• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Mendem Pedagingan

bedahOtak

IndoForum Newbie D
No. Urut
54518
Sejak
8 Okt 2008
Pesan
101
Nilai reaksi
3
Poin
18
dpt info dr om klo pure (khusunya pure keluarga) tiap 25 thn ato 30 tahun lagi harus kembali di upacarai mendem pedagingan
eh nanya dasar hukumnya(cie bahasanya)...beliaunya yg tralalu sibuk ampe diriku malu nanya2 mulu.
ada infokah dr sodara semua.

matur suksme/hatur nuhun/suwun/thanx/terimakasih
 
Mendem pedanginan... hm.. baru denger bli. kayaknya bukan bahasa Bali yaaa kayak nya bahasa Jawa deh.. apa emang itu tradisi jawa?
 
Mendem pedanginan... hm.. baru denger bli. kayaknya bukan bahasa Bali yaaa kayak nya bahasa Jawa deh.. apa emang itu tradisi jawa?

gak, itu mah bahasa bali.
mendem pedagingan.
simplenya,kata om gw itu kayak kita manusia menata rumah lagi,mengecatnya dllnya.
begitu pula Beliau diatas sana.
nah trus gw pikir sendiri,itu smua krn kita orang Hindu mempersonifikasi atas sesuatu yg kita cintai.gt kali analoginya.
klo g salah,yg pake anjing belang bungkem itu bro...
 
"Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa terlebih dahulu memberi kesenangan terhadap makhluk lain adalah pencuri. Manusia yang semena-mena menjadikan sumber hidupnya sebagai obyek kesenangan tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perilaku pencuri. Mengambil tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi, menggunakan tanpa sikap memelihara, sama dengan perilaku pencuri."

Ada keyakinan dalam masyarakat Hindu bahwa Tuhan menciptakan alam dengan mempergunakan lima benih unsur tenaga yang disebut pancatanmatra terdiri dari,
1. Gandhatanmatra adalah benih unsur pertiwi
2. Rasatanmatra adalah benih unsur apah
3. Rupatanmatra adalah benih unsur teja
4. Sparsatanmatra adalah benih unsur bayu
5. Sabdatanmatra adalah benih unsur akasa.

Kelima jenis-jenis unsur yang disebut pancatanmatra itu kemudian masing-masing berubah menjadi atom-atom yang disebut Paramanu. Dari Paramanu itu muncullah unsur-unsur benda yang disebut Pancamahabhuta (lima unsur yang maha ada) yaitu :
1. Pertiwi adalah unsur zat padat
2. Apah adalah unsur zat cair
3. Teja adalah unsur sinar atau panas
4. Bayu adalah unsur udara
5. Akasa adalah unsur ether.

Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga,
salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara (caru).

Ada beberapa jenis dan tingkatan caru tersebut yaitu, ekasatha, pancasatha, pancakelud, rsighana, baliksumpah, labuh gentuh, pancawalikrama dan tawur ekadasarudra (Tribhuwana, Ekabhuwana).

Untuk menyeimbangkan Tanah Jawa dan Bali juga ada riwayat penanaman Panca Datu ( lima jenis Logam) / upacara Mendem Pedagingan & Mekelem yang sampai saat ini masih dilakukan.

Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar sebagai kekuatan alam, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta.

Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta Yajna, yang diwujudkan dalam Bhuta Kala menjadi Bhuta Hita (Nyomyang Bhuta-Kala yaitu kekuatan Asuri Sampad / Sifat Keraksasaan menjadi sifat Daiwa Sampad / Sifat Kedewataan), yajna sesa, segehan, mecaru, tawur dan lain-lain, yang pada intinya adalah memelihara kesejahteraan alam semesta seperti Jagat Kerthi / kerahayuan bumi, Wana Kerthi / klestarian hutan sebagai paru-paru dunia dan menjaga penahan air, Danu Kerthi untuk kelestarian danau / air, Samudra Kethi untuk kelestaruan laut dan samudra beserta isinya)

Nyomyang Bhuta-Kala yaitu kekuatan Asuri Sampad / Sifat Keraksasaan menjadi sifat Daiwa Sampad / Sifat Kedewataan dalam tahapan prosesnya diakhiri dengan Pekelem atau Mendem Pedagingan yang berupa panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Panca datu memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Di Bali Yadnya ini dilakukan dalam keseharian mulai dari yajna sesa, segehan, mecaru, tawur dan lain-lain.

