• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Buddha Dhamma yang seharusnya kita pahami...

lauzart

IndoForum Newbie A
No. Urut
14768
Sejak
27 Apr 2007
Pesan
273
Nilai reaksi
5
Poin
18
Diambil dari www.samaggi-phala.or.id
Diterjemahkan dari “HANDBOOK FOR MANKIND”
Karya
PHRA BUDDHADASA MAHATHERA

Semoga Kutipan dibawah ini bermanfaat untuk kita sbg umat Buddhis dan umat lainnya agar mengerti dgn jelas mengenai Buddha Dhamma.

Kesimpulan dan Kutipan :
Buddha-Dhamma yang sesungguhnya bukanlah buku-buku, majalah-majalah, mengulang kata-kata dari Tipitaka tanpa salah, dan bukan pula upacara-upacara dan kebaktian-kebaktian. Buddha-Dhamma yang sesungguhnya ialah pelaksanaan dengan badan, ucapan dan pikiran yang akan dapat memusnahkan sebagian atau seluruh kekotoran batin kita. Tidak usahlah kita menggantungkan diri kepada buku-buku suci dan majalah-majalah. Tidak usahlah kita menggantungkan diri kepada upacara-upacara, kebaktian-kebaktian dan lain-lain sebagainya seperti misalnya dewa-dewa dan Makhluk-Makhluk Agung.
Yang penting ialah, bahwa kita harus secara langsung memperhatikan gerak-gerik badan jasmani, ucapan-ucapan dan pikiran kita. Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin dalam diri kita untuk memungkinkan munculnya Pandangan Terang
.

Penjelasan Detail :
BUDDHA – DHAMMA DAN EKSES-EKSESNYA

Kalau kita membuka kitab yang manapun juga tentang permulaan dari agama-agama di dunia ini, maka kita akan menemukan satu hal yang sama dari para penulis tersebut. Mereka semua sependapat, bahwa agama-agama di dunia ini muncul disebabkan oleh perasaan takut. Manusia purba misalnya takut terhadap guntur dan kilat, gelap gulita dan angin ribut serta banyak lagi hal-hal lain yang mereka tidak mengerti atau yang berada di luar kemampuan mereka untuk menguasainya. Kemudian untuk menghindari malapetaka dan bahaya yang mungkin dapat menimpa diri mereka, biasanya mereka melakukan pemujaan-pemujaan, memberikan sesajian dan hal-hal lain lagi yang mereka anggap dapat dipakai untuk menghindarkan diri dari malapetaka dan bahaya tersebut.

Setelah itu, dengan meningkatnya intelek dan pengetahuan manusia, dari takut kepada kekuatan-kekuatan alam tersebut di atas berubah menjadi takut kepada sesuatu yang lebih halus, yang mereka tak dapat menerangkan dengan menggunakan rasio. Dengan berubahnya pandangan ini, sekarang manusia memandang rendah kepada agama-agama yang takut dan memuja-muja kekuatan alam, dewa-dewa dan Makhluk-Makhluk Agung yang mereka anggap sebagai tahyul dan tidak masuk akal. Selanjutnya ketakutan manusia beralih kepada sesuatu yang lebih halus lagi dan takut itu sekarang ditujukan kepada penderitaan yang tidak dapat ditanggulangi dengan hanya menggunakan materi (benda-benda). Manusia itu cemas dan takut terhadap penderitaan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan kelahiran, usia tua, sakit dan mati, kekecewaan dan putus harapan yang timbul dari keinginan yang tidak tercapai, dari marah dan kebodohan yang tidak dapat diobati dengan harta yang bagaimana besar sekalipun.

Pada lebih dari 25 abad yang lalu para cerdik-pandai dan ahli pikir yang hidup di India menganggap pemujaan-pemujaan kepada Makhluk-Makhluk Agung sebagai sesuatu yang tidak berguna lagi, dan mereka lebih menitik-beratkan untuk mengatasi kelahiran, usia tua, sakit dan mati dengan jalan menyingkirkan lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (kebodohan). Pada waktu itulah muncul di dunia ini satu agama baru yang hingga kini dikenal sebagai Buddha-Dhamma, yaitu suatu agama dengan tingkat lebih tinggi, yang menggunakan pandangan terang untuk mengatasi kelahiran, usia tua, sakit dan mati. Cara ini dapat menyingkirkan dengan sempurna kekotoran-kekotoran batin manusia. Dengan ditemukannya jalan yang praktis untuk mengatasi dukkha (penderitaan), manusia telah diberikan obat yang manjur untuk mengobati dengan sempurna rasa takut yang timbul dari kebodohan.

