang digunakan di Indonesia, kita hanya mengenal Galungan dua kali dalam setahun, seperti halnya juga Sarasvati puja.

Selanjutnya bila kita memperhatikan persembahyangan yang dilakukan sehari menjelang hari raya Holi, yakni berupa persembahan biji bijian dan bunga serta pada air pada perempatan-perampatan desa yang telah menyiapkan kayu api untuik apiu unggun mengingat kita pada upacara Catur Tawur Kasanga, sehari menjelang Nyepi, sedang pelaksanaan Sivaratri hampir sama dengan di Indonesia.
Permulaan Perayaan Galungan di Bali (Indonesia)

Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita menegok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap prasasti-prasasti jaman bali Kuna maka dapat disimpulkan baha Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali disebut Jayakusuma putra dari raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246 -1250 . Didalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek usianya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan ( yakni upacara pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan )

Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapathi, permaisuri raja Dharma udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durgamahisa sura mardini, yaitu Dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau ( kini arcanya tersimpan di pura kedarman burwan kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) disebut mencapai tingkatan Atmasiddhadevata dan hal ini dapat kita lihat dari Informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu gayatri di Pura penataran yang dalam kitab Nagarakrtagama, Pura ini disebut Hyang I Palah.

Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut galungan, melainkan disebut ” atawuri umah anucyaken pitara” yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh ( leluhur), sebagaimana bunyi prasasti Suradhipa tahun Saka 1037.

Istilah Galungan rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, disamping juga sesajen yang bernama Tahapan-stri, persembahan yang ditujukan kepada dewi Durga Sakti Siva, karena dewi Durga- lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa.. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupanya penggunaan daging babi ( yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.

Selanjnya bila kita melihat penaggalan bali, dalam hitungan hari yang disebut Astawara, maka sejak Radite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga, sedang pada hari galungan ( Buda Kliwon Dungulan) adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa ( damai) pada saat ini umat memohon anugerahnya. Hari Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek beliau sebagai Uma, Durga atau Siva Mahdeva, bagi umat Hindu di Bali adalah juga merupakan hari pemujaan kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian dari dan upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan , akhir dari rangkaian perayaan Galungan.

Berdasarkan penjelasan tadi, Galungan telah dimulai sejak jaman Bali Kuna dan hingga kini tetap dirayakan. Jelaslah bagi kita upacara Galungan memiliki kesamaan makna dengan upacara Durgapuja atau Sradha Vijaya Dasani di India. Tentang filsafat Galungan ini kiranya dapat dilihat dari keputusan Seminar Kesatuan Tafsir kiranya dapat aspek-aspek agama hindu I di Amlapura, 1975 yang telah pula ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai hari kemenangan Dharma melawan a Dharma, kebenaran melawan kejahatan.

Hal yang tergantung adalah adanya transformasi diri bahwa dengan persembahyangan yang mantap pada hari-hari besar keagamaan diharapkan kita lebbih maju dalam bidang spiritual. Transformasi yang dimaksud adalah perubahan diri dari tadinya yang masih dibelenggu oleh sifat loba atau tamak, angkuh, suka menipu orang dan perbuatan sejenisnya berubah menjadi dermawan, suka menolong hidup lainyua. Transformasi diri akan terjadi dengan sendirinya bila mampu mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Apakah artinya berbagai bentuk perayaan dan persembahyangan yang kita lakukan bila tidak terjadi perubahan diri, sipat-sifat Adharma senantiasa menguasai kita. Tentunya hal itu akan sia-sia.

Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari raya keagamaan ini dan sesuai pula dengan pengertian agama yakni mewujudkan “kerahayuan jagat”, disamping kegiatan ritual, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan kemanusiaan sangat mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya aktualisasi dan reaktualisasi agama dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Panitia-panitia perayaan yang ada pada lingkungan desa atau kantor instansi pemerintah atau swasta dapat melakukan berbagai kegitan, misalnya dengan donor darah, mengunjungi panti asuhan dan rumah jompo, memberikan pelayanan kesehatan, penghijaun dan lain-lain. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui Pesamuhan Agung 1989 yang lalu menetapkan 6 meteda pembinaan umat, yakni: Dharma Vacana (yakni kotbah/ceramah agama), Dharma Tula (diskusi/sarasehan agama), Dharma Gita (menyayikan lagu-lagukeagamaan), Dharma Santi (Silaturahmi/resepsi ), Dharma Sadhana (merealisasikan ajaran agama melalui yogasamadi ) dan Dharma atau Tirthayatra mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan kesucian diri ). Bila 6 kegiatan ini dapat dilakukan maka transformasi diri denngan sendirinya terjadi. Semogalah *

Om Dirghayur astu tat astu svaha
Om Santih Santih Santih

Sumber : P H D I
 
Makna Meru bagi Tahapan Kehidupan di Bumi

Bentuk pelinggih Meru yang ada di Bali terutama di Pura Padharman pada awalnya berbentuk candi. Seperti meru di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung di Besakih, semuanya berbentuk Candi Prasada dibuat dari batu bata. Saat Gunung Agung meletus tahun 1963, semua pelinggih Candi Prasada itu hancur. Dalam perbaikannya hanya Candi Prasada yang bertingkat sebelas kembali dibangun dalam wujud Candi Prasada. Sedangkan yang lainnya dibangun kembali dalam wujud pelinggih Meru dari yang tumpang sembilan sampai dengan yang bertumpang tiga. Apa sesungguhnya makna meru bagi umat dalam mengarungi tahapan kehidupan di bumi ini?
======================================================
DALAM Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana). Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sbb: Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''. Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan.
Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam.
Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat.
Misalnya manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya. Untuk memenuhi itu, berbagai bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat.
Jika sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi, ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumber-sumber alam yang dirusak. Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun akan seimbang, tidak saling terancam.
Meru dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bisa menimbulkan kerusakan di angkasa.
Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia.
Manusia bisa lebih emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini kita mampu tegakan Rta dan Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh tumpang meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara.

