• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Bagaimana Cina Merepons Tudingan Asal-Usul Covid-19

Angela

IndoForum Addict A
No. Urut
88
Sejak
25 Mar 2006
Pesan
41.369
Nilai reaksi
23
Poin
0
Bagaimana Cina Merepons Tudingan Asal-Usul Covid-19


Sudah satu setengah tahun pandemi berlalu, namun asal-usul Covid-19 masih misterius.

Merangkum salah satu studi terbaru di jurnal Environmental Chemical Letters (2021), terdapat 3 skenario yg dapat menjelaskan dari mana Covid-19 berasal: langsung menular dari kelelawar, dijembatani oleh pangolin atau mamalia lainnya, atau melalui kebocoran dari laboratorium yg menjalankan eksperimen ekstraksi & sekuens RNA atau rekayasa genetika pada kelelawar liar. Namun hingga hari ini, masing-masing hipotesis belum disokong bukti-bukti yg kuat.

Temuan regu pakar dari WHO yg rilis akhir Maret kemarin juga belum dapat menjawab hewan apa yg jadi perantara antara kelelawar ke manusia, serta bagaimana infeksi dari binatang ke manusia dapat terjadi. Menurut mereka, transmisi Covid-19 dari binatang ke manusia tetap jadi penjelasan paling potensial, sementara kebocoran lab dipandang sangat tidak mungkin.


Pada waktu bersamaan, otoritas Cina terus-menerus mendapat tekanan supaya membuka akses data tentang asal-usul Covid-19 selebar-lebarnya kepada komunitas internasional. Dalam suatu pernyataan bersama, keprihatinan dihinggakan oleh sejumlah negara akbar duniadi antaranya AS, Australia, Kanada, Inggris Raya, Norwegia, Israel hingga Jepang & Korea Selatankarena kesulitan yg dialami oleh regu dari WHO dalam menjalankan investigasi yg independen. Pasalnya, mereka dilaporkan sudah dihambat & dibatasi aksesnya kepada data tertentu.

Dirjen WHO Dr Tedros Adhanom juga menyerukan investigasi lebih lanjut untuk mengungkap asal Covid-19 & menimbang semua hipotesis yg ada. Tak berapa lama kemudian, tuntutan serupa dihinggakan oleh 18 ilmuwan dunia dalam surat terbuka di Science. Mereka berpendapat, hipotesis kebocoran virus dari lab & penularan zoonosis (transmisi virus dari binatang ke manusia) penting untuk dipertimbangkan hingga betul-betul dapat dibuktikan.

Reaksi Otoritas Cina
Situasi semakin menegangkan seiring akhir Mei silam Presiden Joe Biden memerintahkan intelijen AS supaya bekerja lebih keras dalam mengungkap asal-usul Covid-19, tak terkecuali menelusuri potensi kebocoran virus dari lab penelitian di Cina. Biden meminta laporannya siap dalam 90 hari.

Beijing tampak gusar dengan langkah pemerintah AS. Alih-alih negaranya diinvestigasi, mereka harap supaya tanggung jawab tentang asal penyebaran Covid-19 dipanggul bersama-sama oleh komunitas internasional. Sebagaimana dikutip dari situs resmi Kedubes Cina di Washington, mereka mendukung kajian komprehensif tentang kasus-kasus awal Covid-19 yg ditemukan di berbagai belahan dunia & investigasi menyeluruh pada pangkalan rahasia & laboratorium biologis di seluruh dunia.

Sikap di atas kembali ditegaskan melalui pemberitaan oleh media pro-Beijing Global Times. Mereka menyerukan bahwa Covid-19 sudah menyebar di negara-negara laintak terkecuali Amerika Serikatsebelum kasus perdana diumumkan secara resmi oleh masing-masing pemerintah setempat. Kepala epidemiolog di Pusat Pengendalian & Pencegahan Penyakit milik pemerintah Cina, Zeng Guang, berpendapat bahwa pemerintah AS perlu disorot dalam investigasi selanjutnya, karena sedari awal pandemi dinilai lamban dalam mengerjakan tes, di samping memiliki sejumlah laboratorium yg mengerjakan riset-riset terkait senjata biologis.

Pandangan tersebut disuarakan tak lama setelah sejumlah studi mengungkap kemungkinan adanya kasus infeksi Covid-19 di Amerika Serikat sebelum resmi diumumkan (di AS, kasus Covid-19 perdana diumumkan tanggal 21 Januari 2020 pada pasien yg baru kembali dari Wuhan).

Pertengahan Juni kemarin, Associated Press melaporkan hasil studi yg dilakukan secara terpisah oleh regu peneliti dari Pusat Pengendalian & Pencegahan Penyakit (CDC) & National Institutes of Health (NIH). Dalam studi yg rilis akhir 2020 silam, regu dari CDC mempelajari 7.000 sampel bantuan darah dari Palang Merah Amerika. Berdasarkan temuannya, sejumlah kasus infeksi diduga sudah ada seawal-awalnya pada pertengahan Desember 2019.