Buddha-Dhamma berarti Ajaran Sang Buddha, yaitu orang yang telah mencapai Kesadaran Agung. Orang yang tahu hakikat sesungguhnya dari semua benda, Orang yang tahu tentang hidup dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup sehingga dapat menghadapi benda-benda dan kejadian-kejadian dengan penuh kebijaksanaan dan pengertian. Buddha-Dhamma adalah Ajaran yang berlandaskan kecerdasan, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, logika, dan bertujuan untuk menghancurkan sebab-musabab dari dukkha (penderitaan). Sekarang kita dapat mengerti, mengapa pemujaan-pemujaan terhadap benda-benda keramat dengan melakukan upacara-upacara kebaktian, memberikan sesajian-sesajian atau mengucapkan doa-doa bukanlah Agama Buddha yang sesungguhnya. Sebab oleh Sang Buddha hal-hal yang tersebut di atas itu dianggap tidak esensial. Sang Buddha juga tidak membenarkan anggapan orang pada saat itu, bahwa semua benda diciptakan oleh Makhluk-Makhluk Agung dan bahwa tiap-tiap bintang dihuni oleh dewa-dewa. Dalam hubungan ini Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut:

“Pengertian kecakapan dan kemampuan merupakan syarat-syarat baik untuk mencapai sukses besar dan merupakan tanda-tanda baik yang tidak dapat disangkal. Ini tidak terpengaruh oleh jalannya benda-benda di langit. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari sifat-sifat tersebut dengan sempurna melampaui pekerjaan-pekerjaan dari para astroloog yang hanya sibuk melakukan perhitungan-perhitungan tentang perbintangan.” Selanjutnya: “Kalau sekiranya air dari sungai (seperti sungai Gangga) dapat dipakai untuk mencuci bersih nafsu-nafsu keinginan dan penderitaan, sudah pasti segala kura-kura, kepiting, ikan dan udang yang hidup dalam air yang dianggap suci, telah lama terbebas dari nafsu-nafsu keinginan dan penderitaan mereka. Dan kalau sekiranya benar seorang manusia dapat menyingkirkan penderitaan dengan memberikan sesajian, bersujud dan berdoa, pastilah pada saat ini tidak ada lagi manusia yang masih menderita di dunia ini. Tetapi karena terbukti bahwa manusia masih tetap dapat terkena penderitaan justru pada saat-saat sedang berlutut, bersujud dan melakukan upacara kebaktian, maka jelaslah bahwa hal-hal tersebut di atas bukanlah jalan yang baik untuk memperoleh kebebasan.”

Untuk memperoleh kebebasan, kita harus menyelidiki terlebih dulu benda-benda untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya dari benda-benda itu. Selanjutnya kita harus mengambil sikap yang sesuai dengan kenyataan itu. Inilah Ajaran Sang Buddha yang selalu harus dicamkan dalam pikiran kita.

Buddha-Dhamma tidak ada sangkut pautnya dengan berlutut dan memuja benda-benda yang seram-seram atau melakukan persembahan-persembahan air suci dan hal-hal lain lagi (termasuk juga pemujaan-pemujaan roh-roh dan Makhluk-Makhluk Agung). Sebaliknya Agama Buddha tergantung kepada pikiran sehat dan pandangan terang. Buddha-Dhamma tidak menuntut agar kita harus menerka atau mengira, tetapi menuntut agar kita harus berbuat sesuai dengan apa yang menurut pandangan kita adalah benar dan baik, dan janganlah hanya menggantungkan diri kepada ucapan-ucapan orang lain. Kalau misalnya ada orang datang memberitahukan sesuatu kepada Saudara, janganlah hendaknya ucapan-ucapannya itu dipercaya begitu saja tanpa pemeriksaan dan penyelidikan. Dalam hal ini kita harus mendengar dengan baik apa yang dikatakan, dan kemudian periksalah kata-kata itu. Kalau kita anggap apa yang dikatakan itu masuk akal, maka terimalah hal itu dengan syarat dan selanjutnya kita harus membuat penyelidikan sendiri (ehipassiko). Inilah ciri khas Buddha-Dhamma yang sangat berbeda dengan agama-agama lain di dunia ini.

