T!T!~ch@/\/
IndoForum Banned
- No. Urut
- 1035
- Sejak
- 11 Mei 2006
- Pesan
- 21.523
- Nilai reaksi
- 1.324
- Poin
- 113
Bagaimana astronomi mempelajari langit? Tentunya dengan memandangi langit dan mempelajari apa yang tampak di sana. Dari awal peradaban, jauh sebelum ditemukan adanya teleskop, mata adalah alat utama untuk mengidentifikasi, mempelajari dan memahami benda-benda yang ada di langit. Dengan ditemukannya teleskop, maka pembelajaran tentang langit semakin mendalam dan mendalam dan mendapatkan informasi yang lebih baik lagi.
Mulai dari Galileo yang mempelajari bahwa di Jupiter ternyata ada yang mengikutinya, dan dikenal sebagai bulan-bulan Jupiter; adanya bintik-bintik di Matahari, maka penemuan benda-benda yang awalnya tidak didapat oleh mata menjadi semakin banyak. Teleskop adalah revolusi dalam astronomi.
Teleskop sebetulnya hanyalah alat bantu, karena prinsip kerja teleskop itu sebetulnya membantu mata bekerja dalam mengumpulkan cahaya!
Semakin banyak cahaya terkumpul, semakin redup obyek bisa tertangkap dan semakin detil citra teramati. Oleh karena itu, dengan semakin berkembangnya teknologi, maka semakin banyak upaya untuk mengembangkan teleskop yang bisa mengumpulkan cahaya yang bisa mengamati obyek yang saat ini belum teramati. Bagaimana mengumpulkan cahaya? Ya tentu saja dengan ‘membuka mata’ teleskop semakin lebar dan semakin lebar supaya semakin banyak cahaya yang masuk.
Tidak lama lagi, akan banyak dioperasikan Teleskop Yang Sangat Besar (Extremely Large Telescope/ELT); yang sudah dimungkinkan untuk bekerja untuk menjawab keingintahuan manusia akan alam semesta kita.
Misteri Alam Semesta
Sebetulnya, apakah yang hendak dicari oleh astronom dengan teleskop yang semakin canggih dan semakin canggih? Banyak hal yang dicari oleh astronom di dalam alam semesta, sebut saja:
* Planet-planet batuan serupa Bumi, yang berindikasi adanya air dan oksigen di dalamnya.
* Mendeteksi supernova alam semesta awal untuk menjadi pengukur kapan dan bagaimana bintang-bintang yang paling awal ada dan terbentuk.
* Mengembangkan teori yang bisa diuji dari keberadaan “energi gelap”.
* Mempeljari bintang-bintang di galaksi lain untuk memahami bagaimana bintang-bintang tersebut terbentuk.
* Memetakan dinamika spektrum merah-infra tinggi dari berbagai galaksi dalam halo materi-gelap untuk mempelajari struktur dan perilaku alamiahnya.
Daftarnya pun bisa bertambah, karena masih banyak misteri yang belum terjawab maka astronom membutuhkan lebih banyak ELT yang lebih baik lagi, seperti juga ahli biologi membutuhkan mikroskop yang lebih baik lagi.
Tetapi, teleskop pun bukan tanpa keterbatasan. Semua teleskop dibatasi oleh kejernihan citra, atau resolusi optis yang bergantung pada seberapa besar diameter bukaan teleskop. Oleh karena itu, maka para astronom selalu berupaya membuat teleskop yang mata-nya semakin lebar dan semakin lebar sehingga semakin bisa memperjelas citra dan mendapatkan obyek yang lebih redup dan lebih redup. Oleh karena itu maka teknologi terkini juga menerapkan Adaptive-Optics (AO) yang memungkinkan untuk membuat citra menjadi lebih tajam dengan mengatasi turbulensi atmosfer yang sebelumnya membuat bintang tampak berkelip-kelip.
Dan membuat teleskop sejenis tersebut akan lebih mudah untuk dibuat di permukaan Bumi alih-alih mengirimkan teleskop ke luar angkasa seperti Hubble Space Telescope. Maka mari kita lihat godzilla-godzilla teleskop yang akan segera hadir untuk mengamati langit.
Awas Godzilla-nya Teleskop!