Sementara itu, studi dari NIH yg diterbitkan pada 15 Juni di jurnal Clinical Infectious Diseases mengpakai sampel darah 24.000 orang selama 3 bulan perdana tahun 2020. Hasilnya, sebanyak 7 partisipan di 5 negara bagian diduga sudah terinfeksi Covid-19 beberapa pekan sebelum kasus perdana diumumkan oleh pemerintah. Infeksi paling dini diduga terjadi pada malam Natal tanggal 24 Desember 2019. Menariknya, para partisipan tinggal di kawasan yg jauh dari New York, letak yg jadi pusat penyebaran kasus Covid-19 sepanjang bulan Maret-Mei 2020.

Baik riset dari CDC & NIH sama-sama menguji antibodi dalam darah untuk mengungkap ada-tidaknya riwayat infeksi oleh virus. Namun, masih melansir Associated Press, terdapat keterbatasan dalam riset mereka. Salah satunya terkait kesulitan untuk membedakan antibodi penangkal Covid-19 & antibodi yg melawan coronavirus lain, termasuk penyebab penyakit flu biasa. Singkatnya, temuan ini dipandang belum pasti, namun tidak menutup kemungkinan bahwa segelintir kasus Covid-19 sudah ditemui di AS sebelum publik menyadarinya.

Untuk menyokong pandangan tentang asal-usul Covid-19 dari berbagai titik lokasi, otoritas Cina juga berpegang pada temuan di Perancis. Melansir artikel dari Radio France Internationale yang rilis pada Mei 2020, radiolog di rumah sakit swasta Albert Schweitzer di Colmar, perbatasan Jerman-Perancis, mempelajari lebih dari 2.400 foto x-ray paru-paru pasien yg diambil sepanjang Oktober 2019-April 2020. Hasilnya, pada pertengahan November 2019, ditemukan dua kasus anomali khas yg disebabkan Covid-19. Sebanyak 12 hasil serupa ditemui pada rontgen bulan Desember & Januari.

Selain itu, masih ada studi di International Journal of Antimicrobial Agents (2020) yg mengulas riwayat kesehatan seorang pria di Perancistanpa pernah bepergian ke Cinayang sempat menjalani rawat inap di rumah sakit pada 27 Desember 2019 karena Covid-19.

Terlepas dari itu, menurut Samuel Alizon dari French National Centre for Scientific Research di Montpellier University, penting untuk membedakan kasus-kasus terisolasi (kejadian tunggal) dengan gelombang epidemik. Kluster Covid-19 di Perancis (sekaligus perdana di Eropa) baru terlacak pada 24 Januari 2020 pada 3 orang, salah satunya baru saja berkunjung ke Wuhan. Setelah itu, infeksi Covid-19 mulai merebak di Perancis, diikuti di kawasan Eropa lainnya.

Di Cina, transmisi Covid-19 antarmanusia sudah terjadi di Wuhan sejak pertengahan Desember 2019. Hal ini diungkapkan dalam studi yg dilakukan sekelompok ilmuwan Cina di The New England Journal of Medicine. Dalam penelitian ini, mereka menganalisis 425 pasien perdana Covid-19 di Wuhan yg jatuh sakit sepanjang 10 Desember 2019 hingga 4 Januari 2020.


Shi Zhengli & Prestasi Lembaga Cina
Shi Zhengli adalah pakar virologi kenamaan Cina yg diketahui sebagai Wanita Kelelawar karena aktivitasnya memimpin ekspedisi berburu kalong di belantara hutan & gua. Kerap difoto dalam balutan pakaian pelindung di lab, Shi & timnya di Institut Virologi Wuhan merupakan figur di balik berbagai penemuan ilmiah penting untuk mengidentifikasi kelelawar sebagai reservoir coronavirus, tepatnya setelah SARS mewabah pada 2002 & menimbulkan ratusan korban jiwa.

New York Times dalam ulasan tentang profil Shi, menyebutnya sebagai simbol kemajuan ilmu pengetahuan Cina, garda terdepan riset virus-virus yg baru bermunculan. Pada 2019, American Academy of Microbiology memberi Shi penghargaan atas kontribusinya di bidang virologi, sementara kolega Shi dari Amerika Serikat, seperti Dr. Robert C. Gallo dari Institut Virologi Manusia di University of Maryland, memujinya sebagai ilmuwan termahsyur yg sangat berhati-hati & beretos kerja tinggi.

Baru saja, Institut Virologi Wuhan ditunjuk oleh Akademi Sains Cina sebagai kandidat penerima Outstanding Science and Technology Achievement Prize berkat usahanya mengidentifikasi Covid-19. Salah satu pencapaian lembaga ini merupakan studi yg dilakukan Shi dkk pada awal pandemi yg berhasil mengungkap kemiripan Covid-19 dengan coronavirus pada kelelawar (BatCoV RaTG13).

