yan raditya
IndoForum Addict E
- No. Urut
- 163658
- Sejak
- 31 Jan 2012
- Pesan
- 24.461
- Nilai reaksi
- 72
- Poin
- 48

BANDA ACEH - Arisan para tante girang berhadiah lelaki muda alias berondong bukan hanya terjadi di kota-kota metropolitan. Fenomena ini juga terjadi di Aceh, provinsi yang sedang menjalankan syariat Islam.
Ada sekumpulan perempuan dewasa kini diketahui aktif mengadakan arisan di Kota Banda Aceh, yang hadiahnya berupa kesempatan bercinta dengan berondong. Mereka sering menjadikan hotel sebagai tempat arisan dan bertransaksi.
“(Pelakunya) ada sekitar belasan sampai dua puluhan,” ungkap Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh, Dahlia kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat (8/3/2013).
Berdasarkan pemantauan dan informasi dihimpun BP3A sejak sebulan lalu, rata-rata perempuan yang terlibat berusia matang yakni 30 sampai 40 tahun. Mereka dijuluki sebagai perempuan geng, yang sebagiannya pernah berkecimpung di dunia portistusi.
Sementara pria yang sering dijadikan rebutan arisan usianya rata-rata 20 sampai 30 tahun, bahkan ada juga yang masih SMA. Mereka adalah orang-orang yang akrab dengan para tante, alias bukan pelayan baru yang khusus dipesan dari germo.
Menurutnya, para tante-tante ini merupakan warga lokal yang berasal dari kalangan berduit nan glamor. Mereka sering berkumpul sesamanya dalam berbagai kesempatan di sejumlah kafe di Banda Aceh.
Fenomena itu diperkirakan sudah berlangsung sejak dua tahun lalu, namun tidak muncul kepermukaan, karena sangat tertutup. Mereka bahkan sering berpindah-pindah tempat nongkrong.
Dia menduga, arisan ini hanya dilakukan untuk mencari kesenangan semata, karena pihaknya belum menemukan unsur penjualan manusia di sini, meski para berondong yang melayani para tante itu diakui kerap menerima imbalan dari pemenang arisan.
“Tapi itu dilakukan atas senang sama senang, walaupun ada germo yang menggerakkannya, tapi rata-rata mereka sudah saling kenal semua. Ini hanya semacam permainan untuk kesenang-senangan saja,” jelas Dahlia.
Menurutnya perubahan gaya hidup ini terjadi karena konflik yang berkepanjangan terjadi di Aceh, sehingga ikut menghancurkan tatanan budaya dan nilai sosial. Konflik juga membuat masyarakat terisolasi. “Inilah pandangan hedonisme yang mulai terjadi, orang suka dengan kehidupan bebas, ini harus menjadi perhatian semua pihak,” tukas Dahlia.
Setelah tsunami dan lahirnya perdamaian, dinilainya, Aceh mulai terbuka dengan berbagai budaya asing. “Sebagian orang kita tidak siap menerima budaya ini sehingga terpengaruh,” ujarnya.
Selain itu faktor penyalahgunaan teknologi dan minimnya pengawasan orangtua terhadap anak, juga memicu maraknya pergaulan bebas dan pacaran dikalangan muda-mudi. Pihaknya pun masih terus mendalami kasus tersebut namun menolak untuk menjelaskan secara detail ke media dengan alasan khawatir pelaku semakin sulit terdeteksi.
Meski Aceh sedang menjalankan syariat Islam, Dahlia menilai, fenomena ini sulit diberantas karena lemahnya regulasi dan kewenangan dimiliki penegak hukum syariat Islam atau Wilayatul Hisbah (WH) selama ini.
Dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) segera mengesahkan Rancangan Qanun acara jinayah, agar WH memiliki kewenangan lebih dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas hukum syariat Islam, termasuk dalam menindak pelaku pergaulan bebas.
Konselor di BP3A Aceh, Endang Setianingsing menambahkan, banyak faktor yang memicu arisan seks, di antaranya ada yang ingin mencari kesenangan saja, kurang perhatian suami, ingin balas dendam terhadap suami dan faktor kesepian. “Karena pelakunya ada juga yang janda,” katanya.
BP3A Aceh berencanan menggodok rancangan qanun (perda) keluarga, untuk meningkatkan peran keluarga dalam mengawasi anak-anaknya terhadap pergaulan bebas.