Sekarang marilah kita meninjau Buddha-Dhamma dari berbagai sudut. Jelas akan terlihat, bahwa ditinjau dari sudut ini ia akan memperlihatkan corak tertentu dan ditinjau dari sudut lain ia akan memperlihatkan corak lain pula. Biasanya orang melihat agama dari sudut yang salah dan dalam hal ini Buddha-Dhamma pun tidak merupakan pengecualian. Orang-orang dengan pandangan hidup yang berbeda-beda akan mempunyai penilaian yang berbeda-beda pula terhadap Buddha-Dhamma. Secara tidak sadar kita cenderung untuk menaruh kepercayaan yang kuat terhadap penilaian kita sendiri. Menurut hemat kita sesuatu itu benar kalau dilihat dari tingkat pengertian kita sendiri dan dari pandangan berdasarkan pengalaman sendiri hal itu memang demikian adanya. Akibatnya ialah Kesunyataan tidaklah merupakan pengertian yang sama untuk orang-orang yang berbeda-beda itu. Mereka menyelami kesunyataan pada batas-batas yang tidak sama, yaitu sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengalaman masing-masing. Pada umumnya orang tidak akan menerima sebagai sesuatu yang benar, kalau menurut pendapatnya hal itu berada di luar jangkauan pikiran, pengetahuan dan pengertiannya. Mungkin saja ia seolah-olah menerima pandangan orang lain sebagai “benar”, tetapi untuk dirinya sendiri ia tahu, bahwa hal itu bukanlah merupakan sesuatu yang “benar” seperti apa yang ia lihat sendiri. Konsepsi tentang “benar” dari tiap-tiap orang dapat berubah dan berkembang hari demi hari sesuai dengan meningkatnya tingkat kecerdasan, pengetahuan dan pengertiannya, sehingga akhirnya orang akan sampai kepada Kesunyataan (Kebenaran Mutlak). Dalam hal ini kita mempunyai cara masing-masing untuk memeriksa dan menyelidiki sebelum kita sampai pada tingkat keyakinan yang kuat. Dengan demikian kalau Buddha-Dhamma diteropong dari sudut yang berbeda-beda, maka hasilnya pun pasti akan berbeda pula.

Seperti diterangkan di atas, Buddha-Dhamma adalah Ajaran yang praktis untuk membebaskan manusia dari dukkha (penderitaan) dengan jalan menyelami dan mengerti dengan seksama keadaan sesungguhnya dari benda-benda. Tetapi harus diakui pula, bahwa dalam tiap-tiap kitab agama terdapat unsur-unsur yang ditambahkan belakangan oleh orang-orang tertentu dan Tipitaka dari umat Buddha pun tidak merupakan suatu pengecualian. Orang-orang dari abad-abad setelah Sang Buddha mangkat telah menambah bagian-bagian tertentu pada Tipitaka berdasarkan kebiasaan dan kebutuhan pada saat-saat itu, sebagian dimaksud untuk memperoleh kepercayaan khalayak ramai dan sebagian lagi didorong oleh kesujudan yang berlebih-lebihan. Tetapi menyedihkan sekali, bahwa tata-cara dalam upacara-upacara kebaktian yang telah ditambahkan dan bercampuran dengan Dhamma telah diterima dan dianggap sekarang sebagai Buddha-Dhamma yang sesungguhnya. Sesajian manisan dan buah-buah di hadapan patung Sang Buddha sebagai persembahan kepada “roh” Beliau, seperti juga kita biasa mempersembahkan makanan kepada para bhikkhu sebenarnya tidak sesuai dengan Ajaran dari Sang Buddha sendiri. Namun oleh beberapa golongan hal di atas dianggap sebagai kebiasaan Agama Buddha yang benar dan mereka mengajarkan hal itu kepada umatnya, dan dengan tertib pula melaksanakannya sendiri. Tatacara seperti ini telah demikian banyaknya sehingga pada waktu sekarang ini menutupi samasekali Buddha-Dhamma yang sesungguhnya dan menyeleweng dari tujuan utamanya. Sebagai contoh lain misalnya prosedur pentahbisan seorang bhikkhu. Sekarang telah menjadi kebiasaan untuk memberikan hadiah-hadiah kepada bhikkhu yang baru ditahbiskan itu. Tamu-tamu diundang untuk membawa makanan dan untuk menyaksikan upacara pentahbisan. Sebagai hasilnya tentu saja banyak ribut-ribut dan orang mabuk-mabukan. Upacara demikian diadakan di Vihara dan di rumah calon bhikkhu. Setelah itu apa yang terjadi dengan bhikkhu yang baru ditahbiskan? Mungkin setelah beberapa hari ia akan melepaskan jubahnya dan kembali menjadi umat biasa.