Di balik gemerlap prestasi Shi & lembaganya, selama pandemi Covid-19 berlangsung mereka justru disorot karena punya riwayat mengerjakan eksperimen berisiko. Dalam penelitian yg hasilnya diterbitkan pada 2017, Shi dkk mencoba menyusun hibrida baru dari coronavirus pada kelelawar. Tujuannya untuk mempelajari sejauh mana virus sanggup menginfeksi sel tubuh manusia. Meskipun dipandang penting untuk menghadapi potensi wabah di masa depan, penelitian yg disebut gain-of-function ini juga dikritik karena berisiko.

Situasi semakin runyam dengan dugaan bahwa laboratorium Shi pernah menerima pendanaan dari pemerintah Amerika Serikat melalui EcoHealth Alliance, lembaga swadaya berbasis di New York dengan visi mencegah kemunculan wabah penyakit menular. Katherine Eban dalam artikel investigasi di Vanity Fair edisi Juni, menjelaskan bagaimana EcoHealth menerima anggaran dari pemerintah AS (termasuk dari National Institutes of Health/ NIH) & menyalurkannya pada laboratorium dalam bidang riset virologi, tak terkecuali Institut Virologi Wuhan.

Namun, Mei kemarin, NIH mengelak tudingan sudah membiayai riset gain-of-function pada coronavirus. Dalam surel yg ditujukan kepada New York Times, Shi Zhengli juga menegaskan bahwa laboratoriumnya tidak pernah meneliti atau bekerjasama terkait eksperimen-eksperimen untuk meningkatkan daya penularan virus.

Bagaimana Cina Merepons Tudingan Asal-Usul Covid-19


Masih melansir penelusuran Eban dari Vanity Fair, presiden EcoHealth Alliance, Peter Daszak, diketahui sebagai sutradara di balik surat pernyataan bersama para ilmuwan di jurnal bergengsi The Lancet pada awal pandemi untuk menyerukan asal-usul non-alamiah Covid-19 sebagai teori konspirasi. Kelak, pernyataan ini menciptakan sejumlah ilmuwan merasa galau untuk membahas segala kemungkinan terkait asal-usul Covid-19. Di samping itu, otoritas Cina juga terlihat nyaman bekerjasama dengan Daszak. Ketika pemerintah AS menyodorkan dokter hewan dari FDA, epidemiolog CDC & virolog NIAID sebagai kandidat delegasi dalam misi kerjasama WHO-Cina di Wuhan, tak satupun dipilih melainkan Peter Daszak.


Daszak, dalam misinya bersama WHO-Cina, merasa tidak perlu mempertanyakan database berisi 22.000 sampel virus & sekuens di Insitut Virologi Wuhan karena sudah tahu citra akbar isinya, terlebih beberapa akbar diperoleh melalui kerjasama riset dengan EcoHealth. Tidak ada bukti bahwa di database tersebut terdapat virus-virus yg lebih dekat pada SARS-CoV-2 [Covid-19] daripada RaTG13, sesederhana itu, ujarnya pada Maret silam.

Di balik segala kecurigaan yg ditujukan pada Shi & institusinya, setahun yg lalu Shi sudah menjelaskan pada Scientific American bahwa sekuens genetik pada Covid-19 tidak memiliki kesamaan dengan virus-virus yg dikoleksi di laboratoriumnya. Pernyataan Shi didukung salah satunya oleh perwakilan dari Australia yg terlibat dalam investigasi bersama WHO-Cina awal tahun ini, Dominic Dwyer. Dalam ulasannya di Conversation pada Februari silam, Dwyer menegaskan bahwa lab Wuhan cuma menyimpan sekuens genetik virus RaTG13 (saudara terdekat Covid-19), alih-alih mengerjakan pembiakan virus melalui kultur. Oleh karena itu, penyebaran Covid-19 karena kebocoran virus dari lab kemungkinannya sangat kecil, di samping tergolong jarang terjadi.

Di sisi lain, perlu dipahami bahwa usaha untuk mengungkap asal-usul virus dapat memakan waktu lama. Melansir artikel dari Nature, dibutuhkan sekitar 14 tahun untuk memastikan asal-usul SARS, yg berasal dari kelelawar & kemungkinan diperantarai oleh musang. Sama halnya dengan Ebola yg mewabah pada 2013-16, hingga sekarang bahkan belum diketahui sumbernya binatang apa & berasal dari mana. Investigasi untuk mengungkap asal-usul virus memang rumit, tegas Nature, karena binatang perantara yg terinfeksi virus (seperti musang pada kasus SARS) keberadaannya cenderung sporadis.

https://tirto.id/bagaimana-cina-mere...-covid-19-ghaR

Hari ini 14:25
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.