Yang pertama, Giant Magellan Telescope (GMT), alias Teleskop Raksasa Magellan. Yang namanya raksasa, pastilah seperti itu adanya. Teleskop ini mempunyai cermin, sebanyak 7 buah seukuran 8,4 meter! Lensa gelas yang akan dipasang ini dibuat oleh Laboratorium Cermin milik Observatorium Steward di Universitas Arizona. Bukaannya sebesar 24,5 meter, tersusun dari 7 cermin seukuran 8,4 meter, seharga US$ 625 juta, didanai oleh banyak institut di amerika. Detilnya bisa dilihat dari www.gmto.org.
Ketika ketujuh cermin tersebut tergabung menjadi satu cermin utama, maka GMT mempunyai kekuatan mengumpulan cahaya dibanding teleskop pendahulunya, 6,5 meter, yaitu teleskop Walter Baade dan Landon Clay di Observatorium Las Campanas di Chili. Dengan begitu, ia bisa mendeteksi obyek yang lebih redup, 130 kali lebih cepat, menggunakan teknologi AO yang terkini.
GMT juga akan dipasang di Chili, sekitar tahun 2010-2016. Elemen yang mengoreksi, termasuk cermin kedua yang tersegmen dan fleksibel akan mengecilkan pengaruh abreasi sferis dan kaburnya gambar akibat pergerakan atmosfer. Dengan kuda-kuda yang kokoh untuk menahan angin gunung yang kencang, disertai perangkat lunak pengendali teleskop secara menyeluruh, maka raksasa ini secara radikal ditunjang oleh teknologi terkini dengan sistem mekanis yang ukurannya tidak tanggung-besarnya.
Yang kedua, Thirty Meter Telescope (TMT), alias Teleskop Tiga Puluh Meter, tersusun dari 492 segmen, seukuran lebar mata 30 meter untuk memandangi alam semesta, akan hadir pada pertengahan dekade mendatang. Teleskop ini dirancang untuk mengumpulkan cahaya lebih banyak sampai sembilan kali lebih dibanding yang sekarang 10 meter Keck, menangkap obyek 10 kali lebih redup dengan resolusi spasial (ruang) tiga kali lebih baik. Beberapa insinyur yang membangun Keck juga bekerja pada proyek ini yang juga mengkonsolidasikan tiga konsep sebelumnya: California ELT, Teleskop Cermin Raksasa Ber-cermin yang Tersegemntasi milik NOAO (National Optical Astronomy Observatory’s) dan Teleskop Optis Sangat Besar milik Kanada.
Tujuan utama teleskop ini adalah untuk menembus horizon yang sangat jauh dengan presisi yang sangat-sangat baik, di daerah panjang gelombang merah-infra dekat. Raksasa yang tersusun dari matrix cermin kecil tipis serupa Keck ini dirancang, sedemikian sehingga dengan eksposur yang cukup menggunakan AO akan memberikan resolusi spasial sepuluh kali dari Hubble!
Cerimin utama TMT dengan f/1 dilengkapi dengan Gregorian sekunder yang cembung secara aktif (bisa berubah bentuk) mengoreksi aberasi yang sangat kecil akibat cermin yang melengkung. Cermin ketiga dipergunakan untuk mengarahkan pancaran cahaya yang terkoreksi supaya berkesesuaian dengan posisi instrumen di dudukan yang stabil sepanjang sumbu lintang struktur raksasa tersebut. Teleskop ini dibangun dengan biaya mencapai US$1 milyar, dan bisa dilihat di www.tmt.org.
Akhirnya, European Extremely Large Telescope (E-ELT). Dengan cermin yang super-super raksasa seukuran 42 meter, tersusun dari 906 segmen heksagonal. Konsepnya merupakan kombinasi dari kontribusi lebih dari 100 astronom di ESO (European Southern Observatory), dan merupakan turunan dari konsep sebelumnya yang elemen dasarnya merupakan 100 meter OWL (OverWhelmingly Large) dan proyek Euro50 telescope.
Cermin-cermin lain pada jalur cahaya E-ELT akan diperbesar. Dengan cermin kedua seukuran 6 meter itu merupakan cermin yang terbesar pada cermin-cermin utama saat ini. Cermin ketiga seukuran 4,2 meter akan me-rilai pancaran cahaya melalui sistem AO yang juga menyertakan cermin aktif 2,5 meter (memiliki 5000 actuator yang mengubah-ubah bentuk 1000 kali perdetik), dan cermin lain seukuran 2,7 meter sebagai koreksi tingkat akhir.