Dunia ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga. * wiana
 
Renungan

SEPI SUNYI YANG MENERANGI
[Gede Prama]

Ketika seorang guru ditanya evolusi jiwa manusia ratusan tahun terakhir, dengan diam sebentar, menatap mata lalu menjawab, "dari gelap ke gelap".
Dari ketidakpuasan satu ke ketidakpuasan lain. Dari konflik satu ke konflik lain.

Melihat kehidupan bergerak begini, sejumlah orang desa yang polos bertanya, mengapa kemajuan iptek harus seperti ini? Maafkanlah keluguan. Andaikan keluguan ini dijawab dengan data, angka, logika, mungkin sinyalemen "dari gelap ke gelap" akan tambah panjang. Angka dilawan angka. Logika mengundang serangan balik logika.

Karena demikian keadaannya, izinkan sekali-sekali bukan angka, bukan logika yang bicara, tetapi sepi sunyi. Tidak dalam posisi menyebut sepi benar, yang berbeda salah. Sekali lagi tidak. Serupa dengan mulut manusia, gigi wujudnya keras karena tugasnya memotong dan menghancurkan. Lidah bentuknya lembut karena panggilan hidupnya bukan untuk menghancurkan, tetapi merasakan.
Keduanya punya tugas lain. Dengan spirit seperti inilah, sepi sunyi dalam tulisan ini mohon izin bicara.

Sejak dulu, pencinta sepi selalu tidak banyak. 0rang yang bertapa di kesunyian selalu lebih sedikit dibanding mereka yang mencari di keramaian.
Keduanya bertumbuh. 0rang-orang keramaian menyukai bertumbuh ke luar (dengan ukuran kekaguman pujian orang), sedangkan pencinta kesunyian menyukai bertumbuh ke dalam. Kekaguman dan pujian orang dihindari karena penuh godaan ego.

Melihat bulan dengan lampu

Satu contoh yang amat menerangi di jalan sunyi adalah pertapa suci Ramana Maharshi. Sampai umur 16 tahun tidak ada tanda ia akan jadi pertapa. Begitu berkenalan dengan perjalanan ke dalam diri, tiba-tiba badannya panas. Ini membuatnya lari ke Bukit Arunachala. Lebih dari sekadar panasnya menghilang, ia menikmati kesunyian di tempat ini. Bahkan selama puluhan tahun menghabiskan hidup yang sepenuhnya diam.

Saat mengakhiri diamnya, Ramana menjawab pertanyaan orang secara mengagumkan hanya dengan segelintir kata. Dari situ didirikan ashram oleh banyak pengikutnya di sekitar tempat ia bertapa. Tiap kali ditanya siapa gurunya, ia menggeleng sambil bergumam, "The ultimate consciousness is the only teacher" (Kesadaran yang mahautama itulah gurunya).

Serupa dengan ini, di sejumlah perenungan dengan judul agama yang berbeda-beda, banyak murid diminta diam. Awalnya percakapan ke luar menghilang, diganti percakapan ke dalam. Akhirnya percakapan ke dalam pun menghilang. Dan yang tersisa hanya satu, yakni kesadaran. 0rang-orang yang sudah disinari cahaya kesadaran, akan bergumam, untuk melihat bulan tidak memerlukan lampu!

Kata-kata, logika, angka mirip lampu luar. Manusia membutuhkan saat gelap.
Namun, dalam terang cahaya kesadaran, manusia tidak memerlukan lampu luar.
Salah satu founding father kehidupan spiritual Bali (Dang Hyang Dwijendra) menulis Kakawin Dharma Sunya. Ia bertutur, jika batin yang tenang-seimbang adalah sumber keindahan. Bila sumber keindahan sudah di dalam, masihkah manusia memerlukan lampu penerang dari luar? Dalam bahasa provokatif seorang guru, "When you still have some one who can make you happy or sad, you are not a master, you are a slave!" (Jika sumber kebahagiaan/kesedihan masih dari luar, itu tandanya seseorang belum menjadi master, masih jadi budak).

Apresiasi akan sepi memang bukan monopoli Bali. Lama Surya Das (Awakening the Buddha Within) pernah menulis bahwa puncak perjalanan menemukan perkataan yang benar adalah hening. Eckhart Tolle (Stillness Speaks) juga serupa, "wisdom comes with the ability to be still. Just look and just listen... let stillness direct your words and actions" (Kearifan datang dari keheningan. Lihat dan dengar saja... biar keheningan yang menjadi pembimbing). Thomas Merton (Thoughts in Solitude) menambahkan, "My knowledge of myself in silence... opens out into the silence... of God" (Pengetahuan diri dalam keheningan membuka rangkaian keheningan yang berujung pada Tuhan).

J Krishnamurti (The Light in Oneself) menyarankan, meditation is absolute silence of the mind (meditasi adalah keadaan batin yang sepenuhnya hening).
Dainin Katagiri (Returning to Silence) menulis, Shakyamuni is some one who practice tranquil silence (Siapa saja yang mempraktikkan kesempurnaan keheningan, ia menjadi Buddha). Murid-murid Zen yang perjalanannya suka menekuni latihan silent illumination. Penyair sufi Rumi bertumbuh jauh dalam sepi. Perhatikan salah satu syairnya (The Rumi Collections): when you know your own definition, flee from it, that you may attain to the 0ne who cannot be defined (Saat Anda dipagari kata-kata, cepat-cepatlah menjauh. Ia menghalangi mencapai yang Satu yang tidak terucapkan).

Dengan cerita ini, terlihat banyak manusia yang terterangi rapi oleh sepi sunyi. Ia melewati banyak sekat tradisi. Dari Sufi, Nasrani, Buddha, sampai Hindu. Jenis manusia-manusia ini memiliki pola pertumbuhan serupa. Logika dan kata-kata ibarat kulit dan batok kelapa. Di awal manusia membutuhkan.
Namun, begitu dikupas dan dibuka, kelapa dimakan, airnya diminum, kulit dan batoknya dibuang.

