Tri Hita Karana (Filsafat Ekosistem Dalam Hindu Dharma)
Setuju ayo kita racunin bro goesdun buat jadi moddy he..he..
@Jakaloco, tenkyu penjelasannya sangat bermanfaat, jujur nih bro goesdun klo ngirim thread asli nggak connect karena bahasanya tersirat dan dalem banget
Thread memang harus dibahas sampai tuntas/jelas, tapi kadang sulit mencari kosa katanya nggak connect karena maksudnya terlalu dalam/diinti, mesti digali/dikupas dahulu.
Untuk memperjelasnya saya coba menguraikan konsep "
Filsafat Ekosistem Dalam Hindu Dharma" yaitu
Tri Hita Karana (Tiga Sumber Kebaikan).
Menurut arti katanya, Tri Hita Karana berarti tiga sebab adanya kebaikan.
Tri=tiga; Hita=kebaikan; dan Karana=sebab (sumber).
Tri Hita Karana merupakan pedoman bagi penganut Agama Hindu di dalam mengembangkan hidup kemasyarakatannya. Ini berkembang menjadi ajaran tentang keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, sekaligus tentang ketergantungan satu sama yang lain dalam berbagai aspek kehidupan ini. Dalam pandangan Agama Hindu masyarakat itu sendiri diwarnai oleh sesuatu yang hidup oleh kehidupan itu sendiri, dan oleh yang menghidupi.
Tiga sebab (sumber) kebaikan ini berkisar sekitar:
- hubungan manusia dengan manusia;
- hubungan manusia dengan lingkungannya; dan
- hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Masing-masing sebab ini mempunyai jalur tertentu yang mengarah pada satu kaitan yang satu dengan yang lain saling berkaitan, sebagai satu-kesatuan. Karena tidak akan berakibat kebaikan bila jalur yang satu tidak mengindahkan yang lainnya.
1. Jalur dalam “Sebab” yang pertama di atas (hubungan manusia dengan manusia) adalah hukum abadi yang pada hakikatnya telah melekat pada rasa tata susila. Yaitu tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman manusia. Tujuannya ialah membina hubungan yang selaras antara seseorang (jiwatman) dengan makhluk yang hidup di sekitarnya, hubungan selaras antara keluarga yang membentuk masyarkat itu sendiri, antara bangsa dengan bangsa yang lainnya, antara manusia dan alam sekitarnya. Dalam hubungan manusia dengan manusia ini, merupakan pengertian “T
AT TWAM ASI” “
AHAM BRAHMA ASMI” menekankan, bahwa hidup manusia dan sesamanya di manapun mereka berada, apa pun warna, dan bangsanya adalah sama. Ia terdiri atas zat yang sama; dengan percikan Atman dan Paramatma, dan oleh karena itu, bila kita berbuat baik pada seseorang ini pun berarti berbuat untuk diri sendiri. Menghormati orang lain berarti menghormati diri kita sendiri. Demikian pula bila kita menyakiti orang lain, maka ini tiada lain kita menyakiti diri sendiri.
Kalau kita merasa sakit kalau dicubit, maka orang lain pun sakit kalau kita cubit.
Dalam memberi, berarti kita sebenarnya telah menerima, dan ini disebut hukum abadi yang memberi ingat pada manusia untuk selalu berbuat baik pada sesamanya, dengan mawas diri. Untuk berbuat kita semestinya dipikirkan terlebih dahulu.
Sehingga jika kita berbuat baik, kita harus berpkir baik, dan sekaligus harus berbicara baik.
2. Dari sebab yang kedua: hubungan manusia dengan alam sekitarnya terlihat jalur, yaitu asal mula kehidupan ini sendiri. Manusia dan alam terdiri atas zat-zat yang sama, yang bernama “Panca Mahabhuta” yaitu pratiwi, unsure zat padat yang pada diri manusia berbentuk menjadi tulang, kulit, daging, kuku, dan bagian tubuh yang keras lainnya. Apah unsure zat air yang pada diri manusia berbentuk darah, lemak, enzim, dan cairan lainnya. Teja unsure zat panas yang pada diri manusia menjadi panas badan, lemak, enzim, dan cairan lainnya. Teja unsure zat panas yang pada diri manusia menjadi panas badan, cahaya muka, dan warna kulit. Bhayu unsur zat udara, yang pada diri manusia menjadi napas, dan bau badan. Akasa unsur zat ether yang dalam diri manusia berbentuk rambut, bulu badan, dan lain-lainnya.
Alam ini dalam filsafat Hindu disebut Brahmanda yang artinya, lahir dari Brahman.
Di dalam lontar Tatwa Jnana, Sanghyang Widhi mula-mula menciptakan ala mini dengan unsur “Panca Tanmatra” yaitu lima unsur seperti yang disebutkan di atas, tetapi muncul dari prakerti, yaitu benih-benih materi. Benih-benih materi ini muncul dari kekuatan magis Ida Sanghyang Widhi yang disebut “Maya”. Kemudian unsur “Panca Tanmatra” tadi berubah menjadi atom-atom yang disebut “Parama Anu”. Dari Parama Anu ini muncul zat-zat yang disebut Panca Mahabhuta seperti yang disebutkan di atas.
Dalam Manawa Dharma sastra I, 27 disebutkan:
Anwyo matra wina cinyo
Dacardharnam tuyah suritah,
Tabhih sadjamidan sarwam
Sambhawatyamu purwacah
Artinya, memakai lima alam yang harus dan yang tidak kekal itu sebagai sarana seluruh alam ini dibentuklah oleh-Nya dengan susunan yang diatur secara sempurna. Selanjutnya Bhagawadgita (bab III, 10) menandaskan sebagai berikut.