Situs tempat mata monster ini dipasang akan ditentukan di akhir tahun 2008 (juga untuk TMT), dan “test pertama” akan dilakukan tahun 2017. Ketika terpasang di tempat yang tinggi dan kering, E-ELT akan menganga dan melahap foton jauh lebih banyak dari godzilla-godzilla lain yang pernah ada. Teelskop ini membutuhkan anggaran mencapai US$1,2 milyar dan bisa dilihat di www.eso-org/public/astronomy/project/e-elt.
Melongok Ke Halaman Rumah Sendiri
Tentu saja proyek dengan anggaran yang membumbung tinggi ke langit tersebut sulit dipenuhi oleh grup-grup yang sendirian, sehingga pembangunannya merupakan kongsian dari berbagai grup.Tetapi bukan berarti teleskop-teleskop seukuran gajah tidak bisa dimiliki oleh grup-grup tersendiri, atau oleh suatu negara. Bagaimana dengan Indonesia? Di Observatorium Bosscha masih dapat ditemukan teleskop-teleskop berukuran besar, walaupun bukanlah godzilla, tetapi ukurannya yang sebesar gajah merupakan aset astronomi di Indonesia yang tidak terkira, sebut saja refraktor ganda Zeiss yang menjadi maskot Observatorium Bosscha, atau refraktor Schmidt Bima-Sakti yang merupakan teleskop dengan mata terbesar di kompleks, berdiameter sekitar 60 cm. Tetapi, untuk wilayah asia-tenggara, Indonesia harus bersiap-siap tertinggal dalam pengembangan observatorium, kenapa bisa begitu?Dengan sudah beroperasinya Observatorium Nasional Langkawi yang bersistem robotik dengan diameter teleskop 50 cm, ironinya, yang membangun observatorium itu adalah putra Indonesia kelahiran Bandung (Mohamad Ridwan Hidayat, M.Sc). Thailand pun sudah tancap gas denga pembangunan teleskop seukuran 2,4 meter! Teleskop berbiaya US$ 40 juta ini merupakan kado ulang tahun ke-80 Raja Thailand, Raja Bhumibol. Teleskop ini diharapkan akan membuka matanya untuk pertama kali di bulan Maret tahun 2009.
Ketika negara-negara tetangga sedang bergiat untuk membuka mata mereka lebar-lebar ke langit dan mengagumi keindahan karya Sang Pencipta, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Mulai dari Galileo yang mempelajari bahwa di Jupiter ternyata ada yang mengikutinya, dan dikenal sebagai bulan-bulan Jupiter; adanya bintik-bintik di Matahari, maka penemuan benda-benda yang awalnya tidak didapat oleh mata menjadi semakin banyak. Teleskop adalah revolusi dalam astronomi.
Teleskop sebetulnya hanyalah alat bantu, karena prinsip kerja teleskop itu sebetulnya membantu mata bekerja dalam mengumpulkan cahaya!
Semakin banyak cahaya terkumpul, semakin redup obyek bisa tertangkap dan semakin detil citra teramati. Oleh karena itu, dengan semakin berkembangnya teknologi, maka semakin banyak upaya untuk mengembangkan teleskop yang bisa mengumpulkan cahaya yang bisa mengamati obyek yang saat ini belum teramati. Bagaimana mengumpulkan cahaya? Ya tentu saja dengan ‘membuka mata’ teleskop semakin lebar dan semakin lebar supaya semakin banyak cahaya yang masuk.
Tidak lama lagi, akan banyak dioperasikan Teleskop Yang Sangat Besar (Extremely Large Telescope/ELT); yang sudah dimungkinkan untuk bekerja untuk menjawab keingintahuan manusia akan alam semesta kita.
Misteri Alam Semesta
Sebetulnya, apakah yang hendak dicari oleh astronom dengan teleskop yang semakin canggih dan semakin canggih? Banyak hal yang dicari oleh astronom di dalam alam semesta, sebut saja:
* Planet-planet batuan serupa Bumi, yang berindikasi adanya air dan oksigen di dalamnya.
* Mendeteksi supernova alam semesta awal untuk menjadi pengukur kapan dan bagaimana bintang-bintang yang paling awal ada dan terbentuk.