Mikhail Naimy (The Book of Mirdad) lebih terang lagi. Kata, logika serupa tongkat, berguna bagi mereka yang kakinya bermasalah. Bagi jiwa yang kakinya sehat, tongkat hanya beban. Lebih-lebih jiwa yang bisa terbang, tongkat adalah beban berat.


-oOo-
 
Dharma Wacana

Dengan Nyepi Membangun Hidup Hemat

HARI
Raya Nyepi yang perayaannya dihubungkan dengan peringatan Tahun Baru Saka sesungguhnya suatu perayaan keagamaan Hindu yang cukup unik namun mengandung makna spiritual yang dalam.
-------------
Perhitungan perayaan Nyepi perhitungannya menggunakan sistem chandra premana. Sedangkan sistem Tahun Saka menggunakan sistem surya premana. Chandra premana menghitung bulan atau chandra mengelilingi Bumi setiap bulan selama 354 atau 355 hari per tahun. Sedangkan Tahun Baru Saka menggunakan perhitungan surya. Bumi mengelilingi Matahari selama 365 hari 5 jam 48 menit dan 46 detik per tahun. Setiap tahun sistem chandra premana lebih cepat sepuluh hari dari surya premana.
Agar Nyepi yang menggunakan sistem Chandra Premana ketemu dengan Tahun Baru Saka, maka setiap tiga tahun ada sasih ketiga belas yang disebut sistem nampih sasih. Sistem ini sudah banyak dibahas dalam berbagai tulisan dalam wujud buku maupun tulisan di media massa. Yang patut direnungkan makna perhitungan peredaran alam tersebut. Bulan yang sejuk dan matahari yang panas dipertemukan dalam suatu perhitungan hari baik atau dewasya dalam rangka merayaan hari raya keagamaan seperti Nyepi ini.
Mempertemukan sejuk dan panas ini sesungguhnya mengandung nilai kehidupan yang sehat lahir batin. Menurut ajaran usada, sakit itu secara umumnya disebabkan oleh panas atau dingin yang melebihi ambang batas. Karena itu obatnya secara umum disebut anget atau tis. Anget dan tis disebut juga dumelada. Kalau dalam hubungan dengan sikap hidup, mungkin sifat obat yang dumelada itu analog atau mirip dengan sikap moderat.
Sikap hidup moderat itu adalah sikap hidup yang senantiasa sesuai antara harapan hidup dan kenyataan hidup. Dalam kaitan itu, Nyepi yang dirayakan setiap tahun pada sasih kesanga dan puncak Nyepi pada penanggal apisah sasih kedasa dalam perhitungan chandra premana. Sedangkan pergantian tahun Saka selalu pada 21 Maret saat tahun biasa.

Dijadikan Dasar
Peristiwa alam itu dijadikan dasar hari baik sebagai perayaan Nyepi dengan segala rangkaiannya. Dari hal itu dapat diambil makna spiritualnya agar manusia dalam hidupnya senantiasa mengembangkan hidup yang moderat, selalu berhemat menggunakan energi dirinya maupun energi alam lingkungannya. Nyepi bukan berarti segala nafsu disepikan atau dimatikan.
Menyepikan indria berarti selalu mengukur ekspresi indria sesuai kenyataan, tak sampai memaksakan diri dengan sumber daya alam yang ada. Karena, orang yang hidup dengan memaksakan keadaan diri dan lingkungan akan merusak sendi-sendi kehidupan diri dan alam. Prof Dr Emil Salim menyatakan, terjadinya sepuluh kerusakan di muka bumi ini disebabkan oleh bergesernya orientasi kehidupan dari need ke want. Artinya, bergesernya kehidupan dari hidup "berdasarkan kebutuhan" ke "memuaskan keinginan" yang tiada batas. Gaya hidup seperti itu membuat hidup makin penuh beban memberatkan.
Alam pun akan makin terbebani karena dieksploitasi untuk memenuhi keinginan yang tidak akan pernah terpuaskan. Hidup manusia yang tidak melatih diri untuk menyepikan indrianya agar selalu sesuai dengan daya dukung diri dan daya dukung alam, akan membuat hidup glamor secara duniawi tetapi gersang secara rohani. Karena itu, perayaan Nyepi itu hendaknya dijadikan suatu momentum untuk membina sikap hidup hemat energi diri dan energi alam agar hidup ini tidak memberatkan fisik dan psikis kita.
Jangan biarkan perayaan Nyepi berlalu demikian saja setiap tahun tanpa kita maknai untuk menguatkan kualitas hidup kita ini. Seyogianya umat Hindu terutama di Bali dapat menghemat energi dirinya dan energi alam lingkungannya agar kehidupan beragama dapat lebih berdaya guna untuk meningkatkan kualitas hidup. Glamornya kehidupan duniawi tentunya sah-sah saja, sepanjang tidak menjadi beban yang menguras energi diri dan energi alam, apalagi mengecilkan artinya hidup ini. Kesibukan manusia modern yang demikian tinggi sering hanya untuk memenuhi tuntutan ambisi yang bernuansa duniawi tanpa memperhatikan nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya untuk hidup tenang seimbang dan hemat lahir batin.