Sekarang tibalah saatnya untuk membahas segi-segi dalam Buddha-Dhamma untuk menghindari penyalah-tafsiran tentang maksud yang sebenarnya.

1. Dilihat dari sudut pandangan seorang filsuf yang bermoral tinggi, Buddha-Dhamma akan dilihatnya sebagai agama yang mengajarkan tentang moralitas yang luhur. Dalam hal ini banyak sekali terdapat sutta-sutta yang membahas tentang pahala baik dan akibat buruk, baik dan jahat, kejujuran, perasaan berterima kasih, keselarasan, sifat terbuka dan terus terang, dan banyak hal-hal lain lagi. Kitab Tipitaka penuh dengan ajaran-ajaran tentang moralitas. Dalam hubungan ini dapat dicatat, bahwa banyak sekali orang-orang baru yang tertarik kepada Buddha-Dhamma justru karena mereka melihatnya dari segi ini.

2. Segi lebih dalam dari Buddha-Dhamma ialah tentang Kesunyataan (Ultimate Truth = Kebenaran Mutlak), yang untuk kebanyakan orang awam berada di luar daya tangkapnya dan sukar sekali dimengerti. Mempelajari segi ini berarti, bahwa kita harus mempelajari dengan seksama tentang sunyata, yaitu bahwa benda-benda selalu berubah-ubah dan tidak kekal sehingga menimbulkan kekecewaan dan penderitaan. Selanjutnya dalam meneliti benda-benda itu sampailah kita pada kesimpulan, bahwa tidaklah terdapat apa yang dapat dianggap sebagai inti yang kekal abadi dan tidak pernah berubah. Kemudian ia harus dapat menyelami sebab-musabab dari dukkha, tentang pemusnahannya secara total dan Jalan untuk mencapai maksud tersebut. Akhirnya ia harus dapat mengerti dalam arti kata yang mutlak, yang menjadi tujuan dari semua makhluk di dunia ini, yaitu Kebahagiaan Tertinggi atau Nibbana.

3. Segi lain dari Buddha-Dhamma ialah dapat dinamakan sebagai agama, karena mengajarkan suatu tata-cara hidup sehari-hari yang berdasarkan Sila, Samadhi dan Pañña yang dapat membawa orang kepada Pandangan Terang yang membebaskan dirinya dari dukkha.

4. Juga dapat dilihat dari segi Ilmu Jiwa (psychology) dan Metafisika seperti dapat ditemukan dalam kitab Abhidhamma. Dalam kitab ini secara terperinci diterangkan tentang pikiran dan batin manusia. Apa yang diterangkan dalam kitab ini sampai kini pun masih mempesonakan para sarjana dalam bidang psychology, sebab lebih terperinci dari buku mana pun yang terdapat di dunia ini.

5. Segi lain dari Buddha-Dhamma ialah dapat dinamakan sebagai philosophy. Philosophy (filsafat) ialah suatu ilmu pengetahuan yang dapat menerangkan sesuatu secara jelas dengan menggunakan logika, namun tidak dapat mendemonstrasikannya secara physik. Berlainan dengan science (ilmu pengetahuan), di mana pengetahuan itu timbul karena melihat sesuatu secara jelas atau dengan jalan pengalaman physik atau mungkin juga dengan “mata batin” atau intuisi. Pengertian tentang “sunya” (emptiness = suwung) merupakan philosophy bagi orang yang belum dapat menyelami secara baik Kesunyataan. Tetapi bagi orang yang telah menyelaminya dengan baik (Arahat dan orang suci lain yang dapat melihat gejala itu dengan terang dan secara intuisi), istilah itu merupakan science.
Banyak segi dari Buddha-Dhamma, khususnya “Empat Kesunyataan Mulia” merupakan science (ilmu pengetahuan), karena dapat dibuktikan dengan jelas dengan melakukan introspeksi. Orang yang memiliki Perhatian Benar (awareness), giat belajar serta terus menerus melakukan penyelidikan yang mendalam akan menemukan dalam konsepsi “sebab dan akibat” suatu persamaan seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan. Bagi mereka, Buddha-Dhamma bukanlah merupakan satu Ajaran yang samar-samar dan tidak terang dan juga bukan philosophy belaka, tetapi sesuatu yang nyata dan dapat dibuktikan dan dialami sendiri.