Dasar Hukum Yadnya
Agama Hindu dalam menginterpretasikan hubungan timbal balik antara manusia dan alam, lingkungan hidup pada dasarnya berpangkal pada kitab suci Weda, dan kerangka dasar dari agama Hindu yaitu, Tattwa, Susila dan Upacara. Ajaran Tattwa memberikan petunjuk filosofis yang mendalam mengenai pokok-pokok keyakinan maupun mengenai konsepsi ketuhanan, sedangkan ajaran Susila merupakan kerangka untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, dan upacara merupakan kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk persembahan.

Esensi dari upacara pada dasarnya adalah yadnya korban suci dengan hati tulus ikhlas, serta dasar hukum dari yadnya adalah “Rna” (Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitra Rna).

Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.

Rta Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.

Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsurunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara (caru).
 
"Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa terlebih dahulu memberi kesenangan terhadap makhluk lain adalah pencuri. Manusia yang semena-mena menjadikan sumber hidupnya sebagai obyek kesenangan tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perilaku pencuri. Mengambil tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi, menggunakan tanpa sikap memelihara, sama dengan perilaku pencuri."

Ada keyakinan dalam masyarakat Hindu bahwa Tuhan menciptakan alam dengan mempergunakan lima benih unsur tenaga yang disebut pancatanmatra terdiri dari,
1. Gandhatanmatra adalah benih unsur pertiwi
2. Rasatanmatra adalah benih unsur apah
3. Rupatanmatra adalah benih unsur teja
4. Sparsatanmatra adalah benih unsur bayu
5. Sabdatanmatra adalah benih unsur akasa.

Kelima jenis-jenis unsur yang disebut pancatanmatra itu kemudian masing-masing berubah menjadi atom-atom yang disebut Paramanu. Dari Paramanu itu muncullah unsur-unsur benda yang disebut Pancamahabhuta (lima unsur yang maha ada) yaitu :
1. Pertiwi adalah unsur zat padat
2. Apah adalah unsur zat cair
3. Teja adalah unsur sinar atau panas
4. Bayu adalah unsur udara
5. Akasa adalah unsur ether.

Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga,
salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara (caru).

Ada beberapa jenis dan tingkatan caru tersebut yaitu, ekasatha, pancasatha, pancakelud, rsighana, baliksumpah, labuh gentuh, pancawalikrama dan tawur ekadasarudra (Tribhuwana, Ekabhuwana).

Untuk menyeimbangkan Tanah Jawa dan Bali juga ada riwayat penanaman Panca Datu ( lima jenis Logam) / upacara Mendem Pedagingan & Mekelem yang sampai saat ini masih dilakukan.

Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar sebagai kekuatan alam, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta.

Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta Yajna, yang diwujudkan dalam Bhuta Kala menjadi Bhuta Hita (Nyomyang Bhuta-Kala yaitu kekuatan Asuri Sampad / Sifat Keraksasaan menjadi sifat Daiwa Sampad / Sifat Kedewataan), yajna sesa, segehan, mecaru, tawur dan lain-lain, yang pada intinya adalah memelihara kesejahteraan alam semesta seperti Jagat Kerthi / kerahayuan bumi, Wana Kerthi / klestarian hutan sebagai paru-paru dunia dan menjaga penahan air, Danu Kerthi untuk kelestarian danau / air, Samudra Kethi untuk kelestaruan laut dan samudra beserta isinya)

Nyomyang Bhuta-Kala yaitu kekuatan Asuri Sampad / Sifat Keraksasaan menjadi sifat Daiwa Sampad / Sifat Kedewataan dalam tahapan prosesnya diakhiri dengan Pekelem atau Mendem Pedagingan yang berupa panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Panca datu memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Di Bali Yadnya ini dilakukan dalam keseharian mulai dari yajna sesa, segehan, mecaru, tawur dan lain-lain.

Dasar Hukum Yadnya
Agama Hindu dalam menginterpretasikan hubungan timbal balik antara manusia dan alam, lingkungan hidup pada dasarnya berpangkal pada kitab suci Weda, dan kerangka dasar dari agama Hindu yaitu, Tattwa, Susila dan Upacara. Ajaran Tattwa memberikan petunjuk filosofis yang mendalam mengenai pokok-pokok keyakinan maupun mengenai konsepsi ketuhanan, sedangkan ajaran Susila merupakan kerangka untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, dan upacara merupakan kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk persembahan.

Esensi dari upacara pada dasarnya adalah yadnya korban suci dengan hati tulus ikhlas, serta dasar hukum dari yadnya adalah “Rna” (Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitra Rna).

Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.

Rta Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.

Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsurunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara (caru).

ok bro ,lanjut..
mungkin trkait pelaksanaannya yg per 25 -30 thn itu jg.

matur suksme sebelum dan sesudahnya
 
@bedahOtak

ok bro ,lanjut..
mungkin trkait pelaksanaannya yg per 25 -30 thn itu jg.

matur suksme sebelum dan sesudahnya

kalo menurut gw mungkin karena pedagingan adalah benda mati(tidak kekal), benda duniawi yang bisa kotor, jadi ada kalanya kita harus upacarai setelah sekian tahun, harus dibersihkan ataupun diganti karena sudah 'tidak layak pakai'..
untuk waktunya gw belum tahu mengapa harus segitu..

berdasarkan pengamatan gw Panca Datu identik dengan Panca Dewata yg menjaga 5 penjuru arah mata angin sehingga membentuk lambang (+) yang merupakan simbol keseimbangan/pondasi yg kuat..
coba lo balikin lambang (+) dalam posisi tidur, hehehe berbentuk kayak pondasi khan, disangga dari 5 penjuru mata angin termasuk arah tengah..
 
@bedahOtak



kalo menurut gw mungkin karena pedagingan adalah benda mati(tidak kekal), benda duniawi yang bisa kotor, jadi ada kalanya kita harus upacarai setelah sekian tahun, harus dibersihkan ataupun diganti karena sudah 'tidak layak pakai'..
untuk waktunya gw belum tahu mengapa harus segitu..

berdasarkan pengamatan gw Panca Datu identik dengan Panca Dewata yg menjaga 5 penjuru arah mata angin sehingga membentuk lambang (+) yang merupakan simbol keseimbangan/pondasi yg kuat..
coba lo balikin lambang (+) dalam posisi tidur, hehehe berbentuk kayak pondasi khan, disangga dari 5 penjuru mata angin termasuk arah tengah..

Proses mendem pedagingan biasanya setelah bangunan selesai yaitu terkait berupa ucara Pemelaspasan Memprelina, dan mengembalikan semua jiwa jenis-jenis bahan ke asalnya dan Ngulapin (memanggil jiwa bangunan), Ngurip (menjiwai bangunan), Melaspas (menyucikan dan menetapkan kelahiran dengan nama baru) apakah berupa Tempat Pemujaan, Tempat Tinggal atau Tempat Umum.

Artinya bukan lagi sebagai tumpukan kayu dan batu atau bahan-bahan lainnya.

Setelah mendem pedagingan biasanya terakhir "Ngulihin Karang" yaitu upacara mempertemukan dengan pemiliknya atau penghuninya.
 
Sekedar ikut ngasi Pendapat nih :D :D

gak, itu mah bahasa bali.
mendem pedagingan.
simplenya,kata om gw itu kayak kita manusia menata rumah lagi,mengecatnya dllnya.
begitu pula Beliau diatas sana.
nah trus gw pikir sendiri,itu smua krn kita orang Hindu mempersonifikasi atas sesuatu yg kita cintai.gt kali analoginya.
klo g salah,yg pake anjing belang bungkem itu bro...

bukan belang bungkem tapi baang bungkem anjing berbulu kemerahan dengan lingkaran hitam di sekitar mata mulut dan hidung
klo bebek/itik baru pake belang tapin namanya belang kalung yaitu bebek yang dilehernya ada lingkaran bulu putih



Untuk menyeimbangkan Tanah Jawa dan Bali juga ada riwayat penanaman Panca Datu ( lima jenis Logam) / upacara Mendem Pedagingan & Mekelem yang sampai saat ini masih dilakukan.
[/COLOR]

Salah satu pelaksanaan Upacara mendem Pedagingan terekam dalam banyak Babad di Bali bahwa :
Rsi Markandeya yang melakukan Mendem Pedagingan pertama kali di Bali dengan menanam Panca Dhatu , pada saat kedatangan beliau untuk kedua kalinya (Lokasi nya sekarang diyakini di Pura Basukihan ) kompleks Pura Besakih


@bedahOtak

kalo menurut gw mungkin karena pedagingan adalah benda mati(tidak kekal), benda duniawi yang bisa kotor, jadi ada kalanya kita harus upacarai setelah sekian tahun, harus dibersihkan ataupun diganti karena sudah 'tidak layak pakai'..
untuk waktunya gw belum tahu mengapa harus segitu..

setau saya Mendem Pedagingan hanya dilakukan sekali aja, seperti yg dijelaskan Goesdun, yaitu ketika suatu bangunan selesai dibangun,
tapi klo renovasi, dan ditempat itu sudah pernah dilakukan mendem pedagingan maka yang dilakukan adalah "Mupuk Pedagingan" ( yang lama di charge lagi energi nya ) bukan Mendem Pedagingan
jangka waktu tiap2 upacara ada batasnya
klo ga salah upacara seperti NGusaba Desa, Ngusaba Nini , Ngenteg linggih dsb sebaiknya dilakukan lagi setiap 15 Tahun atau lebih ( waduh gw lupa tuh sumbernya....)
 