Lima Kekotoran
Perayaan Nyepi yang didahului dengan melasti, nyejer dan taur, melukiskan secara ritual sakral agar pemujaan pada Tuhan itu melahirkan ketetapan hati untuk menaruh kepedulian pada nasib sesama, kelestarian alam lingkungan dengan meningkatkan kualitas diri dari kekotoran panca klesa -- lima jenis kekotoran rohani. Saat Nyepi itulah kita bangkitkan kesadaran diri lebih dalam lagi agar menyevaluasi kemampuan kita dalam membangun hidup hemat dengan mengendalikan diri agar jangan dikotori hidup kita oleh panca klesa
Panca klesa terdiri atas avidya, Asmita, Raga, Dwesa dan abhiniwesa. Avidya adalah kebodohan karena digelapkan hati oleh unsur sapta timira (tujuh kegelapan: surupa, dhana, guna, kula kulina, yowana, sura dan kasuran). Tujuh hal itulah yang menyebabkan orang mabuk karena kegelapan hatinya. Namun Nitisastra menyatakan, barang siapa yang tidak mabuk karena itu, dialah orang utama yang disebut Sang Mahardika dan sangat patut ditetapkan sebagai Sang Pinandita.
Asmita artinya mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, raga artinya pengumbaran hawa nafsu, dwesa artinya dendam dan benci sampai berniat menghancurkan orang yang dibenci, abhiniwesa artinya orang yang selalu dihantui oleh rasa takut karena kurang kepercayaan pada Tuhan.
Panca Klesa itulah yang akan mengotori hidup kita, yang seyogianya kita renungkan saat Nyepi untuk dibersihkan dari jiwa kita masing-masing. Kalau lima kotoran itu dapat dibersihkan dari jiwa kita masing-masing, maka manusia akan bisa hidup hemat energi diri sendiri dan hemat energi alam lingkungan. Hidup bersama pun akan menjadi lebih melegakan, tidak seperti sekarang serba menyesakkan karena boros energi diri sendiri dan boros lingkungan alam.
Inilah sesungguhnya cara kita memaknai Nyepi dewasa ini. Secara duniawi, saat Nyepi orang tidak boleh bermobil di Bali selama 24 jam. Hal itu memang sudah berhasil meredam emisi gas buang ke udara yang cukup berarti. Tinggal secara rohani kita bisa memaknai lebih dalam dan lebih luas lagi.

I Ketut Wiana
 
Pentingnya Manajemen Upacara

Kata ''upacara'' berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya mendekat. Itu artinya upacara yadnya pada intinya menuntun umat Hindu untuk mendekatkan diri pada alam lingkungan, pada sesama umat manusia dan pada yang tertinggi yaitu Sang Hyang Widhi Wasa. Mendekatkan diri pada tiga aspek itu berdasarkan yadnya. Ekspresi yadnya pada tiga sasaran itu dengan melakukan asih pada alam lingkungan, punia pada sesama umat manusia dan bhakti pada Hyang Widhi Wasa. Asih punia dan bhakti inilah yang disebut Tri Para Artha. Dengan mendekatkan diri berdasarkan yadnya pada alam, sesama manusia dan pada Hyang Widhi menyebabkan arti upakara banten juga ada tiga. Apakah sesungguhnya makna upacara itu? Bagaimana cara mengelola upacara?
===========================================================
BESAKIH.JPG
Menurut
Lontar Yadnya Prakerti, banten itu ada tiga maknanya yang dinyatakan sebagai berikut: Sehananing Bebanten pinaka ragan ta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuwana. Artinya, semua upakara banten sebagai lambang diri manusia, sebagai lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang alam semesta. Demikian juga setiap upacara yadnya dan juga hari raya Hindu menurut berbagai ketentuan pustaka suci Hindu dilakukan dengan dua arah yaitu ke arah ke luar diri yang disebut Prawrti Marga dan ke arah menuju dalam diri sendiri yang disebut Niwrti Marga.
Jalan Prawrti itu diwujudkan untuk mempersembahkan berbagai bentuk upacara bebantenan di berbagai tempat pemujaan. Banten penuh arti karena sebagai perwujudan nilai-nilai tatwa dan susila Hindu. Bakti dalam wujud ini disebut Arcanam dalam Pustaka Bhagawata Purana. Ada juga wujud Prawrti Marga dengan melakukan tirthayatra berdana punia, melayani sesama yang membutuhkan pelayanan seperti mereka yang miskin, bodoh, sakit, sedih dan dalam keadaan menderita lainnya.
Sementara wujud pengamalan upacara yadnya untuk melakukan pendekatan spiritual dengan jalan Niwrti Marga dilaksanakan dengan melakukan kontemplasi diri dalam wujud penguasaan diri. Dalam Lontar Sundarigama, wujud pendekatan diri dengan Prawrti Marga dengan melakukan widhi widhana. Sedangkan dalam wujud Nrwrti Marga dinyatakan dalam Lontar Sundarigama : ...sang wruh ring Tattwa Janyana wenang mangadakaken tapa, brata, yoga, semadi. Artinya, mereka yang paham akan ajaran tatwam Hindu wajib melakukan tapa, brata, yoga dan semadi.
Nampaknya saat ada upacara besar atau kecil sekalipun di Pura Besakih, dua jalan mengamalkan upacara yadnya ini diberikan tempatnya masing-masing. Umat yang sudah paham dan mendalam tentang tatta pustaka suci diberikan tempat melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi di Pura Dukuh Sakti. Hal ini dapat kita lihat dari segi tempat Pura Dukuh Sakti di tengah-tengah hutan pinus yang lebat. Letaknya amat sepi tetapi indah, sejuk amat cocok untuk melakukan kontemplasi diri.
Lingkungan alam di Pura Dukuh Sakti ini bebas dari berbagai polusi alam maupun polusi hiruk-pikuk sosial yang negatif. Dalam kondisi alam dan sosial budaya seperti itu akan mempermudah mereka yang melakukan tapa brata, yoga, semadhi mencapai tujuan menyucikan diri.
Dengan dua arah melakukan upacara yadnya itu termasuk di Pura Besakih sebagai pura yang terbesar tentunya amat dibutuhkan penyelenggaraannya dengan sistem manajemen yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Adanya Pura Catur Lawa yang menggambarkan adanya fungsi yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan yang satu yaitu tercapainya tiga rasa dekat dengan pendekatan Asih, Punia dan Bhakti sebagai perwujudan yadnya dalam melangsungkan upacara agama di Pura Besakih.
Empat Pura Catur Lawa ini sebagai nilai sakral yang dapat diimplementasikan ke dalam sistem manajemen modern agar tujuan berbagai kegiatan di Pura Besakih itu terfasilitasi dengan koordinasi yang sebaik-baiknya. Tujuan membangun sistem manajemen yang relevan dengan perkembangan zaman dalam suatu penyelenggaraan upacara yadnya agar dapat semakin terjamin terselenggaranya upacara yang Satvika Yadnya sebagaimana diisyaratkan menurut Bhagawad Gita.
Tentunya amat berbeda nuansa manajemen upacara yadnya untuk membangun nilai-nilai spiritual lewat media ritual sakral untuk menguatkan jati diri manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Ciri suatu upacara yadnya berhasil kalau upacara itu dapat membangun kecintaan dan kepedulian umat pada pelestarian alam berdasarkan hukum Rta, membangun kepedulian umat pada nasib sesama atau sosial care sesuai dengan dharma.
BESAKIH1.JPG
Semuanya
itu muncul sebagai akibat umat melakukan bakti kepada Tuhan. Meskipun, kegiatan bakti kepada Tuhan demikian semaraknya kalau keadaan alam semakin rusak. Demikian dalam masyarakat keadaannya semakin senjang. Apa itu kesenjangan ekonomi, hukum semakin tidak tegak, birokrasi semakin tidak melayani, politik semakin kehilangan prinsip untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Pendidikan tidak mengembangkan karakter mulia. Pengembangan ilmu semakin meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu menyebabkan kegiatan beragama kehilangan maknanya. Ini tentunya bukan berarti kesalahan agama sebagai sabda Tuhan. Umat penganutlah yang keliru memahami dan mengimplementasikan bentuk baktinya kepada Tuhan.
Pura Besakih adalah pura yang terbesar di Bali bahkan mungkin di Indonesia. Karena itu amat memerlukan suatu sistem manajemen yang solid. Tentunya nuansa manajemen yang diterapkan manajemen pelayanan spiritual yang mampu mengetuk hati nurani setiap orang agar di Pura Besakih benar-benar dijadikan media untuk memotivasi umat dalam menguatkan aspek spiritualnya dalam memajukan daya nalar intelektualnya untuk menjadi landasan dalam membangun kepekaan emosionalnya yang halus.
Kegiatan beragama di Pura Besakih tentunya bisa saja menjadi media untuk mendatangkan perputaran ekonomi, sepanjang dilakukan berdasarkan nilai-nilai suci agama Hindu itu sendiri. Seperti menjadi daya tarik wisata, menimbulkan lapangan kerja seperti adanya transaksi berbagai sarana keagamaan. Seperti adanya penjualan pakaian adat ke pura berbagai sarana upacara lainnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan tidak melanggar moral etika keagamaan tentunya bisa saja. Namun harus senantiasa diingat bahwa hal itu jangan sampai mengesampingkan Pura Besakih sebagai media sakral spiritual Hindu. * wiana
 