6. Ada lagi orang yang melihat Buddha-Dhamma sebagai Kebudayaan. Orang yang mempunyai perhatian besar terhadap kebudayaan akan menemukan banyak sekali hal-hal khas Buddhis yang mempunyai nilai lebih tinggi dari kebudayaan yang hingga kini mereka kenal.

7. Akhirnya Buddha-Dhamma dapat dilihat sebagai Seni, yaitu seni tentang hidup dan bagaimana orang harus bersikap menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan dengan cara-cara terpuji dan mengagumkan. Pertama-tama kita harus menjalan sila (moralitas) dalam hidup sehari-hari. Kemudian kita harus mengembangkan samadhi, agar pikiran menjadi tenang dan seimbang. Akhirnya kita akan memperoleh pañña (Kebijaksanaan) dan Pandangan Terang terhadap hakikat sesungguhnya dari benda-benda, sehingga benda-benda itu tidak mungkin lagi dapat menimbulkan goncangan yang tidak menyenangkan (dukkha) dalam diri kita. Orang yang berhasil melaksanakan ketiga hal di atas itu dapat dikatakan telah menguasai Seni dari Hidup dan Kehidupan. Bangsa Barat pada umumnya sangat tertarik sekali terhadap seni hidup ini dan menjadikannya pokok dari tiap-tiap pembicaraan mereka. Menyelami intisari dari Buddha-Dhamma dan membuatnya sebagai pedoman dalam hidup kita akan memberikan kegembiraan dan kebahagiaan dan menyingkirkan perasaan kesal dan kekecewaan. Kecemasan pun dapat disingkirkan, misalnya kecemasan bahwa hidup ini akan menjadi kering dan menjemukan, kalau kita berhasil memusnahkan kekotoran batin kita. Atau kecemasan, bahwa bebas dari nafsu-nafsu keinginan akan tidak memungkinkan lagi kita untuk berpikir dan berbuat. Hal yang betul ialah, bahwa orang yang mengatur hidupnya sesuai dengan seni hidup Buddha-Dhamma akan menjadi Yang Dipertuan dari benda-benda di dalam dan di luar dirinya. Manusia, binatang, harta benda atau benda-benda lain dan apa pun juga yang merangsang kesadarannya melalui mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran tidak lagi dapat mempengaruhi batinnya yang telah memperoleh keseimbangan sempurna. Batin ini tidak mungkin lagi dapat dikeruhkan, dikotori atau digelisahkan. Keadaan ini sebenarnya merupakan Kebahagiaan Tertinggi.

Dari segi-segi di atas ini yang patut mendapat perhatian sungguh-sungguh ialah Buddha-Dhamma sebagai Agama (religion). Kita harus melihat Buddha-Dhamma sebagai suatu cara pelaksanaan yang langsung dapat dipergunakan untuk memperoleh pengertian tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Pengertian yang memungkinkan kita untuk dapat melepas setiap bentuk kemelekatan, kebodohan dan yang dapat menyilaukan pikiran kita, untuk akhirnya terbebas samasekali dari benda-benda. Karena itu kita harus menyelami benar-benar intisari dari Buddha-Dhamma. Buddha-Dhamma dilihat dari segi ini kegunaannya lebih banyak daripada Buddha-Dhamma dilihat dari segi moralitas dan lain-lain.