Sekedar ikut ngasi Pendapat nih :D :D
setau saya Mendem Pedagingan hanya dilakukan sekali aja, seperti yg dijelaskan Goesdun, yaitu ketika suatu bangunan selesai dibangun,
tapi klo renovasi, dan ditempat itu sudah pernah dilakukan mendem pedagingan maka yang dilakukan adalah "Mupuk Pedagingan" ( yang lama di charge lagi energi nya ) bukan Mendem Pedagingan
jangka waktu tiap2 upacara ada batasnya
klo ga salah upacara seperti NGusaba Desa, Ngusaba Nini , Ngenteg linggih dsb sebaiknya dilakukan lagi setiap 15 Tahun atau lebih ( waduh gw lupa tuh sumbernya....)

Setahu saya, upacara Mendem Pedagingan dilaksanakan untuk bangunan suci, dari palinggih hingga parhyangan, sedangkan upacara untuk bangunan hunian atau pakubon (Griya, Puri, Jero, Umah) lazim dilakukan sebatas pamelaspas saja. Benar, Mendem Pedagingan diterapkan pada bangunan suci yang baru dibuat dan renovasi total sedangkan bila renovasi dilakukan pada sebagian palinggih dilakukan upacara tingkatan Mupuk Pedagingan atau Nubung Pedagingan.

Logikanya, proses pembangunan baru atau "renovasi total" dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: pralina dan ngalinggihang tapakan palinggih/pralingga (untuk renovasi), nyakap karang (alih fungsi lahan - untuk lokasi baru), nyukat genah palinggih (penetapan tata letak bangunan), ngaruak (pematangan lahan), mendem dasar (perletakan batu pertama), ngewangun (proses konstruksi), dan terakhir adalah pamelaspas (alit atau agung) yang biasanya dirangkai dengan Mendem Pedagingan, Ngenteg Linggih dan Pujawali/Piodalan.

Soal rentang waktu, logika lagi nih, pemilihan masa 10, 15, 20 ataupun 30 tahun kiranya terkait dengan usia pakai bahan bangunan terutama pemakaian penutup atap ijuk (terkadang bahan atap alang-alang) yang berkisar dalam rentang waktu tersebut (tergantung lokasi dan mutu bahan bangunan). Tentu tidak tertutup pula penetapan rentang waktu tersebut mempertimbangkan kesiapan spiritual dan material bagi pengempon dalam melaksanakan upacara pamelaspas agung dan ngenteg linggih (termasuk di dalamnya mendem pedagingan atau mupuk pedagingan) yang tidak ringan.
Selebihnya, uraian sameton goesdun tentang dasar filosofi ritual Mendem Pedagingan lengkap banget. Salut, dahat suksma.

Beberapa foto dokumentasi renovasi dan ritual (meliputi seluruh rangkaian, dari pralina hingga ngenteg linggih) di Pura Agung Kentel Gumi, Klungkung, saya tayangkan di Flickr dan blog yang sedang saya tulis di blogspot.

Angayu bagia, saya bisa ambil bagian dalam seluruh proses tersebut.
-
 
^^
nice post! lengkap banget.
Semeton @titiyang..bisa share tentang "Menjelang Tawur Agung Panca Bali Krama 2009" !!!
 
Sekedar ikut ngasi Pendapat nih :D :D



bukan belang bungkem tapi baang bungkem anjing berbulu kemerahan dengan lingkaran hitam di sekitar mata mulut dan hidung
klo bebek/itik baru pake belang tapin namanya belang kalung yaitu bebek yang dilehernya ada lingkaran bulu putih

bukan baang bungkem namun Bang Bungkem, bang berarti merah bungkep berarti hitam, kalau baang = memberi
 
Rsi Markandeya yang melakukan Mendem Pedagingan pertama kali di Bali dengan menanam Panca Dhatu , pada saat kedatangan beliau untuk kedua kalinya (Lokasi nya sekarang diyakini di Pura Basukihan ) kompleks Pura Besakih

Ehhhh Beliau itu LELUHURKU YANG SANGAT AKU HORMATI DAN KAGUMI
 
Yang saya tahu adalah panca datu berfungsi untuk sumber energi dari sebuah sistem hukum yang disebut hukum karma.Ibarat hukum karma adalah pembangkit listrik instalasi nuklir,maka panca datu adalah biji uraniumnya,jadi di sekitar tempat yang ditanam panca datu akan lebih cepat memperoleh apapun yang pantas diperolehnya,ini hanya pemahaman saya pribadi,jika ada kekurangan mohon dikoreksi
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.