Menjalin Hubungan Kekeluargaan


Samani vah akutih
saman
hrdayani vah
Samanam
astu vo mano
yatha
va susahasati.
(Rgveda, X.191,4)


Maksudnya:
Samalah
hendaknya tujuanmu, samalah hendaknya hatimu, samalah hendaknya pikiranmu. Dengan demikian semoga semua hidup bahagia bersama-sama.
PURA tidak semata-mata sebagai media pemujaan kepada Tuhan dan Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Pura memiliki fungsi sosial untuk mempersatukan umat agar umat manusia secara bersama-sama dapat menyatukan dirinya untuk bekerja sama dalam mewujudkan tujuan hidup secara bersama-sama.


Sebelum Mpu Kuturan mendampingi raja, di Bali konon sudah ada tiga buah pura sebagai media pemujaan Tuhan. Ada Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak. Pura Penataran sebagai media memuja Tuhan untuk memohon tuntunan spiritual dalam upaya membangun persatuan untuk bekerja sama dalam menangani berbagai persoalan hidup bersama di suatu daerah. Demikianlah Pura Kedampal di Desa Pakraman Kedampal Perbekelan Datah Kecamatan Abang, Karangasem sebagai salah satu Pura Penataran untuk menyatukan umat lewat pemujaan kepada Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Ini artinya Pura Penataran lebih menekankan pada pemujaan Tuhan dalam rangka mendapatkan kekuatan spiritual untuk menajamkan kecerdasan intelektual dan kepekaan emosional untuk menangani penyelenggaraan kehidupan di Bhuwah Loka.


Sementara Pura Segara sebagai simbol agar umat manusia termotivasi untuk menangani kehidupan yang baik di Bhur Loka. Pura Puncak adalah simbol pemujaan Tuhan untuk mendapatkan kekuatan rohani untuk memohon kesucian hidup di Swah Loka. Sebagai sentralnya dalam mengupayakan kehidupan di Tri Loka ini adalah di Bhuwah Loka yaitu pada alam manusia.


Keberadaan Pura Penataran Agung Kedampal ini di samping sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati juga sebagai Pasrarman Ki Dukuh Surya yang diyakini sebagai titisan Batara Surya. Ki Dukuh Surya lahir sebagai pandita dwijati berkat panugrahan Batara di Semeru yaitu Sang Hyang Pasupati. Sang Hyang Pasupati itu adalah sebutan lain dari Batara Siwa.
Dalam mitologi Siwagama diceritakan bahwa Batara Surya menjadi murid Batara Siwa. Saat ada rapat para dewa yang dipimpin oleh Batara Siwa hadir juga dalam rapat para dewa tersebut Batara Surya. Batara Siwa menyaksikan bahwa Batara Surya adalah dewa yang paling cerdas dan bijaksana dalam menyampaikan pendapatnya. Karenanya saat itu Batara Siwa menyatakan Batara Surya sebagai muridnya.