* Mengembangkan teori yang bisa diuji dari keberadaan “energi gelap”.
* Mempeljari bintang-bintang di galaksi lain untuk memahami bagaimana bintang-bintang tersebut terbentuk.
* Memetakan dinamika spektrum merah-infra tinggi dari berbagai galaksi dalam halo materi-gelap untuk mempelajari struktur dan perilaku alamiahnya.
Daftarnya pun bisa bertambah, karena masih banyak misteri yang belum terjawab maka astronom membutuhkan lebih banyak ELT yang lebih baik lagi, seperti juga ahli biologi membutuhkan mikroskop yang lebih baik lagi.
Tetapi, teleskop pun bukan tanpa keterbatasan. Semua teleskop dibatasi oleh kejernihan citra, atau resolusi optis yang bergantung pada seberapa besar diameter bukaan teleskop. Oleh karena itu, maka para astronom selalu berupaya membuat teleskop yang mata-nya semakin lebar dan semakin lebar sehingga semakin bisa memperjelas citra dan mendapatkan obyek yang lebih redup dan lebih redup. Oleh karena itu maka teknologi terkini juga menerapkan Adaptive-Optics (AO) yang memungkinkan untuk membuat citra menjadi lebih tajam dengan mengatasi turbulensi atmosfer yang sebelumnya membuat bintang tampak berkelip-kelip.
Dan membuat teleskop sejenis tersebut akan lebih mudah untuk dibuat di permukaan Bumi alih-alih mengirimkan teleskop ke luar angkasa seperti Hubble Space Telescope. Maka mari kita lihat godzilla-godzilla teleskop yang akan segera hadir untuk mengamati langit.
Awas Godzilla-nya Teleskop!
Yang pertama, Giant Magellan Telescope (GMT), alias Teleskop Raksasa Magellan. Yang namanya raksasa, pastilah seperti itu adanya. Teleskop ini mempunyai cermin, sebanyak 7 buah seukuran 8,4 meter! Lensa gelas yang akan dipasang ini dibuat oleh Laboratorium Cermin milik Observatorium Steward di Universitas Arizona. Bukaannya sebesar 24,5 meter, tersusun dari 7 cermin seukuran 8,4 meter, seharga US$ 625 juta, didanai oleh banyak institut di amerika. Detilnya bisa dilihat dari www.gmto.org.
Ketika ketujuh cermin tersebut tergabung menjadi satu cermin utama, maka GMT mempunyai kekuatan mengumpulan cahaya dibanding teleskop pendahulunya, 6,5 meter, yaitu teleskop Walter Baade dan Landon Clay di Observatorium Las Campanas di Chili. Dengan begitu, ia bisa mendeteksi obyek yang lebih redup, 130 kali lebih cepat, menggunakan teknologi AO yang terkini.
GMT juga akan dipasang di Chili, sekitar tahun 2010-2016. Elemen yang mengoreksi, termasuk cermin kedua yang tersegmen dan fleksibel akan mengecilkan pengaruh abreasi sferis dan kaburnya gambar akibat pergerakan atmosfer. Dengan kuda-kuda yang kokoh untuk menahan angin gunung yang kencang, disertai perangkat lunak pengendali teleskop secara menyeluruh, maka raksasa ini secara radikal ditunjang oleh teknologi terkini dengan sistem mekanis yang ukurannya tidak tanggung-besarnya.
Yang kedua, Thirty Meter Telescope (TMT), alias Teleskop Tiga Puluh Meter, tersusun dari 492 segmen, seukuran lebar mata 30 meter untuk memandangi alam semesta, akan hadir pada pertengahan dekade mendatang. Teleskop ini dirancang untuk mengumpulkan cahaya lebih banyak sampai sembilan kali lebih dibanding yang sekarang 10 meter Keck, menangkap obyek 10 kali lebih redup dengan resolusi spasial (ruang) tiga kali lebih baik. Beberapa insinyur yang membangun Keck juga bekerja pada proyek ini yang juga mengkonsolidasikan tiga konsep sebelumnya: California ELT, Teleskop Cermin Raksasa Ber-cermin yang Tersegemntasi milik NOAO (National Optical Astronomy Observatory’s) dan Teleskop Optis Sangat Besar milik Kanada.