Buddha-Dhamma akan membahagiakan batin setiap orang yang telah berhasil membangkitkan perasaan suka terhadapnya. Keadaan ini dapat dianggap makanan yang mutlak perlu untuk batin kita. Sesungguhnyalah orang yang masih dikuasai oleh kekotoran batin terus menerus ingin mendapatkan makanan melalui mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran. Tetapi dalam dirinya pun terdapat sesuatu yang berada dalam lapisan yang lebih dalam, yang tidak menuntut makanan dari jenis yang tersebut di atas. Ini adalah unsur dari batin yang bebas dan bersih. Ia mengharapkan kegembiraan dan kegiuran dan makanan batin yang dimulai dari kegiuran sebagai hasil dari kesucian dalam moralitas (sila). Hal ini merupakan sumber kepuasan bagi orang-orang yang telah mencapai tingkat kesucian. Mereka memiliki keseimbangan batin yang tidak dapat diganggu oleh kekotoran-kekotoran dan memiliki pandangan terang tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Mereka pun tidak mempunyai ambisi apapun terhadap benda-benda itu. Mereka selalu tenang dan dicintai oleh orang-orang yang mengenalnya. Lain halnya dengan orang-orang yang oleh Sang Buddha diibaratkan sebagai “asap di malam hari dan api di siang hari”. “Asap di malam hari” berarti tidak dapat tidur dan gelisah. Penderita dari penyakit ini semalam suntuk tidak dapat tidur karena memikirkan dan merencanakan ini dan itu. Bagaimana caranya untuk mendapat banyak uang. Bagaimana caranya untuk secepat mungkin menjadi kaya raya dan memiliki benda-benda yang sangat diingini. Pikirannya penuh dengan asap. Mereka dapat melek sampai pagi hari untuk kemudian dengan cepat berlari-lari mengurus pekerjaan yang membuatnya tidak dapat tidur semalam suntuk. Aktivitas yang tinggi pada pagi hari oleh Sang Buddha diibaratkan sebagai “api pada siang hari”. Yang tersebut di atas merupakan gejala-gejala dari batin seorang yang tidak tenang, batin yang belum dapat mencicipi nikmatnya “makanan kerohanian”. Ia selalu diburu-buru oleh keinginan-keinginan yang toh tidak mungkin dibuat puas. Cobalah pikir, apakah mungkin orang yang demikian itu dapat mengecap kedamaian dalam hati dan ketenangan dalam batin? Ia senantiasa menderita dan tersiksa seumur hidupnya, sejak saat dilahirkan hingga saat ia dimasukkan ke dalam peti-mati kelak. Semua ini dapat terjadi karena tidak adanya pandangan terang yang dapat memadamkan seluruhnya “asap dan api” itu. Untuk mengobati penyakit ini orang harus menggunakan pengertian yang diajarkan oleh Sang Buddha. “Asap dan api” ini akan sirna sedikit demi sedikit dengan meningkatnya pengertian orang itu tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda.

Sebagaimana kita ketahui, Buddha-Dhamma pun bersumber kepada perasaan takut. Bukan takut dari seorang edan atau bodoh yang berlutut di hadapan sebuah boneka atau gambar yang aneh, tetapi takut dari tingkat yang lebih halus. Ia takut karena mungkin tidak dapat membebaskan diri dari kelahiran kembali, usia tua, sakit, mati dan dari berbagai macam penderitaan yang pernah dialaminya. Buddha-Dhamma yang sesungguhnya bukanlah buku-buku, majalah-majalah, mengulang kata-kata dari Tipitaka tanpa salah, dan bukan pula upacara-upacara dan kebaktian-kebaktian. Semua itu bukanlah Buddha-Dhamma yang sesungguhnya. Buddha-Dhamma yang sesungguhnya ialah pelaksanaan dengan badan, ucapan dan pikiran yang akan dapat memusnahkan sebagian atau seluruh kekotoran batin kita. Tidak usahlah kita menggantungkan diri kepada buku-buku dan majalah-majalah. Tidak usahlah kita menggantungkan diri kepada upacara-upacara, kebaktian-kebaktian dan lain-lain sebagainya seperti misalnya dewa-dewa dan Makhluk-Makhluk Agung. Yang penting ialah, bahwa kita harus secara langsung memperhatikan gerak-gerik badan jasmani, ucapan-ucapan dan pikiran kita. Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin dalam diri kita untuk memungkinkan munculnya Pandangan Terang. Setelah itu secara otomatis kita dapat menyesuaikan perbuatan-perbuatan kita, dan mulai saat itu hingga seterusnya kita akan terbebas dari dukkha. Inilah Buddha-Dhamma yang sesungguhnya dan hendaknya janganlah kita dengan bodoh memegang saja erat-erat ekses-eksesnya.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.