Sejak itu Batara Surya boleh menyabutkan dirinya sebagai Batara Siwa Raditya sebagai saksi agung kehidupan di bhuwana agung ini. Karena Batara Surya diangkat sebagai murid maka sejak itu Batara Surya menyebut Batara Siwa sebagai Batara Siwa Guru. Mitologi inilah sebagai dasar mengapa setiap ada upacara yadnya umat Hindu di Bali di areal uranus atau keluwan didirikan bangunan suci yang disebut Sanggar Surya sebagai Sanggar Pesaksi lambang bahwa Tuhan menyaksikan upacara yadnya tersebut.

Nampaknya Ki Dukuh Surya ini adalah pandita dwijati sebagai Adi Guru Loka yang berasrama di Pura Penataran Agung Kedampal. Tujuan Ki Dukuh Surya ini adalah menjadi Pandita Dang Acarya yang mendidik umat agar senantiasa berkerja sama, bersatu mambangun kehidupan yang aman dan sejahtera di bumi ini. Penataran atau jagat ini adalah sentral kehidupan umat manusia yang menentukan baik buruknya kehidupan di bhur loka dan di swah loka.


Kalau salah cara kita menyelenggarakan kehidupan di bhuwah loka ini, maka keadaan di bhur loka akan rusak. Hal itu menyebabkan manusia akan hidup neraka di swah loka. Bhur loka adalah lambang dunia sarwa prani yaitu alamnya flora dan fauna.
Dalam Bhagawad Gita dinyatakan, Sarwa Bhuta Hita ratah Brahma nirwana.



Maksudnya barang siapa yang senantiasa dalam hidupnya dengan tekun melestarikan alam (bhuta hita) dia akan mencapai Brahma Nirwana yaitu alam Brahma. Untuk bisa hidup yang baik dan benar di bumi ini amat diperlukan bekerja sama di bawah tuntunan Adi Guru Loka.


Ki Dukuh Surya yang diyakini sebagai keturunan Batara Surya akan dapat memberi pencerahan hidup. Hidup yang cerah adalah hidup yang berilmu. Karena itu dalam Lontar Bhuwana Kosa dinyatakan cara penyucian diri yang paling utama adalah dengan Jnyana Sauca artinya dengan ilmu pengetahuan suci. Karena itu aspek Batara Surya yang memberikan pencerahan adalah Dewi Savitri.


Bahkan dalam Mantra Veda, Savitri Mantra ini sebagai Weda Mata atau ibunya Weda. Savitri Mantra lebih populer dengan sebutan Gayatri Mantram. Karena Savitri Mantra itu menggunakan Metrum Gayatri. Dalam pendidikan memang seorang Acarya harus memberikan ilmu dengan jujur, memberi penerangan jiwa atau pendidikan kerohanian dan memperhatikan perkembangan setiap peserta didik.


Ki Dukuh Surya sebagai seorang Dukuh adalah pandita yang Ngeloka Pala Sraya dengan berdiam diri di pasramannya. Para sisya-lah yang datang ke pasraman memohon tuntunan pada sang pandita. Karena itulah dwijati yang demikian itu disebut dukuh. Sebagai Adi Guru Loka, Pandita Dukuh senantiasa mengupayakan umat agar dapat menyatukan kehendaknya, hatinya dan pikirannya.


Dengan kebersamaan itulah mereka berusaha bersinergi untuk membangun kehidupan yang bahagia. Kehidupan yang bahagia itu adalah kehidupan sejahtra serta aman dan damai. Hal itu hanya dapat dilakukan kalau adanya keharmonisan yang dinamis dituntun oleh pandita yang berkualitas. Menyamakan kehendak, hati dan pikiran tidaklah mudah. Untuk itu dibutuhkan tuntunan dari seorang Pandita Dukuh yang berkualitas sebagai Dang Acarya.


Lebih-lebih hidup di bhuwah loka atau di Penataran Buwana ini harus dilakukan dengan jnyana sauca atau ilmu yang memberi kesucian. Ilmu itu kalau salah cara kita memahami dapat menimbulkan kegelapan hati atau timira. Namun kalau tepat cara kita memahami ilmu pengatahuan, maka hal itulah yang akan dapat memberikan kita kesucian diri.* I Ketut Gobyah
source : BaliPost
 
Berbuat Baik untuk Leluhur dan Keturunan

Dasa puuvaanparaan vamsyan
Aatmanam caikavim sakam
Braahmiputrah sukrita krnmoca
Yedenasah pitr rna
(Manawa Dharmasastra III.37).


Maksudnya:
Seorang anak yang lahir dari Brahma Vivaha, jika ia melakukan perbuatan baik akan dapat membebaskan dosa-dosa sepuluh tingkat leluhurnya dan sepuluh tingkat keturunannya dan ia sendiri yang kedua puluh satu.

SLOKA Manawa Dharmasastra ini memiliki makna yang sangat luas. Untuk menyelamatkan leluhur dan keturunan harus dimulai dari melakukan perkawinan dengan cara yang terhormat. Perkawinan Brahma Vivaha adalah jenis perkawinan yang paling terhormat. Di samping dilakukan dengan landasan cinta sama cinta yang juga sangat penting dilakukan dengan pertimbangan kerohanian yang dalam.

Kalau dari perkawinan ini melahirkan putra dan putra itu berperilaku dan berbuat baik maka perbuatan baik itu akan dapat membebaskan dosa-dosa leluhur dan keturunannya, di samping diri sang putra sendiri. Perbuatan baik yang bagaimana dapat menyelamatkan membebaskan leluhur dan keturunan tersebut. Dalam Narada Purana disebutkan nasihat Dewa Yama kepada Raja Bagirata yang ingin membebaskan dosa-dosa leluhurnya yang pernah menghina dan menyiksa Resi Kapila yang sedang bertapa.