Tujuan utama teleskop ini adalah untuk menembus horizon yang sangat jauh dengan presisi yang sangat-sangat baik, di daerah panjang gelombang merah-infra dekat. Raksasa yang tersusun dari matrix cermin kecil tipis serupa Keck ini dirancang, sedemikian sehingga dengan eksposur yang cukup menggunakan AO akan memberikan resolusi spasial sepuluh kali dari Hubble!
Cerimin utama TMT dengan f/1 dilengkapi dengan Gregorian sekunder yang cembung secara aktif (bisa berubah bentuk) mengoreksi aberasi yang sangat kecil akibat cermin yang melengkung. Cermin ketiga dipergunakan untuk mengarahkan pancaran cahaya yang terkoreksi supaya berkesesuaian dengan posisi instrumen di dudukan yang stabil sepanjang sumbu lintang struktur raksasa tersebut. Teleskop ini dibangun dengan biaya mencapai US$1 milyar, dan bisa dilihat di www.tmt.org.
Akhirnya, European Extremely Large Telescope (E-ELT). Dengan cermin yang super-super raksasa seukuran 42 meter, tersusun dari 906 segmen heksagonal. Konsepnya merupakan kombinasi dari kontribusi lebih dari 100 astronom di ESO (European Southern Observatory), dan merupakan turunan dari konsep sebelumnya yang elemen dasarnya merupakan 100 meter OWL (OverWhelmingly Large) dan proyek Euro50 telescope.
Cermin-cermin lain pada jalur cahaya E-ELT akan diperbesar. Dengan cermin kedua seukuran 6 meter itu merupakan cermin yang terbesar pada cermin-cermin utama saat ini. Cermin ketiga seukuran 4,2 meter akan me-rilai pancaran cahaya melalui sistem AO yang juga menyertakan cermin aktif 2,5 meter (memiliki 5000 actuator yang mengubah-ubah bentuk 1000 kali perdetik), dan cermin lain seukuran 2,7 meter sebagai koreksi tingkat akhir.
Situs tempat mata monster ini dipasang akan ditentukan di akhir tahun 2008 (juga untuk TMT), dan “test pertama” akan dilakukan tahun 2017. Ketika terpasang di tempat yang tinggi dan kering, E-ELT akan menganga dan melahap foton jauh lebih banyak dari godzilla-godzilla lain yang pernah ada. Teelskop ini membutuhkan anggaran mencapai US$1,2 milyar dan bisa dilihat di www.eso-org/public/astronomy/project/e-elt.
Melongok Ke Halaman Rumah Sendiri
Tentu saja proyek dengan anggaran yang membumbung tinggi ke langit tersebut sulit dipenuhi oleh grup-grup yang sendirian, sehingga pembangunannya merupakan kongsian dari berbagai grup.Tetapi bukan berarti teleskop-teleskop seukuran gajah tidak bisa dimiliki oleh grup-grup tersendiri, atau oleh suatu negara. Bagaimana dengan Indonesia? Di Observatorium Bosscha masih dapat ditemukan teleskop-teleskop berukuran besar, walaupun bukanlah godzilla, tetapi ukurannya yang sebesar gajah merupakan aset astronomi di Indonesia yang tidak terkira, sebut saja refraktor ganda Zeiss yang menjadi maskot Observatorium Bosscha, atau refraktor Schmidt Bima-Sakti yang merupakan teleskop dengan mata terbesar di kompleks, berdiameter sekitar 60 cm. Tetapi, untuk wilayah asia-tenggara, Indonesia harus bersiap-siap tertinggal dalam pengembangan observatorium, kenapa bisa begitu?Dengan sudah beroperasinya Observatorium Nasional Langkawi yang bersistem robotik dengan diameter teleskop 50 cm, ironinya, yang membangun observatorium itu adalah putra Indonesia kelahiran Bandung (Mohamad Ridwan Hidayat, M.Sc). Thailand pun sudah tancap gas denga pembangunan teleskop seukuran 2,4 meter! Teleskop berbiaya US$ 40 juta ini merupakan kado ulang tahun ke-80 Raja Thailand, Raja Bhumibol. Teleskop ini diharapkan akan membuka matanya untuk pertama kali di bulan Maret tahun 2009.
Ketika negara-negara tetangga sedang bergiat untuk membuka mata mereka lebar-lebar ke langit dan mengagumi keindahan karya Sang Pencipta, lalu bagaimana dengan Indonesia?