Sahajnah prajah srstva
Puro vaca prajapatih
Anena prasavisyadvan
Esa vo’stv ista kamandhuk
Seloka ini diartikan bahwa sewaktu Ida Sanghyang Widhi menciptakan manusia dengan yadnya, juga turut serta diciptakan alam semesta ini yang diibaratkan sebagai kamaduk (sapi perahan Dewa Indra) yang akan menjadi sumber penghidupan serta memenuhi apa saja yang diingini manusia.
Dengan inilah manusia akan berkembang karenanya, manusia wajib memelihara sebaik-baiknya ala mini dan seisinya selalu dapat dimanfaatkan. Jadi dorongan berbuat baik saling memelihara, bukanlah hanya antara manusia dengan manusia saja, tetapi juga terdapat alam yang merupakan sumber penghidupan yang selalu dibina manusia.
3. Hubungan manusia dengan Tuhan sebagai “sebab” ketiga, pada hakikatnya adalah hubungan yang ada dengan Yang Mengadakan. Kita wajib bersyukur karena kita diciptakan menjadi manusia, makhluk yang paling utama. Kehadiran kita sebagai menusia adalah kesempatan mensyukuri apa yang telah ditakdirkan Tuhan kepada kita. Kesempatan ini berarti kesempatan untuk berbuat baik dengan membawa siklus karma pada itu. Karena tujuan daripada hidup kita ini ialah untuk tidak kembali lagi. Diungkapkan dengan kata-kta, suka tanpa wali duka. Inilah yang disebut Moksa, yang walaupun kita masih hidup di duni ini, kita berjiwa tenang (ananda), dan sabar. Sadar untuk menyatu dengan Tuhan (Jiwatma dengan Paramatma). Inilah yang merupakan hakikat ungkpan di atas.
Di dalam hal ini pun ada kewajiban kita memelihara, seperti ditegaskan di dalam Bhagawadgita (III, 12) sebagai berikut:
Istan bhogan hi vo dewa
Dasyanto yajna bhavitah
Tair dattan apradayai, byo
Yo bhunkte stena eva sah
Artinya, dipelihara oleh yadnya para Dewa akan memberi kau kesengan yang kau ingini, Ia yang menikmati pemberian ini tanpa memberikan kepada-Nya, adalah pencuri.
Selanjutnya dijelaskan lagi,
Karma brahmodbhavam vidhi
Brahma, ksarasamudbhavam
Tasmat sarvagatan brahma
Nityam yajnopratisthitam
Artinya, ketahuilah asal mulanya Kama di dalam Veda dan Brahma muncul dari yang abadi. Dari hal itu, Brahma yang meliputi semuanya selalu berpusat di sekeliling Yadnya (III,15).
Kalau demikian apakah yadnya itu?
Yadnya pada hakikatnya merupakan persembahan, dan pengabdian, yang dilakukan dengan perasaan ikhlas, hati suci, dan tanpa pamerih. Bentuknya berupa suguhan yang berbagai jenis ragamnya (di Bali dikenal dengan upakara atau bebanten), dengan hiasan penuh rasa keindahan, serta simbul-simbul yang melambangkan hubungan keluhuran yang dipuja dan kesucian hati si pelaksana yadnya.
Dalam pustaka-pustaka suci Hindu dikenal yadnya yang memiliki macam yang sangat banyak. Seperti halnya Aswameda Yadnya, Rajasuya Yadnya, dan lain-lain yang termuat dalam wiracarita Mahabharata dan Ramayana, tetapi dalam hidup keagamaan Hindu di Bali dikenal adanya Panca Yadnya.
- Yadnya untuk Ida Sanghyang Widhi, dan para dewa disebut Dewa yadnya;
- Yadnya untuk Sanghyang Atma (pitara), yaitu Jiwatma orang yang telah meninggal, disebut Pitra Yadnya;
- Yadnya untuk manusia (Jiwatma yang masih di badan manusia) dari sejak dalam kandungan, lahir, dewasa, kawin, disebut Manusia Yadnya;
- Yadnya khusus berupa pujaan bagi Sang Sapta Rsi disebut Rsi Yadnya. Dalam perwujudan nyata yadnya ini berupa memberikan punia serta suguhan kepada para Pendeta Siwa/Buddha (Rsi Bojana);
- Yadnya untuk para Bhuta yaitu kekuatan penyangga alam bawah, disebut Bhuta Yadnya.
Dalam hal ini yadnya berfungsi sebagai sarana untuk menetralisir hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos, guna menjaga tetapnya kondisi yang harmonis.
Tri Hita Karana sebagai filsafat mengandung suatu ajaran tentang melestarikan adanya keharmonisan dalam kehidupan manusia dengan meraih keseimbangan dan keselarasan dalam berbagai aspeknya. Implimentasinya ialah melalui berbagai bentuk yadnya ini.
Pengertian lingkungan hidup (ekosistem) dalam kerangka filsafat Tri Hita Karana, tidaklah terbatas pada benda, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat pada ruang yang kita tempati saja, tetapi juga meliputi kekuatan-kekuatan dan getaran-getaran (fibration) yang ada di mayapada ini, yang bias merusak atau menyelamatkan keseimbangan dan keserasian itu.
Karena itu dalam pola dasar struktur masyarkat tradisional di Bali seperti eksestensi desa adat, banjar, maupun subak senantiasa memperhatikan filsafat Tri Hita Karana ini. Demikian pula dalam hal arsitektur tradisional, pola letak, pembagian ruang sampai pada ornament-ornamennya dibedakan pada bangunan-bangunan suci, bangunan untuk umum maupun perumahan (pawongan). Semuanya membawa arti dan melambangkan hubungan serasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya itu. *goesdun
Untuk mencapai Sorga Sekala & Niskala laksanakan Tri Hita Karana !