Salah satu nasihat Dewa Yama kepada Raja Bagirata adalah dengan jalan melanjutkan cita-cita suci dari leluhur. Cita-cita suci leluhur itu tidak semata-mata melakukan meditasi atau Dewasraya. Tetapi, dengan melakukan perbuatannya nyata seperti menjaga tetap lestarinya Sarwaprani (tumbuh-tumbuhan dan hewan). Menolong mereka yang sedang susah dan menderita. Membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang memiliki keahlian dan keterampilan. Membangun pasar, tempat peristirahatan, menghormati mereka yang berjasa, dan menegakkan keadilan, serta memelihara tempat pemujaan, dst.

Dengan perbuatan baik itulah leluhur akan bebas dari dosa dan kemudian keturunan mendapatkan keselamatan. Untuk memelihara dan melestarikan tumbuh-tumbuhan dan hewan leluhur umat Hindu di zaman lampau meninggalkan warisan konsep kawasan suci. Kawasan suci itu disebut Alas Angker, Alas Rasmini atau Alas Arum. Salah satu cara melestarikan kawasan suci tersebut dengan membangun tempat pemujaan sederhana dengan areal yang tidak luas. Tempat pemujaan di hutan itu tidak perlu didatangi oleh banyak umat. Umat yang datang ke tempat pemujaan di hutan itu hanyalah orang-orang yang terpilih yang memang benar-benar bertujuan untuk melakukan pemujaan yang tulus. Bukan untuk rekreasi atau untuk mereka yang berkaul yang memohon atau melestarikan jabatan, mohon memenangkan tender proyek dan tujuan-tujuan duniawi lainnya. Karena itu, banyak leluhur kita di masa lampau meninggalkan hutan-hutan yang disebut alas angker. Di Bali banyak hutan yang distatuskan sebagai Alas Angker.

Tetapi, sekarang sudah banyak yang dirusak ditebangi pohon-pohon yang berfungsi sebagai waduk menahan air. Di Pulau Jawa pun masih banyak ada peninggalan Alas Angker seperti misalnya Alas Purwa di Jawa Timur. Alas Purwa ini juga merupakan peninggalan leluhur di masa lampau sebagai Alas Angker.

Arti hutan yang distatuskan sebagai Alas Angker oleh leluhur di masa lampau bertujuan menjaga hutan dengan menstatuskan hutan itu sebagai hutan yang keramat. Hutan yang disebut Alas Angker itu karena tempatnya dikeramatkan. Di sana tentu banyak vibrasi kesucian yang tersembunyi di balik lebatnya pepohonan di hutan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki kepekaan rohani akan sangat tertarik untuk datang ke tempat-tempat yang seperti itu. Kita tentunya sangat mengharap siapa pun boleh datang ke hutan yang angker seperti itu, cuma yang perlu dijaga adalah niat suci dan tulus ikhlas. Janganlah datang dengan tujuan untuk rekreasi duniawi atau memanjatkan permohonan yang Rajasika dan Tamasika.

Kalau Alas Angker tidak lagi memancarkan keangkerannya maka orang-orang yang berniat jahat seperti pencuri kayu hutan akan tidak merasa takut datang ke hutan yang sudah merosot keangkerannya. Di sinilah kita tidak melanjutkan konsep Alas Angker yang ditinggalkan oleh leluhur kita. Kalau ini sampai terjadi tinggal kita menunggu balasannya. Balasan itu akan menyengsarakan rakyat seperti hutan gundul, banyak pohon yang tumbang, sumber air menghilang, udara terpolusi, cuaca menjadi makin panas.

Dari alam yang rusak itu manusia tinggal memetik buah penderitaan darinya. Dengan merusak alam seperti itu, leluhur dan keturunan pun tidak akan terbebaskan dari dosa-dosanya. Kita bersyukur kepada umat di Jawa Timur yang makin sadar untuk menjaga keangkeran hutannya seperti umat Hindu di Alas Purwa. Semoga hutan-hutan berserta isinya dijaga dengan cara niskala diikuti dengan cara-cara yang sekala yaitu dengan langkah nyata melestarikan hutan tersebut.

* Ketut Gobyah

Source : Balipost
 
Mengunjungi Pura

BERSEMBAHYANG bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar, juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, terutama buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.

Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di perempatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa mengunjungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke pura tri kahyangan pada saat hari raya Galungan yang lalu? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan yang lalu? Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa, Jumat kemarin? Suasana ramai dan meriah itu akan terulang kembali pada minggu depan, Senin Kliwon di Pura Dasar Gelgel dan Sabtu Kliwon di Pura Sakenan.

Jelas ada daya tariknya kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu "tempat tinggal" Sesuhunan, Dewa, Bethara, Hyang Widhi. Mereka tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, bale gedong, atau padmasana. "Sembahyang untuk memuja Tuhan," kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Mekori, di Pura Ulun Danu Batur, semuanya memuja kepada Tuhan.

Baru-baru ini anak saya bersama teman-temannya melakukan tirtayatra ke berbagai pura, sebagai rasa syukurnya karena baru saja lulus ujian di Fakultas Teknik Universitas Udayana. Melihat pura yang dikunjungi dan alasannya, saya memastikan pemahaman dia tentang pura dan siapa yang "diam" (berstana) di sana, lebih bagus dari keponakan saya yang kelas dua SD itu. Saya kemudian menyarankan, bagaimana kalau mengunjungi pura (tirtayatra) itu dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Anak saya bertanya, apa maksudnya?

Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan "perjalanan penuh rintangan" sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur, sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat pura tri kahyangan dan "pura modern" seperti Pura Jagatnatha?

Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya "rintangan" dalam perjalanan itu. Dengan adanya "rintangan" itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. "Rintangan" itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.

***

SEKARANG "rintangan" itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia modern. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan.

Beberapa tahun lalu, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya ke luar dari kerumunan, lalu duduk di bale gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam. Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.

Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah makin sempit. Dan manusia-manusia modern sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi grasa-grusu (tergesa-gesa dengan cara sembrono).

Sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah pura itu yang bisa dijual. Pura besar di Bali termasuk Pura Ulun Danu semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan muncul generasi mula keto jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri.

* Putu Setia
source: BaliPost
 
Dharma Wacana

PEMAHAMAN AGAMA HINDHU

Oleh : Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa

Pemahaman tentang ajaran agama hindhu secara umum sangat beragam, dalam artian tidak dogmatis. Namun pada intinya ajaran agama hindhu berpegang pada ” cinta kasih ”. Sebagai umat beragama sepatutnyalah kita saling damai, tidak menyakiti, tidak merugikan, serta menghargai hak asasi orang lain. Melalui mengembangkan rasa solidaritas antar umat beragama, niscaya kedamaian akan selalu melapisi hidup umat beragama.
Menurut Ida Pedanda Sebali Tianyar, dengan memahami konsep cinta kasih antar umat beragama, hubungan koneksitas antar umat akan terbina sehingga tercipta kesetaraan, rasa saling asah, asih, asuh, yang merupakan wujud tanggung jawab dalam membangun solidaritas yang kukuh. Rasa solidaritas antar umat beragama juga merupakan kunci dalam pemahaman ajaran Hindhu. Apalagi di era global ini, banyak orang yang masih memiliki pemahaman yang terkadang jauh dari tafsir ajaran yang sesungguhnya. ” Dalam kehidupan beragama kita berasal dari ’satu’, yaitu Tuhan dan umat beragama menyebut-Nya dengan banyak nama, baik itu Allah, Yesus atau Hyang Widhi. Artinya kita sebagai umat beragama meski berbeda keyakinan, tetapi tujuan kita tetap satu yaitu Tuhan. Ia-lah yang mempersatukan kita. Meski sering terjadi perbedaan pendapat, hal itu wajar. Oleh sebab itu, marilah kita mengkoreksi diri demi tujuan yang mulia. Karena kedamaian itu tumbuh dari dalam diri kita sendiri ” ujar Ida Pedanda ketika turut berpartisipasi dalam UNCCC di Nusa Dua tempo hari.

Beliau menyatakan bahwa ajaran agama apapun tidak ada yang mutlak, karena mudah memicu tumbuhnya kekerasan, yang berbuntut pertikaian. Seyogyanya elastisitas jiwa kita lentur dan tidak kaku layaknya setangkai rotan, filosofi tersebut menunjukan bahwa bahasa agama merupakan bahasa jiwa, jiwa tersebut melekat pada tubuh manusia yang disebut dengan jiwatma. Jiwatma terdapat pada setiap makhluk yang bersumber pada satu yaitu parama atma (roh yang agung). Setiap agama pada hakekatnya mengajarkan kebajikan kepada umatnya melalui sikap saling menghargai atau toleransi antar umat beragama. Adanya ajang diskusi agama seperti dharmawacana, setidaknya dapat menuntun sekaligus memberikan penyegaran pikiran atau perasaan kepada umatnya, sehingga bisa kita rasakan bahwa kita jauh lebih mengutamakan kebersamaan, persaudaraan dan kebahagiaan bersama.

Agama Hindhu khususnya di Bali tidak mengenal adanya Catur Kasta, namun masih memberlakukan Catur Warna tentang pembagian tugas. Jadi setiap orang berhak untuk melakukan suatu pekerjaan tanpa memandang lagi apa orang tersebut tergolong Ida Bagus, Anak Agung, Gusti, atau sebagainya. Apabila ada seorang Anak Agung memiliki pekerjaan sebagai pencuri, kuli, atau pekerjaan nista sekalipun, jika orang tersebut mampu bertanggung jawab atas pilihan hidupnya atau dengan melakukan hal tersebut dapat membantu orang yang sedang kesusahan, hal itu sah-sah saja, siapapun tidak mempunyai hak untuk melarang, meskipun jika dipandang dari sudut moral hal tersebut salah. Karena semua perbuatan yang kita lakukan akan berpulang pada kita sendiri juga. Ingatlah hukum karma. Apabila berbicara mengenai derajat dalam aspek kehidupan beragama, dimanapun masih berlaku. Bagaimana seseorang dapat dikatakan kaya, apabila tidak ada orang yang miskin, begitu pula yang berlaku dalam kehidupan beragama. Seperti di India sistem pengelompokan atau kasta masih berlaku, bahkan benar-benar ekstrim. Hal itulah yang membedakan antara ajaran agama hindhu di India dengan Hindhu Bali.

Dalam kehidupan beragama hendaklah kita saling rukun, damai, tidak menyusahkan orang lain. ” Kita yang bergelut dalam bidang rohaniawan, memiliki kewajiban dan harus peka terhadap keadadilan dan kesetaraan dalam seluruh aspek kehidupan dan mencari jalan keluar terhadap suatu permasalahan. Karena kita sebagai manusia yang hidup harus berpijak atas prikemanusiaan. The best religion is humanity. Sah saja bila derajat, kaidah-kaidah norma atau apapun dikedepankan, apabila hal tersebut terdapat dalam sastra agama, tapi jika ditinjau dari segi realitas, kita juga harus berpegang pada rasa kemanusiaan, sekalipun orang yang kita bantu itu adalah seorang penjahat, pecandu narkoba, sesungguhnya orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang perlu kita rangkul dan kita bantu untuk sembuh dari penyakitnya, apa tega kita melihat orang-orang yang kelaparan dan kesusahan ?” ujar Ida Pedanda. Beliau juga menambahkan, bahwa beliau selaku mediator sekaligus selaku perangkat dalam umat beragama, memiliki tugas yang sangat berat dengan mengemban tugas untuk memberikan wejangan dan mengharapkan pengendalian diri dari umatnya. Sisi kemanusiaan dalam diri perlu kita tumbuhkan, karena hal itu merupakan tongkat penyangga dalam kehidupan beragama, tujuannya tidak lain adalah untuk mewujudkan suatu kedamaian.

source: e-banjar.com
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.